NovelToon NovelToon

Kawin Lari Dengan Janda Kembang

Tersayatnya Hati Ini

Hujan terus mengguyur membasahi tubuh wanita cantik bernama Melati. Ia berjalan dengan sangat lamban, sembari mengusap kedua lengannya secara menyilang.

Melati masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi, antara dirinya dengan suaminya yang bernama Martin. Sebelum ia berjalan di tengah hujan ini, ia sempat berbincang serius dengan Martin.

Saat itu, hujan masih belum turun. Melati sangat senang, karena ia hendak mengantarkan rantang makanan ke kantor tempat suaminya bekerja.

Melati melangkah dengan riangnya, karena hari ini adalah hari pertama suaminya diangkat menjadi seorang manajer di perusahaannya.

"Hari ini Mas Martin dipromosiin jadi manajer di perusahaannya. Aku harus semangatin dia, dan kasih makanan ke dia!" gumam Melati, sembari berjalan kaki menuju perusahaan tempat Martin bekerja.

Dengan penuh semangat, Melati melangkahkan kakinya menuju ke arah lobi kantor Martin. Langkahnya terhenti seketika, padahal ia masih jauh dari kantor Martin, dan belum sampai masuk ke dalam lobi kantor tersebut.

Melati tak sengaja melihat Martin, yang sedang bergandeng mesra dengan seorang wanita dengan pakaian yang sangat minim.

"Mas Martin? Dia sama siapa?" gumamnya, yang tak menyangka akan bertemu dengan Martin di jalan dekat kantornya.

Suasana hati Melati mendadak sendu, karena Martin yang sepertinya terlihat sangat bahagia ketika menggandeng mesra wanita itu.

Sementara itu, Martin sedang berbincang mesra sembari hendak masuk ke dalam sebuah mobil yang tidak Melati ketahui itu.

"Kita mau makan siang di mana, sayang?" tanya wanita sexy itu pada Martin.

"Terserah kamu aja, sayang. Aku akan traktir makan siang kali ini, karena ini adalah hari pertama aku menjabat jadi manajer. Kamu tinggal pilih aja, mau makan siang di mana kita hari ini," jawab Martin dengan sedikit rangkulan mesra terhadap wanita tersebut.

Pandangan wanita itu mendadak melunak di hadapan Martin, "Ah ... kamu baik banget, sih! Jadi tambah sayang deh sama kamu!" rayunya, dengan tangannya yang sengaja menyentuh dagu Martin dengan manja.

Martin tertawa kecil, "Aku juga semakin sayang dong sama kamu. Makin hari kamu makin cantik aja! Aku jadi tambah pengen bahagiain kamu!" ucap Martin juga dengan manja di hadapan wanita itu.

"Itu semua kan ... karena kamu yang selalu beliin aku alat make up yang mahal. Pasti dong aku tambah cantik sekarang!" ujarnya, "eh ngomong-ngomong, lipstick aku habis deh sayang. Bisa gak, habis selesai makan siang kita mampir beli lipstick dulu?" rayunya lagi, Martin semakin menatap dalam ke arah wanita bernama Ria itu.

"Boleh, dong! Makanya, makannya jangan lama-lama, ya. Biar kita gak telat masuk kantor, dan tetep bisa mampir beli lipstick yang kamu mau," ucap Martin dengan manis, membuat Ria semakin melebarkan senyumannya.

"Kamu bayarin, 'kan?" tanya Ria memastikan keadaannya.

Karena saking cintanya Martin dengan Ria, Martin pun hanya bisa mengangguk manja di hadapannya. Ia selalu ingin menuruti semua yang Ria inginkan, karena ia ingin sekali menjalin hubungan yang lebih serius dengan Ria.

"Yeay! Makasih sayang!" teriak Ria sedikit pelan, sembari memeluk Martin dengan sangat erat.

Melati sudah cukup mendengar apa yang mereka perbincangkan. Hatinya sangat tersayat, tubuhnya seketika menjadi lemas tak berdaya.

'Mas Martin kenapa seperti ini di belakang aku? Apa salah aku ke dia? Kenapa dia malah main dengan wanita lain di belakang aku?' batin Melati yang sangat tersayat setelah mendengar perbincangan mereka.

Dengan tekad yang kuat, Melati berusaha untuk menghampiri Martin dan wanita yang sama sekali tidak ia kenal itu. Langkahnya terhenti, ketika ia berhasil berdiri di hadapan mereka.

"Mas Martin!" panggil Melati, Martin dan Ria pun mendadak terkejut mendengar seseorang memanggil nama Martin.

Martin mendelik, ketika melihat sosok Melati yang tak lain adalah istrinya, yang kini sedang menangkap basah dirinya sedang mengencani wanita lain di belakangnya.

"Melati?! Kamu ngapain di sini?!" pekik Martin, tak percaya dengan Melati yang ada di hadapannya.

Air mata tak terbendung lagi dari pelupuk mata Melati. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang istri, sangat tidak dipedulikan oleh Martin.

"Kamu tega banget sih Mas, sama aku? Kenapa kamu malah main dengan wanita lain di belakang aku? Apa aku ada salah sama kamu, sampai kamu main gila di belakang aku?"

Melati terus menghujani pertanyaan kepada Martin, sehingga membuat Ria menjadi risih mendengarnya. Ria memasang tampang kesal, membuat Martin tidak enak hati dengan Ria.

'Duh, pasti dia bakalan ngambek kalau aku gak buru-buru selesaikan masalah ini sama Melati!' batin Martin, yang sangat memedulikan perasaan wanita yang masih ada di dalam rangkulannya itu.

"Kamu ngapain sih nanya-nanya pertanyaan yang gak jelas? Lagian, kamu ngapain juga ke sini, hah?" tanya sinis Martin, yang tak sengaja melihat sebuah rantang di tangan Melati.

PRANG!

Martin menjatuhkan dengan sengaja, rantang makanan yang dibawa Melati sejak tadi. Nasi dan lauk-pauk yang sudah Melati buat sepenuh hati, hancur berantakan di atas aspal. Makan siang yang diperuntukkan kepada suami tercintanya, harus terbuang sia-sia ulah suaminya sendiri.

Martin merasa malu, karena ia tahu niat Melati ke kantornya saat ini, adalah untuk memberikannya makan siang. Teman sekantornya selalu meledeknya, ketika Melati datang membawakan rantang makanan, dengan dandanan yang sangat kucel dan baju yang sederhana.

Matanya mendelik kesal ke arah Melati, "Ngapain sih pakai bawa makanan segala? Kamu mau buat aku malu, hah? Aku bisa makan siang di luar, kok!" bentak Martin dengan sangat kasar, yang semakin menambah rasa sakit hati yang diderita Melati.

Air mata mengalir dengan derasnya dari pelupuk mata Melati, yang sedari tadi sudah menggenang. Setiap perkataan yang keluar dari mulut Martin, sangat membuat hati Melati teriris karenanya.

"Jangan pernah bawakan makanan tidak enak ini lagi ke kantor! Aku malu diledek teman-teman sekantor!" bentak Martin lagi, Melati tak menjawabnya dan hanya diam mendengar bentakannya.

'Aku udah masak makanan kesukaan Mas Martin dengan susah payah. Kenapa dia sama sekali gak peduli dengan hal itu?' batin Melati yang sama sekali tidak menyangka dengan apa yang Martin lakukan padanya.

Melati memandang ke arah mereka dengan tatapan yang ia paksa tegar, "Siapa dia, Mas? Kenapa kamu mesra banget sama dia?" tanyanya, Martin menyunggingkan senyumnya di hadapan Melati, diikuti oleh Ria.

Martin semakin menggandeng mesra Ria, "Ini Ria, calon istriku di masa depan! Aku akan menikahi Ria sebentar lagi!" jawab Martin dengan sangat tegas, Melati semakin tak percaya saja dengan yang dikatakannya.

"Tapi Mas, gimana sama aku? Aku ini masih istri sah kamu, Mas!" ucap Melati setengah berteriak, berusaha mengingatkan Martin tentang status mereka sebagai suami dan istri.

Kesetiaan Yang Percuma

"Alah, aku ga peduli! Yang penting, aku mau menikahi Ria secepatnya!" bantah Martin dengan keras, sehingga menambah luka dan sakit yang Melati rasakan.

Ria memandang angkuh ke arah Melati, yang saat ini berada di hadapannya. Pakaiannya terlihat sangat lusuh, berbeda jauh dengan pakaian yang ia kenakan.

"Ini istri kamu itu? Kok pakaiannya lusuh gini, yah?" tanya Ria dengan sangat angkuh, membuat Martin merasa malu mendengarnya.

"Sayang, jangan ngomong gitu. Aku pasti segera menceraikannya. Jangan bilang dia istriku lagi, aku malu dengernya!" tegur Martin pada Ria, semakin menambah rasa terkejut Melati ketika mendengar ucapan Martin.

"Apa, Mas? Kamu mau ceraikan aku demi perempuan ini?" tanya Melati setengah tidak percaya.

Memang penampilan dirinya sangat jauh kalah dibandingkan dengan Ria. Namun, Melatilah yang sudah menemani Martin ketika Martin berada di titik terendahnya. Melati yang sudah menerima Martin, ketika Martin tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan.

Sekarang ketika sudah jaya, Martin malah mencampakkan Melati, dan malah memilih untuk menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya.

Di mana letak kesalahan Melati?

Seluruh jiwa dan raganya sudah ia berikan agar hubungan pernikahan mereka tidak kandas, seperti kebanyakan pernikahan di luar sana, yang hancur hanya karena permasalahan ekonomi.

Namun, ternyata apa yang dikorbankan Melati pada hubungannya ini, sangat tidak sepadan dengan apa yang ia terima dari sikap Martin terhadapnya.

Melati kembali memandang Martin dengan tatapan yang dalam, "Apa salah aku, Mas? Aku udah ngasih semua jiwa raga aku untuk pernikahan kita. Kenapa kamu bales dengan kelakuan kamu yang seperti ini ke aku?" tanyanya mulai terisak tak kuasa menahan kesedihannya.

Martin memandangnya dengan remeh, "Apa salah kamu? Kamu masih berani nanya apa salah kamu?" tanya balik Martin dengan tatapan yang menyeleneh, "kamu liat diri kamu, dong! Wajah kamu jelek, pakaian kamu lusuh dan yang paling penting, kamu itu mandul! Ingat, kamu ga bisa ngasih aku keturunan, karena kamu tuh mandul! Aku nyesel pernah nikah sama orang kampung kayak kamu!" caci Martin, sontak membuat Melati semakin mendelik saja mendengarnya.

Melati tidak menyangka, kalau akan keluar perkataan seperti itu dari mulut Martin. Ia tega melukai beberapa kali hati Melati, ketika ia sedang berada di hadapan wanita yang ia cintai.

Sudah cukup, ini adalah akhir dari segala akhir. Melati tidak sanggup jika harus menerima perkataan buruk yang lebih menyakitkan hatinya lagi.

Ria memandang sinis ke arah Martin, "Udah ah, kita tuh mau makan siang sama beli lipstick aku! Kenapa kamu malah ladenin orang gak penting ini, sih? Kalau kita telat balik lagi ke kantor, gimana? Bisa kena omel kita sama Bos!" gerutu Ria, dengan gaya bahasanya yang sangat kasar, tetapi bisa membuat Martin sangat ketakutan mendengarnya.

"Iya, sayang. Aku juga udah gak mau ladenin dia. Ini cuma terakhir kalinya aku bicara sama dia lagi, kok!" ujar Martin yang berusaha menenangkan hati Ria.

Martin memandang sinis ke arah Melati, "Ini terakhir kalinya ya kita bicara! Satu minggu dari sekarang, datang ke pengadilan untuk perceraian kita, dan jangan pernah temuin aku lagi! Dasar mandul!" bentaknya, yang kemudian berlalu pergi untuk masuk ke dalam mobil yang tidak diketahui kepemilikannya itu.

Mereka pergi dengan mobilnya, meninggalkan Melati di sana. Bisa dibayangkan, betapa hancurnya hati Melati saat ini.

Ketika pelakor lebih galak dibandingkan istri sah.

DUAR!

Seketika petir menyambar, disusul dengan rintik hujan yang perlahan turun membasahi bumi. Setiap perkataan mereka mampu membuat kesabaran Melati habis, sampai tak tersisa lagi saat ini.

Hujan perlahan menjadi sangat deras, Melati sudah sangat frustrasi dengan keadaan dirinya saat ini. Ia membiarkan tubuhnya basah karena hujan, dan membiarkan rambutnya terurai lepas dari ikatannya.

"Ini gak adil! Kenapa harus pernikahanku yang hancur, Tuhan? Kenapa bukan pernikahan orang lain saja?" teriak Melati di tengah derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

Tangannya menyapu ke kepalanya yang sudah basah, akibat air hujan yang turun semakin deras. Langkahnya tak terarah, hanya mengandalkan ke mana kakinya hendak melangkah.

Itulah hal yang masih melekat dengan jelas di pikiran Melati, sampai perasaan sakitnya pun masih terasa sampai detik ini.

Dalam hatinya meneriakkan sebuah perubahan, yang harus ia lakukan demi membuat dirinya diakui oleh orang lain. Namun, itu semua dirasa tidak penting karena satu minggu dari sekarang, Martin memintanya untuk mendatangi sidang perceraian antara mereka.

'Untuk apa aku ngelakuin semua ini, kalau ujungnya harus ditinggalkan seperti ini? Kenapa dia gak mikirin perasaan aku, ya? Kenapa sakit sekali rasanya?' batin Melati yang sudah sangat kacau saat ini.

Melati sudah sampai di kediamannya. Dengan menempuh waktu 2 jam perjalanan, Melati berhasil sampai dengan berjalan kaki pulang ke rumahnya. Semuanya ia lakukan karena dirinya yang tak menyadari, dan hanya mengikuti kakinya melangkah saja.

Kedua orang tua Melati sudah menunggu di depan pintu rumah mereka yang sangat sederhana. Mereka terlihat sangat cemas, karena putri mereka yang belum kembali sejak siang tadi.

Ibunya mendelikkan matanya ketika melihat Melati sampai di kediaman mereka, "Itu dia Melati, Pak!" pekiknya dengan sangat terkejut.

Melati melangkah masuk ke dalam koridor rumah mereka, walaupun hujan masih mengguyur tubuhnya. Kekhawatiran dirasakan kedua orang tua Melati, saking takutnya mereka melihat keadaan Melati saat ini.

"Ya ampun, Melati. Kamu dari mana aja, sih? Kenapa malah hujan-hujanan begini?" tanya Ibu dengan nada yang terdengar sangat khawatir.

"Iya, kita khawatir karena kamu belum pulang ke rumah. Ke mana aja kamu, Mel?" tanya Bapak, yang sama-sama mengkhawatirkan keadaan Melati.

Melati adalah putri tunggal keluarga ini, sehingga mereka sangat menginginkan kebahagiaan Melati.

Melihat putrinya pulang dengan keadaan basah kuyup seperti ini, hati mereka menjadi terenyuh dengan keadaan Melati saat ini.

"Ya ampun, Mel. Kamu kenapa hujan-hujanan begini?" tanya Ibu, sembari memeluk erat tubuh Melati, berusaha memberikan kehangatan untuknya.

"Bapak ambil handuk dulu sebentar!" ujar Bapak, yang lalu segera masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan handuk, untuk mengeringkan tubuh Melati yang sudah basah.

Tubuh Melati sudah sangat gemetar, saking dinginnya udara sore ini, ditambah lagi sekujur tubuhnya yang sudah basah karena terguyur air hujan yang sangat deras.

Ibu terus berusaha menggosokkan tangannya pada lengan Melati, setidaknya memberikan kehangatan sementara untuknya.

"Ya ampun, Mel." Ibu merasa sangat panik, dengan kondisi Melati saat ini.

Tak berapa lama, ayahnya pun datang dengan membawa handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambut Melati yang sudah basah karena guyuran hujan.

"Ini Mel, pakai dulu handuknya!" suruh ayahnya, yang segera memberikan handuk tersebut padanya.

Hancurnya Hidup Ini

Melati segera memakai handuk tersebut, untuk menyelimuti tubuhnya yang sudah basah kuyup. Setidaknya, ia harus mengeringkan air yang menetes dari pakaiannya lebih dulu, sebelum langsung masuk ke dalam rumahnya.

"Gimana ceritanya sih, Mel? Kenapa bisa begini jadinya?" tanya Bapak, yang sangat khawatir dengan keadaan Melati.

"Udah, Melatinya diajak masuk dulu. Biar Ibu bikinin teh manis hangat, biar badannya agak enakan. Habis itu, baru deh cerita kenapa sebenarnya yang terjadi," ujar Ibu memberi gagasan yang bagus kepada mereka.

"Ya udah, ayo masuk dulu. Melati mandi dulu, terus ganti baju. Nanti teh manisnya disiapin sama Ibu di dalam," ujar Bapak menyetujui apa yang Ibu katakan.

Melati hanya bisa mengangguk kecil, untuk sekadar menghormati apa yang kedua orang tuanya katakan padanya. Tentu saja karena tubuhnya yang tidak bisa merespon dengan kata-kata, jadi ia hanya bisa merespon menggunakan gestur tubuhnya.

Melati membersihkan tubuhnya dari kotoran dan air hujan yang membasahinya. Setelah itu, ia mengganti pakaiannya yang basah, dan mencoba mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil yang ada di dalam kamarnya.

Karena tidak memiliki hair dryer, Melati hanya bisa mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil saja. Tentu saja butuh waktu yang lumayan lama, agar air sisa keramas dari rambutnya tak menetes kembali.

Ketika melihat dirinya di cermin, tiba-tiba saja ia merasa sangat hancur. Setiap perkataan yang keluar dari mulut Martin tadi, masih teringat dengan jelas di dalam benak Melati.

Sakit kepala hebat terasa, saking terus memikirkannya. Ditambah lagi air hujan yang terus mengenai kepalanya, membuatnya semakin terasa tidak keruan.

Melati meremas rambut hitamnya yang masih basah, sampai tercabut banyak sekali rambutnya yang cukup tebal.

'Kamu harus kuat, Mel! Jangan hanya karena lelaki kurang ajar itu, kamu jadi gak mau nerusin hidup! Kamu harus kuat, demi masa depan yang cerah!' batin Melati, yang bertekad kuat untuk mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Walaupun hancur, tetapi Melati tidak berniat untuk mengorbankan nyawanya sendiri. Ia malah bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Namun, perasaan hancur pasti ia rasakan. Rasa kesal dan juga kesedihan itu, pasti menggenang di hatinya untuk beberapa waktu.

Tangisnya pun pecah seketika, setelah ia bertekad untuk bangkit dan berubah. Perkataannya sangat mudah, tetapi perasaan sedih itu masih terasa menyesakkan hati dan perasaannya.

Betapa hatinya telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapannya selama ini, yang ternyata hanyalah omong kosong yang salah diperjuangkan. Sia-sia perjuangannya selama ini, hanya untuk orang yang salah.

Tangannya meraba ke dalam laci, berusaha mencari benda yang ia maksudkan. Beberapa saat mencari, ia pun menemukannya dan melihatnya dengan dalam.

"Aku gak bisa!" gumamnya, seraya mengguntingi secara asal rambutnya yang panjang itu.

Pikirannya melayang tak keruan, dengan tangannya yang terus-menerus memainkan gunting ke arah rambutnya.

Perlahan rambut itu berjatuhan, dengan keadaan yang asal dan tak teratur.

"Argh!" teriak Melati, dengan kondisi yang sangat jauh di bawah kesadarannya.

PRANG!

Tak sengaja, Melati melemparkan gunting yang ia pegang ke arah cermin, sampai membuat cermin itu pecah.

Emosinya muncul seketika, saat ia berusaha untuk memendam rasa sakitnya kembali. Sedikit demi sedikit ia pendam, saat ini rasa sakitnya meledak-ledak, sampai ia tak bisa lagi menahannya.

Melati kembali meremas rambutnya, saking tidak bisa ia berpikir jernih dengan keadaan yang membuat seluruh hidupnya hancur.

Mendengar suara pecahan kaca dari arah kamar Melati, orang tuanya pun mendadak khawatir dan segera berlarian ke arah kamar putrinya.

"Mel, kenapa kamu?" teriak Ibu dari arah luar kamar, yang terdengar sampai dalam kamar Melati.

Mereka sampai di kamar Melati, dan melihat kondisi anaknya yang terlihat sangat tidak baik. Mereka sangat kaget, dan merasa sangat histeris melihat Melati dengan rambut yang sudah compang-camping itu.

"Ya ampun, Mel! Kamu kenapa, Nak?" teriak Ibu, yang langsung memeluk Melati dengan sangat erat.

Sejenak Melati pun menumpahkan perasaan hancurnya di dalam pelukan sang Ibu. Ia harus menumpahkan semuanya, jika tidak mungkin hal itu akan memicu rasa stres yang ia miliki.

Isak tangis terus terdengar dari mulut Melati. Mereka tidak bisa berbuat banyak, dengan keadaan yang tidak mereka mengerti. Melati belum memberi tahu mereka tentang keadaannya. Jadi, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menenangkan hati Melati.

"Rambutnya kenapa digunting gitu, sih? Kenapa kacanya juga dipecahin?" tanya Ibu dengan sangat panik.

Biasanya seorang Ibu memang terlihat lebih panik dan lebih cerewet, dibandingkan seorang Ayah. Ayah Melati hanya diam saja, sembari memandang sendu keadaan putrinya itu.

"Bu ... Mas Martin gugat cerai Melati, Bu!" isak Melati, yang baru diketahui kedua orang tuanya.

Pikiran mereka terbuka, setelah mengetahui sedikit informasi dari Melati.

"Jadi itu semua karena si Martin mau ceraikan kamu?" tanya Ibu, yang saking stresnya sampai ikut menangis bersama dengan Melati.

Bapak menjadi sangat kesal mendengarnya, "Beraninya si Martin nalak cerai Melati! Dia gak tau apa, seberapa berjuangnya Melati untuk dia? Dari mulai pekerjaan, uang, makanan, sampai keturunan pun Melati sabar ngadepin makhluk itu! Sudah gak menafkahi, gak bisa kasih cucu juga karena dia mandul! Sekarang, dia sok belagu nalak cerai Melati setelah dapat pekerjaan yang bagus. Lelaki macam apa dia, sih?" gerutu Bapak, yang saking kesalnya sampai mengatakan hal macam-macam yang bisa membuat amarahnya menghilang.

Ya! Selama ini, Melati selalu menutupi apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Bukan Melati yang mengidap kemandulan, tetapi Martinlah yang tidak bisa mengahasilkan keturunan. Itu semua karena ada masalah pada organ reproduksi miliknya.

Sementara itu, hasil pemeriksaan Melati sangatlah bagus. Tanggal menstruasinya pun teratur, sehingga rahimnya dinilai sangat baik setelah keluar hasil pemeriksaan.

"Iya, memang lelaki kurang ajar Martin itu! Semuanya udah kita kasih saat dia lagi susah nyari kerja! Modal kerja, makan sehari-hari, kurang apa kita sebagai mertua ke dia?" tambah Ibu, yang juga sangat kesal dengan sikap Martin setelah sukses berjaya mengadu nasibnya yang tidak seberapa beruntung.

"Iya, kalo bukan karena kita yang usaha minta kerjaan sama Tuan Bram, gak akan dia diterima di perusahaan itu! Lulusan cuma SMA, kok, jadi manajer! Dia mandang saya aja sebagai teman. Coba kalau enggak, mungkin dia gak akan diterima dengan mudah di kantor itu!" Bapak semakin kesal saja dengan keadaan ini.

Baru mengatakan sepatah kata saja, keadaan sudah menjadi sangat tidak keruan. Apalagi jika Melati sudah mengatakan hal yang menyakitkan, yang Martin katakan kepadanya tadi. Orang tuanya juga pasti akan murka, kalau mereka mengetahui Martin menceraikannya karena ingin menikahi kekasihnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!