“Deliska Analita, maukah kamu menjadi teman hidupku?”
Sebuah lamaran yang sangat romantis dilakukan Dylan di hadapan kedua orang tuanya sekaligus kedua orang tua kekasihnya, Deliska. Kemarin, mereka baru saja merayakan wisuda kelulusan, dan sekarang mereka mengadakan lamaran di sebuah restoran ternama di London. Tepatnya di rooftop sebuah restoran yang berlatar sungai Thames dan Tower Bridge.
Dengan malu-malu dan mata yang berbinar, gadis bergaun merah selutut dengan lengan pendek yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah itu akhirnya mengangguk dan mengatakan ‘ya’ sebagai tanda persetujuan. Deliska dengan hati berbunga-bunga menerima lamaran dari sang kekasih hati.
Jawaban yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu menjadi kebahagiaan terbesar yang Dylan rasakan saat ini. Laki-laki itu sudah tiga tahun ini menaruh hatinya pada Deliska yang cantik dan modis, sangat sesuai dengan tipe idaman yang ada dalam bayangan Dylan.
Rona bahagia terpancar jelas di wajah semua orang. Mereka begitu antusias menyambut jenjang baru hubungan Dylan dan Deliska yang akan mempererat juga hubungan kedua keluarga.
“Selamat ya, Sayang,” kata mama Dylan sembari menyematkan cincin di jari calon menantunya, sementara cincin milik Dylan dipasangkan oleh ayah Deliska. “Akhirnya, tinggal selangkah lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kita. Tante sudah nggak sabar.”
Deliska mengulas senyum merekah yang menunjukkan kebahagiaannya. Binar-binar di matanya seolah mengimbangi kerlipan bintang di malam cerah yang sangat istimewa ini.
“Makasih, Tante. Aku juga nggak sabar jadi istrinya Dylan,” balas Deliska sembari melirik laki-laki yang kini sudah diklaim sebagai calon suaminya, masih dengan lengkungan senyum yang tidak pernah lepas dari wajah cantiknya.
Kebahagiaan yang dirasakan oleh Mama Larissa –ibu kandung Dylan– itu juga dirasakan oleh Deliska juga ibunya. Walau mereka bukan teman lama yang saling menjodohkan kedua putra-putri mereka, tetapi kedua ibu itu sudah sama-sama merasa cocok sebagai besan sejak awal Dylan dan Deliska menjalin hubungan.
“Kita semua harus merayakan ini,” kata ayah Deliska usai memasangkan cincin di jari Dylan.
Laki-laki paruh baya itu sangat bangga karena putrinya telah lulus sempurna dan tak lama lagi akan menjadi menantu di keluarga ternama. Ini hampir mendekati puncak kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang ayah.
“Ya, tentu saja! Sayangnya Fella tidak ada di sini,” kata Dylan yang sejak tadi merasa kurang tanpa kehadiran adik tercintanya di hari istimewa ini. Senyumnya perlahan mengendur saat mengingat Fella yang sangat dia sayangi. Gadis itu memang tidak bisa hadir melengkapi kebahagiaannya karena persiapan ujian yang akan dihadapinya.
“Fella kan lagi persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Dia pasti juga ikut bahagia karena kebahagiaan kamu saat ini, Dylan,” kata Papa Ferdinan memberi pengertian pada Dylan bahwa adiknya memang terpaksa tidak ikut.
Mama Larissa mencicipi anggur yang tersaji di hadapannya. Usai minuman itu membasahi tenggorokannya, wanita itu menatap putranya. “Dia nggak mau diajak, katanya lagi ngambek sama kamu,” ucapnya.
Dylan mengulum senyum dengan kepala tertunduk. Tampaknya dia tahu kenapa adiknya itu marah. “Aku akan pulang saat dia ulang tahun nanti,” putus Dylan mangut-mangut.
***
Sesuai dengan rencananya, Dylan akhirnya pulang dengan memberi kejutan tepat di hari ulang tahun sang adik. Saat malam tiba, laki-laki itu ke kamar Fella membawa kue ulang tahun dan membangunkan Fella dengan nyanyian ulang tahun. Mama dan Papa mengikuti di belakang Dylan yang secara khusus menyiapkan kejutan untuk adiknya itu.
“Kak Dylan,” ucap Fella dengan suara parau khas bangun tidur. Gadis itu masih menerka antara mimpi dan nyata bahwa kakaknya telah berdiri di hadapannya dengan membawa kue ulang tahun yang mengharukan. Pencahayaan yang redup, membuatnya takut menerka jika laki-laki itu bukanlah Dylan.
“Mama ini bukan mimpi, kan?” tanya gadis itu dengan senyum tertahan. Beberapa waktu lalu dia menghubungi kakaknya itu dan meminta Dylan untuk segera pulang karena Fella ingin merayakan hari ulang tahun bersamanya.
Sayangnya, keinginan Fella itu hanya tinggal impian. Sang kakak menolak dan malah berujung marah dengannya dan selama beberapa waktu tanpa komunikasi. Karena alasan itu juga, Fella kesal dan pura-pura tidak peduli saat orang tuanya menghadiri wisuda Dylan.
“Surprise! Kakak pulang nih! Ayo dong, tiup lilin, pegel juga ini tangan dari tadi, Fel.” Dylan yang menjawab dengan suara khasnya yang membuat Fella yakin bahwa ini bukanlah mimpi.
“Iya, Sayang. Udah buruan tiup lilinnya, biar kakak kamu bisa istirahat,” kata Mama Larissa sambil merapikan rambut putrinya yang berantakan. Wanita itu terlihat sekali menyayangi Fella dan Dylan dari perlakuan kecil itu.
Fella mengangguk dengan senyum merekah yang menghiasi wajahnya, gadis itu lalu memejamkan mata. Dia berdoa dalam hati sebelum meniupkan lilin berbentuk angka 18 yang melambangkan usianya saat ini.
Ya Tuhan, terima kasih telah memberiku kehidupan yang sangat baik ini. Aku sangat bersyukur karena kehadiran Kak Dylan adalah yang teristimewa bagiku. Jika boleh meminta, di hari ini aku berdoa, semoga Kak Dylan bisa aku miliki sendiri, selamanya.
Tepat saat Fella membuka mata dan meniup lilin-lilin itu, Papa Ferdinan menyalakan lampu kamar dan terlihatlah dengan jelas raut wajah Dylan. Laki-laki tampan itu mengukir senyum bahagia yang membuat hati Fella semakin tidak karuan. Gadis itu sudah lama merasakan perasaan tidak wajar untuk kakaknya sendiri.
***
Pagi yang sangat cerah bagi Fella. Gadis itu sedang mengoleskan mentega di roti yang akan dia persembahkan untuk sang kakak tercinta. Ini adalah pagi pertama mereka setelah Dylan kembali dari luar negeri.
“Ini roti spesial buat kakakku tercinta,” kata Fella sembari mengangsurkan roti oles buatannya.
“Wah, makasih adiknya kakak yang paling cantik,” balas Dylan sembari mengacak pelan rambut adiknya.
“Ih, Kakak. Jadi berantakan deh rambutku!” protes Fella yang pura-pura marah tapi bibirnya tidak bisa menyembunyikan senyum.
Dylan tertawa lebar melihat ekspresi lucu adiknya itu. Interaksi yang terjalin antara Fella dan Dylan benar-benar intim, seolah mereka adik kakak yang tidak pernah berseteru. Apalagi, tatapan Fella pada Dylan jelas sekali memperlihatkan bahwa gadis itu begitu menyayangi kakaknya.
Hingga tiba-tiba, ada tamu datang yang membuat tawa Dylan terhenti dan berubah menjadi senyuman bahagia yang mengembang sempurna.
“Pagi,” sapa tamu perempuan itu. Dia menenteng tas dari karton yang berisi sesuatu milik Dylan.
Deliska mencium kedua pipi Dylan yang dibalas dengan pelukan sebentar di punggungnya dari Dylan. Gadis itu mencium Dylan tanpa sungkan seolah dialah pemilik laki-laki itu.
Sementara Fella yang sedang merapikan rambut, dibuat tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bertanya-tanya dalam hati dengan napas tersengal dan dada yang kian bergemuruh.
Siapakah wanita itu? Ada hubungan apa perempuan itu dengan kakaknya?
“Pagi juga, Sayang. Kamu pagi-pagi datang ke sini ada apa?” tanya Dylan sembari melepaskan tangannya dari punggung Deliska.
“Aku ke sini karena kado buat adik kamu ketinggalan di tas aku. Ini pasti adik kamu, Fella. Hari ini ulang tahunnya kan?” Deliska beralih pada Fella yang masih menatapnya dengan bingung.
Dylan lalu memperhatikan adiknya. “Oh iya benar. Fella, kenalin ini Kak Deliska, calon kakak iparmu,” kata Dylan yang melihat adiknya termenung menatap tunangannya.
“Hai Fella, aku Deliska. Aku sama Dylan sudah bertunangan setelah kami wisuda, sayang ya kamu nggak datang waktu itu,” balas Deliska sembari menunjukkan cincinnya yang sepasang dengan milik Dylan.
Jantung Fella seakan berhenti berdetak. Dia sangat kecewa dan tidak terima dengan pertunangan kakaknya dengan wanita bernama Deliska. Gadis itu sangat terobsesi dengan Dylan dan tidak bisa membiarkan begitu saja Dylan bersama dengan wanita lain.
Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Kak Dylan tidak boleh dimiliki perempuan lain. Kak Dylan hanya boleh sayang sama aku saja.
***
First time bikin kisah begini, semoga suka gaess jangan lupa kembang kopi, vote, sama rate bintang 5 ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ ya wajib.
tambahkan favorite/subscribe, caranya ada di gambar ya 💋💋💋
Kemunculan Deliska pagi itu membuat Fella kelimpungan. Dia tidak bisa berkonsentrasi saat dosen menerangkan materi padanya.
Dalam benak Fella, dia hanya memikirkan bagaimana caranya menyingkirkan Deliska, atau pun membuat Dylan menjadi miliknya seorang tanpa ada Deliska.
Saat jam kuliah usai, teman-teman Fella mengajak gadis itu pergi jalan-jalan untuk sekedar nonton atau nongkrong di kafe karena ini adalah hari yang spesial, hari ulang tahun Fella.
“Sory guys, kita pergi next time aja ya. Janji gue yang traktir,” kata Fella yang lebih ingin merayakan hari bahagianya dengan sang kakak dibanding bersama teman-temannya. Pasalnya, waktu bersama Dylan itu jauh lebih susah dicari daripada waktu bersama teman-temannya.
“Alah, nggak asyik banget sih, Fel. Mentang-mentang si Abang balik, kita-kita langsung dilupain,” protes salah satu teman Fella yang bernama Devina.
Sebagai sahabat, tentunya kecewa saat temannya ulang tahun tapi tidak bisa merayakan bersama. Apalagi dua teman Fella itu sudah merencanakan jalan-jalan ini sebelumnya.
“Ya kalian tahu sendiri lah gimana sibuknya Kak Dylan. Selama di LN aja jarang mau angkat telfon. Ini dia udah balik loh, jadi kesempatan banget gitu bisa rayain di hari spesial sama kakak sendiri. Udah deh, jangan bawel, next time kita hang out!” Fella sudah ancang-ancang untuk melarikan diri dari kedua sahabatnya. Gadis itu melambaikan tangan sambil berjalan mundur sebelum akhirnya menghilang dengan cepat.
“Fella tuh aneh banget nggak sih. Dia sama kakaknya tuh terlalu gimana gitu ya, agak aneh,” cetus Devina sembari menatap kepergian Fella.
“Iya juga sih. Dia sama Kak Dylan kayak Brocon gitu nggak sih?” komentar Fanny membenarkan pemikiran Devina.
Memang, sikap yang selama ini Fella tunjukkan untuk sang kakak dinilai terlalu berlebihan, sampai-sampai mereka menduga hal yang tidak wajar yang tengah Fella rasakan untuk kakaknya.
***
Fella telah sampai di rumah tapi tidak menemukan kakaknya di sudut mana pun. Dia buru-buru mandi, lalu pergi ke kamar sebelah milik kakaknya. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu seperti kebiasaan Fella waktu kecil.
Suara gemercik air yang berasal dari kamar mandi sang kakak cukup menegaskan bahwa laki-laki itu sedang melakukan aktivitas di sana. Lengkungan senyum pun terbit di wajah cantik Fella karenanya.
“Untung Kak Dylan di rumah,” gumam gadis itu.
Sembari menunggu sang kakak yang masih mandi, Fella berguling-guling di kasur Dylan dan berkirim pesan pada Devina dan Fanny. Tiba-tiba saja ponsel Dylan yang berada di nakas bergetar-getar. Fella hanya berniat untuk mengintip tapi saat yang muncul foto Deliska dan nama panggilan sayang Dylan pada gadis itu, hati Fella terasa disayat-sayat dengan pisau yang tajam.
Mengingat nama Deliska sebagai tunangan Dylan sangat membuat Fella kesal. Jika saja dia bisa menemui penyihir, ingin sekali gadis itu meminta penyihir untuk mengutuk Deliska menjadi monyet atau apa pun yang tidak disukai Dylan.
Dengan sengaja, Fella mematikan ponsel kakaknya itu agar Deliska tidak bisa menghubunginya.
'Rasain kamu, Deliska! Hari ini aku tidak akan membiarkanmu merusak hari ulang tahunku. Aku akan membuat Kak Dylan hanya memperhatikanku saja!' gumam Fella dengan seringai mengerikan.
Setelah menunggu cukup lama, Dylan akhirnya keluar dari kamar mandi. Laki-laki tampan itu hanya mengenakan celana pendek yang longgar tanpa kaos atau apa pun untuk menutupi perutnya yang terbentuk sempurna. Ada enam kotak otot perut yang seperti roti di sana yang membuat Fella menggigit bibir bawahnya.
“Oh no! Kak Dylan seksi banget!” batin Fella yang hanya mampu menyuarakan perasaannya dalam hati, tanpa mampu berucap meskipun dengan lirih.
“Fella, kamu di sini?” tanya Dylan sembari mengusap rambutnya yang basah. Sebenarnya dia cukup terkejut dengan kemunculan adiknya yang tiba-tiba ada di kamarnya, tapi Dylan membiarkannya begitu saja.
“Iya, Kak. Aku mau rayain ultah sama Kak Dylan. Temani nonton yuk, aku udah pesan tiketnya loh. Mau ya Kak, please!” ucap Fella sembari menangkup kedua tangannya di depan muka. Memohon dengan ekspresi manja yang sejak kecil selalu dia lakukan pada kakaknya itu.
“Ya udah boleh, tapi kakak siap-siap dulu ya,” balas Dylan sembari mencubit pipi Fella dengan gemas.
Fella bersorak girang. Bak gayung yang bersambut, ternyata rencananya berjalan dengan mulus. “Asyik, makasih kakakku yang paling ganteng,” kata Fella yang kemudian bermanja di lengan sang kakak. “Biar aku bantuin, Kak.” Fella merebut handuk kecil yang dipakai untuk mengeringkan rambut itu dari tangan Dylan.
Dengan telaten dan sepenuh hati, Fella mengusap dan memijat kepala Dylan dengan gerakan-gerakan lembut yang merelakskan pikiran Dylan. Ternyata, Fella pintar memijat juga, pikir Dylan.
“Tubuh Kak Dylan keren banget sih,” bisik Fella di sela-sela pijatannya. Gadis itu membayangkan Dylan sebagai laki-laki dewasa, bukan sebagai kakak kandung seperti seharusnya. Gadis yang baru beranjak dewasa itu merasakan debaran dada yang tak seharusnya karena mereka adalah saudara.
Nyatanya, bisikan Fella itu membuat dada Dylan juga berdebar-debar. Dia mulai tidak nyaman dengan perasaannya, tetapi Dylan mencoba menepis itu. Mungkin saja hal itu terjadi karena mereka baru bertemu saat ini. Dylan menekankan hati dan pikirannya bahwa Fella adalah adik kandungnya.
“Pasti Kak Dylan rajin olah raga ya di sana?” tanya Fella dengan santai saat melihat raut tegang di wajah kakaknya dari pantulan cermin.
Dylan terkesiap. Kata-kata Fella itu menyadarkan laki-laki itu dari lamunan. “Ya begitulah, Fel,” jawabnya sembari mengatur irama jantungnya. “Kak Deliska suka olahraga, dan kami sering olahraga bareng makanya badan kakak bisa kayak gini,” imbuhnya sembari mengingat-ingat kekasih hatinya saat ini.
“Oh.”
Fella sangat tidak suka jika Dylan membahas Deliska. Hatinya terasa terbakar setiap kali Dylan menyebut nama itu dengan wajah malu-malu. Terlihat sekali laki-laki itu begitu mencintai tunangannya, dan Fella membenci hal itu.
***
Fella sengaja memilih genre film horor untuk mereka tonton malam ini. Dengan harapan, dia bisa bebas bersembunyi di tubuh Dylan saat hantunya muncul nanti.
Kedua insan itu sedang menunggu waktu yang sudah ditentukan untuk pemutaran film yang akan mereka tonton. Keduanya tampak serasi dengan warna baju yang sama, dan gaya busana yang hampir mirip. Setelan jeans dipadu dengan kaus polos dan sepatu kembar pilihan Fella, keduanya terlihat seperti pasangan anak muda yang tengah berkencan.
“Kok film horor sih, Fel? Emangnya nggak ada film lain ya?” tanya Dylan setelah tahu film apa yang akan mereka tonton selama dua jam ke depan. Sebagai lelaki yang telah berkencan, tentu saja Dylan tahu apa yang terjadi dalam bioskop dengan genre film seperti pilihan adiknya itu.
“Kata temen aku, ini film rekomend banget, Kak. Makanya aku mau nonton. Mereka udah pada nonton duluan nggak ngajakin aku,” jawab Fella berbohong.
“Ya udah, tapi jangan jerit-jerit ya kalau takut,” timpal Dylan pada akhirnya.
“Tapi kalau peluk boleh, kan?” balas Fella sembari merangkul lengan kakaknya dengan mesra.
***
Novel ini ikut lomba cinta terlarang ya, so bijak berkomentar.. Makasih semuanya, yang langsung gercep mampir, love sekebon 💋💋
Di dalam bioskop, Fella dan Dylan duduk bersebelahan menikmati tontonan yang disuguhkan pada mereka. Keduanya sedang tegang karena alur cerita yang dipertontonkan. Debaran keras begitu terasa saat hantu yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul tiba-tiba.
Fella menjerit dan langsung memeluk kakaknya yang berada persis di sebelah kanannya. Gadis itu menyembunyikan wajah di lengan sang kakak yang diyakini menjadi tempat ternyaman untuknya.
Dylan memperhatikan sang adik. Dekapan Fella membuat laki-laki itu merasakan lagi getaran-getaran yang telah lama dilupakan. Namun, lagi-lagi Dylan menekan semua itu. Bagaimanapun juga, sekarang ada Deliska. Gadis itu telah berhasil meyakinkan Dylan, apa yang terbaik untuk hidupnya.
***
Beberapa hari setelah kembali ke rumahnya, Dylan merasakan ketenangannya juga kembali. Jauh dari rumah, orang tua, dan saudara sudah mengajarkannya bahwa tempat terbaik di dunia ini tetaplah di rumahnya sendiri, bersama keluarganya.
Dylan sedang di halaman belakang saat ini. Laki-laki itu sedang menelepon kekasihnya yang sedang pergi ke luar kota. Kebetulan, Fella disuruh ibunya untuk memanggil sang kakak yang dikira ada di kamar.
Tanpa permisi, gadis itu masuk ke kamar kakaknya begitu saja. Mencari-cari sang kakak yang sudah pasti tidak ada di kamar itu.
Mata Fella menangkap sesuatu yang berhasil mencuri perhatiannya. Sebuah tumpukan buku yang belum selesai dirapikan. Karena penasaran, Fella mendekati buku-buku itu dan berniat membantu merapikan. Ia menemukan beberapa buku dan tertawa sendiri saat melihat majalah dewasa di sana.
“Ternyata Kak Dylan nakal juga ya,” gumam gadis itu lalu mengembalikan majalah-majalah khusus itu.
Yang lebih membuat Fella terkejut adalah sebuah album foto saat mereka kecil hingga Dylan lulus SMA. Album itu begitu spesial karena isinya hanya Fella dan Dylan saja. Beberapa foto bahkan diberi tulisan yang mengutarakan perasaan Dylan pada adiknya itu.
“Ini kan … apa maksudnya Kak Dylan dengan kata-kata seperti ini?”
Lembar demi lembar Fella baca dan puncaknya Dylan menuliskan sebuah puisi yang mengungkapkan perasaan sang kakak terhadap adiknya yang sangat tidak wajar.
Tepat di saat yang bersamaan, Dylan muncul dan merebut album itu dari Fella. “Fella apa yang kamu lakukan?” tanya Dylan berapi-api. Album itu adalah saksi perasaannya pada sang adik dan tidak seharusnya Fella membaca itu.
Kenyataannya, Dylan sudah mengubur perasaan tidak pantas itu dalam-dalam dan akhirnya ke luar negeri untuk melupakan semuanya. Namun, Fella tiba-tiba masuk ke kamarnya dan membongkar lagi semua yang telah berlalu itu.
“Kak Dylan tulisan itu … Kakak cinta sama aku, kan?” tanya Fella dengan menggebu-gebu.
Perasaannya pada Dylan akan terbalas dan ini akan menjadi awal yang indah pikir Fella. Dia berusaha meraih tangan Dylan untuk mengutarakan apa yang saat ini dirasakannya.
Dengan gerakan cepat, Dylan menepis itu dan marah pada adiknya. “Nggak Fella. Itu bukan seperti yang kamu pikir, aku hanya bingung dengan identitas aku waktu itu. Kamu adikku, nggak sepantasnya aku punya perasaan seperti itu sama kamu,” jelas Dylan.
Dylan bingung karena Fella akhirnya tahu tentang perasaannya dahulu, tapi sayangnya itu bukan hal yang baik. Walau bagaimanapun mereka adalah saudara yang tidak seharusnya memiliki perasaan terlarang.
Fella tidak bisa mempercayai ucapan kakaknya itu. Jika Dylan memang mencintainya, itu artinya Dylan memiliki perasaan yang sama seperti yang saat ini Fella rasakan.
“Kak, aku cinta sama Kakak, dan aku yakin perasaan ini nggak salah. Cinta nggak bisa memilih pada siapa dia akan berlabuh. Aku cinta Kak Dylan dan Kakak juga cinta aku kan? Jujurlah, Kak!” ungkap Fella emosional.
Gadis itu sudah melupakan batasan-batasan yang harusnya tidak mereka langgar sebagai saudara. Karena tumbuh bersama dengan cinta yang sama, keduanya menumbuhkan perasaan yang tidak terarah dan sama sekali tidak pantas mereka rasakan.
“Buang jauh-jauh perasaanmu, Fella. Aku yakin, kamu hanya tersesat. Sadarlah kalau aku ini kakak kandungmu. Tidak sepantasnya seorang saudara mencintai saudaranya sendiri. Karena itulah, aku pergi dan akhirnya mencintai Deliska sampai detik ini,” balas Dylan tak kalah emosional.
Laki-laki itu sudah berusaha keras mengubur dalam-dalam perasaannya. Dia tidak ingin melukai hati kedua orang tuanya dengan mencintai adiknya sendiri. Sayangnya, justru sekarang Fella juga merasakan hal yang sama yang pernah dia rasakan dulu.
“Nggak, Kak. Aku yakin cinta Kak Dylan sama wanita itu hanya pelarian saja. Kak Dylan sangat mencintai aku, dari dulu sampai sekarang. Kak Dylan hanya mencintaiku, kan?”
Air mata Fella meleleh begitu saja meyakinkan sang kakak untuk kembali mencintainya. Gadis itu benar-benar putus asa dan dibutakan oleh cinta, sampai lupa bahwa bukan hanya dia yang terluka, tapi Dylan dan orang tua mereka juga.
“Fella berhenti bersikap seperti anak kecil! Dan belajarlah memahami hatimu sendiri. Kamu hanya merasa nyaman sama aku, Fella. Itu hal wajar karena kamu adikku. Kamu tidak mencintaiku. Perasaan itu salah!”
Dylan masih berusaha meredam emosinya. Dia menurunkan lagi nada bicaranya supaya Fella mau mendengarkan apa yang dia jelaskan bahwa perasaannya itu adalah kesalahan.
“Nggak. Aku yakin bukan perasaanku yang salah. Aku yakin cintaku buat Kakak itu bukan kesalahan,” kata Fella sebelum akhirnya keluar dari kamar sang kakak dengan hati yang hancur dan rasa kecewa. Dia berlari ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur.
‘Kenapa aku harus terlahir sebagai adiknya? Aku yakin bukan cintaku yang salah. Pasti ada yang salah sama hubungan keluarga ini!’ gumam Fella sembari menghapus air matanya dan berlari menuju kamar pribadinya.
***
Kembang kopinya jangan lupa 💋💋💋
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!