Sebuah mobil saat ini menjadi pusat perhatian. Mobil itu terlihat hancur setelah menabrak pohon besar akibat rem blong, terihat percikap api dari mobil tersebut membuat tak ada satu orang pun yang berani mendekat. Semua orang yang menyaksikan itu semua hanya bisa berteriak menatap ketiga orang yang berada di dalam mobil tersebut.
Beberapa orang memanjatkan doa berharap akan ada keajaiban yang dapat menyelamatkan ketiga orang yang terlihat berada di dalam mobil tersebut.
"Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?" ucap seorang wanita tua yang sebelumnya dengan sigap menelpon bala bantuan.
Percikan api dan asap yang keluar dari mobil itu semakin terlihat dan itu membuat semua orang semakin histeris. Tak ada siapa pun yang berani mendekat, hingga akhirnya seorang laki-laki dan perempuan menerobos mendekati mobil yang diduga akan terbakar tersebut.
"Tolong... Tolong selamatkan putriku! Ku mohon," ucap seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah menatap sepasang suami istri yang berani menghampirinya.
"Mas, cepat!" teriak sang wanita pada suaminya melihat asap yang semakin tebal.
Pria itu bergegas mengambil sebuah batu besar, berulang kali mencoba memukul kaca mobil hingga pecah, lalu bergegas menarik keluar gadis kecil yang sedari tadi hanya menangis di dalam mobil tersebut.
"Ibu... Ayah!" teriak gadis kecil itu saat dia dibawa menjauh dari lokasi kecelakaan oleh wanita yang menolongnya.
Sang pria masih berusaha menyelamatkan wanita yang ada di dalam mobil meskipun suara teriakan histeris dari banyak orang semakin terdengar saat melihat bagian belakang mobil mulai terbakar.
"Berusahalah bersamaku, kita sama-sama berjuang!" ucap sang pria pada wanita yang berusaha diselamatkannya.
"Sudah terlambat. Aku tidak bisa meninggalkan suamiku. Kami sudah berjanji akan selalu bersama hidup atau pun mati. Pergilah, tolong jaga Zoya–putriku! Aku mohon..." ucap wanita itu dengan tangis bercampur darah yang ada di wajahnya.
Melihat api yang semakin besar, dengan berat hati serta berulang kali mengucapkan kata maaf, pria itu menjauh dari mobil dan beberapa detik setelah itu juga mobil tersebut meledak.
"Tidak!"
Zoya terbangun dari mimpi buruk yang selalu hadir hampir disetiap tidurnya. Bukan hanya keringat yang membasahi tubuh Zoya, air mata pun membasahi wajah cantiknya.
Zoya menangis setiap kali mimpi itu datang, mimpi yang menjadi kenangan terburuk Zoya dimana dia kehilangan kedua orang tuanya.
"Ayah, ibu. Aku sangat merindukan kalian!" ucapnya terisak mengambil bingkai foto yang ada di atas nakas, lalu memeluknya.
Lima belas tahun sudah berlalu dan selama itu juga Zoya menyandang status sebagai yatim piatu. Meski pun kasih sayang Zoya dapatkan dari pasangan yang telah menyelamatkannya, tetapi tetap saja semua itu tidak akan dapat menghapus rindu Zoya pada orang tuanya.
Ya. Pasangan suami istri yang waktu itu menyelamatkan Zoya menjadi wali untuk Zoya. Meski pun tidak tinggal bersama sebab Zoya menolak keras keluar dari rumahnya, tapi pasangan suami istri itu terus saja memantau perkembangan Zoya dan memastikan Zoya hidup dengan layak.
Zoya tinggal bersama seorang wanita yang ditugaskan untuk menjaganya, wanita yang Zoya panggil sebagai bibi itu menjadi ibu ketiga untuk Zoya.
Perlahan Zoya menghentikan tangisnya saat Zoya teringat akan kedua orang tua angkatnya yang sudah cukup lama tidak menjenguknya.
Wulan dan Ryan Sandjaja, menjadi orang tua angkat Zoya. Ketulusan hati keduanya membuat Zoya merasa sangat bersyukur dan menghormati keduanya seperti Zoya menghormati ayah dan ibunya.
"Kenapa Tante dan Om tidak pernah datang lagi? Apa sesuatu terjadi? Atau justru mereka sudah bosab mengurusku?" ucap Zoya bertanya-tanya.
Bikin ulang dengan judul baru, karena banyak yang minta disatu akun aja, baiklah, yang penting kalian suka dan bersedia memberikan dukungan, itu udah luar biasa. Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca ceritaku. Mohon dukungannya selalu ya, Kak. Terima kasih.
Beberapa hari berlalu dan kedua orang angkat Zoya belum juga datang. Zoya yang merasa tidak tenang memutuskan jika hari ini dia akan mengunjungi kediaman Sandjaja.
Zoya bisa saja lebih sering datang ke sana, hanya saja Zoya memiliki trauma tentang mobil. Berada di dalam mobil selalu saja membuat Zoya merasa takut, semua hal yang terjadi pada masa kecilnya ketika mereka mengalami kecelakaan hingga merenggut nyawa kedua orang tuanya lah yang membuat Zoya enggan berada di dalam mobil.
Mimpi buruk yang selalu datang saja sudah sangat menyiksa Zoya, Zoya tidak ingin menambah hal itu dengan berada di dalam mobil sebab Zoya akan merasa jika hal itu terus saja terulang.
"Kamu bisa, Zo. Buang rasa takutmu!" ucap Zoya pada dirinya sendiri yang saat ini sudah berada di toko miliknya yaitu, Galeri Zoya. Toko kecil dari hasil tabungannya yang sekarang berkembang menjadi toko pakaian serta aksesories lainnya yang cukup diminati di kotanya.
Zoya merintis usahanya mulai dari jualan online, lalu berkembang hingga Zoya memberanikan diri menyewa sebuah ruko yang sekarang menjadi miliknya atas pemberian Wulan dan Ryan, orang tua angkatnya.
Semua hal yang terjadi dalam hidup Zoya tak luput dari campur tangan keluarga Sandjaja yang begitu peduli padanya. Entah kebaikan apa yang telah dilakukan kedua orang tuanya semasa mereka hidup, sehingga semua kebaikan itu berbalik pada Zoya.
"Zo, kamu yakin pergi sendiri?" tanya Uci, teman sekaligus pegawai Zoya.
"Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Aku minum obat mabuk, efeknya ngantuk, aku akan tidur selama perjalanan." Zoya tersenyum menjawab pertanyaan Uci.
"Baiklah. Kabari aku jika ada apa-apa!" ucap Uci lagi yang dianggukkan oleh Zoya.
***
Untuk pertama kalinya Zoya menginjakkan kakinya di kediamana Sandjaja. Lima belas tahun mengenal Wulan dan Ryan, ini menjadi hari pertama Zoya di sana. Zoya terkagum-kagum melihat bangunan rumah yang ada di depannya saat ini.
Rumah dua lantai yang terlihat sangat besar dan juga sangat mewah. Bahkan luas bangunan hampir sepuluh kali lipat dari rumah Zoya.
"Persis seperti rumah-rumah artis di tv," gumam Zoya tersenyum sendiri mengatakannya.
Zoya disambut baik oleh semua pelayan yang ada di sana meski pun Zoya baru pertama kali ke sana, sebab salah satu supir dan pelayan tertua yang ada di sana sering melihat Zoya saat ikut bersama Wulan mengunjungi Zoya.
"Silahkan duduk dulu, Non Zoya. Saya akan panggilkan nyonya," ucap seorang pelayan yang sudah membawa Zoya untuk duduk di ruang tamu.
"Terima kasih, Bi." Zoya tersenyum membalas ucapan pelayan itu.
Di atas sana, Wulan yang baru saja selesai menunaikan sholat terkejut sekaligus tersenyum mendengar siapa yang telah datang berkunjung. Wulan bergegas turun menemui gadis yang sudah sangat dirindukan olehnya itu.
"Zoya..." suara teriakan Wulan terdengar bersamaan dengan dirinya yang berlari pelan menghampiri Zoya.
Zoya yang melihat itu semua tersenyum. Zoya berdiri dan siap untuk masuk ke dalam pelukan Wulan yang sudah merentangkan kedua tanganya. "Tante sangat merindukanmu," ucap Wulan mengecup sayang dahi Zoya.
"Aku juga sangat merindukan, Tante. Aku tidak dapat menghubungi nomer tante. Maaf aku baru datang sekarang," ucap Zoya saat pelukan mereka terlepas dan sudah kembali duduk di sofa.
"Tante juga minta maaf, Sayang. Tante tidak punya waktu lagi untukmu sejak Liam sakit," ucap Wulan dengan raut wajah yang seketika berubah sedih.
"Tante, ada apa dengan Liam?" tanya Zoya penasaran.
Zoya belum pernah bertemu Liam, tapi Zoya jelas tahu jika pria bernama Liam adalah putra dari orang tua angkatnya.
"Liam mengalami kecelakaan saat tengah mencari kekasihnya di luar negeri," jawab Wulan.
Zoya yang mendengar itu sedikit bingung, mencari kekasih ke luar negeri, apa kekasih Liam menghilang? Pikirnya.
"Mobil yang dikemudikan Liam mengalami kecelakanan, sebab Liam mengemudikan mobil dalam keadan mabuk, semua itu menyebabkan Liam menjadi cacat," ucap Wulan melanjutkan penjelasannya.
Zoya yang mendengar itu menutup mulutnya terkejut. Lagi-lagi mobil menjadi perantara kejadiaan nahas yang menimpa seseorang dan itu membuat Zoya seakan semakin takut dengan mobil.
"Bagaimana keadaannya sekarang? Di mana dia?" tanya Zoya penasaran.
Belum sempat Wulan menjawab pertanyaan Zoya, suara pecahan kaca dan teriakan dari atas sana terdengar. "Tante, suara apa itu?" tanya Zoya.
"Liam selalu mengamuk, dan inilah yang membuat Tante tidak bisa pergi mengunjungimu. Tante ke atas dulu!" Wulan bergegas pergi setelah mengatakan itu.
Zoya yang mendengar itu semua tanpa sadar bergerak mengikuti Wulan. Rasa penasaran dan prihatinnya mendorongnya untuk melakukan itu.
"Liam," cicit Wulan hendak menghampiri Liam, tetapi sigap Zoya mencekal tangannya. Seketika ia membalikkan badan dan menatap heran wajah Zoya.
"Tante, apa aku boleh menemuinya?"
Wulan jelas terkejut. "Kamu yakin, Sayang?" Wulan menatap penuh tanya, sekadar memastikan lagi permintaan Zoya.
"Yakin, Tante. Aku belum tentu bisa membantu Liam, tetapi setidaknya aku bisa berusaha untuk mengajaknya berbicara. Mungkin saja dia butuh teman untuk bercerita dan meringankan beban dalam hatinya," jawab Zoya tidak begitu yakin. Namun, di depan Wulan dia seolah-olah bisa menunjukkan bahwa dia memang bisa melakukannya.
Zoya merasa iba pada Wulan dan beberapa pelayan yang terlihat lelah menghadapi amukan Liam, rasa pedulinya membuatnya ingin mencoba membantu mereka.
"Lagi pula, sepertinya Liam sudah tenang sekarang. Lihat saja, dia kembali diam, kan?" sambung Zoya kembali meyakinkan Wulan yang masih merasa ragu mengizinkan Zoya mendekati Liam. Bukan karena takut Zoya menyakiti Liam, tetapi justru sebaliknya, takut jika Liam menyakiti Zoya.
Seulas senyum pun terbit di wajah wanita paruh baya itu. Seketika tangannya terangkat memegang bahu Zoya.
"Tante percaya sama kamu. Tolong bantu Liam agar dia bisa melupakan kejadian yang merenggut kebahagiaannya. Setidaknya bantu dia untuk bisa hidup normal kembali. Tante sangat berharap padamu, Sayang," pinta Wulan sambil mengusap-usap bahu Zoya dengan lembut dan perlahan.
"Aku akan berusaha, Tante." Zoya mengangguk pelan.
Setelah mendapat izin dari Wulan, Zoya pun memberanikan diri untuk menghampiri Liam yang masih bergeming di tempat yang sama. Ia berjalan dengan sangat hati-hati dan perlahan hingga tidak menciptakan sedikit bunyi ketukan sepatu yang menggema di ruangan itu.
Ada keraguan yang sempat menginvasinya, tetapi ia berusaha untuk tetap memberanikan diri dan percaya bahwa ia bisa menghadapi Liam, meskipun tingkat depresi pria itu terkihat sudah cukup parah.
Ya, tanpa Zoya bertanya lebih lanjut pun tentang kondisi Liam saat ini, ia sudah bisa menebaknya dengan pasti. Lihat saja keadaan kamar itu yang tampak seperti kapal pecah. Beberapa barang terlihat berserakan di lantai dengan sembarang tempat, termasuk bantal dan guling, juga beberapa benda yang tandas habis, terjatuh ke lantai, bahkan tampak serpihan kaca yang juga ikut menghiasi kamar itu. Ia tebak bahwa Liam sempat menyapu semua benda di atas meja menggunakan tangannya dalam sekaligus, juga melempar bantal dan guling itu tanpa perasaan.
Zoya mengamati satu per satu benda yang teronggok di lantai, tanpa menghentikan langkahnya yang masih terlihat hati-hati menghindari serpihan kaca yang mungkin tersebar ke beberapa tempat. Hingga langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di ujung tempat tidur.
Ditatapnya pria yang masih duduk membelakanginya. Ia menghela napas sejenak, berusaha menetralkan perasaannya sebelum melanjutkan kembali langkahnya, menghadap Liam, pria yang pertama kali akan ditemuinya itu.
Sementara itu, Wulan masih berdiri di ambang pintu, menyaksikan kegiatan Zoya secara langsung. Dia bahkan tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari Zoya. Berharap wanita yang ia percaya benar-benar bisa membangkitkan kembali semangat hidup putranya.
Sesaat kemudian Wulan mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk senyuman, begitu Zoya menoleh ke arahnya seolah-olah meminta izin dan dukungan kembali. Meskipun Zoya tak mengucapkan secara langsung, tetapi Wulan bisa memahami arti tatapan dari wanita itu.
'Ayo, Zoya ... kamu pasti bisa melakukannya. Tante yakin!' Wulan menatap penuh harap sambil bergumam dalam hati, berharap Zoya bisa mendengar suara hatinya, meski itu tidak mungkin.
Zoya menghela napas lagi. Kali ini terlihat sedikit berat. Mungkin karena lagi-lagi keraguan menginvasinya. Ia kemudian memutar kembali wajahnya ke depan, setelah mendapat anggukkan kepala dari Wulan sebagai dukungan.
Aku pasti bisa dan harus bisa. Aku tidak bisa melihat tante Wulan bersedih seperti itu melihat putranya. Buktikan kamu berguna untuk tante Wulan, Zoya. Bisik Zoya dalam hati.
Langkah wanita itu pun kembali terayun perlahan. Hanya beberapa langkah ia telah berdiri di depan Liam. Tatapannya langsung mengarah ke sepasang iris berwarna coklat yang tengah menatap kosong ke arah jendela.
Tidak hanya itu. Dia juga melihat bercak darah di pelipis pria di depannya. Masih belum dibersihkan atau bahkan diobati. Mungkin saja karena pelayan di rumah itu tidak berani mendekati majikan depresi seperti Liam atau mungkin sebaliknya, pelayan itu telah mencoba berusaha untuk mengobati luka tersebut, tetapi Liam menolaknya. Setidaknya itulah yang Zoya pikirkan saat ini.
Terlalu banyak kemungkinan yang membuat seseorang enggan untuk mendekati orang yang mengalami depresi berat seperti Zoya dan rata-rata alasan mereka karena takut. Ia pikir, itu adalah hal yang sangat wajar dan normal. Karena tidak setiap orang memiliki keberanian yang sama.
"Hai, Liam." Zoya menyapa lirih sambil menerbitkan senyuman simpul, begitu Liam menyadari keberadaannya dan menoleh ke arahnya.
"Siapa kamu?" Liam membulatkan mata, menatap tajam ke arah Zoya, orang asing yang dengan berani muncul di depannya.
Terlihat jelas kekacauan di wajah pria itu. Wajahnya pucat dengan beberapa peluh yang timbul di sekitar dahinya. Belum lagi bercak darah yang semakin menambah kekacauan itu. Memang tidak terlalu banyak, tetapi itu cukup mengkhawatirkan.
Zoya bisa membayangkan seberapa kuat Liam memukul atau membenturkan kepala hingga berdarah seperti itu. Pasti sangat kuat. Melihatnya saja ia ikut merasakan ngilu. Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan.
Pantas saja tante Wulan tidak punya waktu untukku, jangankan untukku, mungkin untuk dirinya sendiri pun dia tidak punya waktu. Sepertinya Liam memang butuh seseorang untuk membantunya bangkit. Tapi, siapa?gumam Zoya dalam hati.
Zoya memaksakan untuk tersenyum, tetapi tidak kalah manis dari senyum bisanya. Ia kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Liam.
"Perkenalkan, aku Zoya. Mungkin kamu pernah mendengar namaku. Mungkin juga kita bisa berteman?" ucap Zoya memperkenalkan diri.
Alih-alih menanggapi, Liam justru melempar tatapan nyalang. Mengamati tangan Zoya yang masih terulur, lalu kedua matanya menyapu seluruh penampilan wanita di depannya dari mulai ujung kaki hingga ujung rambut, lalu turun lagi ke wajah cantik nan lugu itu. Hingga tatapannya terhenti di sana dan mereka beradu pandang beberapa saat.
Akan tetapi, tidak ada pergerakan ataupun ucapan yang diberikan Liam sebagai tanggapan, meski hanya menyebutkan sebuah nama. Entah memori otaknya bisa menerima dengan baik setiap perkataan yang diucapkan Zoya, atau justru sebaliknya.
Yang jelas Zoya melihat bahwa Liam seolah-olah tidak bisa menangkap dengan baik ucapannya. Hal itu terbukti dari tatapan kosong pria itu. Meskipun tatapan Liam tertuju ke arahnya, Zoya bisa melihat bahwa bukan ia yang menjadi objek pandangan yang sesungguhnya. Ia menyadari dan memaklumi bahwa begitu banyak beban yang mengganggu hati dan perasaan Liam.
Zoya segera menurunkan tangannya yang sedari tadi terulur, tetapi tidak mendapat sambutan sama sekali. Ia tersenyum kecewa. Namun, tidak ingin memperpanjang hal itu. Setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk berusaha mendekati Liam, selama pria itu tidak memberontak dan melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya.
"Hem ... Boleh aku bantu mengobati lukamu?" tanya Zoya seraya tersenyum tidak meyakinkan.
Zoya tampak melangkah maju mendekati Liam dan berniat untuk duduk di samping pria itu. Namun, urung saat tiba-tiba Liam membuka suaranya.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Keluar dari kamarku!" teriak Liam dengan tatapan sinis yang tertuju ke arah Zoya. Tangannya terangkat dan mengarah ke pintu kamarnya yang masih terbuka lebar, tanpa ia sadari ibunya tengah berdiri di sana.
"Keluar!" teriaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!