NovelToon NovelToon

Simpanan Suamiku

Surga dunia

Dia sedang melukis alisnya dengan warna dark brown. Sangat hati-hati dan sangat teliti. Jangan sampai alisnya kecil satu, atau juga terlalu ke atas satu. Harus sempurna.

Selesai dengan alisnya, dia memindahkan jari jemarinya dengan warna kuku berwarna nude ke bagian mata. Memakai warna dasar agak gelap, lalu dia timpa dengan warna yang sedikit terang di bagian kelopak matanya dengan eye shadow.

Garis mata bagian atasnya kemudian dia ukir dengan eye liner, hingga sudut matanya terlihat lebih up dan lentik. Tidak ketinggalan juga maskara untuk mempertebal bulu matanya yang telah dia jepit terlebih dahulu.

Warna merah muda di pipinya membuat dia terlihat lebih segar. Terkahir dia mengaplikasikan perona bibir yang terlihat basah.

"Ma, udah belum?" tanya seorang pria kecil yang sangat tampan.

"Udah, yuk."

"Benar kata Papa, wanita kalau sudah dandan kami kaum pria bisa pergi mancing dulu. Itu juga belum tentu wanita selesai dandan pas kita kembali. Kalau itu terjadi, kami akan pergi menonton pertandingan sepak bola."

"Ha ha ha. Papa bilang gitu sama kamu?"

"Iya. Kami sering bergosip di belakang Mama."

"Waduuh, ternyata cowok juga suka bergosip, ya?"

"Kami hanya akan membicarakan orang yang kami cintai, kata Papa."

"Uuuuh, mama jadi salting jadinya."

Mama muda bernama Arini itu mencubit gemas pipi anaknya yang kemerahan. Mereka segera naik ke dalam mobil untuk menjemput Farhan, suami Arini.

Farhan bekerja di luar pulau. Mereka bertemu hanya saat Farhan libur bekerja. Dia memang bukan karyawan, akan tetap justru itulah yang membuat dia harus lebih giat lagi dan serius dalam pekerjaannya.

Sebagai pimpinan perusahaan, Farhan memikul beban yang lebih berat. Tanggung jawab nya lebih banyak.

"Sayang aku libur dua hari. Aku akan pulang."

Begitulah kira-kira telpon dari Farhan kepada istrinya dua hari yang lalu. Kini, setelah tiga minggu lamanya mereka akan bertemu.

Jadi, merupakan hal yang wajar jika Arini berdandan maksimal sore ini.

Arini sampai lebih dulu di bandara, dia tidak ingin suaminya yang menunggu dirinya. Arini dan anaknya begitu bahagia akan bertemu dengan laki-laki hebat kekasih hatinya.

Setelah lima belas menit menunggu, Alean berteriak memanggil papanya sambil melambaikan tangan. Arini tersenyum sumringah dan ikut melambaikan tangan.

Farhan segera berlari menghampiri jagoannya. Mereka langsung berpelukan untuk melepaskan rasa rindu yang dipendam selama ini, hanya melakukan video call saja tidak cukup bagi mereka.

Arini tersenyum sambil mengambil alih koper yang diabaikan Farhan.

"Ya, ya, ya. Aku memang nomor dua. Bahkan mungkin lupa kalau aku ada di sini. Ngenes banget, sih."

Farhan dan Alean saling menatap sambil menahan tawa.

"Serbuuu ...." merek kompak berlari untuk memeluk Arini.

Farhan dan Alean bahkan berebut mencium Arini.

"Udah, udah. Make up Mama luntur nanti."

Farhan dan Alean tidak berhenti meski Arini sudah memintanya. Mereka pun terus mencium wajah Arini tanpa malu diperhatikan orang banyak.

Di dalam mobil Arini kembali merapikan make up yang telah dihancurkan oleh kedua pria kesayangannya. Dia marah-marah meski dalam hatinya penuh dengan bunga bermekaran setelah lama layu.

"Mau ke mana kita sekarang?"

"Beli mainan!"

"No! Kita makan dulu. Papa baru datang, pasti belum makan."

"Oke, kita makan dulu setelah itu beli mainan yang banyak, gimana jagoan?"

"Tapi beli mainannya yang banyak, ya."

"Siap!" Farhan bersikap seperti orang sedang hormat pada bendera.

Arini dan Farhan saling melempar senyum tatapan penuh kasih, dan senyuman yang manis. Tangan mereka saling menggenggam saat ada kesempatan meski sedang menyetir.

Arini benar-benar merindukan suaminya.

Mereka bertiga pergi makan ke sebuah restoran. Menghabiskan waktu sambil makan dan becanda ria itu adalah hal yang paling membahagiakan bagi mereka. Moment yang jarang dilakukan.

Alean kalap saat Farhan mempersilakan anak semata wayangnya untuk membeli apa saja yang dia mau.

"Mas." Arini mencubit pinggang Farhan.

"Apa? Mau bikin adik buat Lean?" tanyanya menggoda.

"Ish, apaan, sih. Bukan itu."

"Kenapa, Sayang?" tanyanya sambil mengusap kedua pipi istrinya.

"Jangan manjain anak kayak gitu, gak baik."

"Terusss, aku harus manjain mamanya saja kah?" tanya Farhan gemas sambil menekan kedua pipi Arini hingga mulut wanita itu terlihat manyun seperti mulut bebek.

"Hadeuuuh, itu bibir bikin pengen cepet-cepet pulang."

Plak!

Arini memukul tangan suaminya yang menekan wajahnya hingga terlihat jelek.

"Sakit, tau, Mas."

Arini mengusap-usap kedua pipinya.

"Nanti di rumah lebih sakit dari ini, loh."

Farhan masih saja menggoda istrinya. Sambil sesekali mencolek dagu Arini dengan genit.

"Mas, aku sedang datang bulan." Arini berbisik pada Farhan.

"Yang, seriusan?" tanyanya sambil mengikuti Arini yang menjauh menghampiri Alean.

Pertanyaan Farhan di dalam mobil saat menuju pulang pun sama.

"Sayang, serius?"

Arini hanya bergumam menjawab pertanyaan suaminya.

"Ih, serius gak ini?"

Arini mengangguk acuh tak acuh sambil meminum boba berlogo ungu.

Farhan terlihat sedih dan kecewa karena istrinya sedang datang bulan. Setelah lama tidak bertemu malah harus kembali puasa, pikirnya.

"Lean, cuci tangan dulu. Ganti baju lalu bobo, ya. Besok harus sekolah."

"Yeaaay, sekolahnya diantar Papa, ya 'kan?"

Anak itu berjingkrak senang.

"Okeh, tapi cepet bobo, ya. Takut kesiangan."

"Iya, Pa."

Alean berlari menuju kamarnya diantar pembantu yang membawa mainan baru Alean.. Arini dan Farhan pun masuk ke kamar mereka.

Farhan bejalan menuju kamar mandi dengan lesu. Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower dengan air hangat.

"Puasa aja terusss! Sabar, ya, kamu gagak. Terpaksa harus tidur lagi untuk waktu yang lama. Udah lah kamu hibernasi aja, bangunnya nanti kalau kucing tetangga ngadain acara kawinan." Farhan mengoceh sendiri di kamar mandi.

Farhan keluar dengan kimono handuknya. Berjalan menuju lemari pakaian.

"Mas ...."

"Gak denger." Farhan mengabaikan Arini.

"Mas ...." Arini memanggil dengan nada mendesah.

"Udah, deh, gak usah mancing. Bikin tekanan darahku naik." Farhan masih ngambek.

"Mas!" Arini sedikit meninggikan suaranya

"Gak denger."

"Gak usah di denger, liat aja sini sebelum aku ganti pakaian lagi."

Dengan wajah yang masih kesal, Farhan menoleh pada istrinya yang sedang tertidur di atas kasur.

"Ya ampuuun, kenapa gak bilang dari tadi, sih!"

Farhan melemparkan pakaian yang hendak dia pakai, dan langsung berlari menghampiri istrinya.

Melihat tingkah Farhan, Arini tertawa. Terlebih lagi Farhan mulai menjelajahi di surga dunianya para suami istri.

Keluarga kecil yang sangat bahagia. Farhan yang mudah marah seperti anak kecil, dan Arini yang isengnya luar biasa membuat hidup mereka penuh warna setiap waktu.

Pasangan yang sempurna, keadaan ekonomi yang mapan dan anak yang tampan juga pintar membuat siapa pun iri melihat Arini.

Rahasia Helen

"Mas, bangun. Ini udah siang. Katanya mau nganterin Lean sekolah."

Farhan bergumam.

"Sayang, bangun, yuk. Ayo mandi terus sarapan."

"Sarapan di sini saja."

"Ya udah, aku minta Mbok Wiwin buat dulu."

"Eh, mau ngapain?" tanya Farhan kaget. Dia pun bangun.

"Loh, katanya mau sarapan di sini."

Farhan mengacak rambutnya.

"Bukan sarapan itu, tapi ... ini." Farhan menarik tubuh Arini yang masih memakai kimono handuk. Rambutnya yang basah masih dia lilit dengan handuk putih.

Sarapan ala Farhan pun usai. Baik Arini maupun dirinya sudah rapi dan wangi. Farhan yang bersiap untuk mengantar anaknya, sementara Arini siap untuk berangkat kerja.

"Nah, ini makan juga buahnya." Farhan mengambilkan strawberry yang dilumuri cokelat untuk Alean.

"Di sekolahnya yang nurut ya sama Bu guru. Perhatikan dan jangan berantem sama teman. Kalau ada teman yang galak, kamu harus menegur dia. Kalau ada temen cewek yang digalakin, kamu harus melindunginya. Biar jadi pria idaman semua wanita."

"Mas!"

Farhan cekikikan saat melihat Arini kesal.

"Mbok, bekal untuk Lean sudah siap belum?"

"Udah, Bu."

" Sayang jangan jajan di kantin, ya. Makan saja bekal dari rumah. Mama takut yang di kantin sekolah tidak sehat. Yang ada kamu makan kuman bukan makanan bergizi."

"Mana ada di sekolah elit makanan tidak bergizi."

"Siapa tau, kan, Mas. Gak semua pedagang itu jujur. Kantin sekolah Alean itu agak-agak kurang higienis kayaknya. Aku takut dia sakit perut. Inget, ya, Sayang. Makan saja yang mama bawain dari rumah."

"Iya, Ma."

"Good boy."

Setelah semuanya selesai sarapan, Lean pergi bersama papanya, sementara Arini pergi sendiri.

Mereka berjanji akan bertemu saat makan siang tiba.

Arini bekerja di rumah sakit sebagai dokter spesialis anak. Pasien yang dia tangani setiap harinya selalu membludak, hingga akhirnya dengan terpaksa Arini memberi batasan kuota untuk setiap harinya. Hanya 30 pasien saja.

Saat istrinya bekerja, dan anaknya sekolah, Farhan biasanya menghabiskan waktu untuk berbelanja, membeli beberapa barang untuk dihadiahkan kepada istri dan anaknya.

Selesai berbelanja, Farah menjemput Lean ke sekolah lalu mereka akan menjemput Arini.

"Aku ada pasien tiga lagi, kalian mau tunggu di luar atau mau masuk?" tanya Arini pada Farhan di telpon.

"Kami masuk saja. Aku gak akan kuat lama-lama di sini tanpa melihat kamu."

"Ish, gombalnya nanti aja. Kasian pasienku anak-anak semua. Udah, ya. Aku mau ada pasien berikutnya. Bye, Sayang."

Suster mempersilakan pasien berikutnya untuk masuk. Seorang wanita cantik dengan dua anaknya.

"Silakan, Mam."

Arini mempersilakan wanita itu masuk. Dia menggendong anaknya yang paling kecil, sementara anak yang besarnya dia genggam.

"Kenapa, Mam? wah, cantik sekali kalian."

"Anak saya yang besar alergi kacang, untung dia tidak makan banyak, jadi tidak sesak dan hanya ruam-ruam saja."

"Wah, kamu kenapa bisa sampai makan kacang? Lupa, ya." tanya Arini sambil menilai memeriksa keadaan si anak.

"Sakit gak?"

Anak itu menggelengkan kepala.

"Pinter, ya gak sakit. Nah, Sekar coba lihat lidahnya. Buka mulutnya, ya, sayang. Aaaa."

Anak itu menuruti perintah Arini.

"Oke, sudah, ya. Nanti dokter kasih kamu obat, gak pahit kok. Rasanya manis dan wangi. Pasti kamu suka."

Arini membantu anak itu turun dan memakaikan sepatunya kembali.

"Mam, nanti saya resepkan obat. Ambil di apotik. Mam keluar langsung ambil kanan, di sana ada tulisannya farmasi."

"Oh, iya, Dok. Terimakasih."

"Sama-sama."

Arini mengantar mereka sampai depan pintu, saat melihat wanita dengan dua anak itu kesulitan, Arini gegas membantunya. Setelah memastikan tidak ada lagi pasien yang menunggu.

"Mari saya bantu." Arini membawa koper wanita itu.

"Terimakasih, Dokter."

"Tidak usah sungkan."

"Nama saya Chatrin, Dok."

"Hai, Chatrin. Apa kalian baru saja sampai atau mau pergi?"

"Kami baru sampai di kota ini. Rencananya mau merayakan ulang tahun anak saya yang kecil."

"Suaminya mana?"

"Suami saya sedang menyiapkan untuk acara besok."

"Oh, iya."

Setelah mendapatkan obat, Arini mengantar mereka menuju parkiran. Memastikan mereka mendapatkan taksi dibantu satpam memanggilkannya untuk mereka.

"Hati-hati di jalan, ya."

"Dok, jika ada waktu, datanglah besok. Saya pasti akan senang. Datang saja ke hotel Marina Hall pukul tujuh malam."

"Besok, ya?"

"Kenapa? apa tidak bisa hadir?"

"Besok saya harus mengantar suami saya ke bandara. Dia mau berangkat kerja soalnya."

"Yaaah, sayang sekali."

"Tapi akan saya usahakan jika waktunya masih sempat."

"Saya akan sangat senang jika dokter datang."

"Baiklah, hati-hati di jalan."

Arini melambaikan tangan pada pasien yang baru saja dia tangani.

"Mama!"

Arini menoleh, suami dan anaknya berlari dari belakang menghampirinya.

"Kamu ke mana saja? Aku muter-muter nyariin."

"Maaf, Mas. Tadi aku habis nganter pasien dulu. Kasian dia keliatannya repot banget bawa dua anak."

"Oh, ya sudah. Ayo kita pergi makan Lean sudah lapar."

"Anak mama kelaparan, ya?" tanya Arini sambil menggelitik perut Lean. Anak itu berlari meminta perlindungan pada papanya.

Mereka berlarian di parkiran rumah sakit dengan gembira, tidak peduli meski cuaca begitu terik.

Sesampainya di restoran, mereka pun makan dengan bahagia. Mendengarkan kisah Lean saat di sekolah.

"Aku dapet ini, Ma." Lean memberikan kartu berwarna hijau mint.

"Apa ini?" Arini membuka kartu yang dilipat itu.

Tulisan khas anak kelas satu, baik tulisan maupun susunan kalimatnya belum sempurna. Arini yang tidak kuat membaca tulisan itupun tertawa terbahak-bahak.

"Apa, sih, Sayang?" tanya Farhan sambil mengamati kartu itu dari istrinya.

"Lean, aku akan berhenti makan banyak biar cantik. Kamu biar suka aku. Aku suka juga sama kamu. Semoga kamu suka aku juga. Helen."

"Papa kenapa dibaca keras-keras nanti orang denger, kasian Helen kalau suratnya dibaca orang. Nanti dia malu. Nanti gak suka lagi sama aku."

Arini semakin terkekeh.

"Loh, memangnya kenapa kalau dia gak suka lagi sama kamu? Masih ada wanita lain."

"Aku suka juga sama Helen."

Arini tidak dapat menghentikan tawanya hingga sudut matanya berair.

"Terus kamu jawab apa surat ini?"

"Aku bilang kalau aku suka sama wanita lain."

"Loh, katanya suka juga sama Helen, kenapa malah bilang suka wanita lain?"

"Aku cintanya sama mama. Aku bilang gitu sama Helen, terus dia jawab gini, 'aku juga cinta sama Daddy aku, tapi Daddy suka sama Bi Rita."

"Hah? Bi Rita? Itu makanya?"

"Bukan, Pa. Itu susternya Helen. Katanya kalau mama Helen pergi arisan ke luar negeri sama teman-temannya, Daddy Helen suka ditemenin bobo sama Bi Rita. Kata Daddy Helen, Daddy Helen takut bobo sendirian."

Arini dan Farhan terkejut mendengar ucapan Lean. Mereka panik bukan main.

"Eem, sayang. Dengerin mama, ya. Apa yang dikatakan Helen, jangan kamu ceritakan pada siapapun lagi, ya. Anggap saja itu rahasia di antara kalian. Oke?"

"Kenapa?"

"Ya jangan aja pokoknya. itu kan rahasia kalian berdua. Jadi jangan sampai bocor."

"Ooops!"

Arini dan Farhan saling menatap.

"Kenapa?" tanya Farhan.

"Tadi aku ketemu Mommy Helen, terus aku bilang kalau Daddy Helen gak bisa bobo sendiri, dia payah 'kan, Pa?"

Farhan mengangguk canggung.

"Sayang, Mommy Helen bilang apa?"

"Dia tanya aku tahu dari siapa? Aku jawab Helen yang bilang, terus Helen juga bilang sama Mommy nya kalau Daddy suka minta ditemenin bobo sama suster Rita."

Arini menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sementara Farhan memalingkan wajah sambil menghembuskan nafas panjang.

"Mama sama Papa kenapa? Sedih, ya karena rahasia kami bocor ke mommy Helen?"

Farhan mengangguk dengan raut wajah sedih seperti anak kecil.

Panggilan masuk

Farhan sudah punya firasat buruk tentang cerita Lean mengenai orang tua Helen. Untuk itu, pagi ini dia mengajak istrinya serta mengantar Lean ke sekolah.

Dan benar saja. Begitu mereka sampai, ayah Helen dan ibunya sudah menunggu di lobi sekolah. Bersama keamanan dan kepala sekolah juga.

Ayah Helen sudah terlihat marah dan hendak maju entah akan berbuat apa, namun kepala sekolah dan dua keamanan sigap menghentikan.

Arini yang ketakutan bersembunyi di belakang Farhan sambil menyembunyikan putra mereka.

"Pak, Bu. Mari ikut ke kantor saya," ajak kepala sekolah. Arini dan Farhan pun mengikuti. Sementara Helen dan Lean masuk kelas.

Ayah Helen sudah terlihat tidak tenang, dia gelisah dan terus menghentak kakinya ke lantai.

"Begini, orang tua Helen ...."

"Apa yang ibu dan bapak ajarkan kepada anak kalian? Maksudnya apa Lean berbohong dan mengarang cerita kalau saya ini ... saya dikatakan berselingkuh dengan pembantu saya. Maaf, ya, Pak. Selera saya tinggi, kalaupun harus berselingkuh, tidak mungkin dengan seorang pembantu."

"Maaf, sebelumnya. Nama pembantu anda siapa, ya?"

"Rita," jawab ibu Helen.

"Jika anak saya mengarang cerita, kenapa bisa kebetulan sekali mama pembantunya sama. Lean juga menyebutkan nama Rita pada kami."

"Ya, bisa saja itu karena Helen yang cerita pada Lean, anak kalian."

"Betul sekali. Lean memang mendengar cerita Helen dan dia menceritakannya kembali pada saya dan istri saya. Apa kalian semua ingin mendengar ceritanya? Mungkin saya akan menterjemahkan pada bahasa orang dewasa. He he he ... maklum, kalau anak-anak cerita kan suka gak tersusun rapi kalimatnya, tapi kami sebagai orang tua faham apa maksudnya. Bagaimana? Ibu mau mendengar cerita dari Helen?"

Suami istri itu saling menatap dengan arti yang berbeda. Ayah Helen menatap kesal karena takut rahasianya terbongkar, sementara ibu Helen jelas marah karena alasan yang pasti.

"Maaf saya menyela. Sebagai kepala sekolah, saya hanya ingin menengahi karena kalian ada di lingkungan yang menjadi tanggung jawab saya. Saya berharap kelanjutannya diselesaikan dengan baik-baik. Pihak sekolah tidak ada kaitannya sama sekali."

"Baik, Pak. Saya juga tidak memiliki urusan di sini. Memang ... sebaiknya urusan rumah tangga itu diselesaikan di rumah, bukan di sekolah," ucap Farhan.

"Kami permisi, Pak." Farhan mengajak Arini keluar dari kantor kepala sekolah. Mereka memanggil Arini dan orang tua Helen ke kantor karena ayah Helen terlihat marah sejak datang ke sekolah. Demi mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, pihak sekolah mengajak mereka berbicara di ruangannya.

"Saya hanya ingin memberi saran. Jika mau berbuat salah, lebih baik jangan di depan anak-anak. Mereka itu menceritakan apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka dengar. Jadi, pintar-pintar lah mengubur bangkai."

"Kurang ajar!"

"Cukup! Kita selesaikan masalah ini di rumah." Ibu Helen menyeret suaminya keluar dari sekolah.

"Dasar pria bodoh! Selingkuh kok di rumah sendiri."

"Mas ... memangnya kalau selingkuh harus di rumah siapa?"

"Di rumah selingkuhannya lah."

"Mas ...."

"Becanda sayang." Farhan mengecup pipi Arini.

"Iish! Ini sekolah tau."

"Terus di mana dong? Ke hotel, yuk."

"Aku kerja, Mas."

"Bolos aja, mending kamu ngurusin aku aja di hotel. Kita berendam air hangat dengan taburan bunga, gimana?"

"Udah, ah. Masih pagi. Rambutku aja belum kering bekas tadi malam."

Farhan tertawa. Kebahagiaan bagi Farhan adalah saat mengerjai istrinya. Melihat pipi Arini merona karena malu, membuat dia merasa senang.

"Sampai bertemu nanti siang, ya. Kalau bisa, kerjanya agak cepet."

"Kenapa, Mas?" tanya Arini lembut.

"Nanti malam aku akan berangkat lagi. Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang ada bersama kalian. Kamu dan Lean. Arini, kenapa kamu selalu bersikukuh ingin tetap di sini. Ikutlah denganku agar kita bisa selalu bersama."

"Aku juga mau, Mas. Tapi kerjaanku bagaimana? Rumah siapa yang jaga? Ibu kamu sama siapa kalau ada hal terjadi padanya? Adik dan kakak kamu jauh, cuma aku yang terbilang paling dekat."

"Ya, selalu itu alasannya."

"Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, Mas. Tapi kita harus memilih resiko yang paling kecil. Jika kita berpisah seperti saat ini, maka hanya aku dan kamu yang menahan rindu, tapi kalau kita bersama, tinggal di rumah yang sama, maka akan banyak yang kita korbankan. Mas, ibu kamu sudah tidak muda lagi, dia butuh anak yang menjaganya. Yaaa meski aku tidak selalu menemani dia setiap hari, tapi aku selalu mengunjunginya meski hanya selang tiga hari."

"Sayang ...." Farhan menggenggam erat tangan Arini.

"Terimakasih karena telah peduli bukan hanya padaku tapi juga keluargaku. Itulah sebabnya kenapa aku amat sangat mencintai kamu. Aku tidak bisa berpaling darimu."

"Itu sudah menjadi kewajiban aku, Mas. Ibumu adalah ibuku juga. Tidak ada kata mertua, semuanya menjadi orang tua setelah aku dan kamu menikah."

"I Love you." Farhan mengecup kening istrinya sebelum Arini keluar dan masuk ke rumah sakit untuk bekerja.

Telpon Farhan berdering, sebuah panggilan masuk.

"Ya, halo. Oh, siapa. Aku segera ke sana, tunggu, ya."

Farhan melakukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalan menuju sebuah hotel.

Hotel megah kelas bintang lima yang ada di kita itu. Marina hall Hotel's.

...🌺🌺🌺...

Hai, hallo.

Istri simpanan Suamiku akan tayang setiap hari sebanyak satu part, ya. Soalnya sedang mengejar part di Promise!

Selagi menunggu kelanjutan kisah Arini, yuk baca kisah Chana dan William di Promise. Promise tayang tiga part setiap harinya, woooow, seru bukan?

Makasih ya untuk kalian semua. Semoga sehat selalu dan banyak rezekinya biar bisa kirim gift untuk author 🤭🥰💜

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!