NovelToon NovelToon

Lelaki Pilihan Kakek

Perjodohan Tak Diinginkan

"Tiara, duduk sini. Ada yang mau Kakek bicarakan," pinta Pak Tirta, kakek Tiara.

Suara Pak Tirta terdengar sangat lemah. Tangan yang menunjuk tempat duduk di samping tempat tidurnya juga terlihat lemas. Selang infus dan beberapa peralatan medis yang menempel di dada membuat pergerakan tubuhnya sangat terbatas. Tiara pun menuruti apa yang dikatakan olehnya.

"Ra, bolehkah Kakek minta satu hal dari kamu? Kakek ingin sekali melihat cucu Kakek menikah. Lihatlah! Kakekmu ini sudah sakit-sakitan. Kakek takut tidak dapat menyaksikan satu pun cucu Kakek menikah," tutur Pak Tirta penuh harap.

"Maksud Kakek, Kakek ingin melihat Tiara menikah?" tanya Tiara sangsi.

"Syukurlah kalau kamu paham maksud Kakek," jawab Pak Tirta sambil tersenyum sekenanya.

"Kek, bagaimana mungkin Tiara menikah? Tiara baru 20 tahun dan kuliah saja baru semester empat. Lagian ada Mas Riza dan Mas Aksa yang lebih tua dari Tiara. Mengapa harus Tiara, Kek?" sanggah Tiara secara halus.

"Tidak ada yang melarang mahasiswa menikah sebelum lulus, kan? Mereka belum ada calon, sedangkan kamu sudah Kakek siapkan. Kakek yakin dia yang terbaik untuk kamu," terang Pak Tirta lebih antusias.

Tiara tertegun sampai tak bisa berkata apa pun. Mendengar permintaan Pak Tirta agar ia segera menikah saja sudah terkejut, ditambah lagi dengan calon yang sudah disiapkan. Kesedihan tiba-tiba bersemayam di hatinya yang paling dalam. Ia tak menyangka Kakek punya rencana sebesar itu tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Ini adalah kali pertama Tiara merasa sangat kecewa terhadap kakeknya.

Di sisi lain, Tiara bingung bagaimana cara menyampaikan ketidaksanggupannya tanpa menyinggung Pak Tirta. Menyanggahnya terlalu dalam takut akan membuat kesehatannya menurun. Mengiyakan pun rasanya terlalu berat menerima.

Orang tua Tiara, Pak Adi dan Bu Lia, yang berdiri di seberang Tiara memberi isyarat kepadanya dengan meletakkan telunjuk di bibir serta mengedipkan mata. Tanda itu memberi tahu Tiara untuk diam dan tidak membantah Pak Tirta lagi.

"Ayah, anak kita," bisik Bu Lia menyenggol lengan suaminya.

"Tidak bisa, Kek. Tiara tidak bisa menerima perjodohan ini. Tolong jangan seperti ini, Kek. Tiara mau fokus kuliah dulu. Menikah sama sekali belum ada dalam rencana Tiara. Biarkan Tiara menikmati masa muda," protes Tiara agar Pak Tirta membatalkan niatnya.

"Tiara, kamu itu cucu perempuan satu-satunya Kakek jadi Kakek ingin yang terbaik untukmu," bujuk Pak Tirta menekankan nada bicaranya.

Menyaksikan perdebatan kakek dan cucu itu, Pak Adi pun berjalan ke arah Tiara dan berdiri di belakangnya. Pak Adi sangat bimbang harus bagaimana. Memihak salah satu tentu akan menyinggung lainnya. Tidak memihak sama sekali juga tidak dapat menengahi.

"Tapi kan..." bantah Tiara terpotong oleh ucapan ayahnya.

"Tiara, cukup," pinta Pak Adi berbisik.

Pak Tirta mulai terbawa emosi. Pak Adi segera mengantisipasinya dengan menenangkan Tiara. Tiara pun sangat kesal.

Tok tok tok!

"Tuan Tirta, maaf. Saya Bi Darsi," ucap Bi Darsi lembut di balik pintu.

Pak Adi segera berdiri untuk membukakan pintu kamar Pak Tirta untuk menemui Bi Darsi, asisten rumah tangga di sana. Setelah pintu terbuka, terlihat Bi Darsi dengan dua orang mengekor di belakangnya. Salah seorang di antaranya sangat dikenalnya karena merupakan istri dari almarhum Pak Arif, sahabat Pak Tirta. Perempuan yang berusia sekitar 65 tahun tersebut bernama Bu Ina.

"Selamat siang, Nak Adi," sapa Bu Ina begitu ramah dengan senyum khasnya yang menenangkan.

Mengetahui Bu Ina datang, Pak Adi segera menyalami dan mencium tangannya. Pak Adi sudah menganggap Bu Ina seperti ibu sendiri karena Pak Adi sering diajak Pak Tirta bertemu dengan Bu Ina dan Pak Arif sewaktu kecil.

"Siang, Bu In. Silakan masuk," ucap Pak Adi menyilakan Bu Ina dengan lelaki di belakangnya masuk.

Bu Ina mengangguk dan segera berjalan masuk. Langkah Bu Ina diikuti oleh lelaki bertubuh jangkung dengan rambut gondrong yang dicepol sekenanya namun terlihat cool dan estetik. Meskipun rambutnya panjang, tetapi ia terlihat lebih maskulin dan fresh.

Lelaki itu bernama Rama. Ia adalah anak bungsu dari Pak Arif dan Bu Ina. Ia memiliki 2 kakak, kakak pertamanya laki-laki dan kakak keduanya perempuan. Di usia yang baru menginjak 28 tahun, ia sudah menjadi CEO di Dewantara Group, salah satu perusahaan milik keluarganya. Ia menjadi CEO menggantikan posisi papanya setelah papanya meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu.

Visual Rama (Sumber: Pinterest)

Bu Ina pun menyalami Pak Tirta, Bu Lia, dan Tiara secara bergantian sembari tersenyum ramah. Sebelum menyalami keluarga Pak Tirta, Rama terlebih dahulu meletakkan parsel buah untuk Pak Tirta di meja samping ranjangnya. Setelah itu, Rama yang tak kalah sopan menyapa keluarga Pak Tirta satu per satu.

Tiara pun berdiri dan menyilakan Bu Ina untuk duduk di kursi yang sedari tadi ia tempati. Bu Ina pun berterima kasih kepada Tiara dengan sangat ramah dan anggun hingga membuat Tiara terhipnotis oleh pesonanya. Kehadiran Rama yang tiba-tiba berdiri di belakang Bu Ina membuyarkan kekaguman Tiara dan membuatnya berpindah ke dekat ayahnya yang sudah duduk di samping Pak Tirta.

"Kemarin, saya dapat kabar kalau Pak Tirta sakit, tapi maaf kalau tidak langsung datang. Anak saya sibuk semua jadi tidak ada yang mengantar. Sakit apa, Pak?" tanya Bu Ina lemah lembut.

"Tidak apa, Bu. Ini juga sudah mulai membaik. Hanya kelelahan, maklum sudah berumur. Saya malah berterima kasih karena sudah jauh-jauh datang ke sini untuk menjenguk saya," jawab Pak Tirta lirih namun jelas didengar.

"Nak Adi masih tinggal di Surabaya atau sudah pindah ke sini?" tanya Bu Ina mengalihkan pandangan ke Pak Adi dan istrinya.

"Masih di Surabaya, Bu. Saya dan istri baru sampai dini hari tadi. Untung saja, putri kami kuliah di Jakarta jadi saat mendapat kabar Ayah sakit bisa langsung berangkat ke Bogor dan menemani beliau," jawab Pak Adi.

"Wah, di Jakarta ya. Satu kota dong dengan saya," ujar Bu Ina dengan senyum sumringah.

Tiba-tiba, Pak Tirta mengalihkan pandangannya dari Bu Ina ke Tiara. Setelah bersitatap dengan Tiara, Pak Tirta mengayunkan tangan kepadanya dan memberi isyarat agar Tiara duduk di sampingnya. Tiara pun menuruti perintah kakeknya, meskipun sambil manyun dan menggembungkan pipinya karena kesal.

Visual Tiara (Sumber: Pinterest)

"Bu In, kenalkan. Ini Tiara," kata Pak Tirta mengenalkan Tiara kepada Bu Ina.

Mata Bu Ina berbinar menatap Tiara. Senyum semakin merekah di bibirnya yang terbalut lipstik merah bata. Bu Ina pun berdiri dan berjalan mendekati Tiara. Setelah berdiri di samping Tiara dan meminta izin menyentuhnya, Bu Ina pun mengusap rambut Tiara dengan sangat lembut.

"Cantik sekali putri Pak Adi dan Bu Lia ini. Luar biasa memang Mas Arif tidak salah pilih," decak kagum Bu Ina terhadap kecantikan Tiara.

Tiara, Pak Adi, dan Bu Lia hanya diam penuh tanda tanya mendengar ucapan Mas Arif tidak salah pilih. Pikiran mereka pun seragam tertuju pada obrolan mereka yang sempat terhenti. Tiara pun semakin kesal karena pernyataan Bu Ina mengarah ke perjodohan.

Tiara sedikit melirik ke arah Rama yang sedari tadi diam tanpa ekspresi. Ia mengingat-ingat bahwa sedari tadi pun ia belum pernah mendengar lelaki itu bersuara. Tersenyum saja seperlunya dan tidak ada basa-basi sama sekali.

"Tiara, Pak Adi, Bu Lia, kenalkan juga. Itu putra bungsu saya. Namanya Rama. Tiara boleh panggil dia Abang Rama," ucap Bu Ina mengenalkan anaknya.

"Pak Tirta, apakah mereka sudah tahu tentang itu?" lanjut Bu Ina beralih ke Pak Tirta.

"Ini baru saja mau saya bicarakan dengan mereka. Malah pas banget Bu Ina dan Nak Rama datang. Jadi, Tiara dan Rama bisa sekalian berkenalan. Bagaimana, Di? Apakah kamu setuju?" sahut Pak Tirta begitu semangat.

Deg...

Tiara tercenung mengetahui Pak Tirta benar-benar akan menjodohkannya. Lidahnya tiba-tiba terkunci tak dapat mengatakan apa pun saking kecewanya. Ia masih belum bisa mencerna semua kejutan yang diterimanya saat ini. Ia merasa seperti tersambar petir di siang bolong.

...****************...

Permintaan Pertama dan Terakhir Kakek

Pak Adi dapat menangkap kebimbangan dan ketidaksukaan di wajah Tiara. Ia tak dapat berbuat banyak untuk membujuk ataupun membela putrinya karena Tiara mempunyai hak untuk menentukan pilihannya. Ia hanya perlu mendukung jika hal itu baik dan menegur jika hal itu kurang bermanfaat. Akan tetapi, melawan Pak Tirta dalam kondisi kesehatan seperti ini juga bukan cara yang bagus untuk membela diri. Alih-alih mendapat solusi malah takut akan memperparah kondisi ayahnya.

"Kalau Adi, terserah pada Tiara saja, Yah. Bagaimana pun yang akan menjalani adalah Tiara. Adi hanya bisa support apa pun yang menjadi keputusannya. Bagaimana, Ra?" tegas Pak Adi.

"Ayah, Tiara belum siap. Tiara masih mau fokus kuliah. Banyak cita-cita yang belum bisa Tiara raih. Beri waktu Tiara untuk mempertimbangkan semuanya. Lagian, bagaimana mungkin Tiara menikah dengan lelaki yang belum Tiara kenal. Tolong, beri waktu Tiara untuk mempertimbangkan semuanya," pinta Tiara meyakinkan ayah dan kakeknya.

"Saya sedikit paham apa yang kamu rasakan, Nak. Tentu tidak mudah untuk memutuskan ini. Mungkin, memang lebih baik kita beri waktu Tiara dan Rama untuk saling mengenal dulu. Setelah itu, biarkan mereka bebas menentukan untuk berhenti atau melanjutkan," usul Bu Lia hati-hati agar tidak ada yang tersinggung dengan ucapannya.

"Betul. Saya juga setuju dengan usul Bu Lia. Tetapi, saya berharap besar bahwa perjodohan ini dilanjutkan karena memang sudah wasiat dari almarhum Papa Rama dan Rama juga sudah 28 tahun jadi sudah ideal untuk menikah," sahut Bu Ina sangat yakin.

"Tante, maaf menyela. Saya ini masih 20 tahun. Kuliah saja baru semester empat. Selain itu, saya juga belum banyak tahu dan belum banyak bisa tentang urusan rumah tangga. Saya takut tidak bisa maksimal menjalani peran sebagai istri dan mahasiswa," sela Tiara mencoba meyakinkan pelan-pelan.

"Tiara, Tante tidak memaksa kamu untuk bisa semuanya yang penting kamu mau menikah saja dengan Rama tentu sudah lebih lega karena sudah melaksanakan amanat dari mendiang Papa Rama. Saya tidak akan menuntut kamu ini itu, apalagi perkara cucu. Saya malah mendukung kalau kamu lebih fokus kuliah dulu sambil mengalir saja berkenalan dengan Rama," terang Bu Ina dengan suara lembutnya.

Kalau sudah begini, Tiara tak dapat lagi berkutik. Ia kehabisan alasan untuk mengelak dari perjodohan konyol itu. Tiara tertunduk lesu enggan menanggapi percakapan tentang perjodohan yang baginya sangat mengerikan.

"Tiara, tolong ya," pinta Pak Tirta dengan suara lemah.

"Tapi, Kek..." sahut Tiara terpotong karena tiba-tiba saja Pak Tirta pingsan.

Pak Tirta tidak sadarkan diri dan membuat panik orang-orang di kamarnya. Wajahnya begitu pucat dengan sekujur tubuhnya dingin. Pak Adi berusaha mendengarkan detak jantung dan memeriksa pernapasan Pak Tirta. Ia sedikit lega karena masih ada tanda kehidupan di sana.

Pak Adi pun menepuk pipi ayahnya sambil menyuruh Tiara untuk menghubungi Dokter Harun agar segera ke rumah untuk memeriksa kondisi Pak Tirta. Tiara pun segera pergi ke ruang depan agar lebih tenang suasananya, sedangkan Bu Lia mulai memijit jempol dan kaki mertuanya.

"Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, Nak Adi?" tanya Bu Ina cemas.

"Nanti saja, Bu. Menunggu Dokter Harun karena untuk dibawa ke rumah sakit dengan alat-alat ini juga perlu dokter dan tenaga medis yang mendampingi. Lagian, Ayah sudah kalau disuruh bermalam di rumah sakit," jawab Pak Adi mencoba menenangkan kepanikannya.

"Persis dengan almarhum Papa Rama. Beliau gampang kalau disuruh periksa namun untuk opname lebih baik rawat jalan dii rumah saja," sahut Bu Ina teringat suaminya.

Di ruang depan, Tiara menghubungi Dokter Harun dan mengabarkan bahwa kakeknya pingsan lagi. Dokter Harun yang saat itu sedang dinas di rumah sakit pun langsung meminta izin sebentar untuk pergi memeriksa kondisi Pak Tirta. Kemudian, Tiara segera menghubungi keluarganya, termasuk Riza dan Aksa.

Setelah itu, Tiara pun mendudukkan diri dengan kasar di sofa ruang tamu. Kegelisahan tak bisa lagi disembunyikan karena perasaannya semakin kacau. Tiara sangat merasa bersalah atas kondisi Pak Tirta yang tiba-tiba memburuk karena penolakannya terhadap perjodohan yang telah direncanakan sejak lama. Menerimanya juga seakan terlalu mustahil karena ia merasa masih terlalu muda untuk menjalaninya.

...****************...

Kedatangan Dokter Harun pun menarik Tiara dari lamunannya. Tiara mengantar Dokter Harun sampai depan kamar Pak Tirta. Selepas itu, ia kembali merebahkan diri di sofa ruang tamu. Tiara memejamkan mata dan memijit kepalanya yang sedikit pening seolah mau meledak karena terlalu sesak oleh berbagai pikiran yang muncul bersamaan.

Beberapa saat, Tiara pun larut dalam pikirannya hingga tak menyadari kehadiran Rama di sampingnya. Ia masih terpejam sambil mengatur napas untuk menenangkan batinnya.

"Masuklah ke kamar. Pak Tirta mencarimu," tegur Rama mengagetkan Tiara.

Tiara dikejutkan oleh Rama yang sudah berdiri mematung di sampingnya tanpa ekspresi dan suara datar. Bahkan, Rama berbicara dengannya tanpa menatap sama sekali. Cara berbicaranya pun singkat dan sangat seperlunya, tidak ada basa-basi atau permisi.

Tanpa sengaja, Tiara malah terlalu lama larut dalam pikirannya dengan tatapan lekat kepada Rama. Tiara masih heran dengan manusia yang satu itu.

"Sampai kapan mau menatapku seperti itu? Ayo cepat! Sudah ditunggu," desak Rama dengan sinisnya.

Menyaksikan ekspresi Rama yang tidak bersahabat, Tiara buru-buru bangkit dan berjalan menuju kamar. Tiara masih bingung dengan sikap Rama yang bisa berubah menjadi segarang itu dalam waktu singkat. Hal itu cukup membuat bulu romanya bergidik

Sesampainya di kamar, Dokter Harun telah selesai memeriksa Pak Tirta dan sedang pamit untuk melanjutkan tugasnya di rumah sakit. Tiara pun menghambur ke pelukan Pak Tirta yang sudah siuman namun masih tergolek lemah di tempat tidur. Lalu, ia duduk di samping Pak Tirta yang tersenyum tipis kepadanya. Ditatapnya wajah sang kakek yang semakin kuyu dan merenta. Mata Pak Tirta menatapnya penuh harap membuat benteng pertahanan Tiara mulai runtuh. Perlahan, keras hatinya pun kian luruh. Bagaimanapun, Pak Tirta memang begitu meratukannya karena dia adalah cucu perempuan satu-satunya. Meski Pak Tirta juga tidak membeda-bedakan ia dengan Aksa ataupun Riza yang juga cucunya namun karena Tiara itu perempuan jadi proteksinya lebih kepadanya.

Akan tetapi, membayangkan pernikahan saja rasanya sangat takut jika ruang geraknya menjadi terbatas. Belum lagi ia harus membagi waktu antara kuliah dan melayani suaminya, tentu bisa menyita waktunya hingga sulit mencari celah untuk hang out bersama sahabatnya. Terlebih lagi, pemikiran tentang pernikahan masih terlalu abu-abu baginya.

Di sisi lain, Tiara juga ingin membahagiakan Pak Tirta. Selama ini, Pak Tirta selalu menuruti setiap permintaanya dan tidak pernah meminta apa pun kepadanya. Bisa dibilang, inilah permintaan pemintaan pertama Pak Tirta kepadanya jadi sangat berat untuk menolaknya namun menerima pun sama beratnya.

Menyelia kebimbangan di raut Tiara pun membuat hati Pak Tirta terketuk. Ia menyadari bahwa Tiara berhak melanjutkan hidup dengan jalan yang dipilihnya. Rasa iba dan bersalah mulai muncul karena telah memaksa cucunya untuk berkorban dengan kebahagiaan dia semata.

"Tiara, itu hanya harapan dan pemintaan terakhir Kakek kepadamu. Jika memang terlalu berat, kamu boleh menolaknya. Kakek tidak apa-apa,. Kakek tidak ingin lagi kehilangan orang tersayang karena keegoisan Kakek," tegas Pak Tirta tulus dengan mata berkaca-kaca.

"Kakek jangan bilang seperti itu. Kakek masih boleh meminta apa saja kepada Tiara," sahut Tiara khawatir.

Tiara langsung mengusap tangan Pak Tirta yang terasa dingin dan gemetar menahan gejolak batinnya. Kentara sekali raut kesedihan dan kekecewaan di mata sayunya. Pak Tirta tentu sedang berkaca pada masa lalunya yang menguras air mata. Tiara paham betul jalan hidup yang dilalui Pak Tirta sangat berat karena harus membesarkan 2 anak seorang diri. Nenek pergi entah ke mana bersama lelaki pilihannya sehingga ia harus menjalankan dua peran sekaligus. Tak kuat Tiara menahan air mata setiap mendengar kisah Pak Tirta.

Kali ini, Tiara pun menurunkan egonya walaupun batinnya dilanda kegundahan luar biasa. Ia mulai mempertimbangkan keputusannya. Kalau bukan Pak Tirta yang meminta tentu ia akan langsung menolak mentah-mentah. Ia tahu Pak Tirta takkan memilihkan lelaki sembarangan untuknya namun lagi-lagi ia heran mengapa harus Rama. Ia mulai bertanya-tanya apakah kakeknya tahu betapa dingin dan cueknya Rama atau memang Rama pandai bersandiwara.

"Abang Rama, memang kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Tiara memberanikan diri bertanya kepada Rama.

Semua orang di ruangan itu pun terkesiap mendengar pertanyaan Tiara, kecuali Rama yang masih bertahan dengan wajah datarnya. Diam-diam, Bu Ina dan Pak Tirta tersenyum sekilas. Lain halnya dengan orang tua Tiara, mereka takut Tiara melakukan ini hanya karena iba kepada kakeknya bukan karena sudah mantap hatinya.

"Setuju. Ini amanat Papa dan aku akan menjalankan dengan sebaik-baiknya," jawab Rama penuh keyakinan.

Tatapan Tiara beralih ke Pak Adi dan Bu Lia yang terlihat harap-harap cemas terhadap batin putrinya.

"Ayah. Bunda. Kalau Tiara menerima perjodohan ini, apakah kalian akan merestuinya?" tanya Tiara meminta perdapat.

Bu Lia langsung duduk di depan Tiara dan meraih wajah Tiara. Ditatapnya lekat-lekat mata Tiara yang tidak bisa berbohong kepadanya. Ia melihat beban berat di sana namun begitu tulus kata yang keluar dari bibir Tiara. Ia paham betul betapa sayang ia kepada kakek yang selalu memanjakannya.

"Tiara bisa mempertimbangkan lagi kok. Tidak perlu buru-buru mengambil keputusan. Masih banyak waktu untuk memikirkan semua," ucap Bu Lia menguji keyakinan hati Tiara.

"Nggak, Bunda. Tiara sudah memikirkan semua. Tiara hanya mengikuti kata hati saja. Tiara menerima perjodohan ini," sahut Tiara dengan berat hati.

Antara bimbang dan bahagia, orang di kamar Pak Tirta pun hanya menghela napas lega tanpa bisa berucap apa pun. Tiara mencoba menata hatinya. Tentu sangat berat baginya namun entah dorongan dari mana yang membuat ia dengan rela menerimanya.

"Bisakah kalian menikah lusa? Sepertinya, dua hari cukup untuk mengurus berkasnya. Kakek berharap yang penting kalian sah dulu. Dengan begitu, Kakek bisa lebih tenang. Tenang kalian sudah menikah. Tenang juga meninggalkan Tiara di Jakarta karena sudah ada yang menjaganya," pinta Pak Tirta penuh harap.

Tiara terbelalak mendengar permintaan Pak Tirta yang jauh di luar dari ekspektasinya, bahkan tak terpikirkan sama sekali pernikahannya akan secepat itu. Jantung Tiara benar-benar berdegup dengan kencang. Tiara masih terkejut dan terdiam. Namun, ia memilih menerima karena pada akhirnya juga tujuan dari perjodohan ini tentu pernikahan. Ditambah Rama juga mengangguk, tak ada lagi alasan baginya untuk menolak.

...****************...

Pernikahan Diam-Diam

Setelah semua sepakat untuk mempercepat pernikahan Tiara dan Rama, akhirnya diputuskan mereka akan menikah lusa. Pak Adi dan Rama sibuk mengurus berkas pernikahan. Tiara, Bu Lia, dan Bu Ina sibuk mempersiapkan acaranya. Mengingat kondisi kesehatan Pak Tirta yang menurun, pernikahan pun digelar secara sederhana dan hanya dihadiri keluarga inti saja. Resepsi akan digelar setelah kondisi memungkinkan. Hal itu juga atas permintaan Tiara karena semua serba mendadak dan Tiara ingin pernikahannya digelar secara diam-diam terlebih dahulu di rumah kakeknya.

Waktu pernikahan pun tiba, di sana hadir penghulu, orang tua kedua mempelai, dua kakak Rama beserta pasangan dan anaknya, Riza, Aksa, nenek kakek Tiara dari Bu Lia, dan tentunya Pak Tirta yang duduk lemah di kursi roda. Dekorasi tempat acara sangat sederhana didominasi warna putih dan cokelat muda senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Tiara dan Rama. Kursi dan meja ijab qabul berwarna putih polos dengan sedikit hiasan tile dan bebungaan berwarna nude, sedangkan kursi tamu undangan berwarna cokelat kayu yang dihias dengan tile putih membuatnya semakin elegan.

Rama duduk di depan penghulu dan Pak Adi. Tiara pun sudah siap juga di sampingnya. Dengan sekuat tenaga, Pak Adi menahan diri untuk tidak menangis karen harus melepas dan memberikan tanggung jawab sang putri kepada lelaki yang akan menjadi menantunya. Pak Adi berharap, Rama akan menyayangi dan menjaga Tiara sepenuh hati walaupun pernikahan mereka atas dasar perjodohan.

Penghulu memberikan isyarat kepada Pak Adi untuk mengulurkan tangan setelah memastikan kedua mempelai sudah siap dan rida terhadap pernikahan mereka. Pak Adi pun mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Rama. Keduanya saling bertatapan sangat dalam, bahkan mata mereka bercakap dibanding kata yang keluar dari bibirnya.

"Saya nikahkan putri saya, Mutiara Salsabila, dengan engkau, Rama Putra Dewantara bin Arif Dewantara dengan maskawin tersebut dibayar tunai," ucap Pak Adi dengan suara sedikit gemetar.

"Saya terima nikahnya Mutiara Salsabila binti Adi Setiawan dengan maskawin tersebut dibayar tunai," sahut Rama dengan satu tarikan napas.

Saksi pun menyatakan sah dan semua orang yang menghadiri pernikahan itupun mengucapkan hamdalah. Suasana diliputi keharuan luar biasa yang bisa membuat sebagian di antara mereka sampai meneteskan air mata, terutama Bu Lia, Bu Ina, dan Pak Tirta. Setelah itu, penghulu melanjutkan doa untuk menutup acara ijab qabul tersebut.

Acara pun dilanjutkan dengan serah terima pengantin. Pak Adi mengajak Tiara berjalan ke deretan kursi undangan dan memang sudah disiapkan kursi khusus untuk mereka yang saling berhadapan. Tiara pun duduk di tengah Pak Adi dan Bu Lia, sedangkan Rama duduk di antara Bu Ina dan kakak laki-lakinya, Rio.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaksikan acara ini. Mari kita doakan, semoga Tiara dan Nak Rama selalu diberkahi Allah serta bahagia selamanya," tutur Pak Adi membuka acara serah terima pengantin.

Semua yang hadir di acara itu pun mengangguk. Semua mata tertuju pada Pak Adi yang berdiri di antata orang yang duduk memerhatikannya.

"Nak Rama, Anakku. Sekarang, Tiara sudah resmi menjadi istrimu sehingga tanggung jawab terhadapnya sudah sepenuhnya menjadi kewajibanmu. Nak, kami titipkan putri kesayangan kami kepadamu dengan penuh harap dan doa agar kamu bisa menjaga dan menyayanginya sepenuh hati. Bila ia salah, maafkan dan tegurlah dengan kelembutan. Bila ia tidak patuh dan menyimpang, bimbinglah ia dengan sabar. Tolong, jangan pernah pukul dia sebesar apa pun kesalahannya karena tidak hanya dia yang akan sakit hati, kami juga akan lebih hancur sebagai orang tuanya. Tolong, jangan khianati dia sekali pun dia banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Bila kau sudah tak lagi mencintainya, jangan lantas kamu menyia-nyiakannya. Tolong, kembalikanlah kepada kami dengan cara yang baik," tutur Pak Adi sejenak berhenti setelah air mata mulai menjatuh dari sudut matanya.

Ini pertama kali Tiara melihat ayahnya meneteskan air mata. Tiara dan semua orang yang hadir pun turut merasakan haru hingga berkaca-kaca. Bahkan, Bu Lia sudah terisak lirih merasakan kecamuk batinnya ditambah dengan penuturan Pak Adi tersebut. Pak Tirta pun tak dapat membendung air matanya karena begitu terharu.

"Nak, tangan kami terbuka lebar untuk menerimanya kembali jika kamu sudah tidak sanggup menjaganya dan kami tidak akan menyalahkanmu karena kami sadar bahwa tidak semua yang menikah bisa berjodoh selamanya. Nak Rama, mulai saat ini Ayah dan Bunda percayakan putri kecil kami yang manja kepadamu. Melepaskan ia kepada lelaki lain saja sebenarnya sangat mematahkan hati kami karena takut tidak ada penjagaan sebaik yang kami lakukan. Tetapi, menikahkannya juga sudah menjadi kewajiban. Nak, putri kami telah memilihmu untuk menjadi teman hidupnya, maka temani ia dalam suka dukanya, temani dalam manis pahitnya. Tanggung jawab Tiara sepenuhnya kami serahkan kepadamu. Selamat berbahagia membangun bahtera rumah tangga, hadapilah badai dan rintangannya bersama-sama," lanjut Pak Adi dengan air mata yang berderai-derai.

"Untuk putriku, Mutiara Salsabila. Sekarang, kamu sudah menjadi seorang istri. Meskipun selamanya kamu akan menjadi anak kami namun baktimu saat ini sudah harus mendahulukan kepada suami dan percayalah bahwa rasa sayang kami tidak akan pernah berkurang untukmu. Patuhlah kepadanya dan jangan membantah selagi yang diperintahkan bukan hal keburukan. Mintalah izin dan rida kepadanya setiap ingin memutuskan ataupun mengerjakan apa pun agar segala yang kamu lakukan dilimpahi keberkahan. Jagalah harta dan kehormatannya sekali pun kamu sedang tak bersamanya. Jagalah aib suamimu biar senantiasa terjaga rumah tanggamu. Terima kasih telah memberi kami menantu yang baik. Terima kasih telah membantu menunaikan kewajiban kami sebagai orang tua. Ayah dan Bunda sangat bahagia, semoga kamu pun merasakan hal yang sama. Selamat menjalani tugas baru, semoga dimudahkan dalam segalanya. Doa Ayah dan Bunda akan selalu bersamamu," imbuh Pak Adi semakin sendu.

Acara serah terima itu pun berlangsung dengan khikmad dan mengharu biru. Tidak ada yang tidak meneteskan air mata selama mengikuti prosesi tersebut. Ditambah melihat Pak Adi dan Bu Lia yang terlihat begitu berat melepaskan putrinya namun mereka berusaha tabah dan mengikhlaskan semuanya.

Keharuan tentu tak luput juga dari batin Bu Ina. Bu Ina benar-benar terisak selama mengikuti acara itu. Bu Ina merasa lega karena akhirnya ketiga anaknya telah menemukan pasangan dan lengkaplah keluarganya. Ia juga begitu lega telah memenuhi satu wasiat terakhir suaminya.

Papa pasti sudah melihat dari atas sana. Papa pasti bahagia karena kami telah menunaikan amanatmu. Aku juga sudah lega. Ridailah mereka. Tenanglah di sana ya, Pa. Bu Ina membatin.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!