NovelToon NovelToon

Terpasung Gairah 3 Cogan

Kencan Satu Tempat Dengan Dua Pria

Hati kini kian bersorak gembira, saat pacarku Reyhan akan mengajak kencan. Sudah lama sekali kami tak bertemu, yang kemungkinan sudah hampir satu bulan lamanya.

Kesibukkannya sebagai artis, sungguh tak menyempatkan waktunya untuk menemaniku. Kami hanya sering berkomunikasi lewat handphone, sebagai obat lara dalam kerinduan.

[Hallo, assalamualaikum]

[Hallo juga, walaikumsalam]

[Gimana kencannya nanti?]

[Jadi dong, apa sih yang gak buat kamu, wanita yang paling kusayangi. Oh ya, nanti tempatnya seperti biasa, seperti kencan-kencan kemarin]

[Ok]

[Ya sudah kalau begitu, aku mau melanjutkan pemotretan. Sampai ketemu nanti malam, bye ... bye]

[Baiklah, bye ... bye]

Rasa kegembiraan tak terukur lagi rasanya, sungguh kebahagiaan bagaikan menang lotere disiang bolong, saat orang yang kucinta begitu mengebunya ingin ketemuan sama sepertiku.

Kring ... kring, suara gawai telah berbunyi, dan disitu sudah tertera nama Joan.

[Hallo, sayang. Gimana kabarnya? Sudah lama nih! Tak mendengar kabar kamu]

[Hallo juga. Kamu 'kan lagi ke luar kota, jadi mana bisa mendengar kabarku. Handphone kamu aja mati terus, jadi akupun malas untuk memberi kabar]

[Maaf ya, aku tak mengaktifkan handphone beberapa hari ini, sebab aku sedang ada kepentingan dengan kerjasama perusahaan lain, jadi aku tak mau ada yang menggangu urusanku, sehingga handphonepun mati]

[Iya, aku bisa memahami, sebab memang bisnis lebih penting daripada diriku]

Kepura-puraanku sedang ngambek, kepada Joan pacar keduaku.

[Yah ... yah, bukan begitu, Sayang. Perusahaan memang sedikit ada masalah, jadi kerjasama ini harus berhasil, untuk memajukan kembali perusahaanku]

[Iya ... iya, gak usah bawel lagi. Ayo cepetan bilang, kapan kita bisa ketemuan, aku sudah rindu nih!]

[Aku sudah pulang sayang, dan malam ini kita bisa ketemuan]

[Apa?]

[Kamu kenapa? Kayak terkejut begitu? Gak senangkah aku pulang?]

[He ... he ... he, enggak kok. Aku senang akhirnya kamu bisa pulang, dan kita bisa ketemuan secepatnya]

[Bisa ... bisa, sangat bisa]

[Baiklah, kamu kirim pesan saja dimana kita akan bertemu. Ya sudah, aku mau ketemu klien lagi, jadi sampai ketemu nanti malam]

[Ooh, ok]

"Aah ... aah mati aku, kenapa juga Joan harus minta ketemuan malam ini. Aah ... aku bakalan melakukan skenario kencan ganda, hu ... hu ... ahh sial ... sial," umpatku sebab kesal.

Rasa pusing kini mendera kepalaku, sebab binggung bagaimana nanti mengatur kencan ganda dalam satu tempat. Kenapa hari ini begitu apes, dua cowok yang kucintai harus mengajak kencan secara bersamaan.

Pesan sudah kukirim pada Joan agar berkencan diwaktu awal, agar tak terjadi bentrok dengan Reyhan nanti. Waktupun sudah cepat berlalu, dan sekarang ini aku tengah disibukkan dengan berdandan cantik-cantik, untuk menemui dua kekasih. Baju diatas lutut berwarna hitam berlegan pendek sebahu, telah menjadi pakaianku sekarang. Wajah sudah kupoles menggunakan lipstik setipis-tipisnya, tapi masih menampakkan cantik dan elegan. Sepatu hak tinggi yang senada dengan baju sudah terpakai, untuk segera berjalan menuju mobil, yang tengah tepat terparkir didepan rumah sendiri.

Tak butuh waktu lama agar aku sampai di restoran. Kenyamanan dan kebersihan restoran menjadi daya tarik tersendiri bagiku, sehingga akupun menempahnya tanpa muluk-muluk, dengan dua tempat sekaligus yaitu dilantai satu dan dua, sebab aku ingin kencan ini terpisah.

"Hey, Sayang!" Sapaku pada Joan sambil bercipika-cipiki, yang kini sudah duduk dilantai satu.

"Hay juga, Sayang," balasnya ramah.

"Kamu hari ini cantik banget dengan pakaian itu, yang kontras sekali dengan kulit putihmu," puji Joan.

"Terima kasih," ucapku sambil memberikan senyuman manis.

Kini akupun duduk sejajar dengan Joan, yang sama-sama saling berhadapan.

"Kamu pesanlah apa yang kamu sukai," suruh Joan.

"Siip beres."

Mata terus saja memperhatikan daftar menu, untuk memilih makanan yang menurutku sering kufavoritkan. Joanpun kelihatan sibuk juga, mencari makanan yang akan dia pesan.

"Kamu sudah dapat menunya?" tanya Joan.

"Belum nih!" jawabku dengan mata masih berkeliling melihat-lihat.

"Aku sud---?" Suaraku tertahan.

Wajah seketika kusembunyikan, saat netra telah kaget melihat Reyhan sedang berjalan masuk ke dalam restoran.

"Mati aku ... mati  ... mati, kenapa juga Reyhan sudah datang? Padahal ini belum waktunya dia datang. Aah ... mati ... mati," bathinku yang merancau panik.

"Hei Dilla ... ada apa? Kok wajah kamu ditutup begitu?" tanya Joan tiba-tiba.

Pertanyaan Joan kuacuhkan, sebab takut jika Reyhan tahu aku sudah ada di restoran. Saat Reyhan tengah bersimpangan lewat dekat tempatku duduk, wajahkupun sudah kusembunyikan, melihat kearah samping dengan muka masih kututup menu makanan. Netra kini sedikit mengitip dibalik menu makanan, mencoba melihat apakah Reyhan sudah pergi menjauh dari tempat yang kududukki.

"Selamat ... selamat, akhinya Reyhan tak mengetahuiku. Huuuf ... untung saja dia sudah naik keatas lantai dua," guman hati merasa lega.

"Hei Dilla ... hey!" panggil Joan penasaran.

"Eeh ... iiiya, Joan," jawabku gugup.

"Maaf ... maaf."

"Kamu kenapa sih, mukanya ditutup tadi? Seperti kayak melihat hantu saja," kebingungan Joan dengan wajah sudah clingak-clinguk mencari tahu.

"Hehehehe, nggak kok Joan, aku gak kenapa-napa. Aku lagi memperhatikan daftar menu secara dekat yang ingin kumakan, sebab mata sepertinya sudah  mulai rabun nih!" alasanku memungkiri.

"Masak masih muda sudah rabun! Tapi mata kamu sekarang gak kenapa-napa 'kan?" tanyanya khawatir.

"Iya, aku gak pa-pa."

Dert ... kring ... dert, gawai telah menyala tanda ada panggilan masuk, dan ternyata adalah Reyhan.

"Ya ampun, kenapa nih anak!  Harus menelpon sekarang, disaat waktu yang tak tepat," kekesalanku dalam hati.

Dert ... dert, gawai terus saja berbunyi.

Kling, gawai telah kugeser untuk mematikan panggilannya.

Dert ... dert, untuk yang kedua kalinya handphone masih saja sibuk berbunyi.

"Aduuuh ... Reyhan, kenapa kamu menelpon terus sih? Mati ... mati aku," hati yang panik.

"Kamu kenapa Dilla? Kok kelihatan gelisah begitu? Kalau orang penting, kamu angkat saja itu telepon," kecurigaan Joan menyuruh.

"Hehehehe, maaf ya Joan. Ini adalah orang yang benar-benar penting, dan aku harus segera mengangkatnya," izinku.

"Iya angkatlah," jawabnya menyetujui.

Akupun kini sudah menjauh dari hadapan Joan, untuk mengangkat telepom Reyhan yang sudah mengesalkan hati.

Klik, gawai telah kuangkat.

[Iya, ini aku sudah sampai. Benar-benar ngak sabaran betul sih!]

Langkah sudah memasuki dapur, untuk mencari jalan darurat, agar sampai cepat menuju lantai dua. Untung saja pemilik restoran adalah teman baikku, sehingga akupun dengan mudah mencari jalan pintas.

"Hai, sayang," sapaku pada Reyhan.

"Kok lama banget sih datangnya!" ucap Reyhan kesal.

"Bukan aku yang lama datang, kamu saja yang terlalu cepat datang," balikku menjawab kesal.

"Hihihi, maaf ... maaf, sayang. Aku tuh sebenarnya rindu ... rindu sangat kepadamu, jadi seperti yang kamu lihat sekarang, diriku datang lebih awal," penjelasan Reyhan.

"Awal sih awal, tapi ngak juga menelpon terus-menerus. Kamu itu tahu 'kan, kalau aku ini orangnya super sibuk, sebab sepuluh perusahaan lebih milik orang tua kuatasi sendiri," jawabku menerangkan.

"Iya ... iya, aku minta maaf. Sudah jangan marah-marah lagi, ok! Kita ketemu tujuan utama 'kan melepaskan rindu," ujarnya sambil tangan sudah mengelus-elus pipiku pelan.

"Siip, ok dah!."

Makanan sudah terhidang dimeja, dengan beberpaa menu makanan yang telah dipesan Reyhan barusan.

Dert ... dert, gawai telah berbunyi lagi.

"Gila Joan? Aduhh, kenapa aku bisa lupa sama Joan," hati berguman panik lagi.

"Ada apa Dilla?" tanya Reyhan.

"Sebentar ... sebentar, aku mau angkat telepon dulu, sebab ini dari orang penting," pamitku pada Reyhan.

"Ooh iya , silahkan."

Dengan langkah melebar-lebar, aku sekarang tengah tergesa-gesa melewati dapur lagi, untuk menemui Joan dilantai satu.

"Maaf ... maaf Joan, aku kelamaan ya angkat telepon? Maaf ya, tadi perutku sakit jadi mampir ke toilet dulu," Kebohoganku menambah alasan.

"Iya, ngak pa-pa. Sekarang kamu makanlah, sebab aku sudah memesankan makanan kamu," respon Joan tak mempermasalahkan.

"Terima kasih Joan, kamu memang pacar yang bisa diandalkan," pujiku.

"Aaaaa, buka mulutnya."

Mulut kini telah terbuka lebar, untuk mencoba makan, tapi apesnya Reyhan menelpon lagi.

Mata Joan sudah menatapku sinis penuh curiga, dan aku tak memperdulikan itu, yang hanya bisa kubalas dengan senyuman kecut.

"Aduuuh, perutku sakit! Aaa ... maaf Joan ... maaf, aku kayaknya harus ke toilet lagi, sebab perutku sakit nih!"

Alasanku yang sedang memegang perut, sambil wajah berkerut pura-pura mringis.

"Kamu gak pa-pa, Dilla?" tanya Joan khawatir.

"Aku gak pa-pa, cuma harus setor menabung dulu ke toilet, jadi maaf ... maaf permisi dulu," pamitku yang tergesa-gesa.

Belum sempat Joan menjawab ucapanku, kini aku sudah main pergi berlari menuju kedapur lagi.

"Aaa ... aww. Aduh ... duh."

Kesakitanku saat kaki keseleo sebab berlari terlalu cepat-cepat, saat sedang memakai higheels.

Sebab sudah susah berjalan karena keselo, akhirnya higheels kulepas, dan sekarang terbawa ditangan untuk menemui Reyhan. Jalanpun sekarang sudah terpincang-pincang akibat rasa keseleonya begitu terasa sakit sekali.

"Kamu kenapa Dilla?" tanya Reyhan yang kini sudah menghampiriku, saat berjalan ke arahnya.

"Aku gak kenapa-napa, cuma tadi keseleo saja," jawabku.

"Kamu kenapa gak hati-hati, sini biar aku lihat," ujar Reyhan berusaha menolong, dengan tubuh sudah bersimpuh yang ingin memijit.

"Aku ngak kenapa-napa, Reyhan. Cuman luka kecil saja kok!" jawabku agar Reyhan tak khawatir.

"Beneran? Kamu ngak kenapa-napa?" tanyanya.

"Iya, Rey. Sudah ... sudah kita makan saja, daripada acara makan-makannya nanti bubar karena masalah kecil keseleo saja," tuturku menyuruh.

"Ok deh! Kalau kamu tak mau dibantu dipijit," kepasrahan Reyhan berkata, sebab aku memang tak suka merepotkan orang lain, biarlah rasa sakit ini kutanggung sendiri.

Sesuap demi sesuap akhirnya makanan dapat masuk juga dalam perut setelah tingkahku yang bolak-balik menemui pacar, sehingga tadi tak sempat makan. Belum terasa kenyang perut ini, lagi-lagi Joan menelpon.

"Maaf Reyhan, sepertinya orang yang menelponku tadi, ingin berbicara lagi padaku, jadi bolehkan aku mengangkatnya sebentar?" tanyaku pada Reyhan, saat mulutnya sibuk mengunyah makanan.

"Silahkan ... silakan, Dilla!" ujarnya menyetujui.

Untuk kesekian kalinya langkah kembali melewati dapur restoran, dan sakit pada kaki mulai terasa nyut-nyutan, sehingga otak kini berpikir lebih baik aku pulang kerumah saja, dari pada luka keseleoku ini lebih parah lagi. Rencana pulangpun kujalankan, yang melewati pintu bekakang, agar tak diketahui johan dan Reyhan. Kaki sudah berjalan pincang, untuk mendekati dan masuk ke dalam mobil.

[Joan maafkan aku, harus pulang tak pamit padamu, sebab tadi perutku begitu sakit melilit sekali]

[Oh ... gak pa-pa Dilla, mungkin sakit perutmu itu harus diobati secepatnya]

[Makasih Joan, kamu sangat pengertian sekali pada diriku]

Setelah gawai berhasil menelpon Joan, kini aku akan menelpon Reyhan juga, untuk mengabarkan bahwa aku sudah pulang.

[Rey, maaf ya aku sudah pulang, kakiku tadi begitu sakit, jadi tak sempat pamit padamu]

[Gak pa-pa, Dilla. Kamu memang butuh istirahat, yang seharusnya minta maaf adalah aku, sebab tak dapat mengantar kamu pulang. Tapi kaki kamu gak sakit parah 'kan?]

[Aku masih bolehlah, tetap baik-baik saja, walau kaki sedang sakit keseleo]

[Ya sudah, pokoknya kamu hati-hati saja dijalan]

Akhirnya hati merasa lega juga, bisa lepas dari mereka berdua. Walaupun harus bolak-balik turun menaikki tangga, untuk ketemu sama mereka, tapi perasaan senang tetap menyelimuti, disaat janji ketemuan telah bisa ditepati. Ada pepatah memgatakan kalau janji itu adalah hutang, maka aku tak mau mempunyai hutang janji pada mereka, sebab sampai mati bisa terbawa.

"Ya ampun, aaah ... ahhh ... mati .... mati aku, kenapa bisa lupa tas sama higheels tidak dibawa. Tidak ... tidak, jangan sampai Joan dan Reyhan ketemu saat sedang membawa barang-barangku, bisa mati aku jika tengah kencan bersamaan dengan mereka berdua?" kekesalanku telah melupakan sesuatu.

Visual Pemeran

Namaku adalah Dilla Apriliana, seorang wanita cantik dengan hidung mancung, kulit putih, serta tubuh yang selalu ramping sexy.

Umurku yang sudah menginjak 31 tahun, masih saja belum bisa menemukan cinta sejati. Banyak pria yang tertarik padaku untuk meminang, tapi aku masih belum siap menikah secepatnya.

Aku punya kakak yang sudah meninggal dan adik laki-laki yang masih kelas dua SMP. Perusahaan orang tua begitu besar, sehingga akupun diangkat menjadi atasan utama di perusahaan pusat papaku. Walaupun aku ini adalah seorang perempuan, tapi pikiran dan tenagaku tak kalah dengan para pria, yang telah menjadi direktur utama seperti diluaran sana. Papa kandung sudah semakin tua, jadi 10 perusahaannya diserahkan padaku. Awalnya aku menolak ingin menjadi wanita karier, sebab cita-citaku dulu adalah menjadi dokter, tapi dikarenakan papa sering kali sakit-sakitan, jadi kuurungkan impian utama untuk menjadi seorang dokter.

Hidupku penuh sekali yang namanya dengan drama percintaan, sampai pada akhirnya cinta itu telah menyulitkanku atas sebuah pilihan hati, untuk nantinya dijadikan pendamping hidup.

Aku memiliki pacar seorang artis benama Reyhan, dia adalah pacar yang setia, baik hati, dan pastinya selalu romantis. Tapi disebalik cinta kami, dia selalu saja sibuk dengan dunia keartisannya, sehingga akupun bosan dengan rasa sepi ini, yang pada akhirnya rasa bosan itu telah tergantikan dengan hadirnya seorang pria ganteng, baik, ramah, penyayang, yang merupakan teman satu klien kerjasama dan kuliah dulu yaitu namanya Joan.

Aku tak tahu atas rasa hatiku yang akan berlabuh pada siapa, yang jelas aku miliki dua pacar sekaligus, dan itu sungguh sangat memberatkan, tertantang, dan lebih utamanya menyenangkan. Mereka tak tahu bahwa diri ini telah berani mempermainkan hati mereka, sebab sementara ini diriku masih bersiar-siar dan mencari pelabuhan cinta sejati yang terakhir.

****

Namaku adalah Reyhan abimanyu, seorang artis yang selalu sibuk dengan seabrek kegiatan, dari mulai syuting film pendek, pemotretan, iklan produk, hingga ketemu dengan fans amatiran.

Aku mempunyai pacar yang bernama Dilla, yang sejak SMA telah kujadikan pacar.

Kesetiaannya tak perlu diragukan lagi, masih saja tertancap pada diriku, walau hubungan kami sudah 10 tahun lebih. Sungguh aku sangat menyayanginya, melebihi apapun pada diriku sendiri.

Sayangnya karena kesibukanku terhadap mengejar cita-cita sebagai artis kelas bawah, aku sampai lupa dengan namanya waktu pacaran. Tapi kelihatan sekali Dilla tak mempermasalahkan itu, dan dia masih tetap setia mencintai dan bersamaku.

Hubungan kami selalu diterpa yang namanya cinta putus nyambung, tapi pada akhirnya kami masih tetap utuh dalam membina  cinta.

Banyak sekali cewek-cewek yang mengandrungi ketampananku, sehingga keartisanku yang awalnya hanya sekedar ikut-ikutan kontes, kini semakin melejit naik daun, sehingga sekarang ini banyak sekali sutradara yang ingin mengajak kerjasama kontrak. Semua ini tak luput atas dukungan dari Dilla pacarku, sebab dialah salah satu orang yang menjadi penyemangatku, disaat cita-citaku telah menjadi kenyataan.

*****

Namaku adalah Joan pratama, seorang pengusaha sukses dibidang permodelan. Umur sudah mencapai angka 32, namun wajahku masih ganteng dengan segudang kemistri untuk menarik hati perempuan.

Pacarku bernama Dilla seorang pengusaha juga, tapi dia dibidang pakaian bermerk yang terkenal, dan hanya orang yang berduit tebal yang dapat membelinya. Kami kenal waktu dimasa-masa kuliah dulu, dan waktu itu kami hanya sekedar menjadi teman saja. Dulu aku masih ragu untuk mengungkapkan cinta pada Dilla, sebab nanti takut-takut kalau dia menolaknya, dan sampai pada akhirnya diriku memberanikan diri menembakkan cinta padanya, yaitu setelah kami sama-sama sedang merintis usaha. Pucuk dicinta ulampun tiba, ternyata Dilla mengungkapkan hati bahwa dia juga ada cinta padaku dan itu sudah sejak lama, sehingga tanpa ragu lagi, kamipun jadian menjadi sepasang kekasih.

Walau kami sudah resmi berpacaran sekitar 5 tahunan, tapi setiap Dilla mau kuajak menikah dia selalu saja menolak, dan entah apa yang menjadi alasannya, yang jelas aku masih setia menunggunya untuk menuju kejenjang yang lebih serius lagi. Dikantor banyak yang sudah mengenal Dilla, tapi bukan sebagai pacar melainkan rekan bisnis dalam bekerja, sebab kami memang telah mengadakan perjanjian sesama antar perusahaan.

Entah mengapa hatiku hanya memilih pada satu wanita saja yaitu Dilla. Padahal sudah berulang kali kedua orang tua telah memilihkan jodoh, namun selalu saja kutolak dengan alasan masih mengejar karir yang sedang kurintis. Orang tua sudah sering kali uring-uringan untuk diri ini menikah, sebab kata mereka ingin segera menerima dan mengendong cucu dariku, yang padahal kakak-kakakku sudah memberikan cucu kepada kedua orangtua. Katanya sih cucu keturunan dariku sangat berbeda dengan cucu kakakku, jadi mereka semakin gencar bergonta-ganti memilihkan wanita yang tepat untuk dijodohkan.

********

Namaku adalah Dio candra buana , dengan umur masih muda yaitu sekitaran 26 tahun. Kerjaanku sehari-hari hanya menjadi tukang kebun disalah satu SMA negeri. Wajahku yang tampan tapi kuper, banyak sekali wanita yang menjauhiku, tapi semua itu tak menjadi masalah dan aku tetap happy-happy saja dengan keadaan wajahku ini, sebab dalam mottoku sekarang mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, untuk bekal ketika menikah nanti, agar tak merepotkan orang tua lagi.

Aku adalah anak dari kalangan orang miskin, dan kedua orang tua hanyalah seorang petani, yang selalu bercocok tanam ditempat sendiri yaitu disawah hasil warisan kakek. Walaupun keadaan kami yang serba kekurangan, tapi alhamdulillah kami masih rukun hidup bahagia, dengan segudang kehidupan serba berkecukupan.

Sekolah hanya tamat sampai SMA saja, sebab aku tak mau membebankan keadaan orangtua lagi, mereka sudah menyekolahkanku sampai ke jenjang itu saja diriku sudah sangat bersyukur. Sebenarnya orang tua sudah ngotot menyuruh kuliah, agar aku bisa menjadi anak yang dapat merubah nasib mereka, tapi secara halus kutolak, dikarenakan tak mau melihat peluh keringat orangtua lagi, yaitu dikala terik matahari menyegat tubuh mereka saat lelah bekerja.

Diriku adalah pria yang namanya anti dekat dengan perempuan, jadi yang namanya jatuh cinta tak kumengerti apa itu artinya. Semua tetap kujalani seperti biasa, walau tak ada cinta yang mengiringiku. Perempuan itu bagi diriku adalah penghalang menuju jalan karier, sehingga sampai sekarang status masih sama yaitu jomblo.

Hobi adalah memasak, olahraga, bela diri, dan yang terpenting adalah balap motor. Berulang kali diriku kena semprot kemarahan bapak, sebab sering kali merusakkan motor buntut yang satu-satunya menjadi kendaraan dirumah kami. Yang namanya hobi, semua dapat kutebas rasa kemarahan bapak, yang tetap bandel diam-diam ikut balapan motor liar. Memasak adalah kebiasaanku, sebab orangtua sering kali sibuk mengurus sawahnya, jadi akupun kalau tak ada makanan dalam rumah sering kalu memasak sendiri, dan akupun tak malu jika dikatain seperti perempuan yang bisa masak.

Ketahuan OrangTua

Kaki yang keseleo rasanya sungguh sakit sekali, sehingga karena tak tahan kini tengah kuobati ke rumah sakit, dan dokter hanya memberikan salep pereda sakit dan beberapa pil saja.

Memang kencan dengan dua orang sekaligus sangatlah merepotkan sekali, tapi nak berkata apa lagi, sebab hatiku memang sedang berbunga-bunga mencintai mereka. Julukkan jelekpun patut tersandang padaku, sebab telah mempermaikan hati laki-laki, tanpa memikirkan apa akibatnya suatu saat nanti.

[Hallo Dilla]

[Iya ma, ada apa?]

"Sssseett," Suaraku kesakitan akibat sedang memijit-mijit pergelangan kaki.

[Yang harus bertanya itu sebenarnya mama, kamu itu kenapa? Tadi seperti berdesis begitu?]

[Aku gak kenapa-napa, ma. Cuma tadi keseleo akibat tak hati-hati memakai higheels]

[Aduuh ... duh, kamu anak mama satu-satunya yang cantik, kenapa gak hati-hati! Kalau kenapa-napa nanti bagaimana?]

[Mama gak usah lebay begitu, kenapa? Aku tuh gak kenapa-napa, cuma luka keseleo kecil saja. Gak usah cerewet ceramah lagi, cepetan tadi menelpon Dilla ada apa?]

[Biasalah, kamu kayak gak tahu mulut mama itu gimana! Mama cuma mau bilang kamu besok pagi mampir kerumah utama, sebab papa yang menyuruh ingin bertemu kamu]

[Heeeem ... heeem]

[Jangan ham-hem doang. Harus datang pokoknya]

[Ya ampun, iya mamaku sayang, puas?]

[Iya .. ya, mama puas. Sudah sekarang kamu istirahat baik-baik, awas kalau besok kamu gak datang]

[Siiip mama]

Begitulah mamaku, yang selalu saja mulutnya cerewet ngomong ngelantur sana-sini, tapi disebalik itu semua, beliau orangnya baik hati, selalu ramah, dan terutama penyayang terhadap semua orang. Kadang akupun betah berlama-lama bercerita dengannya, sebab beliau selalu enak kalau diajak sebagai teman curhat. Sedikit bawel kalau berbicara, tapi kalau diajak serius beliau akan juga serius menanggapi apa yang kita bicarakan padanya.

**********

Metahari pagipun telah menyapa, menyinari disebalik gorden jendela yang sedikit terbuka, dan rasanyanya akupun malas sekali untuk segera bangkit dari pembaringan. Matapun masih enggan juga untuk membukanya, sehingga tanpa sadar akupun kembali tidur, menumpahkan segala rasa lelah disekujur tubuh.

Dert ... dert, gawai telah berbunyi, dan tanganpun lemas mengambil gawai, yang tengah tergeletak di meja kecil dekat tempat tidur.

[Hallo]

Jawabku malas dengan suara antara sadar dan tidak dari tidur.

[Kamu sudah sampai mana? Kenapa belum datang-datang juga?]

Tanya mama diseberang sana.

[Aah ... mama ini, pagi-pagi sudah membangunkan orang, yang lagi enak-enaknya tidur?]

[Astagfirullah, Dilla. Kamu itu anak perawan yang belum nikah, masak sudah siang begini terus-terusan lambat bangun, awas saja jodoh kamu itu akan menjauh]

[Amiiin, sebab anak kamu ini memang belum mau menikah]

[Diiiiiiiillllaaaaaa, awas kamu, ya! Kalau sampai rumah mama, akan kubejek-bejek sampai penyek itu muka]

Kekesalan mamaku pagi-pagi sambil  berteriak-teriak.

[Haaah, mama itu bisa gak sih gak usah teriak-teriak ngomongnya, telingakupun panas mendegarnya]

[Haiiiisss kamu ini, jangan banyak omong kamu. Cepetan datang kerumah, kalau sejam gak datang, aku akan menyuruh orang untuk menjemput paksa kamu]

[Iya ... iya, bawel nenek lampir]

[Apa yang kamu bilang? Waaah, anak perawan satu ini benar-benar semakin ngelunjak, mama sendiri dikatain]

Tut ... tut ... tut, gawaipun segera kumatikan, sebab malas sekali mendengarkan ocehan mama, yang pagi-pagi sudah ceramah.

Akupun segera menyambar handuk untuk segera mandi dan membersihkan diri, supaya cepat-cepat bisa datang ke rumah.

Karena ada hal penting yang ingin kukerjakan bersama keluarga, kini akupun hanya memakai pakaian biasa, dengan celana jeans levis hitam yang atasan memakai kaos biasa berwarna merah.

Mobil sudah kulajukan dengan kecepatan penuh, agar secepatnya sampai datang kerumah orang tua, sebab aku tak ingin kena semprot dan ceramah mama lagi.

Ceklek, pintu rumah utama orangtua telah kubuka.

Kaki langsung saja berjalan ke ruang tengah, yang sudah ada orang tua sedang duduk santai ditemani teh kesukaan mereka.

"Kenapa kamu lama banget sih? Dasar perawan malas, berani-beraninya kamu pagi tadi ngatain orang tua sendiri?" ucap Mama menghampiriku yang baru datang.

"Aaa ... awww, sakit ... sakit, Ma!" Suaraku kesakitan saat telinga telah terjewer.

"Sudah ... sudah, kalian ini pagi-pagi sudah main ribut saja," cegah Papa.

Mamapun telah melepaskan jeweran telinga, tapi mukanya masih kelihatan tak senang dan kesal terhadapku.

"Kamu duduk, Dilla!" suruh Papa.

Plaaaak, sebuah majalah telah kuatnya terdarat dimeja kaca.

"Apa ini, Pa?" tanyaku penasaran.

"Lihat saja sendiri, apa yang tengah kamu lakukan!" ucap beliau tak mau memberitahu.

Tangan sudah sibuk membolak-balikkan majalah, dan betapa terkejutnya diri ini, saat fotoku yang tengah diburamkan dibagian wajah, tegah duduk santai makan bersama si Reyhan pacarku.

"Ya ampun, apa ini? Mati aku, kenapa foto-fotoku bersama Reyhan bisa tersebar luas begini. Mati ... matiiiii, jika papa akan marah besar padaku hari ini," guman hati yang sedang takut.

"Itu benar kamu 'kan?" tanya apapa dengan tatapan serius.

Aku tak bisa berkata-kata, sebab rasanya mulut ini kelu tak bisa menjawab. Ketar ketir juga menghadapi orantua yang bakalan menghakimi.

"JAWAB," bentak Papa.

Karena aku tersentak kaget, tanpa ragu lagi langsung segera ingin kujawab.

"Iiiiya-ya, Pa!" jawabku terbata-bata.

"Apa dia seorang artis?" tanya Papa lagi.

"Iya, Pa?" jawabku sambil menundukkan kepala.

Benar-benar mati dah hari ini. Sudah semalam kencan tidak berjalan mulus, eeeh paginya malas kena apes kemarahan pulak.

"Kamu gak boleh berhubungan lagi sama dia, dan mulai hari ini kamu putuskan dia," suruh Papa.

"Apa? Enggak ... enggak, Pa. Dilla gak mau putus dengannya, sebab aku sangat mencintainya. Lagian bukankah Mama sudah menyuruhku untuk segera menikah? Jadi sekarang aku akan ungkapkan, bahwa dia itu adalah calon yang ingin kunikahi," terangku berusaha membela diri.

"Kok Mama yang disalahin? Kamu bisa menikah, asalkan tidak boleh dengan kalangan artis, sebab bagi Mama artis itu banyak drama, dan pastinya suatu saat nanti pasti kamu akan disakiti, sebab dia akan tergoda dengan cewek-cewek yang lebih cantik diluaran sana dibandingkan kamu," ujar Mama tak menyetujui.

"Tapi Ma, Pa. Aku benar-benar mencintai dia," jawabku ngotot.

Ingin mempertahankan Reyhan sebab dia pacar lama dan semenjak kami sama-sama masih sekolah.

"Gak ada tapi-tapian. Pokoknya kami tidak setuju, jika kamu berhubungan dengan artis itu, mulai sekarang hubungan kalian harus putus. Kamu harus jauhi dia, sebab bisa berakibat fatal mencemarkan nama baik perusahaan, mengerti!" terang Papa yang kekuh ingin diriku putus.

"Kami akan mengawasi kamu, sehingga kamu harus dikawal oleh seorang kepercayaan Papa, biar tak berulah memalukan keluarga lagi. Panggilkan dia, Ma!" suruh beliau.

Hati begitu kesal, saat orang tua telah ikut campur sama urusan percintaanku sekarang, ditambah lagi kini aku harus dikawal oleh seseorang. Mamapun sudah kembali dengan seseorang yang telah berjalan dibelakang beliau, dan matapun penasaran sekali melihat siapakah pilihan papa yang akan menjadi bodyguardku.

"Kenalkan Dia adalah Dio, anak dari teman Papa dikampung," jelas beliau.

"Ya salam, Papa apa gak salah memilihkan pengawal untukku. Body lumayan sih, agak kekar walau tak berotot, tapi mukanya itu sungguh tak bermutu dan kelihatan culun sekali," guman hati yang terheran-heran atas pengawal pilihan orang tua.

"Dia, Papa? Jadi pengawalku? apa gak salah? Hahahha, wajahnya aja nggak ngeh gitu, kelihatan culun begitu, hahahaha!" gelak tawaku puas mentertawakan.

"Dilla!" pekik Mama yang membekap mulutku tiba-tiba.

"Maaf ya, Dio. Anak tante Dilla ini memang kurang ajar, dan ngak ada akhlak dan sopan-sopannya!" ujar Mama masih membekap mulutku.

Meronta dan ingin bersuara.

"Iya, Tante. Saya paham kok!" tutur katanya yang  halus.

"Kamu bisa diam ngak? Kalau ngak bisa, Mama tidak akan melepaskan bekapan ini!" Ancaman.

Kepala hanya mengangguk-angguk setuju, sehingga tangan Mama sudah cepat menyingkir dari mulutku.

"Apa gak salah papa memilih dia?" tanyaku lagi, sebab sudah merasa aneh.

"Pilihan Papa gak akan salah, sebab Dio bisa ilmu bela diri," Pembelaan beliau berkata.

"Iya Kak, papa ngak salah memilih kak Dio. Selain hebat bela diri, dia pintar juga lho! Bisa bantu-bantu Andi mengerjakan soal-soal yang sulit, nih contohnya!" pembelaan adik laki-lakiku, yang sudah menyerahkan buku pelajarannya.

Mata mencoba memastikan apa yang dikatakan adikku Andi, apakah benar atau tidak ucapan dia, dan pada kenyataannya memang benar, yang mana rumus matematika rumit tak kumengerti, begitu mudahnya diselesaikan.

"Gimana?" tanya Mama.

"Terserah kalian 'lah! Yang penting kalau itu baik menurut kalian semua, aku hanya bisa jadi anak penurut," Kepasrahanku menjawab.

"Ok baiklah, Dio. Kamu kemasi barang-barang kamu didalam, lalu nanti kamu ikut dengan Dilla ke rumahnya," suruh Mama.

"Apa, Ma?" kekagetanku.

Hadeh, ternyata harus tinggal serumah.

"Apa? Kenapa? Dio 'kan pengawal kamu, jadi ya harus 24 jam mengawasi dan menjaga kamu," keluh Mama.

"Tapi gak harus tinggal sama aku juga, Ma! Aku 'kan anak perawan satu-satunya milik Mama," alasanku mengalihkan.

"Justru ada Dio 'lah Mama pasrahkan keperawanmu, biar dia bisa menjaganya," bantahan beliau.

"Tapi, Ma."

"Gak ada tapi-tapian, Dilla. Kamu gak usah takut sama Dio, keselamatanmu pasti akan terjamin jika bersamanya," pembelaan Papa terhadap Mama.

Menyebalkan sekali harus terpojok atas permintaan orangtua.

"Iya, Non. Kamu tenang saja, aku jamin aku takkan berbuat aneh-aneh sama sekali padamu," simbatan Dio yang kini ikut-ikutan pulak.

"Ciiih," decihku tak percaya.

Dengan terpaksa kini aku menuruti saja keinginan keluarga, sebab aku tak ingin ada keributan lebih atas masalah pengawal. Lagian Dio kelihatan culun dan tak bisa apa-apa, pasti akupun nanti dapat mengelabui maupun lolos darinya, saat ingin keluar berkencan dengan kekasih hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!