"Lari,,,Lari,,,! Selamatkan diri kalian, api semakin membesar dan akan segera menghanguskan tempat ini." Teriak Chery Arleta, seorang artis ibu kota ternama itu dengan paniknya.
Ratusan orang lari berhamburan berebutan keluar dari gedung itu, berlomba-lomba untuk meyelamatkan diri mereka masing-masing dari api yang semakin berkobar melahap apapun yang ada di hadapannya.
Namun sialnya, karena saking sibuk menyelamatkan orang lain, Chery justru terjebak dalam kobaran api yang kini berhasil melalap dan meruntuhkan atap bangunan yang menjadi sangat rapuh akibat terkena panasnya api, hampir saja sebongkah plafon menimpa kepalanya jika saja wanita cantik berumur 23 tahun itu tak buru-buru menghindar ke tepian gedung yang lebih aman.
"Cut,,,Cut,,,!" Teriak sutradara menghentikan adegan pengambilan gambar untuk film terbarunya hari itu.
"Kerja bagus Chery! Seperti biasa, akting mu selalu luar biasa memukau!" Puji sang sutradara yang sangat puas dengan kegiatan syutingnya hari ini.
Kemampuan akting gadis cantik berusia 23 tahun itu memang tak perlu di ragukan lagi, bergelut di bidang dunia hiburan sejak dia masih balita yang di awali dari menjadi bintang iklan produk susu untuk anak, sampai kini puluhan film dan ratusan iklan sudah dia mainkan, sehingga namanya di industri hiburan kini sangat berkibar, siapa yang tak kenal Chery Arleta, wajah yang secantik dan semanis buah cherry itu setiap hari wara-wiri di layar kaca, wajahnya juga banyak di temui di bilboard raksasa di sepanjang jalan utama sebagai bintang iklan berbagai produk mulai produk kecantikan, otomotif, bahkan alat rumah tangga.
Deretan piala penghargaan sampai sudah tak muat lagi di tampung di lemari raksasa rumahnya.
"Apa ada yang terluka?" Tanya Dion, sang manajer sekaligus asisten pribadi Chery yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun terakhir ini, tak hanya sebagai manajer dan asisten pribadi saja, Dion juga acap kali menjadi tempat berkeluh kesahnya selama ini, ayah Chery meninggal sejak umur Chery 5 tahun, dan semenjak itulah ibunya selalu menuntutnya untuk bekerja sebagai bintang iklan dan model cilik demi memenuhi biaya hidup dan gaya hidup ibunya yang tinggi, terkadang Siska sang ibu tak mau tahu keadaan Chery apakah lelah, sakit atau dalam keadaan bad mood, yang Siska tau Chery adalah mesin pencetak uangnya yang tak boleh libur dan harus memberinya uang sebanyak-banyaknya.
Beruntung setelah Dion menggantikan posisi Siska sebagai manajer karena mulai kewalahan dengan pekerjaan anaknya yang semakin banyak, pria kemayu berusia 36 tahun itu sangat perhatian dan sangat menyayangi Cherry bak adiknya sendiri, dia tak pernah memaksa Chery untuk bekerja di luar kemampuannya tubuhnya.
"Adegan ini terlalu berbahaya, seharusnya memakai pemeran pengganti!" Oceh Dion, wajahnya terlihat khawatir sambil matanya terus memeriksa tubuh Cheri dengan seksama, membolak-balikan tubuh ramping artis asuhannya itu memastikan kalau tak ada luka atau cedera pada bagian tubuh Chery di bagian mana pun.
"Ishh,,, gak usah lebay deh! Cuma adegan kaya gini doang mah, gak perlu pake stuntman segala rupa, jangan terlalu menganggap remeh kemampuan ku, gini-gini aku udah sering jadi jagoan di film, kalo cuma adegan menyelamatkan diri dari api mah keciiil!" Ujar Chery cengengesan.
"Kecil, kecil gimana,,, liat ini,,, ishhh wajah mu itu aset penting, Chery!" Dion menyibak poni Chery yang menjuntai menutupi dahinya, ada sedikit terdapat luka gores kecil disana, dan Dion bisa mendeteksinya dengan cermat, pria itu langsung mengambil kapas dan membersihkan luka itu.
"Ah elah, kegores doang mak, heboh bener!" cibir Chery yang merasa Dion terlalu membesar-besarkan sebuah goresan di dahinya yang bahkan tak terasa sakit sama sekali olehnya.
"Ibu mu menyuruh mu datang ke rumahnya malam ini." Ujar Dion di sela dirinya mengobati luka gores di dahi Chery.
"Ckk, apa lagi sih. Bukannya baru kemarin aku transfer, lagi pula bukankah sekarang dia udah jadi istri pejabat sekaligus pengusaha yang kaya raya, harusnya sudah tak membutuhkan ku lagi." Decak Chery kesal.
Siska ibunya Chery menikah kembali dengan seorang pejabat sekaligus pengusaha yang lumayan berpengaruh di negeri ini sekitar kurang lebih satu tahun yang lalu.
Chery tak pernah keberatan dengan pernikahan itu, selama ibunya bahagia, hanya saja semenjak ibunya menikah lagi, dia memang jadi malas untuk bertemu dengannya, hal itu karena sosok Hasan Basri, ayah tirinya, Chery selalu merasa kalau tatapan Hasan padanya selalu 'aneh', tatapanya bukan memperlihatkan tatapan tulus seorang ayah pada anaknya, namun lebih ke tatapan 'ingin'.
Sejak itu Chery selalu ogah-ogahan jika di ajak atau di suruh untuk bertemu dengan ibunya yang kini tnggal di rumah suami barunya itu.
"Katanya ada hal penting yang harus di sampaikan, tadi dia chat pas kamu lagi syuting." Terang Dion lagi, namun Chery hanya memonyongkan bibirnya.
"Aku akan menyusul mu ke sana jika pekerjaan sudah kelar." Kata Dion yang sangat mengerti jika Chery sangat malas datang ke rumah itu, karena sebenarnya dia tahu apa alasan anak asuhnya itu malas, sayangnya dia harus bertemu klien besar yang akan memakai Chery sebagai bintang iklannya, jadi dia tak bisa menemani Chery ke rumah ibunya.
"Oke, janji langsung nyusul ya!" Chery akhirnya setuju.
Selepas berganti pakaian, Chery langsung menuju ke kediaman ibunya di kawasan perumahan elit di pusat kota, saat dia bru akan memencet bel rumah mewah itu, seorang pria berusia lima puluh tahun awal namun masih terlihat gagah itu membukaka pintu untuknya, dia lah Hasan Basri pejabat tinggi di negeri ini dan juga seorang pengusaha minyak terkenal.
"Akhirnya kamu datang juga, cantik sekali kamu," Hasan berusaha memeluk dan mencium Chery, seharusnya itu menjadi hal yang wajar bagi ayah dan anak, namun Chery merasa risih, dia mundur beberapa langkah mengisyaratkan kalau di menolak dan tidak nyaman di perlakukan seperti itu.
"Maaf om, ibu mana?" Ujar Chery mengalihkan perhatian.
"Ah,, ibu mu sedang ke mini market depan sebentar membeli sesuatu, entahlah,,, dia bilang seperti itu tadi, dia hanya menyuruh mu untuk menunggunya sebentar." Kata Hasan yang lantas mempersilakan anak tirinya untuk masuk.
"Mau minum apa, biar bi Yati nanti buatkan untuk mu?" Tanya Hasan beramah tamah.
"Tidak usah!" jawab Chery.
"Jangan sungkan seperti itu, ini rumah mu juga." Ujar Hasan yang lantas berjalan ke dapur menyiapkan sebuah minuman dan menyuruh Bi Yati untuk memberikannya kepada Chery seolah minuman itu memang bi Yati yang membuatkannya.
Senyum Hasan mngembang, saat dari kejauhan dia melihat Chery menerima minuman itu dengan ramah dari bi Yati, bagaimana Hasan tak merasa senangn karena tadi, dia sempat memasukan obat ke dalam minuman itu.
"Bi, tolong belikan aku rokok d mini market depan, minta antar satpam saja!" Titah Hasan mulai melangsungkan rencaa busuknya, sebagian pembantunya memang sudah dia sibukkan untuk membereskan halaman belakang, hanya tinggal bi Yati yang perlu dia singkirkan dari rumah.
Hasan menyeringai dengan lebarnya saat mengertahui kalau putri tirinya mulai meneguk sedikit demi sedikit sirup dalam gelas yang tadi sudah dia bubuhi obat tidur di dalamnya.
Pria tua itu sengaja masuk kembali ke ruang tamu rumahnya untuk memeriksa keadaan Chery dan memastikankalau obatnya sudah bereaksi pada gadis yang sangat di inginkannya itu.
Sudah terbayang bagaimana nikmatnya menyetubuhi anak tirinya itu, selama ini artis muda mana pun tak pernah ada yang berani menolak ajakan untuk menemaninya tidur, bahkan beberapa dari mereka menawarkan diri hanya untuk bisa menjadi teman tidur sang pejabat itu demi uang dan kemewahan tentu saja.
Namun artis muda bernama Chery Arleta menjadi yang pertama dan satu-satunya artis yang menolak ajakan kencannya mentah-mentah saat Hasan mengemukakan keinginannya itu melalui orang suruhannya, sehingga membuat seorang Hasan Basri harus menunda hasratnya untuk memiliki gadis itu, bahkan demi mendapatkan sang artis pujaan yang kini telah menjadi obsesi besarnya itu, dia sampai harus menikahi Siska, ibu sang artis yang di ketahuinya gila uang dan kemewahan itu, tak apalah dia berkorban sebanyak itu, anggap saja menikahi ibunya dan mendapat bonus anak perempuannya, pikir Hasan, dan sepertinya setelah menunggu hampir satu tahun lamanya, kesempatan itu akhirnya datang juga, karena kesibukan Chery sungguh jarang sekali gadis itu bisa datang berkunjung ke rumahnya.
"Kenapa Cher?" tanya Hasan pura-pura tak tahu apa yang terjadi saat Chery terlihat memegangi kepalanya seperti sedang menahan kesakitan.
"Ah aku agak sedikit tak enak badan, kepala ku tiba-tiba pusing, sampaikan pada ibu kalau aku pulang om, besok aku kesini lagi." Ujar Chery mencoba bangkit dari sofa empuk dan mewah di ruang tamu luas itu.
"Kalau sakit sebaiknya kamu istirahat saja dulu di kamar, sambil menunggu ibu mu pulang, berbahaya jika menyetir dalam keadaan sakit begini," bujuk Hasan memperlihatkan wajah khawatir yang penuh dengan kepura-puraan, padahal jauh di lubuk hatinya dia sedang bersorak sorai dan tak sabar ingin segera menerkam gadis cantik di hadapannya itu.
"Tidak terimakasih, besok pagi sekali masih ada syuting, selesai syuting aku akan menemui ibu." Tolak Chery.
Jelaslah dia tak akan pernah mau menginap di rumah itu, hanya untuk berkunjung saja rasanya sangat berat baginya, entahlah,,, alarm di hatinya selalu mengisyaratkan kalau ayah tirinya itu sebuah bahaya besar baginya, jadi sebisa mungkin dia harus selalu menghindar dan membuat jarak sejauh mungkin dengannya.
Benar saja, sungguh kata hatinya tak pernah salah dalam menilai ayah tirinya itu, karena baru saja Chery berjalan beberapa langkah, Hasan menarik pinggang ramping gadis itu dan merapatkannya ke tubuhnya, beruntung kesadaran Chery saat itu masih di katakan belum hilang sepenuhnya, karena dia masih bisa berontak dan berusaha melepaskan diri dari dekapan pria tua tak tahu diri itu.
"Lepaskan, lepaskan aku om, aku akan berteriak jika om tak melepaskan ku!" ancam Chery.
"Berteriak saja saja sayang, taka akan ada yang berani menolong mu, apa kamu lupa kalau saat ini kau berada di rumah ku? Sebaiknya kau simpan tenaga dan teriakan mu untuk nanti saat pergumulan kita, cantik!" Wajah Hasan mendekat ke wajah Chery yang terus meronta, dengan sisa tenaga dan kesadaran yang di milikinya, Chery menghantamkan lutut kanannya sekuat tenaga tepat ke arah selang kangan Hasan, sehingga pria tua itu meringis kesakitan dan melepaskan dekapannya pada tubuh Chery.
Sungguh tak sia-sia Chery sering bermain film laga, sedikit banyak ilmu beladirinya bisa dia praktekan di saat berada dalam posisi kepepet seperti ini.
Tentu saja kesempatan emas itu tak Chery sia-siakan, dia langsung berlari ke luar rumah dan menuju mobilnya bergegas meninggalkan rumah mewah kediaman ayah tirinya yang mungkin kini masih menikmati kesakitan dan ngilu yang luar biasa pada juniornya.
Namun tak selang berapa lama, pandangan mata Chery semakin kabur, dia tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya, semua seperti berbayang, matanya semakin terasa berat dan kepalanya semakin pusing, hingga saat dirinya berniat menepikan kendaraannya karena merasa sudah tak mampu lagi untuk berkendara, sesuatu yang tak di inginkan semua orang terjaadi,
Buggghhhh,,,,!
Saat itu Chery samar-samar masih sadar, dia yakin kalau dirinya menabrak sesuatu, untuk itu Chery segera turun dan keluar dari mobilnya.
Berapa terkejutnya Chery saat melihat seorang wanita tergeletak di aspal jalan tepat di depan mobilnya, darah keluar dari mulut, hidung dan beberapa tempat lain sehingga hampir menutupi wajahnya.
"Tolong!" teriak Chery panik, sayangnya karena jalanan yang sepi di tambah hujan yang mengguyur dengan lumayan deras, membuat tak ada seorang pun yang mendengar jeritannya, selain seseorang di ujung telepon yang kini memanggil-manggil nama seseorang.
"Luna,,,,Luna,,, apa yang terjadi, katakan pada ku, Luna tolong jawab aku!" suara pria terdengar dari sebuah ponsel yang masih menyala di dekat si perempuan yang tergeletak di jalanan itu, sepertinya wanita itu sedang bertelpon saat sebelum kejadian nahas itu, namun wanita bersimbah darah itu tak bergeming, tak ada reaksi sedikit pun dari nya, dia tetap diam dengan mata yang sudah menutup.
Chery berusaha meraih ponsel itu untuk meminta bantuan pada orang di ujung telepon sana, namun baru saja tangannya terulur, kesadarannya sudah hilang sepenuhnya, jadilah dua wanita itu tergeletak saling bersisian tak sadarkan diri di aspal jalanan yang basah terkena air hujan.
Seorang polisi yang masih berseragam lengkap berlari menembus hujan dari parkiran rumah sakit menuju ke ruang IGD di ikuti oleh salah seorang bawahannya yang ikut berlari mengekor di belakangnya.
Namun saat dirinya baru saja sampai di ruangan yang di tujunya, seorang wanita paruh baya memeluknya dengan sangat erat dan menangis sejadinya di dada bidang sang kapten polisi itu.
"Luna,,,Luna Jun, dia-dia sudah---" wanita paruh baya itu tak kuasa melanjutkan ucapannya, hanya suara isak tangis yang kini terdengar tanpa henti.
"Kenapa dengan Luna Bun?" Suara pria itu tercekat seperti menahan sesuatu dalam dadanya, sungguh dia tak siap menerima berita buruk malam ini, dan untuk malam manapun jika itu datang dari Luna sanga pujaan hatinya yang besok akan di nikahinya itu.
"Luna,,,Luna,,,"
Wanita paruh baya itu kehilangan kesadarannya berbarengan dengan perawat yang mendorong jenazah yang keluar dari ruang IGD, sepertinya wanita itu benar-benar tak kuat menerima kenyataan jika putri kesayangannya sudah di panggil yang maha kuasa.
Sang ajudan dengan sigap mengambil alih tubuh renta wanita yang rambutnya hampir memutih semuanya itu, dia melihat kalau tubuh tegap atasannya tiba-tiba limbung dan mundur beberapa langkah saat melihat brankar dengan tubuh yang tertutup kain putih dari ujung rambut sampai ke ujung kaki di atasnya sedang di dorong dua orang perawat.
"Tidak,,tidak,,Luna,,, ini tidak mungkin, itu bukan Luna, itu bukan Luna ku," pekik pria itu.
"Maaf pak, kami harus membawanya ke ruang pemulasaraan jenazah," ujar perawat itu.
"Biarkan, dia melihatnya sebentar." seorang dokter mendekati pria yang menahan laju brankar itu.
"Arjuna, kamu harus sabar dan kuat, ini semua sudah takdir Tuhan!" ucap dokter muda itu.
Pria yang di panggil dengan nama Arjuna oleh dokter itu menoleh dan langsung bereaksi,
"Bela, ini tidak benar, ini tidak adil, kenapa kau tak selamatkan Luna? Kenapa kau biarkan Luna menjadi seperti ini, selamatkan dia Bel, aku mohon!" pria itu melipat kedua tangannya di dada.
"Jun, aku hanya dokter, bukan Tuhan, maaf aku sudah berusaha sebisa ku." Lirih dokter bernama Bela itu mengusap punggung Arjuna, sang perwira polisi yang kini sekarang seakan kehilangan wibawa dan kekuatannya karena kekasih tercintanya harus meninggal dengan tragis tepat di malam pernikahan mereka.
"Kenapa? Kenapa Tuhan mengambil mu dari ku, padahal besok adalah hari pernikahan kita, kenapa kamu pergi Lun?"
Tubuh Arjuna luruh bertumpu pada kedua lututnya dan memeluk jasad calon istrinya yang kini terbujur kaku.
Arjuna Bimantara, seorang Perwira Polisi yang gagah berani itu tertunduk lesu di samping gundukan tanah yang masih basah dengan bunga segar beraneka rupa di atasnya.
Wajahnya tertunduk memandangi papan bertuliskan sebuah nama di sana Luna Puspita dengan bulan lahir yang sama seperti bulan lahir dirinya, november, hanya saja jika Luna di akhir bulan dirinya di awal bulan, dan dirinya juga tiga tahun lebih awal lahir ke dunia di banding Luna, namun siapa sangka justru Luna lah yang kini duluan pergi meninggalkan dunia.
Seharusnya bunga melati menghiasi kepala Luna hari ini, dan berbagai bunga ini menjadi dekorasi pelaminan mereka, namun kini malah menghiasi pembaringan terakhir wanita cantik yang sebentar lagi berusia 27 tahun itu, tak ada lagi senyum manis dari wanita penyabar yang merupakan seorang guru taman kanak-kanak itu, tak ada lagi tempat Arjuna bermanja.
Ya,,, hanya di sisi Luna pria gagah dan berwibawa itu bisa menunjukan sisi manjanya, sementara di hadapan semua orang dia adalah sosok perwira yang tegas, keras dan pemberani, tak akan ada yang mengira jika sang kapten bahkan masih sering di suapi makan oleh Luna saking manjanya.
"Lun,,, maafkan aku, harusnya tadi malam aku tak mengizinkan mu untuk pergi ke luar, andai semalam aku tak ada rapat penting sialan itu, kamu pasti saat ini terlihat cantik dengan kebaya putih itu dan duduk di samping ku di pelaminan." Sesal Arjuna.
Tadi malam mendadak dirinya di panggil rapat mendadak karena akan ada petinggi yang sidak ke kantor mereka, jadi semua anggota harus hadir, apalagi dirinya sebagai kepala salah satu divisi di kantor itu, jadi sebagai aparat, tak peduli hujan badai dan meskipun esok harinya akan menikah, sebagai perwira yang selalu patuh dia menyempatkan diri datang ke kantor, meski atasannya sudah mengatakan kalau tak apa jika dirinya tak hadir dan mereka bisa mengerti.
Padahal tadinya dia hendak pergi bersama Luna mengambil jas miliknya yang baru sempat akan dia ambil, namun karena panggilan mendadak itu Luna akhirnya mengatakan akan mengambilnya sendiri, padahal Arjuna sudah melarangnya karna dia bisa menyuruh stafnya untuk mengambil, tapi Luna bersikeras ingin mengambilnya sendiri, dia ingin memastikan kalau jas yang akan di pakai suaminya sudah sesuai dengan keinginannya.
Dengan berat hati Arjuna mengizinkan calon istrinya itu untuk pergi ke butik sendirian.
Setengah jam berlalu, rapat pun telah selesai di lakuakan, segala persiapan mendadak untuk menerima kedatangan petinggi ke kantor mereka sudah siap di laksanakan, sambil menunggu Arjuna mencoba menghubungi pujaan hatinya itu, mereka terus berbicara membicarakan apapun malam itu, sampai Arjuna mendengar sebuah suara keras seperti dentuman 'buum' dan setelah itu dia tak mendengar lagi suara Luna, hanya samar-samar terdengan jeritan suara wanita minta tolong, tapi Arjuna yakin jika itu bukan suara kekasihnya.
"Jun, relakan dia pergi, jangan di tangisi lagi, bunda tau kamu hancur, begitu pun bunda, tapi lagi lagi ini semua sudah menjadi takdir Tuhan, kita sebagai manusia hanya bisa menerima semuanya dan harus berusaha untuk ikhlas." Ujar wanita tua berambut putih itu, tangan keriputnya menyentuh pundak kekar Arjuna dan mengelusnya dengan lembut, mata cekungnya karena tak tidur semalaman terlihat bengkak dan sembab karena tak bisa berhenti menangis.
Dia lah Bunda Ami, pemilik panti asuhan dimana Arjuna dan Luna bertumbuh, Bunda Ami adalah orang tua bagi mereka berdua, karena sejak kecil dia lah yang mengasuh mereka.
"Tapi bunda, ini terlalu menyakitkan, Tuhan menghukum ku terlalu berat kali ini, kenapa harus Luna, kenapa harus di malam pernikahan kami?" Arjuna meraih tangan keriput itu dan menempelkannya di pipinya mencoba mencari sumber kekuatan baru untuk dirinya, biasanya tangan bundanya itu selalu bisa membuatnya merasa tenang dan damai, tapi kali ini meski dia memeluk erat tangan bundanya itu, hatinya masih terus merasakan sedih dan gelisah, bahkan sakit di dadanya kini semakin bertambah seiring menit demi menit berlalu.
"Bunda tau, kamu pasti sakit, nak. Tapi selain ikhlas kita bisa apa? Bahkan tangisan darah kita sekalipun tak akan bisa mengembalikan Luna pada kita." Wanita tua itu meberikan wejangannya pada Arjuna, dimana dirinya sendiri pun merasa sangat sakit dan terluka akibat perginya putri asuh kesayangannya itu.
Memang seperti itu biasanya, kita dapat mengatakan sejuta kata menguatkan untuk orang lain, padahal dirinya sendiri belum tentu bisa kuat seperti apa yang di katakannya.
***
Tiga bulan berlalu dari masa berkabungnya yang sangat panjang meski rasa sedih itu rasanya akan terus di rasakannya di sepanjang hidupnya, Arjuna mengajukan cuti panjang, untuk sekedar pergi jauh dari kota yang setiap sudutnya mengingatkan dia pada Luna, beruntung atasannya mau mengerti dan memberinya izin.
Jauh dari keramaian kota tempat dimana dirinya dan Luna bersamatidak lantas ingatan dan bayang-bayang Luna pergi dan menghilang begitu saja dari ingatannya, semua masih sama, masih tampak nyata, tiga tahun hubungan mereka sebagai kekasih memang bisa di katakan sebentar, tapi berpuluh tahun kebersamaan mereka di panti sebelum mereka memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih dan memutuskan untuk menikah tidak bisa di katakan sebentar.
Jutaan memori terekam jelas di benaknya membuat Arjuna tak bisa memikirkan hal lain selain kenangan Luna, Luna dan Luna. Tidak ada kata cukup dan tidak ada kata selesai jika itu berurusan dengan segala hal tentang Luna, namun bukankah hidup harus terus berjalan, dan dia tak bisa terpuruk dalam kesedihan yang tak berujung ini, jalannya masih panjang dan masih harus di lalui meski tanpa Luna di sisinya, banyak hal yang juga harus Arjuna selesaikan di kehidupannya.
Pernah di beri kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan bahagia bersama wanita terhebat dalam hidupnya, bahagia yang di sempurnakan dengan rencana pernikahan, kemudian di sakiti oleh takdir perpisahan, dan kini masih harus di siksa dengan sakitnya kerinduan yang tak terbalaskan dan sangat mendalam.
Arjuna seakan di paksa harus berusaha untuk tersenyum dalam sebuah kehilangan yang menyakitkan, berusaha menerima dan berdamai dengan takdir yang Tuhan berikan untuknya, ironis memang,,,tapi ini kehidupan, dimana setiap manusia sudah punya sekenario hidupnya sendiri-sendiri yang sudah tertulis dalam guratan tangan yang di namai takdir.
Hari ini hari pertama setelah cuti panjangnya Arjuna kembali bertugas, setelah menjauh dari kasus yang menyebabkan calon istrinya tewas dengan tragisnya, langkah Arjuna kini terlihat sangat tegap dan yakin menuju salah satu ruang penjagaan tahanan.
Petugas piket di ruangan itu segera berdiri dan memberikan hormatnya pada Arjuna yang tentu saja pangkatnya jauh lebih tinggi di banding mereka.
"Bawa pembunuh itu ke hadapan ku!" titah Arjuna dengan wajah menahan gejolak amarah yang bergulung-gulung di dadanya.
Selama ini dia bertahan untuk tidak dulu menemui penabrak calon istrinya itu karena dia belum siap melihat wajah yang di anggapnya telah merenggut nyawa belahan jiwanya itu.
Jari-jari tangan Arjuna spontan mengepal kuat sampai ruas-ruasnya terlihat memutih, rahangnya pun mengeras dengan gigi yang bergemerutuk menahan ledakan emosi, saat dari kejauhan terlihat dua orang penjaga membawa pelaku mendekat ke arahnya, sepertinya tinju tangannya sudah siap mendarat di wajah pelaku itu dan tak sabar ingin menghancurkan wajahnya sampai tak di kenali lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!