Lisa menguyah permen karet rasa blueberry nya. Membenarkan ujung jaket warna merahnya, sebelum kemudian mengenakan earphone kembali.
Gadis itu lantas menyandarkan kepala pada kursi bus. Lalu menolehkan kepala ke arah jendela, melihat beberapa kendaraan yang sibuk berlalu lalang di luar dengan sorot mata tak acuh.
Sejujurnya dia malas hari ini. Baginya, lebih baik bergumul dibalik selimut saat libur akhir semester daripada harus mengikuti karyawisata selama tiga hari di hutan dekat perbukitan nanti.
Atau yang paling menyenangkan lagi. Lisa bisa menghabiskan hari liburnya dengan menonton drama atau anime sampai semalam suntuk.
Hanya saja, karyawisata sialan ini wajib. Jadi, mau tidak mau gadis itu harus menyeret kakinya turun dari tempat tidur untuk bergegas ke sekolah.
Ya, seperti saat ini. Dia sudah duduk dalam bus di kursi urutan ketiga dari depan. Tepatnya di dekat jendela sebelah kanan. Deretan kursi yang biasanya diisi oleh dua orang.
Jika ditanya, kenapa Lisa tak memilih kursi bagian belakang atau tiga orang. Jawabnya adalah, karena Lisa tidak suka dengan keributan.
Kursi belakang seringkali diisi oleh anak-anak cowok yang sering membuat keributan. Lalu kursi dengan tiga orang, terkadang lebih sempit daripada kursi dengan dua orang. Tak hanya itu, Lisa juga sulit bergerak jika harus duduk di kursi tiga orang. Pergerakannya terganggu, parahnya lagi dia sering jadi bantal untuk dua orang di sisi kanan-kirinya jika mereka terlelap.
Uh, menyebalkan!
Hanya butuh waktu kurang dari lima menit, kursi penumpang dalam bus ini akhirnya penuh juga. Kebetulan, Lisa duduk dengan gadis berkacamata yang sering mendapat julukan 'dukun'.
Bukan tanpa alasan lain, dia mendapat julukan itu. Selain karena cara berpakaiannya yang kuno. Gadis itu juga suka sekali menunduk, sehingga membuat rambutnya yang panjang itu jatuh menutupi wajahnya yang pucat.
Hanya saja, ini jadwal yang sudah dibuat dari sekolah. Jadi, suka tidak suka Lisa harus duduk dengan anak yang sering dijauhi itu.
"Mau permen?" ucapnya tiba-tiba, seraya menawarkan permen mints pada Lisa.
Gadis itu hanya menolehkan kepala sesaat sebelum menggeleng pelan kemudian. "Aku sudah punya."
Lisa hanya menjawab seadanya sembari mengeluarkan permen karetnya dari dalam saku hoddie merahnya.
"Ah, baiklah ..." gumam gadis itu pelan.
Dia langsung menunduk kembali, menatap ujung sepatu boots nya yang sudutnya tampak berdebu. Kehilangan topik sepertinya.
Merasa situasi sedikit akward diantara keduanya. Membuat Lisa semakin jengah. Dia segera meletakkan earphone yang tadi terpasang di telinga, menjadi menggantung di lehernya yang jenjang.
Sepersekian detik setelahnya, kepala cokelat Lisa menoleh ke arah temannya di sisi kiri tempat duduk.
"Aku Lisa, siapa namamu?" basa-basinya langsung.
Suaranya terdengar datar dan tenang sekali. Berbeda dengan si gadis dukun yang sepertinya tersentak dan menjawab terbata-bata.
"K-kau ber-bicara denganku?" tanyanya.
Alis Lisa menukik, lumayan kaget dengan reaksi gadis pucat di sampingnya ini. Apakah selama dia hidup tak ada yang mengajaknya berbicara? Batin Lisa.
"Tentu, memang siapa lagi?" jawab Lisa balik bertanya.
Membuat gadis dukun itu langsung tersenyum kikuk seketika. Terlihat dia menggaruk pangkal hidungnya yang tak gatal sebelum menjawab pertanyaan Lisa barusan.
"Ro-Rose, namaku Roselin!" jawab Rose masih terbata.
Dia bahkan tak berani menatap mata Lisa lama-lama. Entahlah, ada apa dengan dirinya. Yang pasti, terlalu sering sendirian membuat hidup Rose menjadi sosok yang tertutup.
"Nama yang bagus, tapi akan lebih bagus lagi jika kau lebih memberanikan dirimu. Dengar Rose, jika ada yang mengajakmu bicara cobalah tatap wajahnya. Jika kau tak sanggup, kau bisa melihat bagian jidat maupun alisnya. Mengerti?" ujar Lisa yang membuat Rose tertegun di tempat duduknya.
Dia baru tahu jika gadis famous di sekolahnya ini adalah anak yang baik dan perhatian. Awalnya, Rose pikir jika Lisa begitu tak peduli dan egois. Bahkan ada rumor yang mengatakan jika dia pilih-pilih dalam urusan berteman.
Ya, mana mungkin Rose masuk sebagai jajaran temannya. Secara, dia kan lebih udik dan kurang gaul seperti Lisa. Oleh karena itu, Rose tidak pernah membayangkan bisa duduk di dekatnya, apalagi diajak berbicara?
Ah, itu terlalu tidak mungkin. Akan tetapi, setelah dia melihat jadwal tempat duduk saat karyawisata semalam yang dibagikan guru. Sepertinya Rose harus lebih bersyukur lagi, karena duduk disebelah gadis berponi itu. Lain cerita jika Rose duduk dengan anak lain. Mereka pasti akan mendiamkan dirinya atau mungkin menganggap dirinya tak terlihat.
"Lis!" panggil seseorang dari belakang kursi mereka.
Entah kebetulan atau apa, Rose dan Lisa menoleh bersamaan ke arah kursi dibelakangnya.
"Apa?" jawab Lisa singkat.
Terlihat gadis itu menguap beberapa kali dan melihat teman satu gengnya, Jeni dengan cuek.
"Hati-hati selama duduk sama si dukun. Nanti kau bisa kena aura hitamnya," bisik Jeni yang masih bisa didengar Rose.
Ada rasa sesak yang hinggap dihatinya namun rasa itu segera ditepis saat mendengar kalimat yang dilontarkan Lisa berikutnya.
"Kau apaan sih? Hari gini masih aja percaya hal itu. Ingat Jen, otakmu itu encer! Masa langsung jadi sempit karena lima menit kepisah dariku?" balas Lisa, yang membuat Jeni langsung mencebik kesal.
Terlihat bibirnya mengerucut seraya memutar bola matanya malas. "Terserah, deh! Yang jelas, aku nggak mau kau kena aura negatif si dukun."
"Oh iya, ada satu hal lagi yang mau aku omongin," kata Jeni.
Kali ini raut wajahnya tampak serius. Dia bahkan menatap mata Lisa lamat-lamat tanpa mengalihkan perhatiannya kemanapun. Bahkan Rose sudah seperti hilang dari jangkauan penglihatannya, yang notebene ada di samping Lisa.
"Apa?" balas Lisa cuek sekali lagi.
Rasa kantuk sudah mulai menyerangnya. Tapi, si lambe turah Jeni masih saja mengajak berbicara. Mau tidak mau, gadis itu menahan kantuknya mati-matian dengan menguap secara terus-menerus di tempat.
"Aku dengar tujuan karyawisata kita kali ini ke hutan Cemara. Tepatnya, di cagar alam yang baru dibuka lagi, setelah kejadian kebakaran besar beberapa tahun silam," ujar Jeni menjelaskan.
"Terus?"
"Sebenarnya sih, nggak ada masalah apa-apa. Cuma ..." Jeni sengaja menjeda ucapannya. Dia mendekatkan kepalanya semakin dekat ke arah telinga Lisa.
"Hutan itu angker!" bisiknya kemudian. "Orang bilang di sana ada portal gaib yang bisa ngebuat orang-orang luar tersesat sebelum dinyatakan hilang. Dan kau tahu apa yang lebih parah, Lis? Katanya di sana juga ad-"
"Pfff ... Buahaha!"
Ucapan Jeni langsung terpotong suara tawa Lisa yang sumbang. Gadis berponi itu terbahak keras di atas kursi sampai membuat beberapa anak-anak lain menatap ke arahnya. Heran.
"Hari gini masih percaya takhayul? Gila! Kebanyakan baca buku fantasy otakmu jadi tercemar, sumpah, Jen!" tukas Lisa.
Sorot matanya tak acuh dan tidak memedulikan Jeni yang kembali menggerutu di tempatnya. Saking malunya, gadis itu bahkan segera beranjak dari posisi berdirinya tadi untuk kembali duduk ke kursi penumpang.
"Terserah, Lis! Tapi kalo nanti terjadi hal buruk padamu jangan salahin aku, oke!" teriak Jeni dari belakang tempat duduk. Sesaat setelah Lisa memalingkan wajah ke depan.
"Mitos kok dipercaya, aneh!" gumam Lisa pelan.
Dia kembali meletakkan earphonenya dikepala, seraya memainkan lagu alone part 2, milik AW. Tanpa Lisa sadari diam-diam, Rose memperhatikan dirinya dari samping.
©©©
Masih segar diingatan Lisa perihal ucapan Jeni saat di dalam bus tadi. Gadis cerewet itu bilang, jika hutan tempat karyawisatanya angker? Ck, Lisa bahkan tak percaya itu.
Meskipun hutan ini terlihat lebih lembab karena tertutup kabut tebal dan banyak pohon-pohon Cemara yang mulai meninggi. Ini malah memberi kesan jika, tempat ini begitu asri.
Terlihat gadis itu membenarkan ransel berwarna biru abu-abunya sebelum turun dari bus. Sejenak kepala Lisa menoleh ke samping kiri. Dimana di sana tempat duduk Rose, si gadis dukun itu.
Hanya saja, setelah tertidur sebentar saat perjalanan tadi. Lisa tidak lagi melihat Rose ada di sebelahnya. Lebih aneh lagi, kursi penumpang di sampingnya itu sudah kosong seperti tak berpenghuni.
"Kau melihat, Rose?" tanya Lisa pada Jeni yang kebetulan masih sibuk membenahi barang-barang bawaannya di kursi belakang.
Namun, respon gadis berkuncir ekor kuda itu hanya mengangkat bahu cuek tanpa mau melirik ke arah Lisa. Kentara sekali, jika Jeni masih marah karena sikap Lisa beberapa menit yang lalu.
"Jen?" panggil Lisa.
Gadis itu masih saja berusaha bertanya pada Jeni yang jelas-jelas tak mau menggubris pertanyaannya barusan.
"Apa kau melihat Rose pergi kemana?" tanya Lisa kembali.
Kali ini berhasil menyedot intensitas Jeni yang langsung menolehkan kepala ke arahnya dengan tatapan kesal setengah mati.
"Aku tidak tahu dia kemana! Lagi pula aku bukan ibunya, satu lagi mau dia ke ujung dunia pun aku tidak peduli!" balas Jeni berapi-api.
Terlihat tangan gadis itu sedikit mengepal sampai memperlihatkan kuku-kuku jemarinya yang memutih. Dengan cekatan dia langsung memasukkan barang-barangnya kemudian berjalan keluar, meninggalkan Lisa yang masih menatapnya dari balik kursi penumpang.
Sejam kemudian setelah semua bus sampai di tempat tujuan. Semua siswa langsung dibariskan untuk mendapat amanat singkat sekaligus informasi apa saja yang harus ditaati selama melakukan karyawisata di sini.
Dari menjaga ucapan, tata krama bahkan tidak membuang benda-benda apapun yang dapat merusak lingkungan sembarangan. Pengalaman dari kejadian kebakaran hutan beberapa tahun silam, membuat pihak pengelola cagar alam ini lebih hati-hati lagi.
Lisa tampak mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di atas paha. Pikirannya kalut, seraya sesekali matanya mengamati sekeliling. Seperti mencari-cari sesuatu.
Sialnya, dia tidak menemukan sosok itu, Rose, si gadis dukun yang sering dijauhi anak-anak seumuran, dimana dia?
"Kenapa dengan wajahmu? Apa ada sesuatu yang sedang kau cari?"
Sam--cowok dingin yang seringkali duduk di pojok kelas itu, rupanya diam-diam memperhatikan gerak-gerik Lisa. Dia bahkan repot-repot berganti posisi hanya untuk lebih dekat dengan gadis berponi ini.
"Hm," balas Lisa singkat.
Gadis itu bahkan tak memalingkan wajah ke arah Sam saat menjawabnya. Kepala cokelatnya masih sibuk mengawasi sekitar, kalau-kalau mendapati sosok Roselin menyelip disalah satu barisan kelas lain.
"Lis?" tanya Sam lagi.
Dia sudah tak memperhatikan amanat guru di depan. Sebaliknya, cowok jangkung berkulit sawo matang itu lebih tertarik dengan raut wajah gadis imut di sampingnya ini.
"Mau aku bantu mencari orang itu?"
Tepat setelah mengatakan itu, kepala Lisa langsung menoleh dengan cepat ke arah Sam. Membuat cowok dingin yang suka sekali tidur saat pelajaran itu, menyunggingkan seutas senyum simpul di bibirnya.
"Kenapa?" tanya Lisa penuh selidik.
Matanya yang tajam seketika menyipit ke arah Sam.
"Mungkin saja, ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padanya dan itu penting. Jadi aku, hanya-"
"Hanya?" ulang Lisa.
"Menawarkan bantuan saja," tukas Sam kemudian.
Jujur dia sempat menahan napas tadi saat di tatap Lisa tajam begitu.
"Oke."
Kepala Lisa mengangguk. Lantas dengan cekatan tangannya menarik kerah kemeja Sam, sampai membuat jarak diantara mereka berdua cukup dekat.
Saking dekatnya, Sam bisa mencium aroma manis permen karet rasa blueberry dari napas Lisa yang berhembus pada permukaan wajahnya.
"Nanti. Setelah amanat ini selesai, aku tagih kata-katamu tadi."
Benar saja, setelah pemberian amanat dari guru selesai. Lisa dan Sam bergegas meninggalkan anak-anak yang lain. Mereka berdua berencana mencari Roselin yang tiba-tiba menghilang setelah sampai di tempat karyawisata.
Tentunya, tidak secara terang-terangan. Lisa dan Sam berjalan mengendap, meninggalkan anak-anak yang sibuk mendirikan tenda untuk kegiatan camp mereka selama dua hari kedepan.
Keduanya berniat kembali ke bus untuk mengecek jejak kaki si gadis dukun itu. Kebetulan bus belum beranjak pergi dari tempatnya. Jadi, Lisa dan Sam bisa mengendap diam-diam untuk masuk ke dalam.
Sayangnya mereka berdua tidak menemukan apapun. Sosok Roselin seperti lenyap ditelan bumi setelah sampai di tempat ini. Hutan Cemara yang digadang-gadang angker itu.
Justru Mr. Petrus lah yang Lisa dan Sam temui saat keduanya hendak pergi. Mereka kepergok dan dikira sedang berduaan saat amanat masih berlangsung di lapangan.
"Kalian berdua ngapain, huh?" teriak Mr. Petrus membuat Sam dan Lisa terperanjat ditempat.
Saking kagetnya, keduanya langsung lari terbirit-birit meninggalkan Mr. Petrus yang masih saja berusaha mengejar Lisa dan Sam sembari membawa tongkat bisbol ditangan kanan.
"Dasar anak-anak nakal, awas saja nanti jika tertangkap! Bapak nggak bakal kasih kalian ampun!"
Merasa situasinya kurang kondusif, Sam pun menarik pergelangan tangan Lisa lantas mengajaknya berlari untuk memasuki hutan. Ya, sepertinya bersembunyi di sana kini lebih baik dari pada harus mendengar sumpah serapah dari Mr. Petrus jika tertangkap.
Sekiranya dirasa jarak mereka sudah jauh.
Lisa pun memilih untuk berhenti berlari sejenak. Dia menyenderkan tubuhnya yang begitu pegal pada batang pohon Cemara yang tak sengaja dia lalui. Di depannya ada Sam yang tengah meneguk air mineral dan mengecek ponselnya.
"Tak ada sinyal," ucap cowok itu.
Terlihat dia sedikit mendesah kecewa sebelum akhirnya menawarkan air mineral yang tinggal setengah botol itu pada Lisa.
"Terus bagaimana? Apa kita kembali saja?" tanya Lisa.
Raut wajah Sam tampaknya tak setuju. Terlihat dari salah satu sudut alisnya yang naik satu, seolah melayangkan protes tak bersuara. Lagipula dia juga yakin, jika Mr. Petrus pasti masih mencari mereka berdua.
"Tanggung! Toh kita sudah setengah perjalanan. Oh iya, jangan lupa sama Mr. Petrus. Pak tua itu pasti masih mencari keberadaan kita, Lis!" katanya yang langsung membuat langkah Lisa terhenti.
"Benar, tapi jika terlalu lama di sini juga tidak baik Sam. Lihatlah, senja sudah mulai tiba," tunjuk Lisa dengan dagu ke ufuk barat yang mulai berwarna oranye kemerahan.
"Nikmati saja Lis, toh kita jarang sekali liburan berdua begini, kan?" celetuk Sam kemudian.
"Maksudmu?" tanya gadis itu heran.
Habisnya hari sudah mulai petang, dan sedari tadi pencarian mereka tak menghasilkan apapun. Sebaliknya, justru lelah dan penat yang mereka dapatkan setelah berlari jauh karena hampir ketahuan mengendap-endap pergi.
Langkah Sam ikut terhenti. Perlahan cowok itu membalikkan tubuhnya dengan senyum yang sulit diartikan ke arah Lisa.
Sorot matanya berubah meredup, serta penuh hasrat saat melihat Lisa di depannya. Entah itu nyata atau hanya pikiran Lisa sesaat. Tapi, gadis itu merasa jika Sam punya maksud terselubung dalam hal ini.
"Menurutmu, apa yang akan dilakukan seorang pria dengan gadis cantik di hutan? Ah, kebetulan juga, kan, kita hanya berdua di sini?" ucap Sam seraya tersenyum nakal.
Tatapannya begitu penuh nafsu dan tangannya berusaha menarik tubuh Lisa agar lebih dekat padanya.
Lisa sendiri yang mengerti jika situasinya sudah tidak beres segera melangkah mundur. Otaknya juga ikut berpikir keras mencari cara kemana dia harus berlari menjauh.
Itu karena kabut tebal yang mulai terlihat dimana-mana sekaligus suasana yang mulai menggelap. Membuat pandangan gadis itu tak bisa menelisik ke arah lain, selain dua buah pohon berdiri sejajar di bagian sudut dekat batu besar itu.
Sekuat tenaga kakinya berlari menuju tempat itu. Sialnya, pergelangan tangannya sudah dicekal terlebih dahulu oleh Sam dari belakang. Itu membuat tubuh Lisa mau tidak mau, menubruk dada bidang cowok dingin itu mendadak.
"Sam, sialan! Lepaskan aku!" makinya kesal.
Lisa masih berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Sam yang begitu erat dan menyakiti tubuhnya. Cowok itu bahkan berani membuka resleting jaket Lisa secara paksa, serta merobek kaos putih gadis itu kurang ajar.
Di saat, cowok itu fokus akan tubuhnya, Lisa berusaha menggapai batu berukuran sedang yang tergeletak tak jauh dari tangannya. Susah payah dia meraih batu itu. Sampai ....
Bugh!
"Pria brengsek!"
Bugh!
"Dasar, pria brengsek!" maki Lisa kesal.
Dengan sisa tenaga yang masih gadis itu miliki. Lisa memukulkan batu berukuran sedang itu tepat dibagian belakang tempurung kepala Sam. Yang sontak membuat pria itu berteriak keras akibat rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya itu.
Memang sih, itu lumayan efektif. Terbukti dari Sam yang langsung beranjak dari atas tubuh Lisa dan memilih meringkuk seraya memegangi bagian belakang kepalanya yang rupanya mengeluarkan darah.
Untuk sesaat saja, Lisa bisa bernapas lega di tempatnya. Dadanya tidak naik-turun lagi karena tindakan Sam yang berniat memperkosanya.
Ya, untuk sesaat.
Karena setelah itu, Sam langsung berbalik kembali menatap Lisa tajam. Tawanya menggelegar membelah kesunyian malam yang begitu mencekam.
"Kau berniat membunuhku? Begitu, huh?" tanya Sam sarat akan emosi.
Kedua bola matanya melotot seperti akan keluar dari dalam rongganya. Tangannya mengepal erat dan senyumnya terlukis mengerikan dibalik kabut malam.
Untuk sepersekian detik, Lisa hanya bisa membatu di tempatnya. Tangannya mulai gemetar dan kakinya merasakan tremor yang luar biasa. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, dan sudah siap meluncurkan cairan beningnya kapan saja.
Perlahan-lahan, sosok Sam yang berjalan terseok-seok dengan tangan berlumuran darah itu menghampiri dirinya. Lisa bisa melihat, betapa mengerikannya wajah cowok pendiam itu. Sam, kini terlihat lebih mirip dengan psikopat gila bila dibandingkan dengan dirinya yang seorang siswa teladan.
"Lisa, Lisa!"
Sam mengulang-ngulang namanya bak simfoni kematian. Gadis itu bahkan sampai bergidik di tempatnya dan berusaha beringsut sejauh mungkin agar tak dapat cowok itu gapai.
"Diam! Kau pria gila, Sam!" teriak Lisa seraya menutup kedua telinganya.
Kedua lututnya sudah menekuk rapat, menyembunyikan tubuhnya sendiri. Jujur, Lisa berharap kabut tebal ini mengganggu penglihatan cowok brengsek itu agar tak dapat melihat dirinya.
Sampai dimenit berikutnya, gadis itu tak mendengar apapun lagi. Sosok Sam yang hanya berjarak dengan dirinya pun, mendadak lenyap hanya dalam hitungan menit.
Sejenak Lisa memberanikan diri untuk membuka matanya yang terpejam erat tadi. Dia mengamati sekeliling, yang rupanya sudah dipenuhi kabut yang begitu tebal sekali. Saking tebalnya, gadis itu pun tak dapat melihat jarak satu meter di depannya.
"Apa Tuhan mengabulkan doaku barusan?" gumam Lisa pelan.
Dia mengelap sisa air mata yang masih tersisa di sudut kelopak matanya. Mendongakkan wajah kembali, mengamati sekeliling sekali lagi.
Abu.
Hanya ada warna itu disekitarnya. Perpaduan dari warna pekat malam, sekaligus kabut tebal yang dapat mengaburkan penglihatannya.
Lisa sendiri sudah tak melihat maupun merasakan tanda-tanda Sam disekitarnya. Benar, cowok itu seolah lenyap ditelan bumi.
Dari balik kabut tebal itu, Lisa bisa melihat sebuah sinar perak yang menyilaukan mata. Bila diamati lebih teliti, sinar itu berasal dari rembulan yang tampaknya sedang mengalami purnama.
Sangat terang. Saking terangnya, bisa membuat kabut yang tebal tadi menguap entah kemana.
Terlihat, Lisa mulai beranjak dari tempatnya tadi. Berjalan mengikuti sinar rembulan yang entah kemana ujungnya nanti. Yang jelas, gadis itu berharap jika dia akan menemukan sebuah pedesaan supaya bisa keluar dari dalam hutan Cemara yang mirip labirin ini.
©©©
Tak jauh dari tebing di dekat air terjun. Terdapat sebuah pack besar yang sedang melakukan sebuah pesta perayaan. Para klan lain menyebutnya, Axces Pack.
Sebuah pack besar yang digadang-gadang selalu memiliki Alpha terkuat diantara pack-pack lainnya. Itulah, yang membuat Axces Pack menjadi pack terkuat dan paling ditakuti di seluruh dunia immortal.
"Huft, membosankan!" keluh seseorang.
Sudah hampir setengah jam dia duduk dan hanya memainkan gelas anggurnya tanpa mau menyesapnya sama sekali.
Sorot matanya begitu dingin sekaligus arogan. Bahkan dia tampak tak begitu bersemangat dengan pesta besar yang ayahnya siapkan untuk dirinya ini. Pria itu merasa jika masih ada hal yang kurang di dalam hidupnya. Hanya saja dia tidak tahu itu apa?
"Dam!"
Tepukan dibahu kiri pria itu berhasil menyedot perhatiannya. Secara spontan pria bernama Damian itu langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Ayahnya sudah berdiri di samping kirinya.
"Kenapa hanya duduk termenung? Apa pesta ini kurang meriah, atau kau memerlukan seorang gadis sebagai penghangat ranjang?" tanya Ayahnya terang-terangan yang membuat Damian tersenyum kikuk sebagai balasan.
Jujur, Damian paling tidak suka jika Ayahnya sudah membahas perihal wanita. Entah mengapa, Damian merasa jika makhluk cantik itu akan membuat dirinya lemah. Tentunya Damian tidak suka hal itu.
Pria berumur 250 tahun itu bahkan masih tidak percaya dengan adanya mate dari Moon Godness. Bagi Damian, mate itu hanyalah omong kosong. Apalagi setelah sepeninggalnya wanita itu yang benar-benar menancapkan luka di relung hatinya terdalam.
Damian jadi membenci sekali, makhluk bernama wanita setelahnya.
"Dam, apa kau baru saja melamun?" tanya Ayahnya lagi.
Damian hanya menggeleng sesaat, sebelum beranjak dari tempat duduknya. Bisa dibilang dia jengah.
Memang benar pesta perayaan ini untuknya, karena berhasil menaklukkan pack terbesar di wilayah timur. Hanya saja, disaat semua orang bersuka cita dan berjoget tanpa tahu malu bersama. Damian merasa begitu muak sekali.
Rasa-rasanya dia ingin segera meninggalkan tempat berisik ini. Lantas memilih ke sebuah tempat yang begitu tenang. Akan tetapi saat kakinya sedang berjalan menuju taman belakang. Beta pack tiba-tiba muncul di depannya.
"Hormat hamba, My Alpha!" ucap sang beta bernama Zades itu.
Kepalanya setengah membungkuk ke bawah saat memberi salam penghormatan kepada Damian.
"Katakan, ada apa?" tanya Damian langsung.
Dia memang lebih suka jika anak buahnya langsung menyampaikan urusan mereka agar tak membuang-buang waktu.
"Ampun My Alpha, hamba dengar malam ini, tepat saat purnama penuh tiba. Segerombolan Rogue akan menyerbu perbatasan dari sisi Utara. Jumlahnya belum dapat hamba prediksi, namun yang pasti gerombolan ini berjumlah lebih dari lima belas ekor," jelas Zades serius.
"Rogue?" ulang Damian.
Zades mengangguk. "Itu karena saat bulan purnama kekuatan mereka akan bertambah dua kali lipat. Oleh sebab itu, para Rogue lebih memilih menyerang saat purnama muncul."
Terlihat Damian menyipitkan matanya, melihat ke arah Zades yang lebih suka menunduk itu.
"Apa kau sudah memeriksa perbatasan?"
"Sejauh ini wilayah perbatasan aman, hanya saja hamba mendengar jika tak jauh dari portal dimensi, ada manusia yang tengah melakukan kegiatan," terang Zades lagi.
Damian hanya mengangguk.
"Kegiatan apa memangnya?"
"Hamba kurang tahu soal hal itu, My Alpha!" kata Zades terus terang.
"Pastikan wilayah perbatasan kosong dari para mortal lemah itu. Aku tidak mau mendengar kabar, seorang mortal terbunuh lagi karena Rogue liar. Kau mengerti?" perintah Damian.
"Dimengerti, My Alpha!" balas Zades.
Yang kemudian melesat pergi entah kemana.
Setelah kepergian Zades, Damian hanya diam di tempatnya sesaat. Dia masih menikmati semilir angin malam yang berembus begitu dingin malam ini. Sampai, serigalanya Zhask tiba-tiba berteriak dari dalam pikirannya.
'Mate! Mate! Dam, aku mencium aroma mate kita!' teriak Zhask penuh semangat, berbeda dengan Damian yang terlihat mengepalkan tangannya erat.
"Sial!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!