"Mbak Eca....." Panggil seorang pemuda berseragam putih abu abu. Baru saja sampai rumah lantas ia memanggil asisten rumah tangga yang membantu berjualan di warung makan milik Nara(ibu). Ada satu kardus penuh sembako dan satu jerigen benuh minyak goreng "Mbak....bantuin dong" lantangnya lagi.
Dari kejuhan Eca menjawab"Taruh situ dulu, mas. Nanti tak ambil...."ujar Eca sambil membawa sebakul nasi putih. Setelah selesai menaruh nasi pada pemanas, Eca langsung keluar "Lho mas itu tadi siapa?" Tanpa sengaja Eca melihat anak majikannya melambaikan tangan kepada seorang gadis berseragam sama. Tadinya si gadis berhenti di bawah pohon samping warung, namun ketika melihat Eca keluar, gadis tersebut buru buru pergi. Bukan rahasia umum lagi kalau Andra suka main cewek. Wajah tampan, kulit putih, tinggi badan ideal, dan penampilan cool, membuat para gadis tertarik dengan karismanya.
"Cewek barunya lagi, ya?"ujar Eca sedikit menggoda Sambil menyenggol lengan Andra. Hubungan Eca dengan Andra sudah seperti adik kakak. Tidak ada kecanggungan antara mereka, sebab Andra sendiri sangat menghargai Eca begutu pula dengan Eca.
Sambil melepas helm, Andra berkata"Bukan, mbak. Cuma adik kelas kok" Turun dari motor lalu membantu membawa barang belanjaan. Pagi sebelum berangkat sekolah Eca menitipkan catatan belanja kepadanya dan setelah pulang sekolah Andra langsung membawanya pulang. Begitulah keseharian Andra.
"Tapi lumayan cakep sih dari pada yang kemarin itu...."
"Masa sih, mbak? berarti kali ini aku nggak salah pilih lagi"
Eca langsung menepuk lengan Andra "Dasar play boy, awas lho nanti kena karma" Segera Eca membawa belanjaan masuk ke dalam rumah.
"Dih...karma? mana mempan sama aku" celetuk Aska sambil melangkah masuk mengikuti Eca.
"Ibuk belum pulang juga ya, mbak?" Andra melihat Eca masih jualan sendiri. Sudah dua hari sang ibu pulang kampung "Emang sampai berapa hari ibuk di kampung?"
"Nggak tau, mas. Ibuk nggak ada ngabari dari kemarin"
"Oh...." Setelah meletakkan jerigen minyak goreng, kemudian Andra masuk kamar. Tas punggung langsung di lempar ke atas ranjang "Setelah kepergian Aska, ibuk semakin acuh sama aku. Semua terjadi gara gara dia (Bapak)" seger badan terhempas ke atas ranjang. Setiap kali mengingat semua perlakuan kejam sang ayah, membuatnya emosi bukan main. Andai kata bisa menggambarkan seberapa marah, kecewa, dan benci, mungkin semua kata sudah terlintar jauh. "Kenapa sih punya bapak sejahat dia. Apa nggak ada stok lain selain dia" Terlalu banyak terluka yang ia terima, sampai tak ingin lagi melihat mau pun mendengar tentang sang ayah lagi. Terakhir dapat kabar dari sang nenek, beliau bilang kalau sang ayah masuk rumah sakit karena harus menjalani operasi pemasangan kaki palsu atau apalah dia tidak begitu perduli. Bagianya sang ayah sudah lama mati.
"Mak, Nara pamit dulu ya, emak jaga kesehatan dan jangan lupa minum vitamin teratur. Tadi Nara sudah masak, sekalian di kulkas udah ada stok ayam potong sama daging. Nanti tinggal suruh mbak Tuti bali sayur. Uang arisan juga sudah Nara titip sama mbak Tuti. Jadi, emak nggak perlu keluar duit lagi" Ujar Nara sambil melihat raut wajah sayu sang ibu. Setelah beberapa tahun berlalu, kini ibu Sumiati tidak lagi mau tinggal di kota, beliau ingin menghabiskan masa tua di kampung halaman. Melihat kesehatan sang ibu berangsung membaik, Nara pun mengijinkan beliau tinggal di sana.
Ibu Sumiati langsung memeluk Nara "Hati hati, Nak. Lanjutkan perjuanganmu. Jangan melihat jalan di ujung sana, karena di depan jalan sana mentari sudah menyambutmu"
Ucapan Ibu Sumuati tidak sekedar memotifasi tapi juga mengingatkan bahwa apa yang sudah pergi tak mungkin kembali, dan yang pergi akan segera terganti.
"Sudah siap belum?" Datanglah Prasetya dari balik pintu "Semua barang sudah naik tinggal nunggu apa lagi?" Perlahan mendekat kemudian bersimpuh di hadapan ibu sumiati.
"Pras....ngapain kamu duduk di situ? sini duduk di samping emak" Ibu Sumiati tidak hsegan menganggap Prasetya seperti keluarga sendiri. Sejak perceraian Nara dengan Bagus, beliau menginginkan Presetya menjadi pengganti Bagus kelak. Meski Prasetya menginginkan semua itu, menurutnya tidak semudah itu memulihkan luka di hati Nara. Butuh waktu panjang untuk membuatnya kembali membuka hati.
Kekurangan seorang wanita hanya satu, ketika di sakiti maka akan sulit kembali membuka hati. Dan satu kelebihan wanita, jika dia mulai mencintai akan setulus hati.
"Saya itu kalau lihat emak sudah seperti melihat ibuk, lumayan bisa ngobatin kangen di hati saya. Emak sehat terus, jangan sakit lagi. Kalau emak nggak mau ikut Nara ke kota, emak harus janji bisa jaga kesehatan. Kasihan Nara kalau emak sakit. Pokoknya emak harus banyak makan sayur, buah, vitamin, dan paling tidak olah raga pagi biar sehat kuat. Jangan kalah sama anak jaman sekarang" Ucapan Prasetya membuat senyum ibu Suamiati mengembang.
Mengetuk kening Presetya "Kamu kira emak sudah tua? masih muda sehat cakep begini di bilang kalah sama anak jaman sekarang. Yo meski kalah....." Tawa lepas ibu Sumiati membuat Nara mengulas senyum. Setiap kali bersama Prasetya, semua nampak berwarna. Kilauan bahagia terlukis indah sejak kedatangan Prasetya.
Pandangan Prasetya beralih pada Nara. Melihatnya tersenyum tentu menjadi hal paling bahagia "Ya sudah keburu sore mending kita berangkat sekarang"
Nara bangkit "Kalau begitu Nara pamit duku, mak. Jangan lupa sama pesan Nara, kalau emak butuh sesuatu bilang mbak Titi saja nanti Nara ganti. Oh iya satu lagi" mengeluarkan sesuatu dari dalam tas "Ada titipan dari mas Hans" Menyerahkan uang dari sang kakak "Kemarin Nara lupa mau kasih ke emak. Kata mas Hans buat beli gincu" Dengan nada menggoda sang ibu supaya tidak terlarut dalam kesedihan.
Ibu Sumiati langsung mencoel dagu Nara "Gincu, gincu, litik lho"
Mendengat kata Litik sontak Nara dan Prasetya tertawa "Bukan litik, mak. Tapi, lipstik" Sambung Pras sambil mengatur nafas kala terbahak.
"Yo maklum wong deso retine litik" beliau ikut terbahak sambil menepuk lengan Prasetya.
"Aduh, emak ini ngelawak terus. Ya sudah Nara berangkat dulu" Segera Nara beserta Prasetya keluar rumah dengan di ikuti ibu Sumiati "Hati hati di jalan, Nduk"
Tak lupa sebelum naik mobil Nara mencium tangan sang ibu "Emak baik baik di rumah"
"Kamu nggak usah cemas sama emak. Toh, ada Tuti ada tetangga lain"
"Saya juga pamit ya, mak. Doain semoga saya dapat rejeki lebih biar bisa pulang kampung lagi, ketemu sama emak, sama semua orang di kampung ini" Prasetya pun bersalaman pada beliau sebelum pergi.
Mengusap bahu Prasetya "Jelas emak doain kamu juga. Pokoknya emak selalu berdua yang terbaik buat kalian berdua."
"Kami berangkat, mak" Mereka langsung naik mobil. Lambaian tangan sang ibu mengiringi kepergian sang anak yang hendak mengais nafkah demi mencukupi kebutuhan hidup di dunia.
"Hati hati di jalan, sampai jump lagi" Ujar ibu Sumiati seraya menyeka air mata.
(Emak hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kalian berdua. Jika Allah berkehendak, insya Allah kalian akan berjodoh. Andai tidak berjodoh, setidaknya kalian bahagia dengan hidup masing masing)
Setelah hujan reda terlihat indah lengkung pelangi. Dunia seolah menghela nafas dari guyuran air mata. Bahagis kembali setelah luka. Bergulat dengan derita berjuang demi masa depan yang bahagia.
Baru beberapa meter keluar dari pekarangan rumah, tiba tiba saja Nara teringat sesuatu "Pras, kalau boleh nanti berhenti depan tugu itu, ya"
Prasetya langsung menatap Nara "Kamu yakin mau ke sana? aku takut kalau kamu jadi sedih"
Berusaha baik baik saja untuk menutupi kesedihan "I'm fine. Aku sudah ikhlas dengan takdir ini. Semua sudah di gariskan Allah untukku. Aku hanya ingin melihat makam Aska sebentar saja. Meski tidak bisa bertatap muka, setidaknya aku bisa melihat tempat terakhir anakku" Tak bisa di pungkiri air mata perlahan menetes. Sigap Prasetya langsung menyeka air matanya "Jangan menangis, Aska sudah tenang di sisi Allah. Kalau kamu terus bersedih arwah Aska tidak akan tenang di alam sana. Dari pada kamu menangisi dia, lebih baik banyakin doa"
Seketika Nara membuang muka. Pasti hati Nara sangat terpukul atas kepergian sang putra. Meski sudah lewat bertahun tahun lamanya, tapi luka masih tertinggal dalam dada. Kisah pilu seorang ibu harus menyaksikan akhir kehidupan sang anak, di tambah kematiannya di sebabkan oleh tragedi kecelakaan. Setiap kali mengingat kisah tragis yang menewaskan sang buah hati, membuat Nara mengingat kebencian terbesarnya pada Bagus.
Melihat Nara terdiam membuat Prasetya bingung. Dia sendiri tau betapa sakit kehilangan orang terpenting dalam hidup. Kesedihan Nara tidak bisa di gambarkan dengan kata kata. Ibarat jatuh masih tertimpa tangga pula. Andai dia bisa membeli kebahagian dalam hidup Nara, seberapa pun itu pasti dia beli. Sambil terus mengemudi, Prasetya bergumam (Andai kamu tau seberapa ingin aku membuatmu bahagia, sedikit senyum di bibirmu adalah warna untukku. Aku tau tidak ada harapan lagi untukku masuk dalam kehidupanmu, setidaknya aku ingin melihat kebahagiaan itu sebelum kamu benar benar melupakan aku)
"Pokoknya mulai sekarang kamu nggak boleh sedih. Sekarang kamu punya peran ganda sebagai ibu, anak, dan juga ayah. Kalau kamu lemah siapa yang akan menguatkan Andra dan Emak? mereka sama sedihnya. Bisa jadi Andra jauh lebih sedih dari kamu, dia tidak hanya kehilangan adik tapi juga merasa kehilangan kamu. Mulai sekarang hapus kesedihan ganti dengan hidup baru"
"Aku nggak sedih. Hanya saja setiap kali mengingat Aska, hati ini serasa sakit sekali. Apa aku salah jika merindukan anakku..." ujar Nara sembari menundukkan kepala. Jemarinya bermain pada ujung jilbab yang tengah di kenakan.
"Kerinduan beda alam bisa terobati dengan doa. Percuma kamu bersedih seperti ini, sebab tidak akan mengembalikan apa pun. Aku punya sedikit saran sih, itu pun kalau kamu berkenan"
Seketika Nara menatap Prasetya dengan wajah sendu "Apa?"
"Bagaimana kalau mengadakan doa bersama anak yatim? insya Allah doa mereka bisa sampai pada Aska. Saat ini yang Aska butuhkan bukan uang, bukan air mata, dan juga bukan kasih sayang. Melainkan doa dari kita"jelas Prasetya.
"Iya, aku setuju. Insya Allah nanti aku adakan doa bersama di masjid bareng anak yatim. Makasih ya udah kasih saran" Sedikit senyum menyejukkan hati Prasetya.
"Iya sama sama. Nah gitu dong senyum. Itu baru Nara" Reflek Prasetya mengusap ujung kepala Nara. Seketika itu pandangan keduanya bertemu sejenak. "Ah....maaf aku nggak sengaja" buru buru Prasetya berpaling.
"Aska....maafkan bapak ya, nak. Kalau bisa bapak ingin menggantikan posisi kamu. Semua karena dosa dosa bapak, kamu jadi korbannya, nak. Mungkin kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya. Bapak sangat menyesal, sayang. Bapak benar benar menyesal" Bagus bersimpuh penuh air mata di samping makam sang putra.
Dari kejauhan terlihat Nara memasuki pemakaman. Ia tengah membeli bunga di sekitar makam "Ibu kesini lagi? bukankah baru beberapa hari lalu ibu datang ke sini?" Tanya seorang penjual bunga.
"Iya, bude. Sengaja mampir sekalian mau berangkat kerja" Ujar Nara lembut.
"Ibu ini sama persis kaya bapak bapak tadi, beliau bisa seminggu tiga kali ke makam sini. Katanya anaknya ada yang di makamkan di sini juga" Sambil memberikan sebungkus bunga kepada Nara.
"Bapak bapak?"
"Iya, buk. Mungkin kebetulan saja kali ya buk."
Nara mulai curiga. Tanpa tunggu lama ia pun langsung menuju makam Aska. Benar saja ada seseorang tengah mengusap batu nisan Aska sambil menundukkan kepala "Mas Bagus?"
Seketika Bagus menoleh "Nara?" Dengan susah payah, Bagus berdiri. Baru beberapa bulan lalu ia melakukan pemasangan kaki palsu. Jadi dia agak kesulitan ketika hendak berdiri lagi sehabis jongkok.
"Ngapain kamu di sini?" Tiba tiba raut wajah Nara menunjukkan kemurkaan "Aku sudah peringatkan kamu jangan sentuh makam anakku. Tangan kotor kamu tidak pantas menyentuh makam anakku" Kedua mata Nara membulat sempurna.
Bagus hendak meraih tangan Nara namun di tepis olehnya "Jangan menyentuhku, atau kamu tau akibatnya"
"Nara, aku hanya mau minta maaf sama kamu. Sumpah demi Allah, semua di luar kendaliku. Semua murni kecelakaan"
Mendengar setiap kalimat keluar dari mulut Bagus, membuat telinga Nara memanas. Darah seolah mendidih, jantung berdetak tak beraturan, dan suasana tiba tiba memanas.
Plak....
Satu tamparan keras mendarat pada pipi Bagus "Enteng sekali kamu bicara. Kamu sudah membunuh anakku, dan kamu masih mebela diri kamu sendiri? dasar iblis kamu" Ketika berhadapan langsung dengan Bagus, tentu membuat Nara hilang kendali. Dengan sangat kasar ia mendorong Bagus sampai terjengkang "Seharusnya kamu saja yang mati. Orang seperti kamu tidaka da gunanya hiduo di dunia lagi. Bahkan mungkin neraka saja tidak sudi menampung orang macam kamu ini."
Baru kali ini Bagus menerima perlakukan keji dari seorang wanita. Meski harga diri terlukai, tapi ia tidak bisa membela diri. Semua memang salahnya.
Meraih kaki Nara sambil memohon ampun "Aku tau semua salahku, aku sadar. Tapi aku cuma manusia biasa. Tolong berikan maafmu padaku. Aku sudah banyak menerima karma dari perbuatanku sendiri. Kalau pun aku bisa sudah sejak dulu aku menggantikan posisi Aska" Bagus menangis sambil membayangkan banyaknya derita yang ia beri.
Melepas tangan Bagus "Percuma kamu mati sekali pun tidak akan mengembalikan Aska padaku. Tapi aku sangat ingin melihatmu jatuh sejatuh jatuhnya, biar kamu tau bagaimana karma menjalankan tugasnya" Kecam Nara.
"Nara, aku mohon jangan bicara seperti itu. Aku mau memperbaiki semuanya. Atau kita bisa bersatu kembali dan membuka lembaran baru" Mendongak melihat wajah Nara. Bagus tidak sadar ucapannya justru akan membuat Nara semakin membencinya.
"Berdiri kamu" Titah Nara.
Bagus segera bangkit "Jadi kamu mau menerimaku lagi?" Wajah Bagus menjadi senang.
"Aska....sekarang ibu bersumpah di depan makam kamu, nak. Mulai sekarang sampai kapan pun ibu tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama" Pandangan Nara beralih pada Bagus. Kepalan tangan mengerat kencang "Dan untuk kamu laki laki durjana" Satu langkah maju "Jangan pernah bermimpi bisa kembali denganku lagi. Sampah seperti kamu tidak layal berada di dekat kami. Lebih baik kamu menjauh dari kehidupan kami, itu jauh lebih baik."
Ucapan Nara bagaikan petir menyambar (Ternyata sakit juga mendengar ucapan Nara. Kenapa dia bisa berubah sejahat ini?)
Wanita lemah bisa berubah menjadi singa pemarah kalau dia banyak di sakiti.
"Mau kemana mas? kok tumben bawa tas segala?" Eca melihat Andra baru saja keluar kamar sambil menggendong tas ransel warna hitam.
"Mau nginep di rumah teman, mbak. Sekalian mau ngerjain tugas ada yang belum kelar juga" Jawab Andra sambil menutup pintu kamarnya.
Eca memicingkan mata "Emang tugasnya sebanyak itu ya? sampai setiap hari nginep di rumah teman. Kenapa tidak di kerjain di rumah saja, ajak saja mereka gantian belajar di sini"
"Kalau belajar di sini mana bisa dong, mbak? nanti yang ada malah nggak fokus. Udahlah aku mau keluar dulu"
"Tapi mas Andra sudah ijin sama ibu belum?"
"Alah....ngapain pamit sama ibu, dia itu udah nggak perduli sama aku, mbak." Sikap Andra mulai berubah saat Nar jarang sekali bersamanya. Andra merasa kurang di perhatikan bahkan cenderung di lupakan. Sejak kepergian Aska, Nara menjadi sedikit acuh padanya. Nara sendiri banyak menghabiskan waktu dengan berdagang dan juga kerap pulang kampung, dengan alasan rindu Aska. Kesedihan itulah yang membuat Andra kesal atas sikap sang ibu. Sebagai anak, dia juga masih butuh perhatian dan kasih sayang. Namun, baginya sang ibu acuh padanya. Sejak saat itu Andra memutuskan mencari kenyamanan di luar rumah.
"Maaf, ya buk boleh tunggu sebentar, saya mau bicara sama anak majikan saya sebantar" Ucap Eca pada seorang pembeli nasi bungkus.
"Oh silahkan, mbak. Saya juga tidak terburu buru kok" jawab ibu paruh baya.
Eca segera mendekati Andra "Mas....kamu nggak boleh bicara kaya gitu"
Ketika tangan Eca menyentuh lengan Andra segera Andra menepisnya "Udahlah, mbak. Aku nggak mau bahas ibu lagi. Aku mau berangkat..."
Kembali Eca menghentikan Andra "Kamu beluk makan, makanlah dulu. Tugas sekolah bisa di kerjakan nanti malam, kan?"
"Nggak mau. Nanti saja makan di luar." Andra pun langsung pergi begitu saja.
"Ya Allah, mas Andra sudah banyak berubah. Apa ini akibat dari perpecahan keluarga?" Lirih Eca sambil kembali melayani pembeli.
"Ngapaian gue di rumah kalau orang tua gue aja nggak ada yang peduli sama gue" Kesal Andra sambil menyalakan motor matic.
Eca tengah melayani pembeli hanya melihat sekilas Andra mengendarai motor keluar rumah "Anak jaman sekarang kalau di kasih tau malah marah" Lirih Eca.
"Eh mbak saya pernah melihat dia di tepi jalan dekat rumah saya. Waktu itu sekitar jam satu malam, waktu saya baru saja pulang sama suami dari rumah mertua. Kalau nggak salah dia ikut balap liar lho" Ujar ibu ibu pembeli tadi.
Seketika Eca tersentak "Ibu salah lihat kali, buk. Anak majikan saya nggak pernah keluar malam kok. Setiap hari saya selalu pastikan dia ada di rumah."
"Tapi mbak nggak mungkin tungguin dia di teras depan, kan? anak muda jaman sekarang paling bisa curi kesempatan, mbak. Apa lagi orang tuanya nggak ada di rumah, udah pasti banyak peluanh tuh" Wanita pruh baya tadi terus meyakinkan Eca kalau Andra sering keluar malam.
Sambil menenteng pesanan ibu tadi, Eca sempat terdiam sejenak. Beberapa orang pernah berkata hal serupa kepadanya. Awalnya dia tidak percaya, namun setelah banyak orang mengadu, timbul kecurigaan.
"Coba saja nanti malam mbak Eca datang ke taman pinggir kota, mereka biasa kumpul di sana. Tapi, saran saya mbak Eca jangan sendiri. Bahaya di sana banyak pemuda mabuk mabukan" Jelas beliau sambil meraih pesanan nasi bungkus "Kalau begitu ini uangnya, terima kasih"
Setelah beberapa saat kemudain. Andra baru saja sampai di depan sebuah kos tidak jauh dari rumahnya.
"Hey....kok baru datang sih" Seorang gadis muda langsung membuka pintu, kala mendengar suara motor Andra berhenti depan kosan. Dialah Ambika, kekasih Andra. Ambika tinggal di sebuah kos lumayan luas. Dia terpaksa ngekos supaya mempermudah akses menuju sekolah. Sebab, rumahnya terlalu jauh dengan sekolah.
Sambil melepas helm "Maaf sayang agak ada perdebatan kecil sama mbak Eca" Segera mendekati sang kekasih dan langsung meraih tangan sang gadis "Yang penting aku sudah datang"
"Ya sudah buruan ayo masuk, aku udah siapan kejutan buat kamu" Ambika tersenyum manis. Lesung pipi menambah aura kecantikan gadis 17 tahun tersebut.
"Kejutan? apa itu?" Seingat Andra hari ini tidak ada yang sepesial bagi dia dan sang kekasih.
"Dah ayo masuk" Menarik tangan Andra lalu menutup pintu kos.
"Baru pisah beberapa jam sama Nara, kok udah kepikiran aja sih" Meminat kening sambil menyetir. Prasetya tidak mengantar Nara sampai rumah, melainkan hanya mengantar sampai terminal saja. Setelah itu dia juga harus kembali ke kota, tempatnya tinggal saat ini. "Kalau saja ada kesempatan untukku, aku ingin membahagian dia sampai ajal memisahkan kami.(Menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan) apa kesempatan itu masih tersisa untukku? mungkinkah dia mau menerimaku lagi? Tapi, bagaimana kalau sampai dia menolakku seperti dulu? mungkin aku nggak akan sanggup" Ucap Prasetya.
Di sisi lain Nara tengah duduk dalam bus sambil melihat kaca samping. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan mantan suami, ternyata amarahnya masih berkobar. Semua terjadi berawal dari kesalahan Bagus. Perselingkuhan tidak hanya menghancurkan satu hati, dua hati, melainkan banyak hati. Andai perselingkuhan tidak pernah ada, hari ini pasti mereka hidup rukun bahagia.
Tuk, tuk, tuk....
Seseorang mengetuk kursi belakang Nara. Sontak Nara penasaran. Dia langsung menoleh "Ada apa ya? kenapa ketuk kursi saya?" Tanya Nara pada sepasang pasutri yang tengah duduk di belakangnya. Mereka juga membawa dua anak laki laki. Yang satu seumuran Aska dan yang satu berusia kisaran lima tahunan.
"Maaf, mbak. Tadi anak saya tidak sengaja mukul kursi" Ucap seorang wnaita tengah memengku buah hatinya berusia lima tahun. Di tangan anak kecil itu terdapat sebuah mainan gelembung sabun.
"Tadi adek aku tante, dia jahil banget orangnya. Adek ma gitu suka usil" Sang kakak langsung mencubit lengan sang adik sampai dia menangis keras.
"Aduh jangan di cubit dong adeknya. Tante nggak apa apa kok. Udah nak cup, jangan nangis ya sayang" Nara berusaha menenangkan balita tersebut namun tidak mudah baginya membuat sang balita cepat diam.
"Kakak, jangan begitu dong. Minta maaf sama adeknya" Pinta sang ayah.
"Lah kan emang adek salah, pa. Kata papa kalau orang salah itu harus di beri hukuman. Terus kenapa adek malah di belain?"
"Iya, papa tau. Tapi, adek masih kecil. Mana tau yang salah dan benar. Kakak sudah besar bisa membedakan mana salah mana benar, harusnya kakak ngerti dong kalau tindakan kakak ini salah?" tutur lembut seorang ayah langsung menyentuh hati Nara.
(Selama ini mas Bagus tidak pernah sebijak itu kepada anak anak. Melihat keluarga kecil ini membuatku iri) gumam Nara.
"Tapi...." Sang anak masih mau mengelak. Nara pun menyodorkan sebungkus permen kepada anak tersebut "Ambil permen ini, dulu anak tante suka sekali sama permen ini. Kamu boleh ambil kalau kamu mau..."
"Makasih tante..." Setelah mengambil sebungkus permen dari tangan Nara, anak tadi langsung membaginya kepada sang adik "Maafkan kakak ya dek, udah marahin kamu. Kakak janji nggak akan marah lagi sama adek. Kakak minta maaf ya" Ucapan sang kakak di sambut senyuman manis si adik. Dengan lucu snag adik langsung memeluk sang kakak.
Melihat kedua anak itu semakin mengiris hati Nara. Ingatan kebersamaan dengan kedua anaknya kembali terlintas di benaknya. Air mata perlahan jatuh, namun sigap Nara menyeka air matanya.
"Kalau begitu kalian nggak boleh ribut lagi ya"
"Iya, tante. Aku janji"
"Sekali lagi saya minta maaf ya mbak kalau sikap anak kami tadi membuat anda tidak nyaman" Sang ayah menundukkan kepala, pertanda meminta maaf dengan tulus.
"Tidak, saya tidak merasa terganggu. Saya juga maklum namanya anak anak."
"Terima kasih banyak, mbak. Atas pengertiannya" Sambung snag ibu sambil mengulurkan tangan. Tanpa sungkan Nara menjabat tangannya "Sama sama. Melihat mereka saya jadi ingat anak saya. Aduh jadi baper deh...." air mata hampir jatuh tapi masih bisa tertahan.
"Memang anak mbak kemana?"
Buru buru Nara menghadap depan "Mereka lagi sibuk belajar" Demi menutupi kesedihan di hati, Nara pun menjawab semampunya saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!