NovelToon NovelToon

Ayahku Ternyata Mata-Mata

Part 1

"Ada sesuatu yang membuatku begitu penasaran," ujar Jessica, gadis yang di ketahui berusia 20 tahun itu dengan ragu. Ia berhenti bicara untuk beberapa saat sebelum akhirnya menolehkan pandangannya ke depan, menatap lurus pada gedung tinggi yang ada di hadapannya.

"Aku sudah datang jauh-jauh dari negeri seberang, dari Singapura untuk berlibur. Dan aku bahkan sudah meluangkan satu hari penuh di hari ini dari satu minggu jadwal liburanku di Indonesia, khusus untuk ayah. Tapi yang terjadi adalah ayah malah memilih untuk membawaku datang ke museum galeri seperti ini? Ah, ini adalah tempat yang aku tebak akan penuh dengan lukisan yang sangat amat membosankan?" cerocos Jessica.

Perkataan panjang dari Jessica itu membuat laki-laki berumur sekitar lima pulih tahunan yang sedang berjalan tepat di sebelahnya tampak menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.

Pria paruh baya itu tersenyum geli untuk beberapa detik, sebelum kemudian dia ikut menoleh ke gedung galeri di hadapannya. Ia kembali menoleh untuk menatap anak gadis di sebelahnya itu. Pria itu terlihat tidak berniat mengatakan apa-apa untuk membela diri dan hanya mengangkat bahunya acuh. Ia lalu bergerak maju dalam gerakan antrian manusia yang akan menuju ke gedung galeri itu.

Merasa ayahnya tak menanggapi ucapannya, Jessica hanya mempoutkan bibirnya sebal.

Kenapa dia hanya diam dan tidak mengatakan apapun? Apakah dia tersinggung dengan ucapanku barusan? Dan apa ini, kenapa aku jadi merasa tidak enak setelah mengatakan itu padanya.

"Bukannya aku kecewa," kata Jessica cepat-cepat memperbaiki maksud dari kalimatnya barusan, sambil mencoba untuk mengontrol ekspresi kecewa pada wajahnya. "Maksudku adalah... aku senang sekali karena ayah benar-benar bersedia meluangkan waktu dalam jadwal sibuk ayah hanya untuk bertemu denganku seperti ini."

Ucapan Jessica itu membuat pria di sampingnya itu kembali menoleh padanya. Pria itu menghela napasnya perlahan kemudian berpaling untuk menatap area yang ada sekitarnya.

"Ayah berusaha sebisa ayah untuk meluangkan waktu ayah Jessica." ujar pria tua itu lagi.

"Aku senang ayah melakukan ini."

"Ya, kau harus tahu kalau ayah pasti akan lebih sering bertemu denganmu jika ayah bisa. Sejauh ini pekerjaan di kantor kementerian sangatlah banyak dan membuat ayah begitu sibuk. Ayah bahkan hampir tidak sempat makan. Ya, kau tahu bagaimana rasanya." jawab pria paruh baya itu dengan tatapan bersungguh-sungguh.

Jessica mendecih ketika dia mendengar kalimat itu dan melipat tangannya di depan dadanya. "Bagaimana aku bisa tahu rasanya?"

"Ya, kau memang tidak tahu betapa melelahkannya semua ini. Kau tidak akan pernah tahu. Kau benar!" pria tua itu terkekeh dengan senyum miris.

Apa maksudnya itu? Kenapa dia jadi menyindirku seperti itu? Ya, aku memang tidak tahu rasanya bekerja di kantor kementrian sepertinya. Tapi dia tidak perlu menyindirku seperti itu kan...

Jessica menyipitkan mata sambil menggelengkan kepalanya. Dia mencoba memikirkan lagi apa maksud dari kalimat yang dikatakan ayahnya kepadanya barusan.

"Ayolah, ayah… jangan berlebihan. Ayah itu kan bekerja di kementrian. Itu pekerjaan yang bagus. Ayah bahkan punya jam kerja yang teratur. Lalu bagaimana ayah bisa tidak sempat makan?" omelnya membuat sang ayah kembali terkekeh.

"Bagaimana kalau kita gunakan waktu luang yang ayah miliki ini dengan baik. Mungkin sebuah ucapan terima kasih dan senyuman bahagia akan terlihat lebih baik, jika di bandingkan dengan omelan seperti ini?"

Jessica memutar kedua matanya malas. Ayahnya mencoba menyindirnya lagi. "Baiklah! Terima kasih, ayahku yang aku sayangi."

Jessica diam-diam tersenyum. Kali ini sepertinya ibunya salah. Lihat, ayahnya rela meminta izin agar bisa menemaninya jalan-jalan. Yah, meskipun tidak seasyik yang ia harapkan, tapi ayahnya datang.

Sebenarnya, sebelum Jessica datang kemari, ibunya telah mencoba untuk memperingatkannya beberapa kali bahwa ayahnya tak akan menemuinya. Dan hal yang sama akan terjadi seperti hal-nya beberapa tahun lalu di saat sang ayah lebih memilih rapat di bandingkan pergi liburan bersama Jessica dan membuatnya begitu kecewa.

Ah, padahal ibunya itu telah berbaik hati karena sudah mencoba untuk memperingatkan Jessica bahwa pekerjaan akan selalu didahulukan oleh ayahnya itu. Dan ibunya memang tidak salah dengan ucapannya itu. Tapi ibunya juga tak sepenuhnya benar. Karena lihatlah ini! Saat ini sang ayah sudah bersedia menyisihkan satu hari penuh untuk pergi bersama Jessica.

Dan yang saat ini muncul di kepala Jessica adalah ucapan dari ibunya itu. Kenapa ibunya memilih pesimis dan mengatakan kalau ayahnya akan lebih memilih pekerjaannya? Itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati apakah ibunya itu membenci ayahnya karena pekerjaannya atau karena hal lain.

Apa jangan-jangan sebelum mereka bercerai ayah pernah mengkhianati ibu dan membuat ibu begitu membenci ayah? Tapi ibu begitu membenci pekerjaan ayah. Ah, apakah selingkuhan ayah ada di kantor yang sama dengan tempat ayah bekerja? Atau mungkin ayah hanya terlalu berdedikasi pada pekerjaannya saja sehingga melupakan ibu. Jessica diam-diam melirik sang ayah.

"Ayah pasti sibuk sekali, aku tahu itu. Tapi bagaimana denganku? Bagaimana dengan menjadi seorang mahasiswa yang memiliki banyak tugas. Bukankah itu juga kegiatan yang menyibukkan. Aku juga sibuk ayah dan aku butuh liburan yang menyenangkan." ujar Jessica.

"Ah, kalau tahu begini, aku berani bertaruh kalau liburan di musim ini akan berlangsung dengan cara yang membosankan untukku! Bukannya aku mengeluh, tapi saat ini rasanya aku hanya ingin kembali ke kampus dan belajar dengan temanku saja. Itu terlihat lebih menantang, di bandingkan merasa bosan di sini." Jessica menatap gedung galeri itu dengan malas.

"Tak perlu ke kampus. Kau bisa belajar saat kau liburan seperti ini. Kau tahu jelas itu! Apa kita pulang ke hotel tempat kau menginap saja sekarang?" ayahnya berujar, menatapnya dengan alis melengkung.

Jessica memutar bola matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Lelaki paruh baya ini benar-benar tidak peka. Ia hanya ingin liburan yang seru, oke! Bukan malah pergi ke galeri dan menikmati lukisan yang sama sekali tidak ia mengerti bahkan menurutnya sangat membosankan.

Bukannya mengajakku ke tempat yang lebih seru. Dia malah mengajakku pulang ke hotel...

"Ah, kurasa sekarang aku bisa menikmati lukisannya," kata Jessica kemudian dengan cengiran yang di paksakan. "Dan untuk belajar... kurasa aku tidak benar-benar menginginkannya sekarang. Belajar bisa aku lakukan lain kali saja."

"Dan apa yang ibumu katakan tentang itu?"

"Tentang apa?"

"Belajar."

Jessica mendecih sinis. "Aku bahkan tidak ingin menceritakan apa yang dia katakan tentang belajar. Itu karena ocehan ibu yang sangat panjang dan akan membuatku lelah jika harus mengatakannya ulang pada ayah."

Ayahnya hanya tersenyum, "Bagaimana kabar ibumu?"

"Ibu...dia...ya...dia sedang sibuk saat ini," Jessica berujar perlahan. "Dia bertemu seseorang yang baru."

"Pria baru lagi?"

***

Part 2

Jessica melirik ayahnya. Apa ayahnya itu sedang cemburu?

"Ya, pria baru lagi. Dia seorang lelaki bernama John dan setahuku dia bekerja di kantor akuntan tempat yang sama di tempat ibu bekerja saat ini."

"Dan apa pendapatmu tentang dia?" sang ayah bertanya lagi.

"Tentang John?"

"Ya, bagaimana menurutmu?" tanya sang ayah lagi.

Jessica terdiam, kembali menatap sang ayah beberapa saat. Ia kemudian menggelengkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya dengan raut sedih.

Sang ayah bisa melihat dengan jelas saat anak gadisnya itu menampilkan ekspresi sedih di wajahnya. Dan dia memilih untuk mengusak rambut gadis itu gemas.

"Apa dia mengecewakan?"

Jessica tak menjawab, gadis itu lalu menyisir rambut panjangnya yang di cat pirang dan memindahkannya ke bahu kanannya. Sang ayah hanya tersenyum dan mulai mengingat bahwa itu adalah sesuatu yang biasa Jessica lakukan ketika dia merasa gugup atau merasa tidak senang tentang sesuatu. 

Tidak butuh waktu lama bagi sang ayah untuk mengetahui perubahan sikap dari anak gadisnya yang selalu mudah sekali untuk dibaca.

"Awalnya agak mengecewakan. Dia terlihat agak sedikit sombong," Jessica berujar perlahan.

"Sedikit?"

"Baiklah, dia memang sombong." Jessica akhirnya berterus terang pada ayahnya. "Tapi semakin hari aku rasa dia tidak seburuk itu."

"Benarkah?"

"Ibu dan John juga sudah beberapa kali pergi pada malam hari untuk berkencan ke restoran mewah yang terkenal. Dan pernah satu malam dia membelikan makanan untukku di rumah."

"Kau suka?"

Jessica tersenyum masam. "Sejujurnya, aku belum pernah mencicipi makanan yang seperti itu jadi menurutku rasanya agak aneh di lidah. Tapi entah kenapa sepertinya ibu sangat menyukai makanan itu."

Antrian panjang itu perlahan mulai bergerak dan mereka berdua maju selangkah demi selangkah untuk mengikuti gerakan dari antrian panjang itu. Jessica mengintip tak sabar ke beberapa orang di depannya, mencoba untuk menentukan berapa lama lagi antrian di depannya dan setelah itu ia melihat kembali ke ayahnya.

"Begitulah..." ujarnya sembari menggedikkan bahu.

Sang ayah hanya manggut-manggut.

"Jadi benar apa yang orang-orang katakan," kata sang ayah pada Jessica.

Jessica menoleh, menatap bingung pada ayahnya itu. "Tentang?"

Pria paruh baya itu ikut menoleh ke anak gadisnya dan tersenyum. "Tentang cara untuk mengesankan seorang wanita adalah melalui perutnya."

"Hei," jawab Jessica buru-buru, ia tersenyum kecil sambil memukul pelan lengan ayahnya membuat sang ayah ikut tersenyum.

"Ada apa Jessica, bukankah ayah benar?"

"Tapi bukan itu konteksnya, ayah. Dengar! Ayah akan mengerti jika sudah melakukannya pada wanita lain nanti. Ini bukan tentang makanannya tapi tentang kegiatan makan malamnya. Tentang waktu yang ayah berikan untuk orang-orang tersayang."

"Ayah bersyukur tidak melakukan hal seperti itu. Ayah hanya merasa itu terdengar lebih seperti menjilat seseorang untuk dekat dengan wanita incarannya dan juga anaknya."

Jessica mendecih sinis, "Ayah ini benar-benar tidak romantis." gerutunya membuat ayahnya kembali tertawa.

Setelah itu Jessica memilih untuk diam. Ayahnya juga hanya diam, tidak berniat mengatakan apa-apa lagi padanya. Jessica melirik sekilas tepat ketika ayahnya memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Baru setelah itu Jessica menghela napasnya malas ketika dia melihat antrian yang terbentuk di belakang mereka. 

"Kenapa banyak sekali orang yang datang kemari?" batinnya.

"Memang banyak sekali orang yang ingin melihat pamerannya."

Jessica mengangguk. "Begitu rupanya."

Gadis itu kembali menoleh ke arah sang ayah, menatap wajah ayahnya itu dalam diam. Ia tersenyum, awalnya Jessica mengira kalau ia akan kesulitan untuk bercakap-cakap dengan pria yang selama ini sangat jarang ia temui itu. 

Ayahnya, Robert Anderson. Orang yang selama ini selalu menjadi misteri baginya. Jessica sempat mengira kalau mereka akan memiliki jarak tentang hubungan karena mereka sangat jarang bertemu.

Dahulu mereka bahkan terlihat seperti orang yang tidak saling mengenal. Tapi setelah itu Jessica menyadari kalau ia salah karena ternyata ia bisa akrab dengan ayahnya itu.

Jessica dan ayahnya bahkan selalu saling menghubungi satu sama lainnya. Bertemu diam-diam saat ayahnya menjalani perjalanan dinas ke luar negeri. Dan sekarang ia melihat ayahnya hadir di sini. Dan ayahnya meluangkan waktu untuknya.

Jessica hanya bisa tersenyum mengingat itu. Ia merasa senang karena ayahnya bisa membagi waktu untuk menemaninya menghabiskan liburan seperti ini.

***

Part 3

"Jadi, bisakah aku tahu, mengapa kita ada di sini? Kenapa ayah memilih untuk menghabiskan waktu disini?" Jessica tiba-tiba bertanya lagi.

"Ayah hanya sedang mencoba untuk mendidikmu, Jessica," jawab Robert pada Jessica. "Dan ibumu juga berpikir kalau ini adalah ide yang bagus untukmu pergi ke tempat ini."

Jessica mendecih mendengar itu, "Ibu memang akan suka kalau aku menghabiskan waktuku di tempat seperti ini."

"Benarkah?"

"Ya, ibu selalu mengira kalau aku selalu menghabiskan setiap akhir pekan dengan pergi keluar dan mabuk-mabukan," jawab Jessica.

"Tapi kau memang pergi kan?"

"Ya, itu karena aku bosan. Ibu tidak punya banyak waktu untukku lagi semenjak paman John datang. Lagi pula, dia selalu menganggap kalau aku ini adalah gadis yang nakal. Jadi biarkan saja dia memikirkan apa yang ingin dia pikirkan tentangku."

"Dan aku tidak tahu tentang itu." Robert menatap Jessica.

"Tentang apa?"

"Tentang masalah kalian itu."

Jessica terkekeh sinis, "Ya, ayah memang tidak pernah tahu."

Robert menghela napasnya, memalingkan wajahnya sambil tersenyum kecut. Bagaimana dia bisa tahu apapun tentang Jessica jika dia tahu kalau dia punya anak setelah bertahun-tahun lamanya berpisah dengan mantan istrinya. Bayangkan saja, ia pertama kali diberitahu tentang Jessica ketika gadis itu berusia lima belas tahun. Mantan istrinya sengaja merahasiakan tentang kehadiran anak gadisnya itu saat mereka bercerai. 

Mantan istrinya itu mengatakan kepada Robert kalau alasannya adalah karena dia tidak ingin Jessica berada di dekat Robert atau segala bahaya yang ada di dekatnya. 

Dan dia tak ingin mereka berhubungan. Pasalnya terakhir kali mereka bersama seseorang mencoba menembak ke arah mereka. Dan ibu Jessica berpikir kalau Robert pasti terlibat sesuatu yang berhubungan dengan mafia. Robert telah setuju dengan itu bahkan ia juga menyatakan bahwa akan lebih baik bagi Jessica untuk tidak mengenalnya.

Tapi kemudian rasa egois mulai menguasai dirinya. Dia kemudian mulai melacak alamat dari mantan istrinya. Dan setelah itu Robert juga telah melakukan segala yang terbaik yang dia bisa untuk membangun kembali hubungan yang utuh dengan putrinya. 

Dan tentu saja mereka berdua tidak tahu apa yang sebenarnya Robert lakukan selama ini. Jessica dan ibunya berasumsi bahwa Robert memiliki pekerjaan sampingan di Kementerian Pertahanan. Itulah yang akan menjadi pegangan kebohongan Robert selama ini dan dia akan menyembunyikan hal ini selama yang dia bisa.

Sebenarnya Robert berpikir untuk menyudahi segala rahasianya dengan mengatakan yang sebenarnya pada mantan istri dan anaknya itu. Dia berpikir untuk menjadi bersih dan jauh dari segala hal yang berbahaya. Jessica adalah seorang gadis muda sekarang. Umurnya menginjak duapuluh tahun dan Jessica harusnya bisa lebih bebas sekarang, tetapi ibunya masih terlalu mengendalikan hidup gadis ini sekuat yang dia bisa. Jessica benar-benar terkekang.

"Jadi, bisakah kita pergi makan siang setelah ini?" Jessica bertanya tiba-tiba, memecah lamunan Robert.

"Apa kau lapar?"

"Belum, untuk sekarang. Bisakah kita makan di tempat yang enak nanti." jawab Jessica memastikan dan Robert menganggukkan kepalanya setuju.

"Kalau kau mau," Robert tersenyum pada Jessica. "Aku yakin bisa membawamu ke suatu tempat yang bahkan bisa mengalahkan makanan mewah dari paman John-mu."

"Wow, apa ini. Ini terdengar seperti sebuah kompetisi! Kalau begitu aku harap ayah benar-benar mendapat restoran yang jauh lebih enak dari John." seru gadis itu dan Robert merasa bibirnya sedikit terangkat, ia tersenyum saat mendengarnya. 

"John pasti tak akan senang mendengar ada yang membawamu ke tempat yang makanannya lebih enak." ujar Robert kemudian.

"Biarkan dia mendapat pesaingnya," jawab Jessica santai.

Drrrtt! Drrrtt!

Jessica merassksn getaran pada tasnya. Ia memeriksa tas yang ada di bahunya dan mengeluarkan ponselnya yang berbunyi. Jessica melihat pada layar telepon yang ada tangannya dan diam-diam mulai membalas pesan dengan cepat di iPhone itu.

Robert melirik sekilas dan bisa melihat nama yang tertera di layar.

"Siapa Daniel?" Robert tiba-tiba bertanya pada anak gadisnya itu.

"Seorang anak laki-laki yang aku temui di kampus. Dia juga seorang mahasiswa," jawab Jessica pada ayahnya, suaranya penuh dengan sikap acuh tak acuh. Robert menggelengkan kepalanya, mencoba sebisanya untuk tidak terlihat terlalu ikut campur dengan apapun urusan dari anak gadisnya itu.

"Bukankah seharusnya kau berkonsentrasi pada mata kuliah dan juga gelar yang sedang kau kejar? Kau baru saja berhasil menjalani setidaknya sekitar enam puluh persen dari sesuatu yang di sebut keberhasilan." Robert berkomentar, hanya mencoba untuk mengingatkan Jessica.

Nasihat itu membuat Jessica yang mendengarnya sontak memutar bola matanya malas. "Iya, aku tau ayah. Dia juga bukan kekasihku."

"Ya, ayah hanya berniat mengingatkan, ayah tidak ingin-"

"Ayolah ayah! Kenapa sekarang ayah jadi seperti ibu begini? Apakah ayah tau betapa sulitnya pelajaran matematika itu?" Jessica bertanya padanya. "Hampir mustahil bagiku untuk mempelajari hitung menghitung yang sulit itu setiap hari. Aku merasa hampir gila. Aku bahkan merasa kagum pada diriku sendiri saat aku bisa mendapat nilai A saat ujian. Ah... ngomong-ngomong aku adalah mahasiswa terbaik yang ada di level A sekarang."

"Apakah kau membutuhkan guru private?" Robert mencoba bertanya pada gadis itu ketika mereka akhirnya berhasil memasuki gedung galeri setelah penantian beberapa lama.

Jessica menggelengkan kepalanya, menanggapi sang ayah. "Tidak, aku bisa mengatasinya. Aku akan mendapatkan nilai bagus sebelum bulan Januari nanti," katanya.

Hal itu sontak saja membuat Robert tertawa karena ia teringat Jessica juga mengatakan hal yang sama padanya lewat telepon di tahun lalu. Meskipun Jessica memang berhasil mendapatkan nilai bagus, tapi tetap saja kalau Robert pikir-pikir, merasa khawatir pada gadis kecilnya ini adalah hal biasa untuk orang tua.

Tentu saja, karena ia menyadari kalau pendidikan anaknya adalah sesuatu yang lebih mengkhawatirkannya jauh lebih menakutkan daripada yang Robert pikirkan selama ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!