Hari ini Agnes merasa sangat bahagia karena dirinya mulai bekerja di restoran milik Gatra. Sebuah pengalaman yang baru saja akan dimulai karena selama ini dirinya belum pernah bekerja sama sekali. Jangankan bekerja, mencuci piring bekas makan sendiri saja, Agnes tidak pernah melakukannya karena dulu Janu benar-benar memperlakukan Agnes seperti ratu di rumahnya. Apa pun yang dibutuhkan, sudah ada pelayan yang siaga di dekatnya. Namun, tidak untuk sekarang. Agnes harus mulai terbiasa untuk mandiri.
Senyum Agnes mengembang saat melihat pantulan dirinya di cermin. Rambut yang dikepang dua dan memakai kemeja khusus pelayan restoran milik Gatra. Walaupun hanya seragam karyawan, tetapi Agnes sangat menyukai itu. Daripada gaun-gaun dengan segala model yang sudah pernah dia miliki dan Agnes sudah merasa bosan karenanya.
"Ah, aku tidak menyangka kalau sekarang sudah resmi menjadi seorang karyawan restoran saat ini." Agnes merapikan poni depan agar tidak menganggu penglihatannya. Penampilan culun itu tetap membuat Agnes percaya diri.
Setelah puas menatap dan mengagumi dirinya sendiri, Agnes pun bergegas keluar kamar karena sebentar lagi Gatra akan datang menjemput. Lelaki itu sudah berjanji akan mengantar jemput Agnes setiap hari. Baru saja keluar dari kamar, Agnes terkejut dengan kedatangan Margaretha yang tiba-tiba. Seperti jelangkung saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Oe! Stop! Jangan diterusin. Kalau dia beneran datang, bisa repot eike. wkwk
"Cantik amat kamu, Nes." Margaretha tersenyum sembari memuji Agnes. Senyum yang sebenarnya mengandung ledekan karena penampilan Agnes yang persis anak SD. Sangat culun.
Agnes yang merasa senang karena ledekan berbalut pujian itu pun langsung berlagak menyibakkan ujung rambutnya ke belakang. Bergaya sangat centil. Margaretha yang melihatnya hanya menggeleng. Sungguh, tingkah kakak perempuannya ini sangat unik. Masih seperti anak kecil.
"Etha. Apa Mas Gatra sudah di depan?" tanya Agnes saat tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka.
"Belum. Lebih baik kamu sarapan dulu sambil nunggu Mas Gatra datang." Margaretha mengajak Agnes untuk sarapan, tetapi gadis itu menolak. Dia justru menciumi kedua pipi Margaretha lalu berlari ke luar rumah saat mendengar suara klakson dari luar.
"Aku berangkat, Etha. Aku mencintaimu." Agnes berjalan pergi tanpa peduli pada Margaretha yang sedang mengejar karena khawatir dengan gadis itu. Margaretha mengembuskan napas lega saat Agnes sudah masuk ke mobil Gatra. Lalu melambaikan tangan saat mobil tersebut berlalu pergi meninggalkan rumah.
"Agnes ... Agnes ... kasihan sekali kamu. Setidaknya aku harus lebih bersyukur jika melihatmu. Hidupku jauh lebih baik."
***
Gatra melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang bahkan terkesan lambat. Entah karena masih pagi atau memang Gatra ingin berduaan lama-lama. Hanya hati Gatra yang tahu itu.
"Kamu yakin bisa bekerja di restoran milikku?" tanya Gatra. Tatapannya terlihat meremehkan meskipun sekilas dan Agnes tidak suka itu.
"Tentu saja. Apa kamu ragu padaku?" Agnes bersedekap dan membalas tatapan Gatra tak kalah sengit. Seolah menantang lelaki itu.
"Iya lah. Untuk gadis manja sepertimu agak susah bagiku untuk percaya kalau kamu bisa bekerja dengan baik." Gatra tak gentar.
"Astaga, kamu meremehkan aku? Akan aku buktikan kalau aku bisa bekerja dengan baik!" Agnes melirik Gatra seperti anak kecil yang sedang ngambek. Gatra pun berusaha menahan tawa dengan tingkah Agnes yang kekanakan.
"Aku ingin lihat bukti darimu," ucap Gatra menantang.
"Baiklah, akan aku buktikan kepadamu. Aku yakin kamu pasti akan spechless dengan kinerjaku. Tapi, sekarang aku ingin kita berhenti di warung depan. Aku butuh tenaga keras untuk bekerja. Jadi, aku mau sarapan di sana," Agnes menunjuk sebuah warung makan pinggir jalan yang tidak terlalu ramai pelanggan. Terlihat tulisan nasi uduk dan gorengan.
"Memangnya kamu belum sarapan?" Gatra menatap Agnes sekilas lalu kembali fokus pada setir kemudi.
"Belum lah, aku baru mau sarapan, tapi kamu sudah datang. Jadi, sekarang kamu harus tanggung jawab membelikan sarapan untukku," kata Agnes santai. Sebenarnya itu hanya alasan Agnes karena dia memang ingin sarapan di luar.
"Astaga, licik sekali otakmu." Gatra menggeleng, tetapi Agnes justru tersenyum senang. "Tapi sayangnya aku tidak mau berhenti. Lebih baik kita sarapan di restoran saja. Lebih terjamin kualitas dan kebersihannya."
"Tapi aku mau sarapan di sana." Agnes tetap bersikukuh. Sungguh, dirinya ingin sekali makan di pinggir jalan bukan di restoran yang jelas-jelas dia sudah terbiasa dengan hal itu.
"Tidak. Kita tetap akan makan di restoran." Gatra masih saja menolak. Sama-sama bersikukuh untuk tetap pada keputusannya. Namun, Gatra seketika panik saat mendengar tangisan Agnes yang begitu memekakkan telinga. Bahkan, tangisan cempreng itu begitu memenuhi mobil hingga membuat Gatra kesal sendiri lalu menghentikan mobilnya karena tidak ingin terjadi hal buruk pada mereka apabila fokusnya terganggu.
"Diamlah!" Gatra setengah membentak. Agnes pun langsung diam meskipun masih sesenggukan. Melihat wajah Agnes yang sedih, Gatra menjadi tidak tega sendiri. "Kenapa kamu menangis seperti anak kecil? Apa yang kamu mau?" Gatra bertanya sambil merapatkan giginya, terlihat jelas kalau lelaki itu sedang menahan emosi.
"A-aku cu-cuma ma-mau makan di sana." Agnes menjawab sambil terbata karena isakannya. Telunjuknya masih tetap mengarah pada warung tadi.
"Dengar. Kita akan sarapan di—"
"Papaaaaa ... aku mau makan di sana. Titik! Bukan koma apalagi tanda tanya!" Tangisan Agnes kembali mengeras. Gatra pun mengacak rambutnya kasar merasa frustasi dengan gadis itu. Dengan terpaksa dia pun menuruti kemauan gadis itu.
Ya Tuhan. Sabarkanlah hatiku menghadapi gadis manja seperti dia. Semoga saja tensi darahku tidak naik dengan cepat.
Tidak ada hal yang paling membosankan bagi Gatra selain duduk menunggu sambil melihat Agnes memakan sarapannya sangat lahap. Tanpa merasa malu ataupun sedikit jaim, Agnes terus melahap nasi di piring. Gadis itu seperti orang kelaparan yang sudah satu minggu tidak makan.
Sangat rakus.
"Apa lihat-lihat?" tanya Agnes setengah membentak, mengejutkan Gatra yang sedang sibuk melamun.
"Si-siapa yang lihatin kamu?" Gatra balik bertanya. Suaranya terdengar begitu gugup bahkan sama sekali tidak berani bertatapan dengan Agnes.
"Kamulah. Memangnya siapa lagi? Hanya kamu yang ada—"
Hanya dia ... dia! Dia! Dia! Hanya dia!
Ucapan Agnes terjeda saat mendengar lagu dari radio yang diputar oleh pemilik warung itu. Seolah menyela ucapannya. Agnes mendes*h kasar, sedangkan Gatra tersenyum samar. Melihat ada gurat kekesalan di wajah Agnes membuat Gatra merasa puas dan senang
"Lebih baik sekarang kamu habiskan makanan itu. Jangan sampai kamu terlambat di hari pertama kerja atau aku akan memotong gajimu," suruh Gatra setengah mengancam.
"Jahat sekali kamu sebagai bos. Aku saja belum pernah merasakan gajian, tapi kamu sudah mau main potong. Kalau begitu aku pun akan melakukan hal yang sama." Bibir Agnes menggelembung karena dia baru saja memasukkan sesendok penuh nasi ke dalam mulut. Bahkan, bicaranya pun tidak terlalu jelas, tetapi Gatra masih bisa memahami itu.
"Apa maksudnya?" Gatra menatap Agnes dengan heran. Tidak paham maksud dari ucapan gadis itu.
"Kalau sampai kamu terlambat maka aku akan memecat kamu sebagai seorang bos," celetuk Agnes, tergelak keras bahkan hampir tersedak, sedangkan Gatra membulatkan penuh kedua bola matanya. Menatap heran ke arah Agnes dengan tatapan tidak percaya. Meskipun pada akhirnya Gatra tersenyum samar.
"Memangnya kamu bisa memecatku?" tanya Gatra setengah meledek. Seringai tipis tampak jelas dari sebelah sudut bibir lelaki itu.
"Bisalah." Agnes menepuk dada untuk menyombongkan diri.
"Bagaimana caranya?"
"Kita menikah dan aku bisa mengaturmu."
Uhuk uhuk!
Gatra terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri saat mendengar jawaban Agnes. Sebuah jawaban yang tidak pernah Gatra duga sebelumnya. Sementara Agnes, hanya bersikap biasa saja. Tetap lahap memakan nasinya seolah dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun. Padahal Agnes hampir saja membuat Gatra mati terkejut.
"Kamu yakin dengan ucapanmu? Kalau begitu kita akan segera menikah."
"Argh! Uhuk uhuk!"
Kali ini, Agnes yang bergantian tersedak. Gatra yang merasa panik pun segera menyerahkan segelas air putih dan langsung diminum oleh gadis itu. Gatra merasa sangat cemas apalagi saat melihat raut wajah Agnes yang sudah memerah.
"Kamu baik-baik saja?" Tatapan Gatra menyiratkan sebuah kekhawatiran. Agnes melambaikan tangan dan memberi kode kalau dirinya baik-baik saja. "Berhati-hatilah saat makan."
"Ini semua karena kamu."
"Heh! Kenapa kamu menyalahkanku? Kamu yang memulainya." Gatra tidak ingin disalahkan.
Agnes tidak menjawab lagi. Dia beranjak bangun dan pergi begitu saja tanpa berbicara sepatah kata pun. Gatra pun hanya menggeleng. Membayar makanan tersebut lalu menyusul Agnes yang saat ini sudah duduk di dalam mobil.
***
Setibanya di restoran, Agnes langsung mulai bekerja, sedangkan Gatra masuk ke ruangan miliknya. Menitipkan Agnes pada karyawan lain dan meminta mereka untuk mengajarinya. Agnes tidak tahu kalau Gatra diam-diam mengamati dirinya dari CCTV.
"Hai, Kak. Maukah kamu mengajariku?" tanya Agnes pada seorang karyawan wanita bernama Tiara.
"Kamu karyawan baru di sini, ya? Baiklah." Tiara tersenyum, Agnes pun membalas senyuman itu tak kalah manis.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan pertama kali?" tanya Agnes lagi. Tiara memberi sebuah kain lap meja lalu menyerahkan kepada Agnes.
"Kamu bisa memulai dengan membersihkan meja. Itu hal paling mudah," kata Tiara.
Agnes pun mengangguk mengiyakan. Lalu mengambil kain lap tersebut dan bergegas pergi menuju ke meja yang belum ada pengunjungnya. Agnes memulai dari meja paling dekat dengan pintu. Entah benar atau salah, Agnes mengelap meja tersebut secara asal sembari berdendang.
Namun, gerakan Agnes terhenti saat ada seorang wanita berpakaian cukup dewasa, baju pendek dengan belahan dada sedikit terbuka dan tok yang jauh di atas lutut. Wanita itu masuk dan langsung duduk di meja yang bahkan Agnes belum selesai membersihkannya. Agnes yang merasa kesal pun langsung meletakkan kain lap itu secara kasar.
"Apakah kamu tidak lihat kalau meja ini sedang kubersihkan!" kata Agnes setengah berteriak. Bahkan, gadis itu sudah berkacak pinggang sambil melotot ke arah wanita itu.
Agnes tidak takut meskipun wanita itu sudah menatap marah ke arahnya. Tatapan Agnes justru sangat menantang. Tiara yang melihat hendak terjadi keributan itu pun segera mendekati mereka sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Bagiamanapun juga, Tiara ikut bertanggung jawab atas kedamaian restoran tersebut.
"Maaf, Nona. Ada masalah apa, ya?" tanya Tiara sopan. Menatap Agnes dan wanita tadi secara bergantian.
"Tanyakan saja pada temanmu ini!" Telunjuk wanita itu mengarah tepat di depan wajah Agnes. Namun, dengan segera Agnes menyingkirkannya. Menunjukkan raut kesal.
"Kenapa, Nes?" Tiara menatap Agnes penuh selidik.
"Lihatlah, aku sedang membersihkan meja ini dan belum selesai. Dia datang dengan santainya lalu duduk di sini. Apa itu tidak mengesalkan?" Agnes mengadu dengan berapi-api. Berharap akan mendapat pembelaan. Namun, yang ada dirinya mendapat pelototan dari Tiara.
"Sepertinya kalian tahu kalau pembeli adalah raja." Wanita itu berbicara sinis karena kesal kepada Agnes. Tangannya sudah bersidekap dengan ekor mata yang melirik tajam.
"Ya, kalau pembeli itu cowok, kalau cewek bukan raja, tapi ratu. Apakah kamu tidak tahu kalau raja itu cowok?" Agnes menimpali santai. Tiara yang mendengar itu pun antara kesal dan ingin tertawa. Sungguh unik tingkah Agnes tersebut meskipun sedikit menjengkelkan.
"Atau jangan-jangan kamu cowok yang berpenampilan cewek?" tukas Agnes. Ucapan itu mampu membuat wanita tadi meradang dan hampir saja menampar Agnes.
"Ada apa ini?" Suara Gatra dari arah belakang membuat mereka bertiga terdiam begitu saja. Wanita tadi pun mengurungkan niatnya untuk menampar Agnes. Gatra pun mendekat lalu menatap mereka satu persatu. Tiara tampak menunduk takut, sedangkan Agnes dan wanita tadi saling melayangkan tatapan tajam. Seolah ada kibaran bendera perang di antara mereka.
"Kamu pemilik restoran ini?" tanya wanita itu. Tangannya bersedekap dan bergaya angkuh. Membuat Agnes makin muak rasanya.
"Ya, apa ada masalah, Nona?" tanya Gatra lembut. Agnes yang mendengar itu pun berpura-pura mual dan langsung cengengesan saat Gatra mendelik ke arahnya.
"Katakan pada karyawanmu, perlakukanlah pelanggan dengan baik atau kamu akan kehilangan para pelangganmu itu." Wanita itu menyindir Agnes. Namun, Agnes bukannya tersindir justru menggaruk keningnya yang tidak gatal. Sama sekali tidak terpengaruh pada ucapan wanita itu.
"Baik, maafkan kelalaian karyawan saya, Nona. Kalau begitu lebih baik Anda duduk di tempat yang sudah bersih." Gatra berusaha tersenyum meskipun dalam hatinya sedang menahan kekesalan. Gatra memberi kode pada Agnes untuk mengajak wanita itu ke meja yang sudah bersih. Namun, Agnes yang tidak paham justru bertanya balik hingga dengkusan kasar terdengar keluar dari embusan napas Gatra.
"Tiara, kamu atasi masalah ini," suruh Gatra. Tiara mengangguk mengiyakan. "Kamu ikut denganku sekarang." Gatra menarik tangan Agnes dan berjalan tergesa menuju ke ruangannya.
"Lepaskan aku! Aku mau bekerja!" Agnes meronta dan berusaha melepaskan cekalan Gatra dari pergelangan tangannya.
Gatra tidak peduli pada teriakan Agnes tersebut. Tetap menarik gadis itu dan saat sudah masuk ke ruangan, Gatra langsung menutup pintunya rapat-rapat.
"Duduk!" perintah Gatra, tetapi Agnes justru bergeming di tempatnya. "Kamu tidak dengar aku menyuruhmu untuk duduk?" Pertanyaan Gatra penuh dengan penekanan.
Agnes melepaskan tangan Gatra yang masih memegangnya secara kasar lalu menghempaskan pantatnya di atas kursi. Namun, Agnes meringis setelahnya dan mengusap pantat secara cepat.
"Kenapa kursi ini keras sekali."
"Jangan kebanyakan protes. Aku sedang ingin marah padamu." Gatra duduk di depan gadis itu. Memajukan wajahnya dan menatap Agnes secara tajam. Agnes pun berusaha menghindar, tetapi Gatra dengan cepat menahan di sisi kiri dan kanan.
"Ja-jangan dekat-dekat. Aku takut." Agnes berusaha mendorong tubuh Gatra agar menyingkir. Gatra pun duduk seperti semula karena merasa jantungnya mulai berdebar kencang saat tatapan matanya bertemu dengan kedua mata bening milik Agnes.
"Apa niatmu di sini?" tanya Gatra. Menyandarkan tubuhnya sambil memijat pelipis. Dia harus mulai sedia obat sakit kepala sejak saat ini.
"Bekerjalah, memang apalagi?" Agnes menjawab ketus. Kedua tangan gadis itu bersedekap seperti anak kecil.
"Lalu, kenapa kamu bersikap galak seperti tadi? Seorang karyawan yang notabene adalah pelayan, tidak seharusnya bersikap ketus seperti tadi. Layani pelanggan dengan baik. Dia memberi uang pada kita, itu artinya kita harus memberi pelayanan yang terbaik pada mereka," kata Gatra panjang lebar.
"Tapi dia tidak memberiku uang, jadi aku tidak mau melayaninya." Agnes memalingkan wajah. Bibirnya yang mengerucut membuat Gatra ingin sekali mencium eh salah, mencubitnya karena gemas.
"Lalu kamu pikir dia memberi uang pada siapa?" Suara Gatra sedikit meninggi daripada tadi.
"Kasir lah. Setelah kasir baru dikasihkan ke kamu, dan karena kamu yang memberiku uang maka aku akan melayani kamu bukan melayani mereka. Bukankah begitu?" Agnes menaik-turunkan alisnya merasa percaya diri dengan ucapannya sendiri. Menurut Agnes itu adalah pemikiran yang cemerlang.
Ya Tuhan. Cobaan macam apa ini? Apakah gadis ini bodoh atau tolol? Benar-benar seperti anak kecil.
Demi apa pun, Gatra ingin sekali membanting Agnes di ranjang lalu ... teruskan saja sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!