...****************...
"Cepetan, dong, Vel! Lama amat dandannya. Udah kayak kayak cewek aja." Omelan pedas nan cempreng terdengar dari dalam mobil yang kacanya terbuka. Seorang gadis cantik, berkulit putih, dan memiliki rambut sebahu yang diikat ala kuncir kuda, tengah melongokkan kepalanya. Ia mengomel pada temannya yang baru keluar dari rumahnya, setelah menunggu beberapa lama.
"Bawel banget, sih!" Marvel membuka pintu mobil bagian belakang lalu melemparkan tasnya, sebelum dirinya masuk ke dalam sana.
"Itu namanya cewek sejati, Sap. Emangnya elo, cewek jadi-jadian," celetuk Daren yang menjadi sopir di depan. Dia terkekeh ketika mengatakannya, dan perkataan itu sukses mendapatkan tabokan di lengan dari si empunya nama. Dan jitakan di kepala oleh Marvel yang duduk di belakangnya. Lelaki tulen itu juga tidak terima, jika dirinya disamakan dengan wanita.
"Sap, Sap! Berhenti manggil gue kayak gitu! Gue bukan sapi." Rein Safira tidak terima dengan panggilan temannya yang satu ini. Walaupun nama panjangnya adalah Safira, pelafalan ucapan Daren lebih terdengar pada kata "sapi", bukan "safi". Entah lidah Daren yang tidak bisa membedakan huruf F dan P, tetapi Daren sepertinya menyukai panggilan tersebut untuk meledek Rein.
"Suka-suka gue, lah. Mulut-mulut gue." Daren berdecak sambil mengusap lengannya yang terasa perih bekas tabokan dari Rein. Bergantian dengan mengusap kepalanya yang terasa berdenyut juga. Ia merasa teraniaya.
"Tapi nggak usah pake 'P' juga–"
"Woy, jadi berangkat, nggak? Tadi minta buru-buru. Sekarang malah ribut nggak jelas." Marvel yang merasa terganggu dengan keributan dua temannya pun menukas.
"Jadi, dong." Rein mengalihkan pandangannya pada Marvel, lalu pada Daren lagi, "gara-gara dia, nih. Bikin mood gue jelek aja," imbuhnya sembari mengepalkan tangan seolah hendak meninju Daren. Daren bersikap siaga, tetapi senyuman usil di bibirnya masih terbingkai dengan sempurna.
"Oke, kita healing, guys!" Daren menyalakan mesin mobil dengan semangat. Lalu mobil pun meluncur membelah jalan raya.
Ketiga sahabat itu melakukan perjalanan menuju ke daerah Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk melakukan keliling wisata alam di berbagai kota Pasundan tersebut. Sengaja memilih tempat yang asri dan tenang untuk menghabiskan uang dan menikmati hidup yang penuh dengan kepenatan. Apalagi beberapa hari yang lalu mereka telah mendapatkan mangsa besar. Mereka berhasil menggasak sebuah rumah yang menyimpan banyak uang tunai di dalam rumahnya.
Ya, profesi mereka bertiga adalah perampok profesional spesialis rumah kosong. Aksi mereka terbilang sangat rapi dan bersih. Dengan kemampuan Marvel yang seorang hacker tak tertandingi, dan cekatannya Rein serta Daren dalam ilmu bela diri. Aksi mereka sampai saat ini tidak pernah tercyduk oleh polisi.
Setiap operasi, Marvel bertugas berjaga di luar dan stanby menjadi sopir, sembari mengawasi pergerakan kedua temannya lewat aplikasi pelacak yang dia rancang sendiri. Tak lupa dia juga sudah meretas CCTV. Daren dan Rein pandai bela diri. Jikalau diperlukan, mereka akan menggunakan keahliannya untuk melindungi diri.
...***...
"Pelan-pelan, Ren. Jalannya curam banget, hujan pula." Rein terlihat panik melihat kondisi jalanan yang berkelok-kelok dan diapit oleh jurang terjal. Sedikit lagi mereka akan sampai di tempat tujuan. Sedangkan Marvel tidak memedulikan keadaan sekitar, lelaki jangkung itu hanya fokus pada gadget di tangan.
"Kenapa? Lo takut mati?" tanya Daren dengan pongahnya.
"Semua orang takut mati, lah. Emangnya lo, nggak?" Rein bergidik ketika mengatakan itu. Wajahnya terlihat pucat saat Daren memutar kemudinya dengan kencang di belokan yang tajam, "pelan-pelan!" teriaknya lagi.
"Berisik banget, sih! Kalau sikap lo kayak gini, kita beneran mati. Gue jadi nggak fokus nyetirnya," sentak Daren yang merasa terganggu dengan suara berisik Rein.
"Lo mending tidur aja, Rein! Kalau mata lo merem, lo nggak bakalan takut lihat jalanan." Marvel yang duduk tepat di belakang Daren memberikan saran.
Rein menoleh pada Marvel yang sama sekali tidak berpaling dari gadgetnya. Berpikir sejenak lalu menurut apa kata sahabatnya tersebut. Ia memejamkan kedua matanya, berharap segera sampai ke tempat tujuan mereka.
Namun, nahas. Kedua matanya harus terbuka paksa ketika mendengar suara decitan keras dari mobil yang ia tumpangi. Juga getaran hebat dan tubuhnya refleks terperosok ke depan ketika mobil terasa berjalan di jalanan menurun.
"Ren, ini kenapa mobilnya?" Rein menumpu kedua tangannya pada dasbor mobil. Menopang tubuhnya agar tidak tersungkur ke depan. Ia pun semakin panik melihat jalanan di depan yang sangat curam. Mobil itu hilang kendali dan berjalan menuruni jurang yang penuh bebatuan.
Daren tidak menanggapi perkataan Rein. Lelaki itu sibuk mengendalikan kemudi. Namun, nasib sial mungkin sedang menyapa mereka. Mobil itu tergelincir ke dasar jurang yang di bawahnya ada sungai.
"Daren!" Rein sempat berteriak ketika mobilnya masuk ke sungai.
Marvel yang duduk di belakang juga ikut panik. Ia berusaha membuka pintu mobil, tetapi sangatlah sulit. Mesin mobilnya sudah mati karena kemasukan air, dan pintu mobilnya terhimpit karena mobil terguling ke sebelah kanan tempatnya berada.
Posisi Rein yang berada di sisi kiri kemudi, lebih mudah menyelamatkan diri. Dia keluar dari mobil sebelum mobil itu semakin terperosok masuk ke dalam air. Ia sejenak muncul ke permukaan untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Setelah itu, Rein berusaha menolong kedua temannya yang masih terjebak di dalam mobil yang semakin terperosok ke dalam lumpur. Nahas, kaki Rein mengalami keram otot hingga dirinya pun tidak bisa bergerak, dan malah terjebak dalam arus air yang deras. Rein tidak berdaya saat air membawa tubuhnya dengan bebas.
Pada saat itu Rein memejamkan mata. Terlintas di benaknya semua peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Pengalaman pahit dan manisnya kehidupan yang ia rasakan. Terutama segala kejahatan yang pernah dilakukannya. Terlintas pula wajah-wajah orang yang dia sayangi. Air matanya mengalir samar diterjang derasnya aliran sungai.
Tak lama Rein merasa tubuhnya begitu ringan mengikuti arus air yang semakin deras, hingga ia terasa seperti terbang bebas. Rein menarik napas panjang ketika tubuhnya seperti melayang. Dia benar-benar pasrah jika mungkin ini adalah akhir dari hidupnya. Dunia pun terasa gelap gulita dalam sekejap mata. Rein sudah kehilangan kesadarannya.
...***...
"Ambu ... Ambu ...." Teriakan seorang lelaki paruh baya menggemparkan seisi rumah. Ia berteriak sambil membawa tubuh seorang perempuan dalam gendongannya. Diikuti oleh seorang anak laki-laki.
"Ada apa sih, Bah?" Sang istri yang muncul dari arah dapur menemui suaminya. "Eh, Abah bawa siapa? Berani-beraninya bawa perempuan lain ke rumah kita, hah!" Melihat suaminya membawa pulang seorang perempuan, Ranti langsung naik pitam.
"Ih, si Ambu. Jangan su'udzon dulu, atuh! Ini perempuan, Abah temuin terdampar di tepi sungai waktu kita lagi mancing ikan. Iya, kan, Bian? Lalu abah cek, ternyata masih ada napasnya. Makanya abah bawa pulang." Lelaki yang bernama Bahar itu bertanya kepada cucunya yang mengikuti di belakang. Setelah melihat anak itu menganggukkan kepalanya, ia beralih lagi pada sang istri.
Ranti pun percaya. Sejenak menatap tubuh perempuan yang digendong suaminya sebelum kemudian berkata, "Astaghfirullah, kasihan atuh, Bah. Cepat bawa ke kamar! Ambu mau ganti bajunya yang basah. Abah cepetan panggilin Pak Mantri, ya!" Ranti menyuruh suaminya untuk membaringkan perempuan pingsan itu di ranjang kamarnya. Perempuan pingsan itu adalah Rein Safira. Tuhan masih menyelamatkan nyawanya.
Tbc ....
Klik tombol favoritnya, ya.
...Happy Reading...
...****************...
Pancaran sinar mentari pagi menembus setiap celah yang ada di satu ruangan kamar. Membuat Rein yang tengah terpejam merasa terganggu dengan sinarnya. Kedua matanya terbuka perlahan, menyesuaikan bias cahaya yang terasa menusuk kedua netranya.
Rein tersadar dan menemukan dirinya berada di sebuah kamar yang terlihat asing baginya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan kamar. Ia mendapati seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahunan tengah duduk sendirian di dekat ranjangnya. Anak kecil itu terus menatap dirinya tanpa berbicara.
"Kamu siapa? Saya di mana ini?" Rein bertanya pada anak kecil tersebut.
Namun, bukannya menjawab anak kecil itu malah melengos pergi meninggalkan dirinya. Rein merasa heran, dan pada saat ia hendak menggerakkan badan, ia mendesis kesakitan. Merasai rasa sakit yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya, terutama di bagian kakinya. Sejenak Rein berpikir, mencoba menyatukan kembali potongan puzzle peristiwa yang terjadi, sebelum dirinya tersadar di tempat ini. Kecelakaan nahas yang menimpanya beserta teman-temannya masih terekam jelas di kepalanya.
"Ternyata gue nggak mati." Rein bermonolog sendiri. Embusan napasnya terdengar lega, walaupun rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Tak berapa lama, anak kecil tersebut kembali bersama seorang laki-laki dan perempuan paruh baya. Mungkin mereka adalah orang tua dari anak tersebut. Begitulah pikir Rein.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar, Neng!" seru perempuan paruh baya yang Rein tidak kenal.
Rein sedikit tersentak karena sempat melamun sebelumnya. Ia memasang sebuah senyuman manis di bibir. Kedua netranya memperhatikan perempuan paruh baya yang mendekat, lalu duduk di sampingnya. Sedangkan laki-laki yang bersamanya, berdiri di samping Rein, diikuti oleh anak kecil tadi.
"Ibu yang menyelamatkan saya?" tanya Rein. Tatapannya sendu mengisyaratkan rasa terima kasih yang teramat besar.
"Kemarin sore suami dan cucu ambu ini yang menemukan kamu terdampar di pinggir sungai, lalu dibawa pulang," terang Ranti sambil menunjuk kedua laki-laki beda usia yang berdiri di dekat mereka.
Bahar tersenyum ketika Rein menatap dirinya.
"Makasih, atas pertolongan kalian," ucap Rein tulus.
"Iya, Neng, sama-sama. Panggil saja 'abah'!" pinta Bahar.
"Panggil juga saya 'ambu', Neng," tukas Ranti, "eh, iya kenalin. Nama ambu, Ranti. Ini suami ambu, namanya Bahar. Ini cucu ambu, namanya Abian. Kalau nama Neng, siapa?" Ranti mengabsen satu persatu keluarganya di hadapan Rein.
Rein mengangguk sambil tersenyum. Mulutnya baru saja terbuka hendak menjawab, tetapi urung karena Bahar tiba-tiba menyela.
"Eh, Neng, kamu nggak ngalamin anemia, kan?" Pertanyaan Bahar membuat Rein sontak mengernyitkan keningnya.
"Anemia?" ulang Rein tidak mengerti.
"Naon atuh, Bah?" Ranti pun ikut bertanya.
"Itu, loh, Mbu. Kayak yang di film-film, yang suka lupa ingatan itu," cetus Bahar dengan serius, "soalnya si Eneng malah senyum aja waktu ditanya namanya."
Rein menahan tawa menanggapi celotehan Bahar. "Amnesia, Bah," ralatnya kemudian.
"Oh, udah ganti nama, ya?"
"Emang dari dulu namanya itu, Abah. Si Abah ini ada-ada saja. Sok tahu pisan (banget)!" decak Ranti yang kesal dengan ulah suaminya, lalu beralih pada Rein lagi, "eh, tapi kamu beneran nggak amnesia, kan?" tanya Ranti malah mengikuti pertanyaan suaminya.
Rein menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Saya masih inget semuanya, kok. Nama saya Rein. Saya ingat, waktu itu saya bersama dua teman saya mengalami kecelakaan mobil di jalanan curam menuju tempat wisata. Mobil kami masuk jurang dan tenggelam di sungai. Terima kasih sudah menyelamatkan saya."
"Alhamdulillah, berarti Allah masih memberikan kamu kesempatan untuk hidup melalui kami, Neng" sahut Bahar. Rein mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu dari luar kota?" tanya Ranti
Rein mengangguk lagi, lalu ia teringat dengan perkataannya sendiri di detik-detik dirinya mengingat mati. Dia juga teringat akan nasib teman-temannya. Apakah mereka masih hidup juga?
"Ehm ... Abah, Ambu, apa mungkin teman-teman saya juga masih hidup? Apa Abah tidak menemukan mereka juga?" Rein bertanya lagi, ia berharap teman-temannya juga selamat.
"Bapak hanya nemuin kamu, tapi kalau kamu memang nggak sendiri. Abah bisa kerahkan warga di sini untuk menyisir sungai. Barangkali mereka juga terseret arus sampai ke sini," ujar Bahar.
"Terima kasih, Bah. Saya berharap mereka juga selamat." Rein berkata sendu. Ranti yang merasa kasihan merengkuh tubuh Rein agar masuk ke dalam pelukannya.
"Sabar, ya, Neng Rein. Semoga teman-temannya juga selamat. Untuk sementara kamu tinggal di sini saja dulu. Semalam, Pak Mantri bilang, sebelah kaki kamu mengalami patah tulang dan cedera otot. Sepertinya kamu bakal susah berjalan." Setelah memberitahu hal tersebut, Ranti mengurai pelukannya. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Rein.
Rein menatap kakinya yang diperban.
"Ngga apa-apa, Neng. Nanti juga sembuh. Kami senang kalau kamu tinggal di sini. Jadi Abian ada temannya," seru Ranti lagi, sambil menoleh pada cucunya yang masih berdiri.
Pandangan Rein juga beralih pada anak kecil yang selalu menatapnya dari tadi. "Hai, jadi namamu Abian?" sapanya yang tidak mendapatkan tanggapan. Abian hanya diam dengan raut wajah datar.
"Maafkan Abian, Neng. Dia lagi mogok ngomong," pungkas Bahar sambil mengusap puncak kepala cucunya yang berusia delapan tahun tersebut.
"Mogok ngomong? Kenapa?" tanya Rein penasaran.
"Dia seperti itu semenjak kedua orang tuanya meninggal enam bulan lalu. Kami udah berusaha mengajaknya berbicara, tapi dia selalu menutup mulutnya," ujar Ranti dengan nada sedih. Kedua matanya menatap iba pada cucu semata wayangnya tersebut.
***
"Kamu nggak boleh su'udzon terus sama orang! Mentang-mentang polisi, bawaannya curiga terus sama orang asing. Ambu yakin, Rein itu perempuan baik-baik. Ambu nggak pernah lihat gelagat aneh selama seminggu dia tinggal di sini. Dia juga cantik, loh, As. Kapan kamu pulang? Nanti kalian bisa kenalan." Ranti tengah mengobrol lewat sambungan telepon bersama putra bungsunya. Ia duduk di saung belakang rumahnya. Menghindarinya Abian yang tidak boleh mendengar pembicaraan mereka.
"Nanti kalau tugas-tugas Aska udah selesai, Aska sempatkan pulang. Pokoknya Ambu harus tetap waspada. Jangan terlalu percaya sama orang asing!" Suara bariton di seberang telepon mengingatkan lagi.
"Iya, Aska, iya. Kalau nanti kamu ketemu terus kamu suka sama dia. Ambu setuju, pisan." Ranti tertawa kecil, lalu terjeda sejenak ketika ia mengingat sesuatu. Ranti pun menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. "Eh, As. Gimana dengan penyelidikan kasus kematian Aa (kakak) kamu? Pelakunya udah tertangkap?" tanya Ranti pelan-pelan. Ia tidak ingin Abian mendengar.
"Belum, Mbu. Perampok itu benar-benar profesional, mereka tidak meninggalkan jejak sama sekali. Pihak polisi juga tidak bisa menahan seseorang tanpa bukti."
Ranti menghela napas kasar. Sudah enam bulan kasus perampokan di rumah putra sulungnya terjadi, tetapi pelakunya masih belum diketahui. Ranti ingin pelakunya segera tertangkap, karena ia tidak rela harus kehilangan putranya dengan cara seperti itu.
"Ambu lagi telepon sama siapa? Kenapa ngumpet di sini?" Ranti tersentak saat mendengar seseorang bertanya kepadanya. Dia adalah Rein yang datang bersama Abian. Kini, Rein sudah bisa berjalan pelan, tetapi masih dibantu tongkat penyangga di kedua tangan.
"Eh, Rein. Ambu lagi telepon sama anak ambu. Namanya Aska. Kamu mau kenalan? Sebentar, Ambu gedein dulu suaranya, ya." Ranti hendak menekan tombol loudspeaker pada layar ponselnya, tetapi urung karena melihat panggilannya sudah berakhir.
"Loh, kok, mati? Si Aska ini gimana, atuh. Ambu, kan, belum selesai telepon." Ranti mengomel pada layar hitam di hadapannya.
"Mungkin sinyalnya jelek, Ambu. Atau ... anak Ambu nggak mau kenalan sama aku." Rein tertawa kecil saat mengatakan itu.
Tbc ....
Lanjut besok lagi, ya. Jangan lupa like sama favorit. Kasih komentar juga biar rame. Makasih 🤗
...Happy Reading...
...****************...
Sudah sebulan Rein tinggal bersama keluarga Ranti dan Bahar. Rein jadi lebih akrab dengan keluarga itu. Bahkan Ranti dan Bahar sudah menganggap Rein seperti anak mereka sendiri. Rein sangat betah tinggal di sana, hanya saja Rein tidak bisa melupakan teman-temannya yang tidak bisa ditemukan walaupun warga sudah berusaha menyisir sungai. Rein berpikir, jika kemungkinan kedua temannya sudah meninggal.
Ada satu hal yang selalu membuat hati Rein seperti terganjal sesuatu, yaitu Abian. Ia sulit sekali membuat Abian mau berbicara, padahal ia ingin sekali membuat keluarga baik hati itu juga bahagia. Kesembuhan Abian adalah kebahagiaan mereka.
"Abah lagi apa?" Rein bertanya pada Bahar yang tengah bersantai di teras depan bersama Abian. Berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat penyangga di tangan, Rein mendekati mereka, lalu duduk di kursi tunggal yang tidak ada penghuninya. Kaki Rein sudah lebih membaik. Rein bahkan sudah bisa belajar berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga lagi, tetapi harus pelan-pelan.
"Abah lagi ngisi ini, Neng." Bahar menunjukkan sebuah buku jadul yang bertuliskan 'Teka-teki Silang' di halaman depannya, "tadi Ambu beli ini di pasar, nyuruh Abah isiin biar tambah pinter katanya. Maklum, Neng. Abah, mah, dulu nggak sekolah. Kebanyakan hidup di jalan," imbuh Bahar.
Rein tersenyum pelik. Ia juga pernah hidup di jalanan, sebagai pencuri tentunya. Namun, ia beruntung karena masih bisa sekolah. Rein ingat, Ranti pernah bercerita kepadanya jika Bahar adalah seorang preman pensiun yang disadarkan oleh anak-anaknya. Anak-anak Ranti adalah aparat polisi. Walaupun ayahnya seorang preman, anak-anak Ranti adalah anak yang pintar. Mereka pun bertekad menjadi orang yang besar.
Namun sayang, Rein tidak pernah tahu jika anak-anaknya Ranti adalah seorang polisi. Hal ini berkaitan dengan Abian. Anak kecil itu akan histeris jika mengingat profesi ayahnya. Bahwasanya sang ayah meninggal saat mengenakan seragam polisi tepat di hadapannya. Abian merasakan trauma yang sangat besar, terlebih ketika ibunya juga menyusul karena mengalami pendarahan saat hamil besar. Sang ibu mengalami shok berat, ketika melihat suaminya tertembak.
Ranti dan suaminya berjanji, tidak akan membahas apa pun yang berkaitan dengan polisi. Bahkan anak bungsunya pun tidak boleh mengenakan baju seragamnya saat berkunjung. Semua foto keluarga yang memampangkan kegagahan seorang pahlawan negara, terpaksa disimpan di gudang. Semua itu demi menjaga perasaan Abian.
"Abah bisa ngisinya?" tanya Rein lagi. Ia tersenyum ketika melihat Bahar sedang menggigit ujung pensil sambil berpikir.
"Ada yang bisa, ada yang nggak," jawab Bahar, "bantuin abah, Rein! Tapi jangan bilang sama Ambu, nanti abah diomelin," imbuhnya memelas.
Rein tersenyum, kedua matanya melirik pada Abian yang tengah duduk di sisi kiri Bahar. Seperti biasa, anak kecil itu masih bersikap acuh sembari menatap hujan yang turun sore itu.
"Memangnya Bian nggak bantuin Abah?" tanya Rein memancing perhatian anak tersebut. Abian hanya melirik sebentar tanpa menyahut.
"Abian mana mau bantu, ngomong aja nggak mau," dengus Bahar sambil menghela napas kasar. Ia menyimpan buku TTS di atas meja yang menjadi penyekat antara Rein dan Bahar.
"Kalau gitu Rein juga nggak mau bantu. Nanti Rein diomelin Ambu kalau ketahuan bantuin Abah," tolak Rein pura-pura takut. Ekor matanya selalu mengawasi Abian, ingin mengetahui respon anak tersebut. Namun, Abian masih sibuk menatap hujan.
"Ya udah, gini aja. Biar Rein bacain soalnya, nanti Abah yang jawab. Nanti Rein bantuin nulisin isinya juga, cukup apa nggak sama kotaknya," usul Rein yang akhirnya disetujui oleh Bahar. Lalu pertanyaan pertama pun dibacakan olehnya.
"Pertanyaan mendatar, lima huruf. 'Hari setelah hari Kamis.'"
"Besok."
Jawaban spontan dari Bahar membuat Rein melongo, pun dengan Abian yang ikut menoleh pada abahnya.
"Besok?" ulang Rein memastikan pendengarannya.
"Iya, atuh. Sekarang, kan, Kamis. Berarti hari setelah sekarang, ya, besok."
Tawa Rein hampir meledak, saat mendengar penjelasan dari Bahar. Namun, sebisa mungkin dia menahannya. Pandangannya masih mengintai perhatian Abian. Samar dia melihat bibir Abian yang sedikit terbuka. Sepertinya anak itu juga merasa gatal untuk membenarkan jawaban abahnya. Rein berpikir, ini adalah respon yang baik dari Abian. Ia pun mempunyai ide yang cemerlang.
"Oke, kita cobain dulu, ya, Bah." Rein menuliskan huruf demi huruf kata 'besok' pada kotak kosong tersebut, dan ternyata cukup, "cukup, Bah. Pinter, Abah!" seru Rein pura-pura setuju dengan jawaban Bahar.
"Abah, tea, atuh!" seru Bahar berlaga pongah dengan logat Sundanya.
Mendengar itu Abian bereaksi lagi. Ia menatap sengit pada Rein, tetapi Rein pura-pura cuek dan melanjutkan pertanyaan yang lain.
"Enam huruf, lawan surga."
"Itu mah gampang, pasti cilaka alias celaka, jawabannya." Dengan yakin Bahar menjawabnya.
"Kenapa celaka, Bah?" tanya Rein penasaran sambil menahan tawa.
"Ya, kalau mau melawan surga mah, berarti celaka urusannya."
Kali ini Rein benar-benar tertawa. Dia tidak tahan dengan jawaban Bahar yang sebenarnya ada benarnya juga.
"Malah ketawa. Ayo, tulis. Kalau cukup berarti bener," perintah Bahar. Rein menuliskan jawaban, dan tentu saja hurufnya cukup mengisi kotak kosong tersebut.
Sore hari yang disambut oleh tetesan air hujan tak membuat mereka kedinginan. Suasana malah terasa hangat dengan tawa Rein yang kadang-kadang tergelak. Ia sudah berusaha menahan tawa, tetapi setiap jawaban yang terlontar dari mulut Bahar selalu sukses membuat tawanya pecah seketika. Rein tidak bisa menyalahkan setiap jawaban Bahar, karena alasan lelaki itu selalu masuk di akal.
Abian yang merasa kesal, akhirnya tidak bisa tinggal diam. Ia merampas buku TTS serta pensil yang dipegang oleh Rein. Kemudian menghapus semua jawaban yang sempat Rein tulis di sana. Lantas Abian menggantinya dengan jawaban yang sesuai.
"Ini baru jawaban yang bener. Kalian berdua bener-bener payah."
Rein dan Bahar melongo takjub mendengar Abian berbicara. Setelah sekian purnama, akhirnya Abian mau mengeluarkan suara emasnya.
"Abah lagi nggak mimpi, kan? Ini cucu abah yang lagi ngomong?" Bahar berkata sambil menatap Abian dengan takjub.
Rein menyunggingkan sebuah senyuman. Inilah yang Rein inginkan. Membuat Abian kesal dan merasa gatal untuk mengungkapkan unek-uneknya atas kesalahan jawaban mereka. "Iya, Bah. Itu suara Bian." Rein menjawab sambil mengusap lengan Abian, "kamu pinter, Sayang," ucapnya memuji Abian.
Abian terdiam menatap Rein, sedangkan Bahar bertingkah heboh memanggil istrinya yang tengah berada di dapur. "Ambu ... Ambu ... cucu kita sudah nggak jadi master Limbad lagi. Dia udah mau ngomong, Ambu!" teriaknya sambil berlari menghampiri istrinya.
Rein tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Bahar. Hening sejenak, hanya terdengar suara gemericik air yang turun dari atas atap.
"Kamu mau main hujan?" Rein bertanya pada Abian yang masih mematung di tempatnya. Ia seperti tidak percaya, jika dirinya bisa terjebak dan mau membuka suara.
Tak ada jawaban, Rein pun kembali melontarkan kalimatnya. "Waktu Kak Rein masih seumuran kamu, Kak Rein suka main hujan. Ada yang orang yang bilang, kalau air hujan bisa menutupi kesedihan. Kita bisa menangis di bawah guyuran hujan tanpa ada orang yang sadar. Sekali-kali nggak apa-apa, kok, main hujan," imbuhnya lagi.
Abian terdiam sambil berpikir. Anak itu sudah tahu, jika Rein juga dari kecil sudah yatim piatu, lalu beberapa saat kemudian anak kecil itu berdiri dan menganggukkan kepalanya. Rein pun tersenyum lalu membawa anak tersebut ke halaman. Tak memakan waktu lama untuk membuat tubuh mereka kebasahan. Rein berkata pada Abian untuk menumpahkan segala kesedihannya di sana. Abian menangis di bawah guyuran hujan sambil memeluk Rein.
Cukup lama Rein mengajak Abian bermain air. Untuk pertama kalinya Abian terlihat ceria dan bisa tertawa. Sedangkan di sisi lain, Ranti dan Bahar tengah menangis terharu sambil memperhatikan cucunya yang terlihat tertawa untuk pertama kalinya setelah anak mereka meninggal. Bahkan Ranti juga merekam kejadian itu untuk dikirimkan kepada anak bungsunya—Aska.
...****************...
TBC....
Jangan lupa like, favorit, komentar, sama giftnya, ya. Mamacih. 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!