Terlihat seorang wanita berlari masuk ke dalam rumah sakit. Dengan air mata yang membasahi wajahnya, dan tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya saat ini.
"Suster, dimana pasien kecelakaan hari ini?" tanya gadis itu kepada suster yang menjaga resepsionis.
"Atas nama siapa, Mbak?" tanya suster itu.
"Firda." Jawabnya dengan cepat.
Suster tampak mencari nama yang disebutkan gadis itu, dan memang benar adanya.
"Saat ini masih ditangani di UGD, Mbak. Mbak lurus aja," jawab suster itu menjelaskan.
Gadis itu mengangguk, mengucapkan terima kasih, kemudian barulah lari ke UGD yang telah ditunjukkan oleh suster tadi.
Sesampainya di sana, gadis itu bertepatan dengan dokter yang baru keluar dari ruangan.
"Dokter, bagaimana keadaan kakak saya?" tanya gadis itu dengan berderai air mata.
"Mbak siapanya pasien?" tanya dokter itu.
"Saya adiknya, Alea." Jawab gadis bernama Alea itu.
Dokter mengangguk paham, ia tampak membenarkan kacamatanya sebelum berbicara kepada keluarga pasien.
"Kondisi pasien saat ini benar-benar kritis, akibat benturan di kepala membuatnya kehilangan banyak darah. Kami akan melakukan pemeriksaan berkala, dan CT scan kepada pasien nanti." Jelas dokter penjang lebar.
"Tapi kakak saya akan baik-baik saja kan, Dok?" tanya Alea penuh harapan.
"Kami akan berusaha untuk merawatnya disini, sebelum itu tolong di urus administrasi nya ya." Jawab dokter itu lembut.
Alea mengangguk paham, ia akan mengurus administrasi rumah sakit ini dengan uang tabungannya, dan semoga saja cukup.
"Dok, kapan saya boleh melihat kakak saya?" tanya Alea lirih.
"Silahkan, sekarang juga boleh." Jawab dokter itu mempersilahkan.
Alea yang diizinkan lantas segera masuk ke dalam ruang UGD. Langkahnya terhenti ketika melihat kakak yang begitu ia sayangi kini terbaring dengan alat medis di beberapa titik tubuhnya.
Tangis Azzalea tidak bisa ditahan, namun ia tutupi dengan tangannya sendiri agar tidak menimbulkan suara.
Perlahan Alea mendekat, dengan tangan yang gemetar ia memegang tangan kakaknya yang terdapat selang infusan.
"K-kak Firda." Lirih Alea dengan suara bergetar.
Alea menggenggam tangan kakaknya, ia menunduk dengan bahu bergetar karena tangisan.
"Kakak, hiks …" panggil Alea lagi.
Alea menatap wajah pucat kakaknya. Kakaknya itu adalah satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki sekarang.
Kedua orang tuanya sudah tidak ada sejak mereka masih duduk di bangku sekolah pertama, dan selama itu Alea hanya hidup dengan kakaknya.
Alea juga bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena kakaknya yang menyanggupi biayanya.
"Kak, hiks … bangun, Kak. Kenapa kakak bisa kaya gini." Gumam Alea dengan tangisan yang semakin keras.
Dulu kakaknya selalu memberinya uang untuk biaya sekolah, dan uang jajan. Kini Alea harus membalas jasa kakaknya yang sudah mau mengurusnya.
Alea menyeka air matanya, ia keluar dari UGD untuk mengurus administrasi yang harus ia bayarkan secepatnya.
"Suster, saya boleh lihat biaya untuk pasien korban kecelakaan bernama Firda?" tanya Alea saat sampai di kasir.
"Sebentar ya, Mbak." Ucap Suster itu seraya mencari informasi biaya atas nama yang disebutkan tadi.
Setelah beberapa saat, suster itu memberikan selembar kertas yang berisi tagihan atas nama kakaknya.
Mulut Alea membulat saat melihat nominal yang harus ia bayarkan, dan ia baru ingat jika rumah sakit ini adalah rumah sakit yang cukup ternama.
Alea tidak bisa menyalahkan orang yang sudah membawa kakaknya kesana, ia malah bersyukur karena kakaknya bisa di tolong.
"Sus, kalo saya bayar 50% nya dulu bisa?" tanya Alea ragu.
"Bisa, Mbak. Tapi mohon segera dilunasi agar pasien bisa dapat kamar rawat inap ya." Jawab suster itu dengan ramah.
Alea mengusahakan untuk tersenyum, ia memberikan kartu ATM miliknya untuk membayar tagihan sebesar 50% karena saldonya tidak akan mungkin cukup untuk membayar semuanya.
Setelah membayar, Alea pun pergi dari sana untuk kembali ke UGD. Ia tidak masuk, hanya duduk di kursi tunggu yang berada tepat di depan ruang UGD.
"Kemana aku harus mencari sisa pembayaran nya." Gumam Alea terlihat bingung.
Alea selama ini hanya berkuliah sebab sang kakak melarangnya untuk bekerja, khawatir ia tidak fokus pada pelajarannya.
Kini Alea terpaksa harus mencari pekerjaan demi bisa membiayai perawatan rumah sakit kakaknya.
Sudah cukup selama ini kak Firda yang mengurusnya, kini giliran Alea yang harus melakukannya.
Alea masuk ke dalam kamar UGD, ia mendekati brankar sang kakak kemudian menggenggam tangannya.
"Kak, aku janji akan berusaha. Kau harus bisa kembali pulih, jadi izinkan aku untuk mencari pekerjaan ya." Bisik Alea dengan sedih.
Usai mengatakan itu, Alea pun keluar dari kamar UGD, ia pergi dari rumah sakit dan akan mencari pekerjaan part time untuk tambah-tambahan uangnya.
HALO GUYS, KETEMU LAGI KITA DI KARYA BARU. JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN POSITIF NYA YA. SATU LAGI, JANGAN LUPA TAMBAH KE FAV JUGA 🖤🖤
Bersambung.........................
Kaki terus melangkah, tangan terus mengusap peluh yang membasahi wajahnya. Terik matahari menjadi pengiring langkah Alea dalam mencari pekerjaan.
Alea yang saat ini masih berkuliah dan baru semester 5, ia tidak punya pengalaman apapun sebab selama ini ia hanya belajar dan belajar.
Alea pernah mendengar salah satu temannya bekerja di restoran, karena pekerjaan itu cocok untuk mahasiswa sepertinya.
Mengingat itu, Alea lantas memasuki salah satu restoran yang ia lewati.
"Permisi." Ucap Alea pada kasir yang ada disana.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanya kasir itu sopan.
"Kak, disini lagi buka lowongan pekerjaan nggak ya, saya mau melamar jika ada posisi." Jawab Alea menjelaskan tujuan nya datang.
"Mohon maaf, Kak. Untuk saat ini belum ada," jawab kasir itu dengan menyatukan kedua tangannya.
Alea terlihat sedih, namun ia tetap harus tersenyum. Karena tidak membuka lowongan, lantas Alea segera pergi dari sana.
Hari yang semakin panas membuat Alea harus menyipitkan matanya karena silau, ia kembali melangkah di bawah panasnya matahari.
Alea kembali mendatangi restoran, namun hasilnya sama. Hal tersebut ia lakukan berulang-ulang, dan hasilnya tetap sama.
Alea rasanya ingin menyerah, ia mengipas wajahnya dengan telapak tangannya sendiri karena gerah.
Alea merasa lelah, ia duduk di pinggiran trotoar dengan perasaan berkecamuk. Ada rasa lelah, ingin menyerah, dan ketakutan.
"Aku tidak boleh menyerah, kak Firda butuh banyak biaya." Gumam Alea setelah beberapa saat terduduk.
Alea bangkit dari duduknya, karena matahari yang begitu terik membuat kepala Alea terasa sangat pusing. Ia memegangi kepalanya, namun tetap berusaha untuk berjalan.
"Seberang jalan sepertinya lebih baik," ucap Alea kemudian segera menyebrang jalan.
Sayangnya, di pertengahan jalan, Alea tidak melihat ada sebuah mobil yang melintas tidak terlalu cepat.
Alea tertabrak, gadis itu jatuh telungkup dengan luka di bagian siku dan lututnya.
"Awww …" ringis Alea seraya melihat luka di tangan dan kakinya.
Orang yang mengendarai mobil itu keluar dari mobil, ia yang merasa telah menabrak seseorang tentu saja tidak langsung pergi begitu saja.
Pria itu berjongkok di sebelah Ale. "Nona, anda tidak apa-apa? Apa kita harus ke dokter?" Tanya orang itu menawarkan.
Alea tersadar jika ada orang di sebelahnya. Ia lantas menoleh dan terkejut melihat pria memakai kacamata hitam.
"Ehh, tidak perlu, Tuan. Saya tidak apa-apa, hanya luka kecil." Tolak Alea seraya berusaha untuk bangun.
Alea kesulitan, dan itu membuat orang yang menabraknya membantu untuk bangkit.
"Kita ke rumah sakit saja, saya tidak mau jika nanti kamu menuntut atas kecelakaan ini, apalagi banyak pasang mata memperhatikan." Ajak orang itu memaksa.
Alea tetap menggeleng. "Tidak, Tuan. Saya benar-benar tidak apa-apa. Saya harus mencari pekerjaan," tolak Alea seraya melepaskan tangannya dari tangan pria asing itu.
"Kau sedang mencari pekerjaan?" tanya pria itu.
Alea diam saja, ia hendak pergi meskipun dengan kaki yang sedikit pincang karena menahan sakit di kakinya.
"Nona, tunggu." Pinta pria itu kembali memegang tangan Alea.
"Tuan, tolong biarkan saya pergi. Saya tidak akan melaporkan anda!" ujar Alea seraya menepis tangan pria itu.
"Nona, saya memiliki pekerjaan yang bagus untuk anda." Ucap pria itu seketika menghentikan pemberontak Alea.
Alea menatap pria itu dengan penuh harap, jika memang bisa memberikannya pekerjaan maka ia akan sangat bersyukur atas kecelakaan ini.
"Benarkah, Tuan? Pekerjaan apa itu?" tanya Alea dengan bersemangat.
"Tapi saya tidak yakin kamu akan mau, karena …" ucapan pria itu terpotong oleh Alea.
"Saya mau, Tuan. Apapun pekerjaan pasti saya akan terima," potong Alea dengan cepat.
Ia sudah sangat membutuhkan pekerjaan, dan ia tidak mungkin pilih-pilih dalam hal ini.
"Kau yakin?" tanya pria itu dengan alis yang terangkat.
Alea mengangguk dengan cepat, membuat pria berkacamata hitam itu segera membuka kacamatanya.
"Baik, kalo begitu kita bicara ditempat lain." Ucap si pria tampan yang memiliki kulit putih bersih.
Alea menurut, ia pun akhirnya masuk ke dalam mobil pria yang tidak dikenalnya. Meskipun sedikit ragu, namun demi kakaknya maka akan ia lakukan apapun.
Alea duduk di sebelah pria itu, pria yang bahkan belum ia ketahui namanya.
"Oh iya, perkenalkan. Nama saya Fade, dan kau?" ucap pria itu diakhiri dengan pertanyaan lagi.
"Saya Azzalea, Tuan bisa panggil saja Alea." Jawab Alea berusaha untuk tersenyum.
Pria bernama Fade itu menganggukkan kepalanya. Ia melirik gadis di sebelahnya ini dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Dia gadis yang sesuai." Batin Fade setelah memperhatikan Alea.
Fade mengajak Alea ke sebuah restoran yang mana hal itu membuat Alea semakin berpikir positif bahwa dirinya akan mendapatkan pekerjaan di restoran tersebut.
"Duduklah, saya pesan makanan dulu." Tutur Fade dengan lembut.
Alea nurut, ia duduk di kursi yang ada disana dan Fade tepat berada di depannya.
"Silahkan pesan." Tutur Fade.
Alea menggeleng seraya tersenyum canggung.
"Tidak, Tuan. Saya tidak mau makan, saya hanya ingin pekerjaan." Tolak Alea yang sudah sangat ingin pekerjaan.
"Iya, saya akan jelaskan setelah makan. Jadi pesanlah," sahut Fade pelan.
Alea akhirnya terpaksa memesan makanan. Ia melakukan itu tentu saja agar Fade lekas membicarakan tentang pekerjaan yang sangat ia butuhkan.
Setelah beberapa saat, makanan mereka pun datang. Fade dan Alea makan bersama.
"Jadi Alea, kamu butuh pekerjaan kan?" tanya Fade ditengah-tengah acara makan nya.
"Iya, Tuan. Saya sangat membutuhkannya," jawab Alea.
"Latar belakang pendidikanmu apa, dan apa kau bisa melakukan tugas seorang sekretaris?" tanya Fade dengan detail.
"Tentu, Pak. Saya pernah belajar tentang hal itu, dan di perkuliahan saya juga belajar manajemen." Jawab Alea dengan semangat.
Fade tersenyum simpul mendengar jawaban dari gadis di hadapannya.
"Baiklah, saya tidak mau basa-basi. Pekerjaan ini sangat ekstrim dan kau bilang pekerjaan apapun dan kau akan sanggup." Ucap Fade mengingat kata-kata Alea tadi.
"Aku ingin kau menjadi seorang pelakor." Ucap Fade dengan satu kali nafas.
Alea hampir tersedak makanan nya sendiri, ia menatap pria tampan di hadapannya ini dengan mata terbuka lebar.
"Apa, pelakor?" tanya Alea memastikan.
LIKE DAN KOMEN POSITIFNYA DITUNGGU GUYS🤗
Bersambung.........................
Alea masih terdiam seribu bahasa saat mendengar jenis pekerjaan yang diberikan oleh pria bernama Fade itu. Ia tidak tahu mengapa ada orang yang bisa memberikan pekerjaan demikian.
"Tapi Tuan, untuk apa anda ingin menjadikan saya sebagai pelakor?" tanya Alea ragu-ragu.
Fade tersenyum simpul. "Saya tahu kamu pasti akan menanyakan ini, dan saya akan menjelaskannya pelan-pelan." Jawab Fade.
"Yang terpenting sekarang adalah, kamu mau menerima pekerjaan ini atau tidak?" Tanya Fade to the point.
Alea menggigit bibirnya, ia tidak tahu harus bagaimana. Mencari pekerjaan di zaman sekarang sangatlah sulit, apalagi statusnya yang masih mahasiswa.
"B-berapa bayaran yang akan saya terima?" tanya Alea ragu-ragu.
Fade lagi-lagi tersenyum, pria itu menyatukan kedua tangannya di meja lalu sedikit mencondongkan tubuhnya.
"Jika kamu berhasil dengan pekerjaan ini, maka saya akan berikan kamu imbalan sebesar 2 milyar." Jawab Fade dengan suara pelan, seakan tidak boleh ada yang mendengar penawarannya.
Mata Alea membulat dengan sempurna. Nominal yang disebutkan tadi belum pernah ia lihat sebanyak apa uang itu.
"T-tuan, anda yakin akan memberikan uang sebesar itu?" tanya Alea lagi, terdengar terbata karena masih syok dengan nominal yang didengarnya.
"Tentu saja, bahkan saya akan transfer uang 100 juta sebagai uang muka jika kamu mau melakukan pekerjaan ini." Jawab Fade semakin menawarkan hal manis.
Alea semakin sulit bernafas, ia terkadang sering bingung dengan orang-orang yang memiliki banyak uang. Darimana orang-orang itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu, bahkan membuangnya cuma-cuma demi hal yang tidak penting.
"S-saya, saya minta waktu untuk memikirkannya boleh, Tuan?" tanya Alea gugup.
Fade terdiam, ia mengangkat kedua bahunya singkat lalu menganggukkan kepalanya.
"Fine, saya kasih kamu waktu sampai besok, sekalian saya akan menjelaskan mengapa saya meminta kamu melakukan pekerjaan ini." Jawab Fade santai.
Alea menghela nafas lega, setidaknya ia akan memiliki waktu untuk memikirkan tawaran pria di hadapannya. Tawaran yang tidak biasa, namun dengan bayaran yang begitu fantastis.
Jika Alea hitung, entah butuh berapa tahun ia bekerja untuk mendapatkan uang sebanyak itu.
Fade mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, kemudian menyerahkannya kepada Alea.
"Ini kartu nama saya, silahkan hubungi saya besok saat kamu sudah tentukan tempat bertemu." Ucap Fade dengan nada dinginnya.
Alea mengambil kartu nama di meja, ia membaca nama yang tertulis di sana. Fade Lousian. Nama nya terdengar seperti nama asing.
Alea memasukkan kartu nama itu ke dalam kantong celananya, ia lalu kembali menatap Fade seraya menganggukkan kepalanya.
"Baik, Tuan. Saya akan menghubungi anda besok untuk memberitahu jawabannya." Ucap Alea pelan dan sopan.
Fade mengangguk singkat. "Baik, saya tunggu kabar dari kamu." Balas Fade kemudian beranjak dari tempatnya.
Setelah kepergian Fade, Alea masih duduk di restoran itu dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak tahu harus apa sekarang, yang jelas ia butuh pekerjaan dan uang.
Alea pun beranjak dari restoran, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, dan menemui Fade besok.
Alea sepertinya harus banyak izin dari kampus untuk menjaga kakaknya, tidak mungkin ia terus meninggalkan Firda, apalagi jika nantinya ia benar-benar menerima pekerjaan ini.
Alea berjalan kaki saja ke rumah sakit, sebab lokasi restoran dan rumah sakit tidak terlalu jauh. Apalagi ini ibu kota, tidak sedikit orang yang berjalan kaki, membuat Alea tidak malu.
"Menjadi pelakor, astaga … bagaimana aku bisa melakukannya." Gerutu Alea sambil terus melangkah.
"Tapi, dimana juga aku bisa mendapatkan banyak uang. Aku butuh biaya untuk kak Firda dan biaya kuliahku. Tapi pekerjaan ini, ck … kenapa bayaran mahal, tapi resiko pekerjaannya besar." Tambah Alea mengacak rambutnya sedikit.
Alea sampai di rumah sakit, dengan langkah gontai ia masuk ke dalam rumah kesehatan itu dan pergi ke ruang UGD untuk melihat kondisi kakaknya.
Namun saat ia sampai disana, kakaknya sudah tidak ada. Alea kalang kabut, ia takut kakaknya di pindahkan ke tempat tidak layak akibat dirinya yang telat membayar sisa pembayaran nya.
Alea lantas buru-buru keluar dari UGD, ia menemui salah satu suster dan menanyakan keberadaan pasien ruang UGD atau kakaknya, Firda.
"Pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat intensif ada di ujung koridor nona, sebelah kanan. Ruang anggrek." Jelas suster dengan sopan.
Alea mengangguk paham. "Baiklah, suster. Terima kasih banyak ya, saya permisi dulu." Usai mengucapkan itu, Alea pun berlari menuju ruangan yang telah diberitahu.
Saat sampai di depan ruangan itu, ia bisa melihat kakaknya masih terbaring tidak sadarkan diri diatas bangsal.
"Kak Firda, aku akan berjuang untuk kamu." Lirih Alea sedih.
Perlahan Alea masuk ke dalam kamar rawat kakaknya, ia membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan bunyi.
Alea mendekat, ia meraih tangan Firda kemudian menggenggamnya erat.
"Kak, hiks … bangunlah, aku tidak bisa menyelesaikan ini semua sendiri. Aku bingung, Kak." Tangis Alea di sebelah tubuh Firda yang masih belum sadarkan diri.
Alea duduk di kursi sebelah bangsal, ia masih menggenggam tangan Firda dan meletakkan di kepalanya.
Alea biasa melakukan apapun dengan campur tangan Firda, sehingga saat dirinya dituntut melakukan apa-apa sendiri, maka ia belum terbiasa.
"Kak, aku bingung. Aku butuh uang banyak untuk kuliah dan biaya perawatan rumah sakit, tapi aku tidak mau merusak kebahagiaan orang lain." Ucap Alea mulai mencurahkan isi hatinya kepada sang kakak.
Alea tidak peduli apakah kakaknya bisa mendengar atau tidak, yang jelas ia ingin berbagi rasa sedihnya kepada Firda, kakaknya.
"Ada seseorang menawarkan pekerjaan kepadaku untuk menjadi pelakor, apa yang harus aku lakukan?" tanya Alea dan sudah pasti bahwa Firda hanya diam, mengingat kondisinya yang belum sadarkan diri.
Alea semakin menggenggam tangan Firda, ia menangis dengan kepala yang dijatuhkan ke sisi bangsal.
"Maafkan aku, Kak. Aku tidak punya pilihan lain, aku tidak mau kehilangan kakak, jadi aku akan mencoba untuk melakukan pekerjaan ini."
"Demi kamu, Kak. Aku melakukan ini terpaksa," tambah Alea dengan air mata yang menetes membasahi wajah cantiknya.
Usia Alea masih terlalu muda, ia tentu saja masih bingung dalam menyingkapi masalah ini, apalagi semua terjadi secara tiba-tiba.
Jika saja ada orang lain yang bisa menolongnya untuk biaya kuliah dan rumah sakit, Alea tidak akan sudi memikirkan dirinya menjadi seorang perusak kebahagiaan orang lain.
"Tuhan, aku minta maaf." Lirih Alea memegangi dadanya yang sesak.
KOMEN POSITIFNYA DITUNGGU 🖤
Bersambung...............................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!