NovelToon NovelToon

Love Me Please, Hubby!

Ana Belum Seterkenal Itu.

Suasana di lokasi syuting sangat ramai. Beberapa pemain sedang mendapatkan arahan dari sutradara terkait adegan yang akan diperankan. Sementara para kru yang bertugas, sedang mempersiapkan peralatan kebutuhan syuting.

Yah, inilah kesibukan yang menjadi rutinitas Ananda Ranita alias Ana. Ana memang sudah beberapa tahun terakhir menjalani profesi sebagai artis. Bermain film dan sesekali menjadi bintang iklan sebuah produk. Bukan bintang baru, tapi nama Ana belum seterkenal itu.

Meski sudah malang melintang dalam dunia perfilman, Ana belum pernah sekalipun menjadi pemeran utama. Dia hanyalah pemeran pendukung yang menjadi tambahan cerita. Bukan tak bagus bakat aktingnya, melainkan karena nasib bagus belum berpihak padanya.

Saat ini, Ana dan lainnya sedang menjalani syuting di sebuah pantai. Pantai yang digunakan sebagai tempat syuting bukanlah pantai privasi. Jadi masih terlihat banyak pengunjung yang juga berlibur di sana. Terlebih hari ini adalah hari weekend. Jadi bisa dipastikan seberapa ramainya di sana.

Ana sedang sabar menunggu giliran syuting. Ia duduk di kursi lipat yang disediakan kru. Tatapannya fokus melihat proses syuting yang tengah digelar. Ia hanya bisa takjub menyaksikan adegan syuting Alana. Yah, Alana adalah pemeran utama.

"Hei Ana, daripada duduk diam. Tolong belikan aku es krim. Kamu tau kan apa rasa es krim kesukaanku?" kata Alana membuyarkan lamunan Ana.

Entah tiba-tiba saja Ana melamunkan kisahnya. Tapi segera dibuyarkan oleh Alana yang menyuruhnya membeli es krim.

"Tapi sebentar lagi aku syuting. Bagaimana bisa?" tolak Ana.

"Beliin dulu aja. Syutingmu bisa ditunda, tapi permintaan Alana tidak." ujar Sutradara.

Memang, Alana selalu diutamakan. Selain memang dialah pemeran utama, dia juga idola sejuta umat. Begitulah predikat atau julukan yang sedang beredar baru-baru ini. Apalah arti Ana yang hanya aktris biasa yang belum seterkenal itu.

"Baiklah." kata Ana.

Tidak ada kata lain selain mengiyakan permintaan Alana. Lebih tepatnya perintah. Permintaan dan perintah adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika permintaan, biasanya bisa diiyakan atau ditolak. Tapi kalau perintah, sudah dipastikan harus dijawab iya.

Ana berkeliling seorang diri. Mencari penjual es krim. Untung saja ada yang berjualan tak jauh dari lokasi syuting. Ana bergegas menghampiri booth tempat jualan es krim. Ia memesan es krim rasa stroberi vanila, kesukaan Alana.

Dengan hati-hati, Ana memegang es krim yang diminta Alana. Namun kehati-hatiannya tak berlaku kala itu. Seseorang menabraknya karena sedang berjalan buru-buru. Alhasil es krimnya tumpah mengenai baju orang itu.

"Ah maafkan aku!" ucap Ana mengaku salah sambil menundukkan kepalanya.

"Punya mata nggak?" kata seorang pria bernada marah.

"Maaf." kata Ana lagi.

Pria itu segera meninggalkan Ana begitu saja. Ana mengangkat kepalanya, ia hanya bisa melihat punggung pria yang berjalan menjauhinya.

Ana pun membeli es krim yang serupa. Kali ini ia akan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai membuat Alana marah karena harus menunggunya.

"Alana, ini es krim pesananmu!" seru Ana memanggil Alana yang tengah berbincang dengan seorang pria.

"Oh ya, terima kasih. Kamu baik sekali!" tutur manis Alana.

"Sama-sama." kata Ana.

"Eh Anton kenalin, ini Ana! Ana, ini Anton Novero sahabatku!" ujar Alana memperkenalkan Anton dan Ana.

Anton adalah pria yang menabrak Ana tadi. Saat mata Ana dan Anton bertemu, Ana dibuat terpesona oleh ketampanan Anton. Tapi tidak dengan Anton. Ia justru semakin kesal melihat wajah orang yang menumpahkan es krim di kaos mahalnya. Ana mengajak Anton bersalaman. Dengan terpaksa Anton menyalaminya.

"Ana! Siap-siap!" seru Sutradara.

Ana berpamitan pada Anton dan Alana. Ia bergegas syuting mengikuti arahan Sutradara. Ana memang berhasil menuntaskan syuting demi syuting yang dijalaninya. Tapi sesekali, tetap saja ia mencuri pandang ke arah Anton.

Menjelang sore, syuting pun diakhiri. Semua kru bersiap membereskan peralatan syuting dan persiapan pulang.

"Ana, kamu pulangnya dijemput?" tanya Alana tiba-tiba.

"Tidak. Aku cukup naik bus dari halte depan itu. Bagaimana denganmu?"

"Oh, aku pulang bareng Anton. Kebetulan rumah kami searah. Apa kamu bareng kami aja?" ujar Alana.

"Tidak usah! Kalian pergi aja dulu. Terima kasih." kata Ana.

Sebenarnya Ana mau banget bareng mereka. Tapi melihat tatapan tajam Anton, ia merasa ngeri sendiri. Takut.

"Oh yaudah deh kalo gitu. Tapi lain kali jangan nolak yah kalo aku tawari. Kami permisi dulu!" kata Alana.

Alana menggandeng Anton, pergi meninggalkan Ana seorang diri. Ana menatap kepergian Alana dan Anton dengan sedih. Ia meratapi betapa ngenes statusnya sebagai jomblo beberapa tahun terakhir.

Ana pun bergegas menuju halte bus terdekat. Lalu menunggu bus yang sudah pasti akan lama datangnya. Dibilang lama karena sejam kemudian bus baru datang. Itupun Ana harus berdiri. Sebab bangku sudah penuh.

Tangan kanan Ana menenteng tas berisi pakaian ganti, sedangkan tangan kirinya sibuk memegangi pegangan tali di atas kepalanya.

"Eh kakak ini bukannya kak Ana ya? Yang di film Aku Bukan Pilihanmu ya? Benar kan?" tanya seorang anak sekolahan.

"Ah iya." jawab Ana sembari tersenyum.

"Kok naik bus? Anu, kakak duduk aja! Aku berdiri aja!" ujar anak sekolahan itu.

"Tidak usah. Kamu saja yang duduk! Aku gapapa." kata Ana.

Karena terus dipaksa, akhirnya Ana mengalah. Duduk di kursi yang sebelumnya diduduki anak sekolahan itu.

"Terima kasih ya." kata Ana.

"Iya sama-sama. Aku penggemar kakak loh! Namaku Andre. Kak Ana abis syuting ya?" tanya Andre.

"Iya. Kamu baru pulang sekolah jam segini?" kata Ana balik tanya.

"Iya kak. Aku ikut pelajaran tambahan di sekolah. Kan udah kelas 3 SMA."

"Tidak ada yang jemput?" tanya Ana.

"Sebenarnya mau dijemput kakakku. Tapi kayaknya dia ada urusan, jadi aku nggak dijemput. Untung tadi aku mutusin naik bus. Jadi bisa bertemu dengan kak Ana." jawab Andre girang.

"Kak Ana sudah punya pacar belum?" tanya Andre.

Pertanyaan Andre membuat Ana kena mental. Jika bilang sudah, jatuhnya ia membohongi orang lain. Tapi jika bilang belum, sudah pasti ia siap-siap membuka aib. Aib sebagai seorang jomblo ngenes pun akan segera tersebar dengan bebas.

"Eh maaf. Pertanyaanku keterlaluan. Nggak usah dijawab ya kak. Tadinya aku pingin kenalin kak Ana dengan kakak keduaku. Dia lumayan tampan kok, kak. Uhm, tapi agak dingin orangnya. Ah kak Ana kan cantik juga yah. Pasti udah punya pacar juga. Lupakan tawaranku deh kak. Aku jadi nggak enak." ujar Andre merasa bersalah.

"Tidak apa-apa." kata Ana.

Mereka pun harus berpisah saat Andre turun. Ana kembali termenung. Jangankan punya pacar seperti yang Andre bilang. Dikejar seorang pria pun tidak.

Kaya Tanpa Terlihat Kaya

Ana sudah sampai di depan rumahnya. Rumah mewah berpagar tinggi dengan arsitektur gaya Eropa. Penjaga keamanan membuka pagar besi saat melihat Ana sudah berdiri di depan pagar.

"Non Ana! Haduh Non Ana pulang naik bus lagi ya?" tanya Pak Kiman.

"Iya Pak. Sudah biasa." jawab Ana seraya tersenyum.

"Anu Non, tadi Tuan Besar marah-marah."

"Pasti gara-gara aku lagi. Nggak usah dipikirkan ya Pak."

"Non nggak salah. Seharusnya salah satu dari kami mengantar Non Ana kemanapun Non Ana pergi. Kami yang salah Non." kata Pak Kiman.

"Pak Kiman selalu gitu deh. Yasudah maafin Papa ya Pak. Papa orangnya keras. Tapi sebenarnya dia baik kok. Papa tuh hanya khawatir aja sama aku. Jadi marahnya ke Bapak-bapak yang di sini deh. Maafin ya Pak." ujar Ana.

"Non Ana berhati malaikat. Non Ana segera masuk gih, sebelum Tuan Besar marah-marah lagi." kata Pak Kiman.

Ana pun segera memasuki rumahnya. Ia tak melihat siapapun di dalamnya. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, tampak kosong. Lalu ia memutuskan menuju kamarnya di lantai dua. Saat menaiki tangga, ia pun mengamati suasana rumahnya.

"Rumah yang tampak besar, tapi isinya kosong. Harga perabotan yang tak murah, tapi rasanya tak ada artinya. Semua hanya pajangan." lirih Ana.

"Kamu sudah pulang?" tanya Pak Radit.

"Sudah Papa." jawab Ana kaget.

"Kenapa sekaget itu?"

"Lagian Papa ngagetin Ana."

"Sudah berapa kali Papa bilang ke kamu, minta dijemput sama Kiman, Narji, atau siapalah itu. Kenapa masih berani pulang sendiri? Papa minta kamu bantuin bisnis Papa juga kamu abaikan. Apa sih enaknya jadi artis? Mama kamu aja dulu Papa larang, kok sekarang kamu malah ngikutin jejak Mamamu?" ujar Pak Radit.

"Maaf Pa. Ana nggak enak kalo diliat sama rekan artis yang lain jika Ana dijemput. Mereka juga belum tau jika Ana adalah putri tunggal dari Radit Hanggoro Sukmo, pengusaha sukses di kota ini. Ana mau dikenal atas usaha dan nama sendiri, Pa. Bukan menumpang dari nama terkenal Radit Hanggoro Sukmo. Mama pun sudah tenang di alam baka, jadi jangan diungkit lagi cerita lama tentang Mama." kata Ana.

Ana berjalan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan Papanya yang belum selesai bicara. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Menaruh sembarangan paperbag yang ditentengnya. Ia merebahkan dirinya di kasur besar kesayangannya.

Lima belas menit setelahnya, ia menuju toilet. Membersihkan dirinya sekaligus menjernihkan pikiran dengan berendam di bathtub. Tak lupa menyalakan lilin aromaterapi untuk menambah kesegaran.

Selesai mandi ia mengenakan piyama warna pink motif bunga kesukaannya. Ia pun membuka lemari es dan menuang minuman dingin di gelasnya. Ia berjalan menuju balkon kamarnya. Dari sana, ia bisa melihat ramainya jalanan di depan rumahnya. Ia sengaja tak menyalakan lampu balkon, agar dirinya tak terlihat dari luar.

"Lihatlah Ana, dunia di luar sana tampak ramai. Tapi lihatlah dirimu sendiri. Sudah sunyi, sepi, dan tetap sendiri. Rasanya muak dengan kejamnya dunia yang tak serta merta memperlakukanku dengan baik. Mereka hanya memandangku sebelah mata. Tapi, aku takkan dengan bodohnya membuka diriku. Biar saja semua tetap seperti ini." kata Ana.

Ia menghabiskan air di gelasnya sekali teguk. Dari luar kamarnya, terdengar suara marah Papanya. Karena risih terus mendengar suara marah Papanya, Ana pun keluar dari kamarnya.

"Papa kenapa marah-marah?" tanya Ana.

Pak Radit masih dalam mode emosi. Terlihat saat menatap ponselnya dengan mulut komat kamit.

"Kenapa Papa?" tanya Ana lagi.

"Papa kalah tender, Ana. Rencana besar Papa gagal total. Papa rugi milyaran rupiah. Tapi, Papa bisa menutup kerugian itu jika salah satu syarat dari mereka bisa Papa penuhi." jawab Pak Radit.

"Apa syaratnya Pa?" tanya Ana penasaran.

"Lebih baik kamu tak perlu tau. Toh kamu juga takkan setuju dengan syarat itu."

"Katakan Pa!" seru Ana.

"Kamu harus menikah dengan putra kedua mereka. Mereka akan melepas tender itu untuk Papa jika persyaratan itu terpenuhi. Kamu tak bisa kan? Sudah Papa duga. Jadi jangan..."

"Aku bersedia Pa. Segera atur pertemuan keluarga, Pa. Aku akan memenuhi permintaan mereka. Itu adalah perwujudan pengabdianku pada Papa." ujar Ana serius.

"Hah? Kamu serius, Ana? Papa agak ragu dengan syaratnya karena putra keduanya itu terkenal dingin orangnya. Kalo dijodohkan sama putra pertamanya, mungkin Papa setuju dari awal. Apa kamu yakin?"

"Jika belum dicoba, mana kita tau, Pa. Semoga aslinya tidak seperti itu." ujar Ana.

"Bagus. Itu jawaban yang Papa inginkan darimu!" kata Pak Radit.

Keesokan harinya, seperti biasa Ana melakukan aktivitas hariannya. Mandi, membuat sarapan, membereskan kamarnya, lalu bersiap menuju lokasi syuting. Sebenarnya ada ART yang menyajikan masakan untuknya. Tapi Ana selalu ingin sarapan dengan masakannya sendiri.

"Pagi Pa!" sapa Ana saat Pak Radit hendak duduk di kursi makan.

"Pagi! Hari ini kamu ada waktu?" kata Pak Radit mode serius.

"Nanti siang jam 1 mungkin Ana sudah free. Ada apa Pa?"

"Bisa ikut makan siang bareng Papa? Papa ingin kenalin kamu dengan calon suamimu. Itupun jika kalian sama-sama cocok. Jika tidak, Papa juga nggak maksain. Masih ada cara untuk melanjutkan bisnis." ujar Pak Radit sambil menuang nasi ke piringnya.

"Siap Pa. Nanti Ana akan ikut makan siang bareng Papa. Ketemuan dimana Pa?" tanya Ana.

"Nanti biar supir Papa yang jemput kamu!"

"Oh oke!" kata Ana.

Mereka pun makan dalam diam. Ana merasa tak perlu lagi menanyakan lebih jauh mengenai pria yang akan Papa kenalkan untuknya. Toh nanti mereka akan bertemu secara langsung dan bisa saling bertanya jawab.

Selesai sarapan, Ana bergegas pergi ke lokasi syuting. Kali ini diantar oleh Pak Kiman. Tentu saja sebelumnya Ana menolaknya. Karena ingat jika semalam Pak Kiman sudah curhat dimarahi Pak Radit, akhirnya Ana menyetujui untuk diantar Pak Kiman. Dengan syarat diantar dalam radius 100 meter dari lokasi syuting.

Setibanya di lokasi syuting, Ana langsung menemui tim wardrobe untuk ganti baju sesuai adegan syuting yang akan dijalani. Di sana sudah ada Alana yang tengah membaca naskah didampingi asisten pribadinya.

"Eh ada Ana! Baru datang yah? Pasti jalan kaki lagi ya? Pasti capek juga kan? Ya kan? Mau minum jus jeruk bekalku?" seru Alana caper karena banyak orang di sana.

"Tidak usah. Aku sudah minum jus tadi di rumah. Jalan kaki kan sekalian olahraga. Biar tubuhku selalu fit dan bugar. Sekaligus sebagai diet yang sehat!" kata Ana dengan penuh percaya diri.

"Wow, slogan yang keren. Mulai besok, aku akan ikutin cara hidup sehatmu deh!" seru Didi, seorang MUA yang dikenal kemayu.

"Ah bagus juga. Tapi kan capek ya guys!" ujar Alana membuang muka, menyembunyikan kekesalannya.

"Hanya untuk yang mampu saja!" kata Ana tegas.

Pria Dingin itu Jodohku?

Siang mulai terik. Panas matahari semakin menyengat mengenai kulit. Ana yang telah menyelesaikan syutingnya, segera ke ruang wardrobe untuk ganti baju. Ia ingat akan janji makan siangnya bersama Papa tercinta.

"Kamu nggak ikut acara makan siang yang sudah dijadwalkan Sutradara? Semuanya ikut loh, Alana bahkan juga menyempatkan untuk ikut." kata Hendra, salah satu kru film.

"Oh maaf, aku nggak bisa ikut. Aku sudah ada janji dengan keluargaku. Lain kali kalo ada kesempatan lagi, aku pastikan ikut. Yaudah, selamat makan siang dan bersenang-senang. Aku pergi dulu!" ujar Ana.

Ana meninggalkan lokasi syuting. Ia sempat mendengar bisik-bisik yang membicarakannya karena tak ikut makan siang bersama dan pulang duluan. Tapi diabaikannya, karena ia sudah ada janji dengan sang Papa.

Ia berjalan sembari mencari mobil jemputannya. Ia ingat bahwa supir Papanya akan menjemputnya. Dan benar, mobilnya sudah terparkir di bahu jalan. Agak jauh dari lokasi syuting berada.

Pak Budi, supir Pak Radit membukakan pintu mobil untuk Ana. Sebelum masuk, Ana mengamati keadaan sekitar. Setelah aman, ia segera masuk ke dalam mobil. Lalu menyuruh Pak Budi segera melajukan mobilnya menuju lokasi makan siang yang sudah ditentukan oleh Papanya.

"Kita kemana ini Pak?" tanya Ana.

"Kita ke kantor Novero, Non Ana." jawab Pak Budi.

"Bukan ke restoran atau kantor Papa ya Pak?" tanya Ana lagi.

"Bukan Non. Tadi Tuan Besar menyuruh saya mengantar Non Ana ke sana. Apa Non mau konfirmasi dulu ke Tuan Besar?"

"Ah tidak usah, Pak. Bapak antarkan saja saya ke tempat yang Papa tentukan!" seru Ana.

Ana mengambil ponselnya di tas. Ia mencari tau tentang silsilah keluarga Novero. Termasuk siapa pria yang akan dijodohkan dengannya. Yapi berkali-kali mencari di internet, ia tak menemukan informasi terkait putra kedua dari keluarga Novero.

"Apa ini? Masa tak ada informasi sama sekali tentang orang ini? Putra pertama saja yang bisa dilacak. Itupun hanya informasi nama saja. Tak ada informasi lainnya. Tertutup sekali. Apa Papa salah memberikan informasi?" lirih Ana sambil memegangi ponselnya.

Lima belas menit, mobil yang ditumpangi Ana telah sampai di lobby kantor Novero. Ia segera menemui resepsionis untuk menanyakan dimana ia harus bertemu dengan Papanya. Lalu ia segera menuju ke ruang pertemuan rapat, sesuai informasi dari sang resepsionis.

Sebelum memasuki ruang pertemuan rapat, Ana menuju toilet terlebih dahulu. Ia merapikan penampilannya, termasuk berganti pakaian yang lebih sesuai untuk pertemuan penting. Mengingat Papanya adalah orang penting dan terhormat, tak mungkin ia hanya berpakaian asal seperti saat ia berangkat ke lokasi syuting.

Berbalut dress lengan panjang selutut dengan aksen pita besar di bagian belakang, ia terlihat berbeda dari sebelumnya. Tampak mewah. Terlebih dengan make up natural yang semakin menambah kecantikannya.

"Permisi!" seru Ana saat mengetuk pintu ruang pertemuan rapat.

"Masuk!" seru seseorang dari dalam.

Ana pun memasuki ruangan itu. Ia membungkukkan sedikit badannya seraya tersenyum. Ia melihat ada Papanya, seorang pria paruh baya yang seumuran dengan Papanya, dan seorang lagi yang seumuran dengannya. Jelas Ana mengenal siapa pria yang seumuran dengannya itu. Dialah Anton Novero. Pria dingin yang pernah ia temui di lokasi syuting, sahabat Alana. Ana berpura-pura tak mengenal Anton.

Ana langsung menyalami Papanya, teman Papanya, dan pria bernama Anton. Lalu ia memilih duduk di sebelah Papanya.

"Kamu Ananda Ranita? Wah, sudah berubah menjadi gadis yang sangat cantik yah? Dulu seingat Om tuh, kamu masih TK kalo nggak salah. Oh iya, ini putra kedua Om. Namanya Anton Novero. Dulu kalian itu sempat akrab pas masih kecil. Uhm, saat itu Anton kelas 2 SD pas kamu masih TK." kata Pak Mirza Novero.

"Iya Om. Tapi maaf, Ana tak ingat pernah akrab dengan anak Om." ujar Ana.

Ana melirik ke arah Anton yang juga menatapnya tajam. Ana berasa ngeri ditatap setajam itu oleh Anton. Ia penasaran apakah dulunya ia pernah berbuat salah pada Anton hingga diperlakukan sedingin itu. Tanpa sepatah kata pun, sudah mampu membuat Ana bergidik ngeri.

"Nak, dialah gadis pilihan Papa yang akan menjadi calon istrimu. Calon yang sudah Papa tetapkan buatmu, bukanlah orang sembarangan. Bibit bobot dan bebetnya sudah jelas, bukan? Dia berasal dari keluarga baik-baik. Bahkan Papanya pun adalah sahabat Papa juga." bisik Pak Mirza pada Anton.

Sejatinya Anton ingin menolak mentah-mentah perjodohan yang dibuat Papanya secara sepihak untuknya. Tapi ia tak punya kuasa. Bisa mati jika ia sampai dicoret dari Kartu Keluarga. Lain ceritanya jika ia sudah punya segalanya seperti sang kakak. Sudah pasti bisa melakukan apa saja sesuai keinginan.

"Anton!" kata Anton sembari menjulurkan tangannya kepada Ana.

Dengan senang hati, Ana membalas uluran tangan Anton.

"Ana!" balas Ana dengan senyum manisnya.

"Jadi bagaimana, Mirza?" tanya Pak Radit.

"Aku serahkan keputusan akhirnya pada putraku dan putri cantikmu itu." jawab Pak Mirza.

Sesaat Ana dan Anton terdiam. Saling memandang tanpa kata.

"Aku setuju, Pa!" seru Anton.

"Apa?" tanya Ana tak percaya.

Pasalnya Ana berpikir bahwa Anton pasti akan menolaknya. Secara, pandangan mata terhadap dirinya sangatlah dingin. Seperti sedang menahan kekesalan yang berakhir dendam.

"Nak, Anton setuju untuk menikah denganmu!" kata Pak Mirza menegaskan jawaban Anton.

"Apa tidak..."

Belum selesai Ana bicara, sudah dipotong oleh Anton.

"Kami akan menikah sesuai rencana Papa dan Om Radit." kata Anton serius.

Kali ini tatapan mata Anton pada Ana tidak sedingin sebelumnya. Anton lebih terlihat santai dan ramah.

"Ana, maukah kau menikah denganku?" tanya Anton.

Ana gelagapan dengan pertanyaan Anton. Ia terkejut sekaligus bingung harus menjawab apa.

"Baiklah. Aku mau!" jawab Ana setelah melihat Papanya menganggukkan kepalanya.

"Oke. Berarti kalian sama-sama mau ya? Jadi kapan sebaiknya kalian akan menikah?" tanya Pak Radit.

"Iya, kapan kalian akan menikah?" tanya Pak Mirza.

"Cepat atau lambat, rencana pernikahan kami sudah diatur. Jadi tak masalah jika dilakukan dalam waktu dekat. Bukan begitu, Ana?" tanya Anton pada Ana.

"Ya, kamu benar." jawab Ana.

'Aku rasa dia gila. Semudah itu menyegerakan pernikahan. Padahal sudah jelas ia menolakku mentah-mentah jika diperhatikan dari caranya menatapku. Dan aku pun, kenapa membenarkannya begitu saja. Bodoh!' batin Ana.

"Ana, mulai sekarang kamu harus sering-sering bertemu dengan Anton yah! Ada banyak hal yang akan kalian lakukan bersama menjelang pernikahan. Dengan begitu, selain kalian lebih akrab, kemungkinan besar tumbuhnya cinta akan semakin cepat. Om harap kamu tak keberatan. Dan Anton, mulai sekarang kamu harus antar jemput Ana kemanapun dia pergi. Kalo perlu untuk syuting, kamu juga yang harus antar jemput. Bisa kan?" tanya Pak Radit.

"Bisa Om!" jawab Ana.

"Iya Pa." jawab Anton.

Pembicaraan pernikahan sudah mencapai kesepakatan dan tinggal menjalankan proses serta hasil akhirnya. Selanjutnya mereka menikmati hidangan yang sudah tersaji di meja itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!