NovelToon NovelToon

Bolehkah Aku Mencintaimu?

Perjuangan Jihan

Wanita berumur 35 tahun itu, berjalan menggandeng tangan putri kecilnya yang berusia 8 tahun berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaaan yang lain.

Suaminya dan ayahnya baru saja meninggal 2 bulan yang lalu dalam kecelakaan yang disengaja.

Sekarang ia tengah berusaha untuk merebut kembali kepemilikan usaha yang telah lama keluarganya bangun selama hampir 65 tahun.

Semua aset yang dimilikinya tiba-tiba dibekukan. Orang pertama yang ia mintai bantuan adalah suami sahabatnya, yang juga merupakan sahabat dari Suaminya. Harry Kencana.

Di dalam ruang kerja Harry

"Ry , kamu tidak benar-benar membantunya kan?" tanya wanita itu lirih menatap tak percaya laki-laki yang bersahabat dengan suaminya selama hampir 20 tahun tersebut.

"Kenapa kamu tidak terima saja tawarannya, toh tidak ada ruginya. Berhentilah membanggakan prinsip keluargamu itu. Berhentilah seolah keluargamu adalah orang paling suci," tegas lelaki itu.

"apa???kenapa kalian selalu menyalahkan prinsip yang keluargaku banggakan? Prinsip itu yang membawa perusahaan itu sekarang berdiri tegak selama 65 tahun, Ry. Melewati semua krisis ekonomi. Kejujuran, saling percaya, kesetiaan dan kekeluargaan, apa yang salah dengan prinsip itu?" bela wanita itu.

"Hah, apa kamu pikir di perusahaan itu semua orang berprinsip sama dengan ayahmu? Kalau memang iya. Kamu tidak akan perlu repot-repot mencari bantuan kesana kemari seperti sekarang."

Menatap ke arah Jihan.

"Terima tawaran Anton, dia masih mencintaimu meski kamu pernah meninggalkannya dan memilih laki-laki lain. Kamu juga harus memikirkan putrimu bukan?" tawar Harry

"Bagaimana bisa, kamu menyuruhku kembali pada laki-laki seperti itu? Setidaknya, ayah dan suamiku meninggal dengan bangga karena kesetiannya dan prinsipnya.

Di akhir hayatmu, mungkin kamu baru akan sadar, kalau penghianatanmu akan membuatmu dikutuk oleh orang-orang yang kamu cintai," mengepal tangannya berjalan keluar menahan marah dan tangisnya.

"Han, aku sudah dengar beritanya. Mas Harry bilang apa?Dia mau membantu kamu kan?" tanya Mutia khawatir pada sahabatnya yang baru keluar dari ruangan Harry

Ia tak ingin memberitahu sahabatnya, bahwa laki-laki yang dicintainya adalah laki-laki yang sudah berkhianat pada persahabatan mereka.

"Mungkin Dia tidak dalam kondisi membantuku Muti" Jawabnya pelan.

"Datiyah mana?" dia mengalihkan pembicaraan.

"Dia di taman sedang ngobrol dengan Gama"

Kemudian Jihan berjalan ke arah taman melihat anaknya yang sedang ngobrol dengan asyiknya.

"Waahh...pasti seru, aku jadi kangen sama teman-teman dan balik ke sekolah," ujar Tiyah.

"Kenapa kamu lama masuk lagi?" tanya Gama dengan polos.

Mendengar anaknya yang membicarakn sekolah dengan senang, semakin sedih perasaannya. Jika ia bisa memperjuangkan semua haknya, maka semuanya akan kembali normal pikirnya.

"Aku sudah gak bisa tinggal di rumah. Aku sama Mama tinggal di hotel, tapi hotelnya juga jelek. Sempit, kamar mandi di rumah saja lebih besar dari kamarnya.

Kata mama, nanti kalau sudah bisa kembali ke rumah, baru bisa sekolah lagi," jawab Tiyah polos.

Sekolah yang dibicarakan itu, bukan sekolah biasa. Merupakan sekolah swasta. Di mana rata-rata siswanya merupakan anak konglomerat dan petinggi-petinggi politik negeri.

"Tapi kalau kamu lama kembali, nanti semakin banyak ketinggalan. PR saja kamu sudah banyak tidak kerjakan."

"Kan nanti aku pinjam buku Gama. Boleh yah? boleh yah?" pinta Tiyah memelas pada Gama sambil menggoyangkan tubuh anak laki-laki itu dengan kencang.

"Oke lah, asal nanti kalau kamu kembali. Kamu duduknya di samping aku, biar aku bisa enak nyontek," jawab Gama dengan sombong.

Tiyah adalah anak yang cerdas. Prestasinya di atas rata-rata anak lainnya.

"Tiyah, ayo kita pergi!" memotong pembicaraan anak kecil yang sedang asyik itu.

"Gam, jangan lupa yah, simpan catatan?" teriak Tiyah yang sudah berjalan ke arah ibunya meninggalkan Gama di taman.

Setelah pamit pada Mutia dan menitipkan salam pada Amira, sahabat mereka yang baru saja bercerai dari suaminya, dan tinggal bersama putrinya di rumah Mutia.

Jihan melanjutkan perjalannya. Menaiki kereta, perjalanan yang kurang lebih selama dua jam dia lalui dengan penuh harap dan berdoa dalam hatinya.

"Tuhan, aku mohon berikan aku kesempatan, mudahkanlah," setelah berdoa dia menatap wajah putrinya.

Perjuangan yang ia lakukan demi putrinya dan perusahaan yang menjadi kebanggaan Keluarga Gunawan selama 65 tahun. Sebentar lagi akan dikuasai oleh laki-laki jahat dan bisa menghancurkan perusahaan itu dalam sekejap.

Terngiang di kepalanya apa yang di katakan laki-laki itu.

"Pergilah, ku berikan kamu waktu 2 minggu. Carilah bukti, bahwa prinsip yang keluargamu bangga-banggakan itu bisa menyelamatkanmu sekarang."

Ayahmu tak bisa menerimaku karena fikiran licikku, tapi dia tahu dengan baik, bahwa perusahaan ini pun dikembangkan oleh bawahannya yang licik sepertiku."

"Akan aku buktikan. Dan juga, bukan hanya akal licikmu yang ditolak ayahku. Tapi keseluruhan jiwa dan ragamu," Jihan melangkah keluar dari ruangan lelaki itu.

"Kalau kau sudah lelah, kembali lah kedekapanku. Aku akan menerimamu dengan senang hati," berteriak sambil membuka kedua tangannya seolah menyambut Jihan.

"Aku tidak akan kembali padamu. Apapun yang terjadi." Berusaha tegar dan mengepalkan tangannya.

Membuka matanya kembali, kereta akhirnya berhenti di kota yang ia tuju.

Ia akan menemui salah satu kolega ayahnya, yang sudah berpuluh tahun bekerja sama.

Tiyah menunggu diruang tunggu dengan sabar.

Tak lama kemudian, dia di oersilahkan masuk ke dalam ruangan.

"Aku sudah tahu tujuan kedatanganmu ke sini. Aku tidak ingin kamu memohon atau memelas dan berusaha meyakinkanku. Aku sudah membuat keputusan Jihan," ucap lelaki itu tegas.

"Paman, kau sudah bersama Ayah hampir 60 tahun. Bagaimana bisa kau melihatku seperti ini dan mengabaikanku?"

"Aku menghargaimu, sebagai putri sahabatku, karena itu aku menemuimu. Seharusnya aku tidak menemuimu. Dan hanya merasa bersalah seperti ini."

"Paman....!?" wajahnya memohon sambil memegang tangan sahabat ayahnya.

"aku harus melindungi karyawanku, jika aku membantumu, aku akan mengorbankan kelangsungan hidup 3000 ribu karyawanku, dan keluarganya. Jika ayahmu atau suamimu masih ada, aku yakin mereka akan ada melindungi kami. Tapi sekarang? Aku benar-benar minta maaf Jihan." mendorong tangan wanita yang pernah di anggapnya putri tersebut.

"Baiklah, aku mengerti paman." Dia duduk tegak dan merapikan penampilannya yang terlihat lusuh.

Mengeluarkan amplop dari laci. "Aku dengar mereka membekukan semua aset yang kamu miliki, hanya ini yang bisa kubantu," memberikan amplop itu pada Jihan dan menggenggam tangannya memberikan semangat.

Jihan faham sekali, meskipun ingin membantu. Dan saat ini Jihan juga tidak bisa menjamin keselamatan perusahaan sahabat ayahnya.

Ia hanya menerima uang tersebut, karena bukan saatnya ia harus malu-malu menerima bantuan seperti ini.

Tiyah sudah menunggu dengan sabar.

"Sayang, ayo!" mengulurkan tangannya yang kemudian di genggam putrinya.

Baginya, sentuhan kecil Tiyah, akan menyemangatinya menjalani masa sulit ini.

"Kita akan baik-baik saja. Badai ini pasti berlalu Jihan" katanya dalam hati menyemangati diri.

Dua Minggu hampir berlalu. Semua perusahaan yang ia kunjungi menjawabnya dengan jawaban yang sama.

Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Uang yang diberikan teman ayahnya, mulai menghilang ia gunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Butik dan apotek yang ia gunakan, sebagai mata pencahariannya pun tak luput dari penyitaan aset yang direncanakan oleh laki-laki busuk itu.

"Ma, Tiyah kapan balik ke sekolah? Tiyah capek keliling-keliling terus. Kaki tiyah rasanya mau copot."

Terngiang kata-kata anaknya dalam kepala.

Tiba-tiba Hp nya berbunyi.

"Aku pikir kau akan menemuiku lebih cepat. Tapi hampir 2 minggu kau masih bertahan. Aku salut akan kegigihanmu," terdengar suara laki-laki yang sangat ia benci saat ini.

"Aku masih memiliki waktu dua hari lagi," jawab Jihan.

"kemana lagi kamu akan membawa gadis kecil yang sedang istirahat karena kelelahan itu? apa kau tak mengasihaninya?"

Jihan melihat putrinya yang tertidur di pangkuannya dan melihat sebuah mobil dan seorang laki laki yang sedang merekam mereka.

"Naiklah ke mobil itu dan temui aku. Kita bisa mengobrol dan bernostalgia akan masa lalu kita. Naiklah, waktumu segera habis." meninggikan nada bicaranya.

Melihat putrinya yang lelah, ia berfikir untuk menyerah.

Bisakah kehidupannya kembali normal dan seperti sedia kala?

Toh semua orang yang dia mintai bantuan juga bersikap egois. Tanpa ayah dan suaminya, semua orang meninggalknya.

*bersambung......

Terperangkap

Setelah beberapa lama dalam mobil, melihat putrinya teringat lagi akan suaminya.

"Tidak! Bagaimana bisa aku berfikir untuk mengalah pada orang yang sudah membunuh ayah dan suamiku?" bathinnya.

"Pak, hentikan mobilnya." Mobil pun berhenti. Ia menggendong putrinya keluar dari mobil dan kembali ke hotel.

Sesampainya di hotel. Ia memeriksa semua uangnya.

"Uang ini akan cukup untuk sekolah Tyah, kalau aku memindahkannya ke sekolah biasa. Setelah itu aku akan cari kerja."

Jihan lulusan S1 keperawatan. Setelah lulus ia langsung menikah. Ia fikir keahliannya akan ia kerahkan untuk keluarganya. Tetapi sekarang, hanya Ia dan Tiyah yang tersisa.

Keesokan harinya, ia membawa Tiyah mencari kos-kosan karena biaya bulanannya akan lebih ringan.

Ia mengurus surat-surat untuk keperluan daftar sekolah Tiyah.

"Jadi Tiyah, gak akan balik ke sekolah lama?" tanya Tiyah dengan nada sedih pada ibunya.

"iya sayang, untuk sementara Tiyah di sekolah Negeri dulu yah? Nanti kalau semuanya sduah kembali normal. Tiyah bakalan mama sekolahin di sekolah lama lagi."

Tiyah, yang melihat wajah ibunya yang bertambah tua dalam 12 hari itu hanya mengangguk mengerti.

Mereka sudah mengengelilingi semua tempat dalam 12 hari, mencari seseorang yang mau membantu mereka.

Wajah wanita yang putih, terawat itu telah sirna digantikan kulit kusam, merah dan terbakar.

Meski masih terlihat garis kecantikan di wajahnya.

Setelah 2 hari berlalu, Jihan mengabaikan telpon dari Anton dan mengirim pesan terakhirnya

"Ambil saja semuanya, aku sudah tak perduli. Yang ku butuhkan sekarang adalah menjauh darimu dan aku tidak akan pernah memaafkan apa yang sudah kamu lakukan. Tapi aku akan melupakan semuanya."

QUOTE: CARA PALING AMPUH MEMBALAS DENDAM ADALAH MOVE ON by Anonim.

Setelah itu, ia memblokir nomor Anton.

"Aku bisa bertahan, di dunia ini ada banyak orang yang lebih susah daripada aku.

Aku hanya harus bekerja lebih keras lagi." Hibur Jihan pada dirinya di depan cermin.

Tiyah pun ikut menyemangati dirinya setelah melihat Mamanya. "Tiyah pasti juga bisa sekuat Mama," mengepal tangan di depan wajahnya, tanda semangat. Jihan tersenyum melihat putrinya.

Jihan sudah mengajukan lamaran, ke hampir seluruh rumah sakit dan klinik tapi semuanya menolaknya. Dengan alasan Jihan tak punya pengalaman.

Tentu saja wanita itu tidak setuju. Dia melakukan kerja sosial, dan pergi ke berbagai daerah menolong dokter dengan pasiennya. Dia hanya tak berpengalaman di tempat resmi.

Hari ini ia akan mendaftarkan Tiyah ke sekolah dasar negeri. Tapi, sekolah tidak bisa menerima dengan alasan yang tak jelas.

Meminta biaya yang tak masuk akal jumlahnya. Dengan kesal Jihan keluar dari sekolah itu.

Menatap kesal ke arah sekolah dan berbalik meninggalkan sekolah itu bersama dengan putrinya.

Tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Nona Jihan!!" teriak wanita yang kebetulan seorang guru.

"Ada apa lagi?" tanya Jihan kesal.

"Saya istrinya Budi, dulu suami saya sering bersama Tuan Gunawan. Saya hanya ingin memberitahu. Kemanapun Nona akan pergi mendaftarkam Nona Tiyah untuk sekolah. Semua sekolah itu tidak akan ada yang berani menerimanya." Jelas wanita itu.

"Apa maksudmu?"

"Saya dengar, tadi suruhan Anton Sugesti datang lalu memberikan ultimatum. Apapun alasannya, Datiyah Gunawan tidak boleh sekolah di sini.

Saya menelpon beberapa teman dari sekolah lain, mereka juga diancam, selain sekolah, mereka juga mengancam kehidupan pribadi guru-guru dan kepala sekolah," bisik wanita itu lirih.

"Lantas aku harus bagaimana?aku tentu saja bisa mengajarkannya. Tapi dia juga butuh pendidikan formal," berbisik pada dirinya sendiri.

Guru wanita tadi hanya diam dan sedih melihatnya. Tak bisa berbuat banyak untuk keluarga Tuan besar yang pernah membantu keluarganya.

"Terima kasih sudah memberitahuku. Setidaknya, tenagaku tidak terbuang sia-sia dan memohon tak jelas." Jawab Jihan sepositif mungkin.

Dengan emosi yang marah, Jihan pergi ke kantor Anton tanpa membuat janji atau menelponnya.

"Anton, aku ingin bertemu dengan Anton!" mengucap marah pada wanita di meja resepsionis.

Kaget, wanita itu memasang senyum 1000 watt yang nyata kepalsuannya.

"Maaf, apa anda sudah membuat janji?"

"Katakan saja padanya, Jihan ada disini!"

"Maaf, jika anda tid..."

memukul meja resepsionis.

"Beritahu saja. Jangan sampe aku buat kamu menyesal!"

Wanita itu langsung memanggil sekuriti. Tiyah yang melihat ibunya hanya merasa takut. Pertama kali, ia lihat ibunya segusar ini.

"Ma..."teriak Tiyah menggenggam tangan mamanya.

Jihan yang tersadar mendengar suara putrinya. "Maafin Mama sayang, mama gak sengaja. Tiyah pasti kaget. Mama cuma marah sebentar," berlutut memeluk putrinya yang ketakutan.

Saat sekuriti akan membawa Jihan. seseorang memarahi mereka.

"Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tak tahu siapa dia? Dia adalah calon istri Tuan Anton. Jaga sikap kalian." Ucap laki-laki yang merupakan tangan kanan Anton.

Jihan mengenalinya, karena dia adalah adik kelas mereka ketika SMA.

"Maaf Nyonya, silahkan," mempersilahkan Jihan dan Tiyah berjalan lebih dulu.

Ia tidak perduli apa yang dimaksudkan Jun dengan mengatakan bahwa dia adalah calon istri Anton.

Setelah di dalam lift

"Apa yang kamu lakukan,Jun? Sejak kapan kamu bersama Anton?

Jun, kamu bisa kan bujuk Anton supaya membiarkan Datiyah bersekolah. Aku tidak meminta banyak. Hanya biarkan dia sekolah."

Memohon pada Jun, sambil memegang lengannya.

"Maaf Nyonya, saya tidak bisa melakukan apa-apa."

"Jun? kenapa kamu tega sih? kenapa kamu malah ngikutin Anton? Apa kamu lupa yang sudah dia lakuin ke kamu?"

"Nyonya, say....."

"Nyonya, nyonya, nyonya! Apakah kamu sudah gila? Berhenti memanggilku Nyonya. Dan kamu sudah sering diperlakukan seperti sampah olehnya. Menyiksamu dan banyak hal buruk lainnya yang ia lakukan."

"Mbak Jihan, ini akan jadi terakhir kali saya memanggil mbak dengan sebutan itu. Apa yang Tuan Anton lakukan adalah menyadarkan saya.

Bahwa jika kamu memiliki kekayaan dan kekuasaan kamu akan bebas melakukan apapun.

Saya akan selalu berterimakasih pada Mbak Jihan dan Kak Fuad yang sering melindungi saya."

Fuad adalah suami Jihan dan Ayah Datiyah.

Berkali-kali Jihan memohon bantuan Jun, tapi ia tak menghiraukannya. Iya, hanya sedikit orang yang benar-benar bertahan ketika mengalami penyiksaan dan tak memiliki apa-apa dan sadar betapa menggiurkannya kekuasaan dan kekayaan.

"Saya akan menjaga Nona Datiyah, lebih baik Nyonya masuk sendiri saja."

Jihan langsung membungkuk dan bicara pada anaknya.

"Datiyah sama om Jun dulu, mama mau bicara di dalam sebentar."

Tiyah hanya mengangguk.

Di dalam ruang kantor Anton.

Begitu masuk ke dalam, Jihan langsung menampar Anton yang berdiri menyambut Jihan.

Anton langsung tersenyum. "Sudah lama tanganmu tak bersentuhan dengan kulitku. Meski itu tamparan kebencian. Entah kenapa rasanya aku bahagia," tutur Anton yang tersenyum memegang pipinya seperti orang gila.

"Aku sudah memberikan semuanya. Aku akan membiarkanmu...."

"sssstttt....." Anton meletakkan jari telunjuk di bibir Jihan menyuruhnya untuk berhenti bicara.

Jihan memundurkan tubuhnya dan melihat Anton dengan rasa jijik.

Tersenyum, "Ayo kita selseikan pembicaraan kita di rumahku, disini terlalu banyak yang mendengar. Bagaimana nanti kalau kita menikah mereka tak menghargaimu sebagai istriku."

"Jangan mimpi!! Aku tidak akan pernah menikah dengan seorang pembunuh sepertimu!"

"Kamu tahu, walaupun aku tidak akan melukaimu sedikitpun, tapi aku bisa melukai anakmu? Dia adalah bukti bahwa kamu meninggalkanku dan bercinta dengan laki-laki lain," memegang kedua lengan Jihan.

Mendengar ancaman Anton, Jihan hanya berdiri lemas di depannya.

*bersambung......

Melindungi Datiyah

Setelah mengancam akan melukai Datiyah. Akhirnya Jihan setuju membicarakan semuanya di rumah Anton.

Dalam fikiran Jihan, dia sedang berusaha mencari jalan, bagaimana dia bisa melindungi Datiyah dari laki-laki ini.

Begitu tiba di rumahnya, Datiyah langsung di bawa ke dapur oleh Jun dan meminta pelayan menyiapkan cemilan.

Sementara itu, di ruang tengah.

"Anton, sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Jihan pada Anton

"Lahirkan anakku, karena tanpa keturunan langsung dari Gunawan, aku tidak akan bisa sepenuhnya mengambil hartamu. Selain itu juga bisa membuatmu terikat padaku."

"Jangan mimpi, bukankah sudah kukatakan. Aku tak ingin berurusan denganmu lagi." Jihan berjalan ke arah Jun membawa anaknya.

"Apa kamu akan membiarkan anakmu hidup jadi gelandangan?"

"Iya, aku tidak perduli bahkan jika harus hidup sebagai gelandangan. Dan aku tahu, Tiyah akan mengerti suatu hari nanti."

"Apa kamu lupa apa yang kukatakan tadi? Aku mungkin tidak bisa dan tidak mau menyakitimu tapi aku bisa menyakiti anakmu!" langkah Jihan pun terhenti.

Kemudian Anton meraih pergelangan tangan Jihan. Jihan ingin meronta, tapi ia mengingat putrinya. Meninggalkan putrinya bersama Jun.

Dia dan Anton, memasuki sebuah ruangan. Anton menciumnya dengan paksa.

"Anton, berhenti aku tak mau melakukannya. Kau pikir aku wanita murahan?" Jihan menampar wajah Anton dengan keras.

"Tidak, aku tidak berfikir kamu wanita murahan. Kamu adalah calon ibu dari anakku." Anton memegang baju Jihan.

Jihan mendorong Anton dengan keras.

"Hentikan!"

Anton mulai merasa jengah, diapun mendorong Jihan ke atas tempat tidur.

Masih memaksa Jihan.

Jihan tiba-tiba terbayang wajah ayah dan suaminya. "Meskipun harus mati, aku tidak akan menyerahkan hidupku untuk laki-laki ini" batinnya.

Anton masih menggenggam kedua tangan Jihan di atas kepalanya. Dia menggeliat berusaha lepas dari cengkraman Anton.

Berhasil lepas, Jihan lalu mendorong Anton sekeras-kerasnya. Dan dengan cepat ia menyambar lampu tidur di samping tempat tidur.

"Jihan, kamu harus berfikir dengan matang. Fikirkan masa depan anakmu."

"Aku berfikir sangat matang sekarang. Sampai mati, aku tak akan menyerahkan diriku padamu. Meski aku dan Tiyah akan jadi gelandangan sekalipun. Itu lebih baik daripada harus seatap denganmu."

Jihan kemudian memukul kepala Anton dengan lampu itu. Membuat darah keluar dari pelipisnya.

Melihat Anton, yang goyah Jihan mulai berlari, tapi Anton beehasil menarik bajunya dari belakang dan ia tersungkur ke belakang.

Karena kondisi Anton yang lemah, Jihan dengan mudah menendang Anton.

Darahnya sudah mengenai tubuh Jihan.

Baju Jihan sudah sobek dan compang camping, Dia berhasil membuat Anton tersungkur lemah.

Dia berlari dengan kencang keluar kamar, sambil berteriak.

"Tiyah....!!Tiyah!!" Dia melihat anaknya yang duduk di meja makan. Jun yang melihat Jihan langsung memegang lengan Tiyah.

Sementara Tiyah melihat mamanya dengan ketakutan, "mama....?"

Jihan berjalan ke arah putrinya dengan cepat

dan mendorong Jun dengan keras hingga ia tersungkur,

"jangan sentuh anakku!" berteriak.

Untung saja genggamannya pada Tiyah tidak erat.

Kemudian Jihan mengajak anaknya berlari.

Tiyah yang ketakutan itu, hanya mengikuti kata ibunya.

"Sayang, lari sekencang-kencangnya"

Mereka berdua berlari sangat kencang. Tentu saja Jihan harus menunggu dan menyesuaikan kecepatan dengan Tiyah. Akhirnya dia menggendong Tiyah sambil berlari.

Sementara di belakang mereka, orang sudah berteriak.

"Tangkap Mereka, jangan biarkan mereka kabur!"

Gerbang yang masih terbuka lebar itupun tak bisa menjadi harapan, karena penjaga sudah berdiri menghalang.

Jihan menghentikan langkahnya, menurunkan Tiyah dari gendongannya. Sayang, apapun yang terjadi. Tiyah harus cepat lari dan keluar dari gerbang.

"Ma, Tiyah takut!" Tiyah merengek. Jihan menyembunyikan Tiyah di belakangnya, meskipun menyembunyikan Tiyah adalah hal percuma. Karena dia sudah di kelilingi dari berbagai arah.

Sementara orang-orang di depan sudah mulai maju ke arah mereka.

"Jangan sentuh wanita itu, tangkap anaknya saja," berbalik Jihan mendengar suara teriakan itu, Anton yang berdiri dengan kain penuh darah di kepalanya.

Mendengar perintah Tuannya, mereka hanya mengejar Tiyah. Jihan berusaha melindunginya sekuat tenaga. Menghalangi mereka menyentuh Tiyah.

Percuma, mereka terlalu banyak.

Anton yang tadi masih berdiri di depan pintu yang berjarak 30 meter dari gerbang, sekarang sudah berdiri di belakang Jihan.

Tak melihat Anton mendekat, Jihan masih berusaha melindungi Datiyah di belakangnya.

"aaaarrrhhh..Mama....!!" teriak Tiyah kesakitan rambutnya di cambak dengan kasar dan terlempar ke arah belakang, untung saja Jun sempat menangkapnya.

Horor, Jihan melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Jihan memukul dada Anton dengan kencang tentu saja laki-laki bertubuh kekar itu tak bergeming.

"Bawa anak itu ke dalam!" perintah Anton dan berbalik ke arah rumah.

Jihan kemudian berlutut memegang dan menarik kaki Anton sambil menangis.

"Ton, maafin aku. Jangan, jangan bawa anakku. Aku akan melahirkan anakmu. biarkan dia keluar dari sini!"

Anton menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Jihan. "Bukan anakku, tapi anak kita."

Jihan mengangguk cepat, "iya, anak kita."

Setelah masuk ke dalam rumah, Anton memanggil pelayan untuk membantu Jihan membersihkan diri dan berganti pakaian.

Jihan berjalan ke kamar atas, sambil terus berbalik melihat ke arah putrinya yang ketakutan. Duduk di sebuah kursi kayu yang diletakkan di depan sofa di depan Anton. Dia menuruni tangga lagi mendekat pada Anton.

"Anton, biarkan aku membawa Datiyah membersihkan diri bersamaku," ucapnya memelas.

"Tidak, pergilah sendiri. Aku ingin bicara dengan calon anakku."

Jihan kembali berjalan ke lantai atas sesekali melirik anaknya.

"Jihan, ibu macam apa kamu?" batinnya menangis melihat anaknya yang ketakutan di depan Anton.

Tiyah tangannya gemetar, keringat dingin di sekujur tubuhnya. Lutut dan sikunya lecet karena kejadian tadi.

"Datiyah" ucap Anton pelan. Datiyah yang sangat ketakutan tidak bisa menjawab. Suaranya, bahkan pandanganya. Tubuhnya seperti membeku.

"Datiyaaahh" teriak Anton.

Datiyah kaget mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata dan ingus.

Ia menahan suara tangisnya, sehingga tubuhnya berguncang karena berusaha menahan tangis. Nafasnya tak beraturan.

"Kamu boleh menangis sekencang-kencangnya," tentu saja mana ada yang berani menangis meski seseorang mengatakan itu.

Sementara itu, Jihan menangis di kamar mandi. Ia memohon bantuan pada pelayan-pelayan yang sedang membantunya membersihkan diri. Mereka hanya bisa memberikan pandangan iba pada Jihan.

"Datiyah, apa kamu mau jadi anak Om Anton?"

itulah panggilan kebiasaannya pada Anton, jika bertemu di suatu acara.

Tak menjawab. "Aahhh, seandainya Tiyah gak maupun. Tiyah bakalan jadi anak Om. Karena lusa om akan nikah sama Mama Jihan." ucap Anton.

Jihan mempercepat, mandi dan ganti baju. Tak ingin putrinya berlama-lama bersama laki-laki itu. Tapi apa yang ia tak ketahui adalah semakin cepat dia selesei semakin cepat anaknya akan mendapatkan hukuman.

"Duduklah, calon istriku," Anton mengarahkan Jihan duduk di sofa di depan Tiyah.

"Sekedar peringatan untukmu sayang, jangan mengeluarkan suara apapun!"

Anton kemudian berjalan ke arah Datiyah, Jihan ingin berdiri tapi di tahan oleh Jun yang menggelengkan kepalanya pada Jihan.

Anton mencengkram, kerah baju gadis kecil itu, mengangkatnya kemudian mendaratkan tamparan di wajah mungilnya.

"aaahh...mama....mama...sakiit" Datiyah kemudian menangis kencang memanggil ibunya dan meronta berusaha melepaskan diri dari Anton.

"Aaaaarrghhhh...hentikan Anton" Jihan berlari ke arah Anton dan menarik tangannya agar melepaskan anaknya.

Anton tersenyum, senyum yang mengerikan

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu tadi?"

*bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!