PROLOG
Kusuma, salah satu klan keluarga ningrat dari Solo. Pada generasi kedua trah Danarhadi, kualitas adab para keturunannya berubah drastis, sangat religius juga kian santun.
Perubahan gaya didik dan tatar tata krama yang di usung, berimbas pada pencitraan keluarga Kusuma menjadi semakin baik.
Dianugerahi rupa cantik menawan nan anggun, juga ketampanan sundul langit tidak menjadikan cicit keturunan Kusuma dari garis nasab Danarhadi menjadi pribadi ujub dan zuhud, meski asset kekayaan melimpah.
Inilah, kisah cinta para keturunan Kusuma generasi ketiga. Akankah keteguhan aqidah yang diturunkan oleh pendahulunya masih sanggup melawan godaan dunia.
...***...
Jakarta.
Tidak ada yang dapat menduga bahwa siang itu akan terjadi keributan besar di sekitar Senayan.
Demo mahasiswa yang digadang akan berjalan damai pun berubah ricuh sebab ditunggangi oleh oknum penyusup sehingga isu untuk memicu kekerasan menyeruak, menghantarkan hawa kebencian publik terhadap penguasa. Massa yang berbondong, brutal berlomba seakan diri paling kuat hingga dominan menguasai beberapa titik penting di Ibu kota.
Mahya Humaira, gadis ayu berusia 23 tahun tengah bertugas mengawal keselamatan seorang guru, Ustadzah Aminah Al-Kahf. Dalam satu kajian akbar khusus para akhwat di gedung PRJ yang berlokasi di sekitar kawasan Senayan.
Saat suhu emosi demonstran mulai menyurut. Maira begitulah dia dipanggil, memulai misi evakuasi bagi para rombongan pengisi acara.
Tanpa di nyana oleh sang gadis, saat iringan mobil para pendakwah melintas kawasan ekstrim, laju roda empat mereka di jegal sekumpulan massa. Merasa punya andil juga tanggung jawab besar yang Ayahnya limpahkan, Maira pun turun bersama tiga orang pendamping.
Terjadi ketegangan di sana, namun sang putri Mahendra Guna tak gentar. Dia menawarkan sebuah opsi agar rombongan dapat melintas leluasa.
Baru saja terjadi kesepakatan perdamaian, amukan massa lain dari sayap kiri menerobos jalur alternatif yang Maira gunakan saat ini.
Baku tembak, peluru karet juga lemparan gas air mata oleh petugas keamanan tak terhindarkan. Dengan sigap, sang kapten mengkomandokan agar driver mundur sejauh yang mereka bisa capai.
Suasana mencekam. Terdengar pekikan suara takbir dari dalam mobil. "Allahu akbar!" Ketiga pendamping Maira, berusaha membantu kedua kubu agar kembali tenang. Melambaikan kode bahwa banyak warga sipil di sana.
Tiba-tiba. "Maira, awas!" teriak salah satu akhwat.
"Kapten!" suara rekan satunya.
Glatraaakkk. Wuuusshhhzzzz.
Lemparan gas air mata tepat di samping Maira yang tengah berlindung. Tangan ramping itu pun menutup masker pelindung keamanan yang melekat di wajah seraya menghindar.
Tubuh sang kapten melemas, ia sempat menghirup udara beracun di sekitarnya tadi. Cairan gas air mata menembus masker yang dikenakan.
Keringat dingin mengucur dari balik hijab tertutup masker, bercampur air mata menembus netra, perih. Wajah ayu Maira pias, tak menampik bahwa ketakutan hebat hadir sesaat tadi.
"Capt, gak apa?" tanya akhwat ketiga.
"Gak apa ... yuk, mundur pelan lalu memutar satu blok menyusuri jalan sempit sesuai maps evakuasi plan C. GO ... GO...." Maira menaikkan jemari telunjuk kanannya tinggi, memutar tiga kali di udara, isyarat agar laskar yang dipimpinnya berbalik arah.
Merasa harus menenangkan sang guru, kapten pun mendekat pada mobil iringan pertama. Dia meminta driver menurunkan kaca pintu tengah. "Ustadzah, afwan. Ana berusaha mencari jalan aman, mohon doa agar evakuasi tak berlangsung lama. In sya Allah bisa keluar dari jalur ini, meski harus memutar satu block," tutur Maira setenang mungkin agar sang guru tidak khawatir.
"Ya Kheir, Maira. Hanya Allah, sebaik-baik pemilik rencana juga pemutus takdir. Hati-hati, doaku selalu menyertai. Jazakillah kheir Maira," ucap sang guru mengelus pipi Mahya Humaira lembut.
Misi pun dilanjutkan. Microphone miliknya yang tersambung dengan sang asisten Mahendra mengudara. "Nona, Anda punya waktu selama lima belas menit pada lajur plan C. Lekas," suara Adnan menuntun sang kapten amatir.
"Gotcha ... thanks," balas Maira bergegas. Dia berlari diikuti rekannya, mulai meraih pis-tol dari balik rompi belakang.
Berkat aksi sigap, mereka lolos dari amukan massa. Ujung jalan raya sudah terlihat, para akhwat bercadar yang dilengkapi peralatan canggih oleh Mahendra pun mulai turun mengawal iringan ketiga mobil keluar dari sana.
"Alhamdulillah, jalan," ucap Maira menginstruksikan pada kedua driver untuk segera melaju.
Dia dan ketiga rekan inti masih menunggu satu mobil yang tertinggal.
Dor. Dor. Dor.
Duumm.
Lokasi ini masih tak aman, wajar karena mereka hanya memutar arah menyusuri gang sempit sekitar Senayan.
"Come on, come on." Maira cemas, suara kerusuhan kian kentara terdengar mendekat.
"Dia grogi Mai, driver baru kayaknya, takut amat sremped padahal situasi genting," keluh sang rekan kedua pada Maira, saat melihat mobil berusaha melewati gang yang hanya muat satu kendaraan.
"We did it!" tegas Maira meyakinkan dirinya.
"Trabaaaaassss!" akhwat ketiga berteriak.
"Mai ... Mai lihat, mepet Mai," tepuknya pada lengan kanan Maira, satu persatu pendemo mulai datang.
"Gooooooo," suara Maira, lega ketika mobil ketiga lolos dan sudah melaju meninggalkan lokasi. Keempat laskar wanita muda itu berlari membaur dengan massa, tak mungkin menghentikan kendaraan tadi saat seperti ini. Biarlah mereka mengawal seraya berlari.
"Mairaaaaaaa, awas!" suara akhwat ketiga. Tubuh wanita itu menabrak Maira yang tengah mengevakuasi mahasiswi sebab ia terjatuh dan diinjak massa.
Brughh. Boom.
"Mairaaaaaa!" rekan kedua, Anis berseru.
"Khadijaaaaaahhh! Kapt!" giliran Elma berteriak tak kalah lantang kala kedua rekannya rubuh disamping tubuh sang mahasiswi.
Kedua pendamping sang kapten, menarik ketiga tubuh yang terkapar di jalan raya. Dengan menahan isak tangis, mereka mengevakuasi kedua rekannya. Bersembunyi ke sisi tembok rumah penduduk.
Peluru karet masih bersliweran. Sungguh situasi antara hidup dan mati. Tak lama, keamanan pun datang, juga tenaga medis membantu mereka.
"Identitas?" seru seorang polisi yang menghampiri mereka seraya menodongkan senjata laras panjang.
"Kami bodyguard dari Eye-Shadow, tengah menjalankan misi pengawalan untuk seorang guru dan terjebak huru hara," sahut rekan kedua Maira, menunjukkan gelang identitas.
"Ok, evakuasi mereka," titah sang komandan pada para anak buahnya.
"Lapor Komandan, kapten dan satu rekan terluka. Kami sedang di evakuasi oleh petugas keamanan. Rombongan Ustadzah telah lolos dari red zone." Akhwat kedua yang bernama Anis, melaporkan pada Adnan lewat microphone di jaket Maira.
Sementara di tempat lain.
Mahendra hanya diam, mendengar suara Anis yang melaporkan bahwa putrinya terluka. Dia sudah menduga ini akan terjadi suatu saat nanti. Dan kini, hatinya harus siap.
"Bos," Adnan menatap sang pimpinan.
"Jangan bilang pada Naya. Aku akan melihat putriku," ujar Mahendra bangkit, keluar ruangan komando menuju titik demo juga evakuasi korban.
"Bos, aku ikut." Adnan membawa pistol mini rakitan miliknya, menyelipkan di ujung celana seraya menyusul langkah sang pimpinan.
"Maira, jangan terluka parah, Sayang. Kamu adalah cinta kedua Ayah setelah Bunda," lirih Mahendra Guna sembari membuka handle pintu mobil.
Satu jam yang sulit di tembus.
Kedua pria tegap akhirnya tiba dirumah sakit dimana Maira mendapat perawatan medis. Terlihat di kejauhan, dua rekan Eye-Shadow saling memeluk erat, mereka menangis histeris.
"Ada apa ini? di mana putriku?" tanya Mahendra saat menghampiri pasukan akhwat miliknya.
"Bos, kap-ten...," isak Anis tak dapat meneruskan kalimatnya.
"Maira kenapa? Jangan katakan bahwa putriku," gumam Mahendra, sekelebat pikiran buruk menyergap benaknya seketika. Bayangan kehilangan Maira, menjadi petaka yang harus ia tanggung.
"DIMANA MAIRA!" giliran Adnan berteriak. Dia, yang mendidik Maira hingga mahir mengunci dan membidik target menggunakan pis-tol. Ia pasti merasa terpukul jika gadis ayu itu terluka.
"Mai-ra. Dia...," ucap Elma terbata.
.
.
...________________________...
"Mai-ra ... ia...." ucap Elma terbata. Dia merasa harus menjelaskan kronologi pada sang pimpinan.
Mahendra mendengarkan seksama penuturan Elma namun karena tak sabar, ia menerobos pintu instalasi gawat darurat, meyakini bahwa putrinya masih didalam ruangan itu.
"Maira? suster, dimana pasien bernama Maira? korban evakuasi kerusuhan Senayan?" tanya Mahen pada suster jaga.
Petugas medis berusaha menenangkan pria asing yang menyelinap masuk. Mengatakan padanya bahwa mereka tengah mengupayakan tindakan medis terbaik bagi para korban.
Mahen tak punya pilihan, dia patuh mengikuti arahan suster agar menunggu sejenak di luar ruangan.
Adnan menghampiri pria yang melangkah gontai keluar dari ruangan dengan pintu bergaris merah itu. "Bos, Khadijah," ucap Adnan tak menyelesaikan kalimat.
"Kenapa dengan co-capt?" tanya pimpinan Eye-shadow menatap tajam Adnan.
"Khadijah, tidak dapat bertahan. Gadis itu kehilangan banyak darah di kepalanya akibat benturan dengan aspal jalan saat melindungi mahasiswi yang Maira tolong," ujar Adnan, mengcopy paste pernyataan Elma juga Anis.
Mahendra tercenung. Benar apa kata Naya, laskar akhwat yang ia bentuk atas permintaan Maira belum sepenuhnya siap. Beberapa misi telah dilewati dengan gemilang namun kejadian ini menjadi pelajaran mahal bagi dirinya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Dimana jenazahnya?" Mahen meraup wajah kasar, urung duduk di lorong ruang tunggu.
"Sedang di urus pihak rumah sakit dengan pengawalan berkas oleh Anis. Khadijah ini tidak memiliki keluarga, Bos. Selanjutnya bagaimana?" ujar Adnan menunggu perintah dari pimpinannya.
"Kebumikan di komplek pemakaman milik Shadow, sayap kanan khusus akhwat. Beritakan ini pada komunitas ... Mahasiswi itu bagaimana?" sambung Mahen, jantungnya berdegup kencang memikirkan nasib putri sulungnya.
"Kritis Bos. Sudah di ICU," tandas Adnan, asisten pribadi mantan petinggi Exona.
Kriing.
Saat akan kembali mencari tahu lebih lanjut, tubuhnya seketika membeku. Satu nama muncul dilayar gawai dalam genggaman.
"Naya ... ya Sayang," sapa Mahen sedikit khawatir akan reaksinya.
"Abang, di-mana Mai-ra ku?" suara bergetar Naya di ujung sana.
"Rumah sakit, honey do'akan putri kita ya," Mahen berat mengatakan bahwa dia juga terpukul.
"Aku bo-leh nyu-sulin ke sa-na?" tanya ibunda Maira terbata, ia berusaha tenang meski hati dilanda panik.
"Nanti saja, biar aku memastikan kondisinya. Baby, maafkan aku," suara lelaki maskulin meski usia tak lagi muda itu kini pecah, parau tak kalah gemetar dibanding istrinya.
"Kita bisa melewati ini. Bukan salah Abang, aku percaya padamu ... Sayang, jangan salahkan diri sendiri, ya," Naya berusaha menularkan ketegaran meski ia pun rapuh. Dirinya tak ingin sang suami merasa bersalah atas kejadian di luar kendali yang menimpa putri mereka.
Kalimat menenangkan dari Naya banyak berpengaruh pada mental Mahendra, ia lebih tenang menjalani ini setelah panggilan yang berlangsung beberapa menit tadi, berakhir.
Hingga beberapa jam kedepan, kondisi serupa tak banyak mengalami perubahan. Maira masih di ruang operasi.
Adnan, dan dua rekan putrinya telah kembali mengurus segala keperluan di markas sebagai penghormatan bagi Khadijah yang wafat saat bertugas. Kini, seorang diri bagai tengah menunggu putusan hakim yang akan menetapkan hukuman padanya, Mahendra gelisah.
Hening.
Hingga..
Suara suster membuyarkan lamunan ayah dua anak itu.
"Wali Nona Maira," panggilan untuk Mahendra.
Ayah sang pasien pun bangkit berdiri, menghampiri sosok berseragam putih di depan pintu pejuang kehidupan.
"Ya suster, aku Ayahnya. Bagaimana kondisi putriku, Maira?" tanya Mahen tak sabar.
"Nona Mahya Humaira mengalami cedera dua tulang rusuk, memar pada pinggang juga retak di tungkai kanan. Terdapat sedikit gumpalan darah di otak namun kami telah melakukan tindakan yang diperlukan. Kini pasien akan menjalani masa observasi dalam ruangan ICU selama 24 jam. Mari sama-sama berdoa agar kita dapat melewati ini semua," terang suster, seraya memberikan beberapa berkas untuk Mahen tanda tangani.
Suami Naya tak kuasa menahan pedih atas kondisi putrinya. Ia limbung dan goyah jika saja Adnan tak lekas menopang tubuh tegap itu.
"Innalillahi, apa yang sudah aku perbuat? menghantarkan nyawa putriku sendiri, Ad," sesal Mahen, setitik bulir bening menyembul dari ujung netra.
Adnan tak kalah bingung, ada rasa penyesalan menelisik hatinya.
Hari menjelang sore, ia pun izin kembali pulang pada Adnan untuk menjelaskan pada keluarga juga menyapa anggota team di markas Shadow.
Dua jam berlalu.
Setelah menyambangi markas team besutannya, mengucapkan belasungkawa juga terimakasih. Tak lupa memohon doa untuk Maira, CEO Guna Farm.id kembali pulang ke Orchid hills.
Biiipp. Pintu apartemen mewah terbuka.
"Assalamu'alaikum." Mahen melangkah masuk, memberi salam.
Naya dan putra kedua mereka, Mifyaz Ajmi, menyambut kedatangan sang kepala keluarga.
"Wa'alaikumussaalaam," sahut Ibu dan anak, bersamaan menjawab salam.
Tak banyak kata, melihat Naya menatapnya sendu, lelaki itu langsung memeluk erat. Menumpahkan sesak dan penyesalan di bahu kekasih hati.
"Maaf Baby, maafkan aku." Tangisan kedua Mahen, setelah sekian lama tak Naya dengar, kini harus dia saksikan lagi.
Naya masih ingat ketika pria pujaan menemani saat persalinan Maira. Dia gelisah, bahkan terlihat tak tega kala istrinya itu menahan rasa mulas hebat akibat kontraksi selama tiga hari hingga jelang kelahiran Maira, penuh drama.
Saat bayi merah nan jelita itu lahir. Mahendra menangis, ia tak memedulikan putrinya saat itu. Fokus hanya pada Naya. Berkali ia mengucapkan terimakasih disertai isakan haru karena istri kecil ini telah gigih berjuang menghantar anak pertama mereka lahir ke dunia.
Kini, situasinya terbalik, lelaki gagah sandaran keluarga menangisi sang putri sulung kebanggaannya. Cicit idola keluarga besar Kusuma.
"Ayah ... Kakak?" suara Ayaz, memecah keharuan.
"Do'akan yang terbaik untuk Kakak, ya Dek. Maira pasti bisa namun kita harus siap dengan segala resiko," Naya berucap lembut, pada sang putra bungsu.
Mahendra hanya mengusap kepala putranya sayang, netra sipit itu basah dan masih mengembun. Dia berlalu setelah menepuk bahu sang putra.
"Sayang, kamu saja yang mengabarkan pada keluarga besar. Aku...." pinta Mahen pada Naya sebelum ia masuk ke kamar.
"Bersama, ayo. Maira butuh kita semua," ujar Naya berusaha menguatkan, ia menarik lembut lengan suaminya.
Akhirnya Mahen mengikuti permintaan sang pujaan hati. Mereka duduk di ruang keluarga sambil berpelukan erat saat ia mulai mengetik sebuah pesan.
Grup Chat Kusuma.
"Assalamu'alaikum warohmatullah. Semoga semua keturunan Kusuma dalam keadaan afiat, aamiin. Bismillah ... mewakili keluarga, aku ingin mengabarkan berita duka ... mohon doa dari semua ya agar Maira kami dapat melewati masa kritis. Dia sedang menjalankan tugas mengawal seorang guru mulia namun terjadi kerusuhan di sekitar kawasan yang dia lewati ... do'akan putriku kembali pada kami, sama-sama kita bujuk Allah. Terimakasih banyak."
Jemari Mahen bergetar kala menekan satu persatu tuts diatas layar gawainya. Setelah memastikan pesan terkirim, ia meletakkan ponsel pintar itu di atas meja. Memilih saling memeluk.
Chat grup Kusuma.
"Wa'alaikumussaalaam. Innalillahi ... Mas, Abah call ya." Abah menanggapi.
"Wa'alaikumussaalaam. Ya Allah, Mas Panji." Abyan, Amir juga Gamal riuh menanggapi pesan sang ipar di dalam grup, namun tak satupun Mahen respon.
Kriing.
Kriing.
Kriing.
Mereka masih mengabaikan panggilan yang silih berganti masuk ke ponsel Mahen.
Hingga.
Kriing. Ponsel Mifyaz berdering kencang.
Mifyaz Ajmi menyingkir dari dekapan kedua orang tuanya, merasa harus memberikan klarifikasi agar keluarga sedikit lebih tenang. Ayaz lalu menerima panggilan dari Fayyadh.
"Assalamu'alaikum. Yaz, Maira dimana? kasih tahu Mas Fayyadh, lekas," ujar putra sulung Amir, sepupu mereka.
"Wa'alaikumsalam. Kata Ayah, do'akan kakak saja. Kalian jangan khawatir ... Mas Fayyadh kirim doa ya, hafiz itu memiliki keutamaan di mata Allah. Doa-kan Ka-kak a-ku," ucap Ayaz terbata dihimpit pedih, tak ia pungkiri, kepribadian Maira yang energik, lembut juga riang, sangat berpengaruh pada perilakunya.
"Ayaz! Yaz....!" Fayyadh gusar.
"Jangan pulang, Mas. Kan bentar lagi ujian. Do'ain aja ya, Assalamu'alaikum." Ayaz memutus panggilan sepihak.
Fayyadh kesal, ia melempar ponselnya ke atas ranjang. Namun sejurus kemudian mengambil kembali benda pipih itu. Kali ini dirinya akan meminta izin pada Aiswa, untuk pulang sejenak melihat Maira.
"Umma, boleh ya," pintanya saat menghubungi ibunda di tanah air.
"Ya kheir, syukron. Hanya Umma yang ngerti aku ... iya janji," ujarnya senang dengan senyum mengembang di wajah.
Setelah panggilan terputus, lelaki muda nan tampan, mengepak baju dan laptop serta beberapa buku juga mushaf ke dalam ransel. Dia bergegas keluar flat, untuk menuju Bandara.
"Maira, aku pulang...." ucap Fayyadh dalam hati saat mengingat wajah ayu itu.
.
.
..._______________________...
...Hmmm, mau nyelipin adab ringan aja disini. Yang masuk buat anak muda. Ringan, gak berat kek biasanya 🤭...
"Maira, aku pulang...." ucap Fayyadh dalam hati saat mengingat wajah ayu itu.
Perjalanan panjang dia tempuh dalam waktu sepuluh jam berhasil dilewati, tubuhnya lelah saat Fayyadh tiba di Tazkiya, kediaman sang nenek dari jalur ummanya.
Dia memilih beristirahat lebih dahulu sebelum mencari tahu rumah sakit dimana Maira dirawat.
"Tengah malam, tidur dulu lah biar esok tenang dan segar," ucap Fayyadh kala memasukkan kunci pintu depan dan membukanya perlahan.
Semua penghuni kediaman jiddah telah lelap di peraduan masing-masing. Namun samar terdengar suara dari arah dapur saat Fayyadh akan membuka pintu kamar yang dulu di tempati Aiswa.
Anak sulung Amir dan Aiswa, mendekati sumber suara.
"Jiddah? ko belum tidur?" tanya Fayyadh menyembul dari penghubung pintu dapur.
"Loh, Fayyadh? pulang? sama siapa, Nak?" sang nenek terkejut mendapati cucunya ada di Jakarta.
Fayyadh menghampiri, mencium telapak tangan juga dahi Maryam, tak lupa mendekap erat tubuh senja neneknya.
"Kelakuan persis Abinya tapi suka berontak macam umma, ya Fayyadh," sindir Maryam mendapat perlakuan manis dari sang cucu kesayangan.
"Namanya juga hasil kerjasama dalam hal pembibitan juga pemeliharaan ya pasti duplikasi lah, jiddah ... kata umma, judesnya Fayyadh nurun dari jiddah," kekeh pemuda tampan keturunan Tazkiya.
"Bisa aja jawabnya kan ... Fayyadh pulang mau lihat Maira?" tanya Maryam seraya melerai pelukan.
"He em, bareng Jiddah yuk. Lagian ayah Mahen kok kasih Maira izin sih. Kan sayang ya cantik begitu, mainannya senjata," protesnya sambil menarik kursi meja makan.
Maryam hanya menghela nafas. "Mahen itu kan dari dulu memang punya bakat melatih para pemuda untuk menjadi pengawal, anak jalanan dia dididik, disekolahkan agar mandiri sesuai dunia yang dia tahu dan mampu. Maslahat juga sih, apalagi bodyguard wanita tapi punya bakat dan ahli kan masih jarang, lagipula Maira di kelilingi oleh orang-orang demikian. Menurut jiddah bukan salah Mahen," ungkap sang nenek.
"Tapi kan Jiddah, tetap saja bukan kodratnya...."
"Kodrat wanita itu cuma dua, haid dan melahirkan sepaket dengan menyusui, lainnya itu skill, bakat, kemampuan sebagai nilai plus. Kamu lupa, siapa pejuang dari kaum hawa yang rela syahid waktu Rosulullah Perang Uhud, Khaibar, Hunain juga Yamamah?" desak Maryam, ia kurang suka jika Fayyadh hanya menilik kasar atas apa yang dilihat.
Fayyadh diam. Telak terpukul oleh ucapan jiddah nya.
"Nusaibah binti Ka'ab, wanita tangguh perisai Rosulullah yang merelakan suami juga putranya jihad bersama memerangi musuh. Jiddah, menangkap keinginan Maira. Dia lahir di lingkungan demikian bukan tanpa maksud, Fayyadh."
"... dan Mahen mengabulkan juga bukan karena alasan sepele. Maira pasti menginginkan dirinya tangguh seperti sahabiyah wanita. Punya orang tua istimewa, kamu tahu ayah Mahen bukan? jasanya banyak bagi leluhur juga pemerintah, bahkan Bunda Naya, idola kalian itupun sama ... Maira, titisan mereka, Fayyadh, keturunan Kusuma," terang Maryam panjang lebar. Dirinya langsung menemui Naya dengan Abuya mendengarkan alasan dibalik semua tragedi ini, saat menerima panggilan dari Mifyaz yang memohon doa.
Huft.
"Fayyadh paham sih jiddah, tapi kan apa gak eman gitu. Maira kan?" kilah putra sulung Amir.
"Cantik, super cantik?"
Pemuda tampan itu mengangguk.
"Bidadari surga gak ada yang asal, Fayyadh. Maira berkeinginan menebus surga dengan jalan jihad seperti ini ... cinta pertama Maira, itu untuk dan milik Mahen. Kamu gak lihat, Maira ngidolain banget sang ayah? kamu suka dia tapi gak demen keinginannya jadi gimana?" sindir Maryam seraya menyesap tehnya.
Fayyadh tersenyum, ia menerima Maira sepenuhnya namun bilamana harus dengan jalan seperti ini, hatinya meragu.
"Jiddah, jangan bilang aku suka Maira ke semua ya," pintanya lagi.
"Gak bilang juga, semua tahu ko. Kamu ngefans sama dia," balas sang nenek.
"Ya gimana, lihat dia waktu latihan memanah ... beuuuhhh, gak ada obat, apalagi kalau sambil berkuda, sempurna...." kagumnya menerawang saat ia di ajak Mahendra ikut latihan di camp anak jalanan yang beliau kelola.
"Kan ... gak ada manusia yang sempurna Fayyadh. Typemu pengen kayak umma, wanita rumahan tapi saat ini Maira gak bisa, jiwanya petualang meski dia akan ikut perintah sang suami kelak ... gih sana, minta jodoh sama Allah, lalu istirahat ... jiddah mau lakukan hal yang sama, Maira juga cucuku," pungkas Maryam, berdiri dari kursi dan melangkah meninggalkan Fayyadh yang masih menyesap teh hangat.
Dalam sunyi ruang dapur, ditemani sisa ampas seduhan teh dalam cangkirnya. Pemuda tampan yang sebentar lagi menyelesaikan studi di King Saud itu merenung.
"Maira ... aku tahu ini adalah cita-citamu, ingin menjadi pejuang seperti para srikandi di jaman Rosulullah ... do'akan aku mampu agar sekufu denganmu yaa, Maira ku," lirih kakak kandung Aatirah juga Hanan, seraya bangkit dan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
...***...
Keesokan Pagi, RSPP.
Naya menyusul sang suami yang sejak semalam menginap di rumah sakit, didepan ruang ICU.
"Honey, gimana?" tanya Naya menyongsong Mahen yang berdiri menyambut kedatangan pengobat hatinya.
"Mifyaz mana?" ujar Mahen di sela dekapan.
"Sekolah, ku minta Pras menemani di rumah. Aku mengabarkan pada Kak Amir bahwa jika ingin mengetahui detail sikon Maira, hubungi Ayaz saja. Karena aku hanya akan membagi info padanya, supaya fokus dengan Abang dan Maira," ucap Naya, melerai pelukan.
Mahen hanya mengangguk, mencium sekilas bibir yang telah dia rasa selama puluhan tahun.
"Thanks Sayang, kamu sudah jadi tiang penguat aku," balas Mahen mengecup pucuk kepala.
"Makan dulu, bareng Pak Adnan, mana beliau?" Naya mengedarkan pandangan, tidak ada sosok bagai bayangan suaminya itu disekitar.
Tiba-tiba.
"Nyonya...." suara Adnan datang dari belakang tubuhnya.
Naya terkejut. "Astaghfirullah ... Pak Adnan kebiasaan iihh, suka muncul tiba-tiba tuh," keluhnya seraya mengusap dada.
"Lagian Nyonya, gak hafal-hafal, padahal puluhan tahun aku ikut Bos Mahen," kekehnya, mengangetkan Nyonya kecil sudah menjadi hiburan tersendiri bagi Adnan.
Mahen selalu saja tersenyum melihat kelakuan Naya jika terkejut karena kehadiran Adnan yang tiba-tiba.
"Ish, emak-emak hilang peka akibat banyak urat yang putus saat lahiran ... sarapan dulu gih, berdua sama Abang," cebiknya seraya memberikan kotak bekal pada kedua pria.
"Hasil observasi, jam sepuluh nanti kita harus menghadap dokter, Sayang. Semoga semua baik ya, cedera Maira gak serius," harapan Mahen meluncur seraya suapan pertama yang Naya sodorkan padanya.
Sementara Adnan menepi tak ingin mengganggu keromantisan yang tetap kedua majikannya jaga, meski disaat seperti ini.
Sesi sarapan berakhir.
Perjuangan mengunyah makanan tanpa rasa meski sejatinya hidangan yang dibawa Naya sangat menggugah selera namun tetap hambar bagi lidah Mahen.
Hasil observasi akan di bacakan oleh dokter, kini keduanya telah berada dalam ruangan serba putih dengan wangi khas desinfektan.
Mahendra mendengarkan seksama semua penjelasan detail dokter. Memeriksa berkas laporan medis yang sedikit ia ketahui. Lelaki paruh baya namun tetap maskulin itu banyak berdiskusi dengan tenaga medis khusus untuk menangani Maira.
"Innalillahi ... kemungkinan terburuk, Dok?"
Wanita berseragam serba putih itu mengangguk samar, putri mereka akan menjalani test lanjutan juga observasi kedua mulai hari ini.
"Masih belum dapat dipindah ke ruang perawatan ya Pak, harapan kami, Nona dapat melewati ini semua...." pungkas Dokter.
Kedua pasangan kemudian keluar dari sana, saling memeluk. Ketegaran Naya akhirnya goyah, dia menangis dipelukan Mahendra tepat saat Fayyadh datang menemui mereka di lorong penghubung ruang ICU.
"Bunda...." suara lembut itu terdengar, berlari mendekat.
Mahen terheran. "Kok Mas Fayyadh disini? kan mau ujian? Abi dan Umma tahu?" tanya nya ragu seraya menerima uluran tangan meminta salam, oleh pemuda itu.
"Tahu Yah, Fayyadh gak tenang, ingin lihat Maira. Dimana?" desaknya tak sabar.
"Do'ain ya Mas, do'ain Maira...." ujar Naya disela isakan.
"Kenapa ini, jangan bilang jika Maira ... Ayah? Bun?" tuntut Fayyadh lagi, ingin lekas mendapat jawaban.
"Dia, kemungkinan...." tangis Naya kembali pecah.
"Enggak ... gak boleh ... Maira, Maira...." Fayyadh berusaha mengingkari realita, dia memaksa masuk ke ruang ICU namun Mahen cegah. Lelaki itu lalu memeluk putra sulung kakak iparnya erat.
.
.
...______________________...
Jiddah : Panggilan untuk nenek, biasanya di gunakan pada keluarga Arab.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!