NovelToon NovelToon

Kau Rela Ku Lepas

Ch01 : Bukan Inginnya

“Saya terima nikah dan kawinnya Wan Aina Sadiqah binti Hartono Sudarjo. Dengan maskawin tersebut tunai....”

Tentu ini bukan Dewandaru pertama lelaki dengan brewok tipis itu mengucapkan qabul. Lima tahun silam, Dewandaru telah mengikat janji suci dengan Hafsah.

Lantas apa yang terjadi detik ini?

Mengapa ia kembali mengucapkan janji suci dengan wanita lain?

Tahukah ia, jika perempuan yang duduk di belakangnya. Yang menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam, menundukkan kepala.

Tatkala menyaksikan pernikahan ini?

Semua yang menghadiri pernikahan siang itu. Kompak menjawabi penghulu. “SAH ....”

Lelaki itu tertunduk dalam, telinganya seakan buntu hingga tak mendengar kata “SAH!”

Mungkin sebagian dari saksi. Menganggap jika ia lelaki yang tak setia. Semua itu diperkuat dengan adanya pernikahan kedua ini.

Apakah pernikahan ini terjadi. Karena kehendaknya?

...***

...

Satu bulan yang lalu tepatnya jam istirahat. Pintu ruang kerjanya, dibuka oleh seseorang.

“Ayah!” pekiknya terperanjat, saat tahu ayahnya yang datang.

“Bisakah ekspresi wajahmu biasa saja? Kau seperti baru melihat iblis,” sergah paruh baya yang ia panggil dengan sapaan ayah.

Langkah kaki paruh baya itu mendekat. Dengan punggung sedikit bungkuk, Brahmanta. Langsung saja duduk di kursi, tanpa meminta persetujuan pemiliknya.

“Ru, semua sudah jelas. Jika istrimu tak bisa diharapkan ...untuk memberikanmu keturunan!”

Mendengar hal itu seketika tangan Dewandaru terkepal, rahangnya mengeras, menahan emosi.

Ia yang awareness dengan amarahnya, memutuskan untuk tidak terbawa suasana.

Ia mencoba berpikir rasional.

Dan menilai, apakah wajar ayahnya mengatakan kekurangan Hafsah di hadapannya?

Teknik S-T-A-R (Stop, think & assess, respond). Hal ini mampu membuatnya menahan emosi.

“Jadi Ayah mau, kau menikah kembali Dewandaru!” tegas Brahmanta, tanpa ekspresi. Sembari menyandarkan punggungnya.

Permintaan ayahnya kali itu, membuatnya tak bisa mengendepankan emosi, yang tadi sempat padam. Ia bangkit dari duduknya, dengan nafas memburu. Memberanikan diri, untuk menolak mentah-mentah permintaan gila ayahnya.

Sayang ayahnya tak mau mendengar penolakan darinya.

Lelaki paruh baya itu berdiri sambil menggedor meja. Dan berkata, “Bisa tidak bisa, kau harus bisa....”

Dewandaru terkesiap tak percaya.

Lima tahun yang lalu pernikahannya dengan Hafsah terjadi karena ayahnya.

Keduanya hanya butuh waktu satu bulan untuk mengenal satu sama lain, hingga akhirnya sepakat menikah.

“Pikirkanlah, masa depan! Jika tidak ada penerus darimu, lantas siapa yang akan meneruskan perusahaan kakekmu!” ujar Brahmanta, nadanya sedikit parau.

Sepertinya populasi dari keluarga Dewandaru hanya bisa menetas s.

Ayahnya anak tunggal, begitu pun dirinya.

“Masa depan?” Mengernyitkan dahi, terkekeh mendengar perkataan ayahnya.

“Ayah, mengapa kita harus cemas akan sesuatu yang belum terjadi? Bukankah lima menit ke depan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi? Baik kepada kita, maupun perusahaan kita. Kekayaan, popularitas, penilaian seseorang terhadap kita, itu tidak dalam kendali kita,” ujarnya dengan tangan mengepal, menatap Brahmanta penuh kekecewaan.

“Lantas mengapa Ayah risau? Mending sekarang hidup itu ditenangkan saja, waktunya ibadah, ibadah. Waktunya kerja ...kerja. Jangan terlalu membebani diri sendiri!” tuturnya dengan suara merendah.

“Sudahlah Ru, kau tidak usah menceramahiku, panjang lebar, apa sih susahnya mengikuti perintahku?” ungkap Brahmanta merapikan jasnya kasar. Saat mendapati putranya sedang mengkhotbah, dengan gratis.

Dewandaru menghembuskan nafas, kembali duduk di kursi kerja.

Bibir Dewandaru bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun sebelum itu terjadi.

Ayahnya lebih dulu bersuara,“Ru ... jika istrimu menjadi alasan, kamu untuk tidak menerima permintaanku. Kau salah, aku tahu....”

”Sesudah Hafsah mengecek kandungan, dan dinyatakan tidak bisa hamil. Dia telah memperbolehkanmu menikah lagi. Bukankah itu lebih baik. Daripada kau berselingkuh, di belakangnya!” ujar Brahmanta menyunggingkan bibirnya keatas.

Yang tak diketahui oleh Dewandaru. Kini ingatannya kembali, pada suatu masa. Dimana istrinya mengatakan, siap untuk dimadu. Tepat saat ia dan istrinya baru pulang dari rumah sakit, untuk mengambil hasil tubogram.

Dewandaru termenung. Memikirkan sesuatu. Hal itu membuat lawan bicaranya bersuara.

“Kau tidak perlu tahu bagaimana Ayah tahu, mengenai itu semua ...kau cukup turuti saja permintaanku, dan lihatlah gadis dalam foto ini! Dia cocok denganmu....”

Lelaki itu melengos, ketika ayahnya mengeluarkan selembaran foto dari saku jas, untuk diperlihatkan padanya.

Ayahnya terbilang lebih mirip seperti muncikari. Yang menawarkan dagangan.

Sial!

Ingin mengumpat namun paruh baya yang duduk di depannya, ayah kandungnya sendiri.

“Ayolah kau tidak perlu sok suci, dan seperti lelaki yang tidak memiliki naf su! Lihat dulu, dia masih muda, cantik, pasti kau senang memilikinya. Bayangkan saja itu....”

Tangannya kembali mengepal, amarahnya seakan telah naik ke ubun-ubun.

Ocehan Brahmanta kembli itu, seperti merendahkan harga dirinya.

“Kalau begitu Ayah saja, bukanya itu yang Ayah lakukan saat ibu, masih ada? Menikahi gadis muda, yang menjadi istri Ayah sekarang!” sindirnya dengan gigi bergemeretak menahan ledakkan di dada.

Talk! Lelaki itu meringis ketika highlighter pen itu terbang, mengenai pelipisnya.

“Kurang ajar! Berani sekli kau bicara seperti itu pada Ayahmu!”

...***

...

Dewandaru menoleh saat bahunya, dielus oleh seorang dari belakang. Tatapannya terkunci. Kedua tangannya mengudara, ingin memeluk Hafsah.

Namun sebelum hal itu terjadi, perempuan itu lebih dulu bersuara, “Bib, ulurkan tanganmu, Wan Aina ingin menciumnya!”

Penuturan Hafsah membuatnya sadar, jika mulai detik itu. Ia tak hanya menjadi suami dari Hafsah seorang. Melainkan suami dari dua perempuan. Itu berarti ia harus bisa menempatkan dirinya, dengan seadil-adilnya.

Gadis yang baru saja ia nikahi, mencium tangannya dengan penuh hormat. Melihat hal ini, hatinya tergores perih.

Entah bagaimana perasaan Hafsah sekarang?

Tanpa sepengetahuan darinya, di waktu yang bersamaan ia dan istri pertamanya itu menitihkan air mata.

Akankah kehidupannya akan bahagia?

Ketika menjalani kehidupan yang abnormal ini?

Atau mungkinkah ini awal dari kehancuran?

Atau justru ini jalan bagi mereka menemukan sesuatu yang berharga?

TBC....

Terima Kasih Sudah Meluangkan Waktunya Untuk Membaca!

Ch02 : Nelangsa Parokialisme

Dorongan keras dari luar. Membuat pintu utama terbuka lebar. Hafsah mengelus dadanya terkejut. Saat melihat suaminya berjalan melewatinya dengan langkah lebar.

“Bib, ada apa?”

Namun Dewandaru tak mengindahkan pertanyaannya.

Lelaki itu menaiki tangga satu persatu.

Perempuan itu lantas menengadah kepalanya. Dilihatnya sang suami membanting pintu kamar dengan kasar. Membuatnya kembali mengelus dada.

‘Kenapa dia terlihat kesal’ batinya.

Ia segera meletakkan

piring kotor yang ada ditangannya. Menaiki tangga dengan cepat untuk sampai ke kamar. Baginya sang suami lebih penting. Ketimbang pekerjaannya.

Hafsah mendorong pintu kamarnya pelan.

Tatapan Dewandaru tertuju keluar jendela. Hingga tak menyadari. JikaJika Hafsah sudah berdiri di belakangnya, menatap punggungnya lekat.

‘Lima tahun aku bersamanya, jarang melihatnya seperti ini’ gumam Hafsah dalam hati.

Perempuan itu lantas memeluk tubuh sang suami dari samping. Dagunya bertumpu di bahu kokoh suaminya.

Biasanya sang suami akan membalikkan badan, kemudian memeluknya.

Namun malam ini tidak!

“Bib!” panggilnya sedikit menelengkan kepalanya. Memeriksa wajah lawan bicaranya.

Terlihat lesu. Dan diam membisu.

Tiga kali Hafsah memanggil suaminya.

Dewandaru tetap bergeming.

Tangan kekar itu, mulai melepaskan tangan istrinya, yang melilit pinggangnya.

Hal ini membuat Hafsah, terkejut. Pasalnya lima tahun mengarungi rumah tangga. Sang suami lebih mendominasi manja padanya.

“Apa kau tidak mencintaiku?”

Hafsah menunduk, pertanyaan seperti ini.

Akhir-akhir ini sering keluar dari mulut Dewandaru.

“Kenapa kau hanya diam?” tanya Dewandaru mengguncang kedua bahu Hafsah. Membuat istrinya mendongak menatapnya.

Dua pasang netra hitam itu beradu. Terpancar jelas jika mereka saling mencintai.

Hafsah melengos, perempuan itu menyeka air matanya, yang mulai menggenang di pelupuk mata.

“Tanpa aku menjawab kau pasti tahu Bib!” papar Hafsah. Rasanya sulit untuk menatap kembali netra suaminya.

Jika itu terjadi, perempuan itu percaya tangisnya akan pecah.

“Benarkah?” tanya Dewandaru mencoba mengikis jarak.

Membuat Hafsah mundur, dengan sempoyongan.

“Lantas mengapa kau memintaku untuk bersumpah untuk menikah kembali?” cecarnya dengan wajah menahan amarahnya.

Ini kali kedua Dewandaru membentak istrinya. Selama mengarungi biduk rumah tangga.

Hafsah ketakutan membuat badannya bergetar hebat.

“Aku tahu kau pasti ingin jadi ayah-kan? Tapi aku tidak bisa memberikan semua itu Bib!” ujarnya dengan suara bergetar menahan tangisnya.

Dewandaru terkekeh getir, mendengar penjelasan istrinya.

“Itu dulu! Saat aku tidak tahu, takdir seperti apa yang aku dapatkan!”

“Apa aku harus mengingatkan sebuah filosofi! Yang kau ajarkan padaku?” bentaknya, membuat Hafsah terenyak.

“Stoa bukan tentang diksi atau narasi, akan tetapi Setosisme itu dipelajari dan dipraktikkan. Lalu? Apa kau sudah mempraktikkannya?” tanyanya dengan dada naik turun menahan sesak.

“Anak? Ya! Aku ingin menjadi seorang ayah! Tapi itu dulu!” ujarnya penuh keyakinan.

'Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apa pun yang dia mau. Tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang belum dia miliki. Dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima. (Seneca dalam bukunya Letters from a Stoic)'

“Tapi, setelah aku renungkan perkataan Seneca. Aku bertanya pada diriku, kenapa aku harus mengingini sesuatu yang mungkin tidak ditakdirkan untukku?” tanyanya yang membuat lawan bicaranya, menutup mulut rapat.

“Padahal jelas, ada sesuatu yang aku miliki! Dan harus selalu aku inginkan, ya itu kamu. Aku bersyukur. Memiliki kamu, bahkan itu cukup! Aku tidak merasa kekurangan, tapi kamu....” Tunjuknya melangkah mundur.

Lelaki itu kembali terkekeh, membuat Hafsah semakin ketakutan.

“Menyalahkan dirimu sendiri, atas takdir ini!”

“Kau merasa harus bertanggung jawab, atas hal yang tidak kamu perbuat! Aku tidak menyukai hal seperti ini istriku. Kau utuh, kau tidak bisa hamil itu bukan kendali kamu! INGAT ITU!” teriakannya menggema.

Lelaki itu tersungkur dengan air mata yang membasahi pipinya.

Melihat suaminya tertunduk dalam. Hafsah pun tak bisa lagi menahan tangisannya. Yang tadi sempat disimpan.

“Bi-bib terkadang hiks ...tak per-lu membuat sebuah kesalahan untuk bertanggung jawab. Hiks …hiks ....”

Dengan bibir bergetar, Hafsah mencoba menjelaskan keadaannya sebagai istri yang tak bisa memberikan keturunan.

“Jika selandainya kita bangun di pagi hari hiks. Tiba-tiba ada seseorang, yang meletakkan bayi di depan pintu rumah kita. Tentu ini bukan kesalahan kita. Akan tetapi, bayi tersebut akan menjadi tanggung jawab kita. Entah kamu urus, atau kamu buang, atau kau mengabaikannya. Itu merupakan masalah, yang berkaitan dengan kita. Sebagai pemilik rumah!”

“ Keputusan yang kita ambil adalah bentuk tanggung jawab yang kita pilih! Itulah yang terjadi padaku.”

“ Memang benar aku tidak bisa memberikan keturunan untukmu. Dan aku sadar ...itu tidak dalam kendaliku. Akan tetapi ...aku masih bisa menjadikanmu sebagai seorang ayah. Hanya dengan cara mengikhlaskanmu menikah,” jelasnya dengan tegas.Berusaha tegar, supaya suaminya tahu. Jika keputusan yang diambil adalah benar.

“Tentu! Tapi mengapa kau mengambil tanggung jawabku sebagai seorang suami hah?” sergah Dewandaru mendongak.

“Kau menyuruhku menikah! Tapi kau, tidak memberikan aku tanggung jawab, untuk memutuskannya. Kau menyabotase dengan cara memintaku bersumpah atas keadaanmu.”

Ini adalah pertengkaran kedua orang yang saling mencintai. Ingin membahagiakan, satu sama lain, namun caranya bertentangan.

“Dan seperti kisah bayi yang baru kau ceritakan tadi. Saat ini aku bertanggung jawab, atas keputusan yang kau ambil!” Lelaki itu bangkit dari bersimpuhnya. Dan mengusap wajahnya kasar.

Hafsah terlonjak kaget mendengar ucapan suaminya.

Namun perempuan itu tak sampai sakit hati, akan tuduhan yang Dewandaru berikan.

Pasalnya memang benar.

Namun dia merasa bersalah karena sok tahu. Tentang apa yang terbaik bagi suaminya secara personal.

“Tanggung jawab yang harus aku jalankan. Bukan hal mudah, aku tidak sanggup. Aku manusia biasa yang tidak bisa adil. Mengapa kau, tidak berterima kasih kepada Tuhan, memiliki suami yang setia padamu! Yang tidak pernah berniatan menduakanmu. Apa kau sudah tidak menginginkanku lagi?”

Perempuan itu langsung membekap mulut suaminya. Hafsah menggeleng, tak membenarkan perkataan sang suami.

“Aku hanya ingin, kau bahagia! Bib, sebagai seorang istri, aku merasa tidak utuh. Karena tidak bisa memberikanmu keturunan. Aku minta maaf. Tapi kau bukan hanya milikku saja. Masih ada yang berhak atas dirimu!”

batinnya yang tak bisa. Didengar oleh lawan

bicaranya.

TBC...

Nelangsa artinya sedih.

Parokialisme merupakan sebuah pandangan

pribadi terhadap dunia(sesuatu) hanya didasarkan pada perspektif dan nilai-nilai sendiri.

(Sinonim parokial : pikiran picik, cupet,

pendek akal, kardil, suntuk, sempit, singkat akal)

Inti sari sinopsis (Hafsah bersedih,

karena saat mengambil keputusan ia hanya menggunakan satu sudut pandang saja)

^^^...Terima Kasih Sudah Meluangkan Waktunya Untuk Membaca!...^^^

Ch03 : Mencari

Wan Aina terlihat gusar, ketika belum berhasil menemukan suaminya.

Dimana suaminya itu bersembunyi?

Ini malam pertama baginya. Tapi tidak untuk sang suami.

Sudah hampir tujuh menit Wan Aina mencari sang suami. Namun hasilnya nihil.

“Mas Dewandaru!” panggilnya menuruni anak tangga.

Setelah sampai di lantai dasar. Ia bergegas pergi ke dapur. Berharap menemukan Dewandaru, yang telah menghilang setelah magrib.

Namun nyatanya dapur sepi.

“Malam pertama bukannya diam saja, malah ngajak petak umpet!” omelnya.

Ternyata menjadi istri tak semudah menaikkan resleting kondor.

Gadis itu mulai membuka satu persatu ruangan.

Apa mungkin sang suami bersembunyi di salah satu ruangan?

“Ya Allah! Mas kamu dimana sih?” Tampaknya Wan Aina sudah mulai kesal. Ketika tak menemukan suaminya.

“Apa dia di rumahnya mbak Hafsah?”

Gadis itu mulai menerka-nerka. Terlalu banyak berpikir, membuatnya menggaruk rambutnya yang tak gatal.

Setelah menghentakkan kakinya. Ia langsung berbalik arah, menaiki tangga dengan cepat, untuk mengambil hijab.

Rumah yang di tinggalinya saat ini, telah Dewandaru beli setahun yang lalu. Kebetulan pemilik rumah sebelumnya menawarkan pada tetangga sebelah. Seolah alam Semesta mendukung, kala itu tabungan Dewandaru cukup untuk membeli rumah klasik modern. Dewandaru berpikir, apa salahnya membeli. Toh rumah juga bisa disewakan, lumayan buat tambahan income bulanan. Dan tidak ada ruginya, bila uangnya diinvestasikan dalam bentuk rumah. Tahun berganti harganya juga pasti naik.

Wan Aina menutup pintu rumahnya dari luar.

Sejauh mata memandang, rumah berlantai tiga di seberang jalan. Lampunya masih menyala.

Menandakan jika si pemilik rumah belum terlelap.

Ia berlari kecil menuruni satu persatu undakkan, membuat gamisnya berayun mengikuti langkahnya. Memutuskan untuk berhenti, ketika akan menyeberangi jalan, kepalanya celingak-celinguk ke kanan dan kiri.

Dirasa tak ada kendaraan yang akan lewat, gadis itu segera berlari untuk menyeberang.

...***...

Setelah mencuci piring, Hafsah memutuskan untuk kembali ke atas. Niatnya ter urungkan saat bel berbunyi.

"Siapa?" teriaknya dari jarak beberapa langkah dari pintu utama.

"Aina!" Perempuan itu terkejut saat pintu terbuka, menampakkan istri muda sang suami.

Wan Aina mengulum senyumannya. Kala pintu dibuka dari dalam, oleh sosok perempuan berniqab.

Gadis itu menebak jika Hafsah terkejut akan kedatangannya tiba-tiba.

"Ada apa Aina?" tanyanya, membuka pintu lebar agar istri muda suaminya bisa masuk. Namun madunya menggeleng, bergeming di tempat semula.

"Sebenarnya saya, cuma mau tanya! Apa mas Dewandaru, ada disini?"

Sangking nervousnya, Wan Aina meremas jari-jemarinya yang berkeringat. Ada perasaan aneh, saat berbicara kepada istri pertama suaminya. Terlebih lagi, ia menanyakan keberadaan suaminya.

Terlihat seperti Debt collection, yang menagih utang pada kreditur. Bedanya ia menagih suaminya, untuk tidur dengannya.

Hafsah terdiam mendengar pertanyaan madunya.

'Bukankah dia sudah pulang beberapa menit yang lalu, terus kenapa istrinya datang kemari. Apa jangan-jangan!' guma Hafsah dalam hati.

Perempuan itu segera menyangkal pikiran negatifnya, tidak mungkin suaminya pergi keluyuran akibat sedang marah padanya. Ia kenal betul bagaimana suaminya. Jika marah pasti diam, atau melampiaskan emosinya ke dalam cucuran keringat (olahraga)

"Tidak ada!"

"Kira-kira kemana? Padahal saya sudah mencarinya di setiap sudut ruangan, nihil tidak ditemukan!"

Kekhawatiran yang Wan Aina perlihatkan, membuat Hafsah menggigit bibir.

Sumpah sekalipun dunia terbalik, tak akan mengubah hati Hafsah yang nyeri.

Namun ia harus bersikap dewasa, untuk kemasyhuran hubungannya ke depan dengan istri muda sang suami. Ia pun lantas, memberi saran kepada madunya untuk kembali mencari Dewandaru di ruang fitness.

Wan Aina setuju, dengan sarannya, asalkan ia juga ikut.

...***...

Dewandaru yang baru saja keluar dari tempat olahraga. Terkejut mendapati kedua istrinya berdiri di ambang pintu. Ia pun berjalan mendekati kedua istrinya, seraya melepaskan hand wrap.

“Dari mana?” tanyanya dengan gerakan dagu kearah Wan Aina.

Sontak saja pertanyaannya, membuat Wan Aina ternganga. Harusnya Wan Aina yang lebih berhak.

Menginterogasinya!

Dewandaru pulang dari rumah istri pertamanya, beberapa puluh menit yang lalu.

Bertepatan dengan Wan Aina, yang memutuskan untuk mengambil hijab dikamar.

Dan disaat itulah, lelaki itu masuk rumah melalui pintu belakang.

“Dia mencarimu!” kali ini Hafsah yang menyahut, nadanya cukup tenang. Seperti tak ada beban dalam hati ketika bersuara.

Mendengar jawaban istri pertamanya, Lelaki itu hanya mampu menghela nafas berat.

Mengapa istri pertamanya tak pernah menunjukkan rasa cemburu padannya, sedikit pun. Dari awal pernikahan mereka, hingga detik ini.

Mengenaskan!

“Ya sudah, saya pulang dulu! Kalian juga butuh istirahat!” Hafsah pamit undur diri. Mencium tangan suaminya dengan takzim.

Wan Aina baru tahu, ternyata mencium tangan suami bukan hanya menaruh kepala, di telapak tangan saja.

'Ternyata butuh waktu 170 detik, untuk mencium tangan suami' batin Wan Aina, melihat cara Hafsah mencium tangan suaminya.

Mungkin hari esok, harus dipraktikkan, saat suaminya akan berangkat kerja.

Setelah kepergian Hafsah, Dewandaru segera menutup pintu. Berjalan ke ruang keluarga. Menghempaskan bokongnya disofa.

“Huft!” Menghela nafas seraya membuka kancing kemejanya bagian atas, karena berkeringat.

“Minum Mas!” Wan Aina menyodorkan gelas. Membuatnya segera memperbaiki duduknya, yang tadinya bersandar lemas. Dan menerima gelas, dari tangan istrinya.

Hanya butuh tiga tenggekkan, air dalam gelas tandas tak bersisa. Lelaki itu lekas berdiri seraya menaruh gelas ke meja.

“Saya mandi dulu!” ujarnya melewati Wan Aina.

Gadis itu menunduk dalam.

Wan Aina mulai mengangkat kepalanya, ketika langkah kaki suaminya mulai menjauh.

‘Kok mbak Hafsah kuat, ya? Sama mas Dewandaru yang irit bicara. Bahkan bisa dihitung, setengah hari hidup dengannya. Baru lima kalimat yang aku dengar' gumamnya, jika mengingat interaksi sang suami padanya.

Gadis itu segera berlari menaiki tangga, agar tidak ketinggalan langkah suaminya.

Tanpa bicara Dewandaru, masuk ke dalam kamar mandi.

Lima belas menit kemudian. Terdengar pintu kamar mandi terbuka.

Wan Aina yang sedang mengibas debu tempat tidur. Menoleh ke suara yang baru saja menggema dipanca inderanya.

Gadis itu tak sempat mendongakkan kepalanya. Untuk melihat jelas pemilik wajah, yang kini melangkah mendekat kearahnya.

Entah mengapa jantungnya berdebar-debar.

Bahkan untuk menelan ludah sendiri pun sangat susah.

Wan Aina meremas bantal yang sadari tadi ia pegang. Takut jika sang suami hanya melilitkan handuk saja.

Tampaknya Wan Aina telah menjadi korban dari novel yang sering dibaca.

Gadis cantik itu mengangkat bantal yang ada ditangannya, digunakan untuk menutupi wajah.

Matanya terpejam, bibir komat-kamit membaca sesuatu.

“Matilah aku, apa dia tidak malu bertelanjang dada di hadapanku. Dan mengapa pipiku panas,” gumamnya tak sadar jika telinga suaminya masih bisa mendengar.

“Ehem!” dehaman kali itu membuat bahunya terguncang kaget.

“Jangan Mas....” teriak Wanita Aina ketika sang suami. Berusaha merampas bantal yang ia jadikan benteng pertahanan.

Belum sanggup zina mata.

TBC...

Sapaan!

Lelaki : Dewandaru

Perempuan : Hafsah

Gadis : Wan Aina

Pemuda : Aidin

Pria : Arfa

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!