...•...
...•...
...•...
"Huff, sepertinya hari ini akan jadi hari yang melelahkan. Seperti biasanya." Gadis itu berjalan keluar dari gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk.
Tapi bagaimana lagi, hidup memang melelahkan. Jika tidak lelah memang lebih bagus mati saja dari pada hidup dengan segala keluhan yang terus keluar dari mulut, lebih baik memang tidak perlu bernafas. Ingin protes tapi hidupnya memang seperti ini.
Gadis dengan nama lengkap, Kayla Fahara Putri. Atau biasa di panggil Kayla, gadis berumur 17 tahun itu baru saja masuk sekolah menginjak kelas 3 SMA. Baru saja naik kelas, kehidupan akan jauh lebih berat dan ini baru permulaan jika menurutnya.
Sepatu yang ia pakai juga sudah lumayan tidak bisa dijelaskan, bahkan karet di bawah sepatu sudah mulai mengelupas dan lepas. Tapi gadis itu masih begitu percaya diri memakai sepatu itu, meskipun sudah di ingatkan oleh teman-temannya untuk segera ganti sepatu.
Menyuruh saja, kenapa tidak mereka belikan saja sepatu untuknya? Menyuruh tapi tidak membelikan percuma saja, lagi pula Kayla merasa sepatu itu masih layak pakai. Tidak begitu buruk bukan? Kalian juga pasti pernah mengalami hal seperti ini.
Melangkah keluar dari gerbang menuju tempat di mana Kayla bekerja seperti biasanya. Tanpa dia tahu sendiri jika seseorang tengah mengikutinya dari jarak jauh, tapi meskipun jarak membuatnya semakin membuat Kayla terlihat akan tenggelam di antara manusia di sana.
Pandangannya tidak lepas dari Kayla, dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dengan langkah santai. Tidak perlu terburu-buru, karena pada akhirnya ia juga akan memiliki gadis itu bukan? Tidak ada yang salah meskipun takdir terkesan menentang ia akan tetap bersih keras untuk mendapatkannya.
Langkah gadis itu mulai perlahan ketika ia merasa seperti ada yang memperhatikan. Mata bulatnya melihat ke arah kaca di depannya dan benar saja ia bisa melihat bayangan orang itu menatapnya, seolah tidak akan melepaskan dirinya.
Kayla langsung menoleh ke arah belakang dan hasilnya, tidak ada siapa pun dan justru hanya ada orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kayla tidak melihat orang yang sempat dirinya lihat di kaca tadi, kemana dia?
"Aku gak salah lihat kok, tadi ada orang. Kemana ya?"
Kayla terus menatap ke belakang dan tetap saja tidak ada orang yang ia lihat. Ia kembali berjalan lurus ke arah tujuannya dengan langkah cepat, ia merasa jika ada yang tidak beres jadi ia memutuskan untuk berjalan lebih cepat agar orang itu tidak mengikutinya.
Namun, kenyataan yang salah ketika lelaki itu muncul lagi dari balik dinding. Ia menatap ke arah Kayla dengan tatapan datarnya, tanpa ekspresi apa pun seolah tidak memiliki emosional sama sekali. Kembali melangkah mengikuti gadis itu, kemana kaki mungil itu pergi ia akan terus mengikuti.
'Kau pikir aku akan melepaskan mu? Tentu saja tidak, berhenti bermimpi.'
...•••...
Sudah semakin larut saja dan Kayla masih saja sibuk dengan pekerjaannya yang membuatnya begitu sibuk dengan dunianya sendiri. Sudah merasa selesai semua urusannya, gadis itu mengusap keringatnya dan menoleh ke arah jam yang menunjukkan jam 9 malam.
Di mana ia harus pulang dan menunggu karyawan yang menunggu giliran setelah dirinya. Kayla bekerja mengambil sif sore sampai jam 11 malam, hampir tengah malam. Belum, jarum panjang juga baru menunjukan angka 6, yang berarti kurang 30 menit lagi akan menunjuk ke tengah malam nanti.
Gadis itu membereskan barang-barang lagi untuk memastikan jika semua sudah pada tempatnya, jika merasa sudah selesai gadis itu segera pergi ke ruang ganti untuk mengganti bajunya. Dan keluar dengan seragam sekolah lagi, hanya saja di tambah jaket tebal karena malam ini udara semakin dingin.
"Kamu mau pulang?" Tanya Febri, lelaki itu adalah teman kerja Kayla. Dia yang masuk di sif malam sampai pagi.
"Iya, sudah mau tengah malam-"
"Mau aku antar sampai rumah?"
"Tidak apa, aku bisa sendiri saja kok. Biasanya juga sendirian." Ucap Kayla dengan santai dan kemudian pergi dari toko tanpa mendengarkan apa yang Febri katakan itu.
Kayla sudah terbiasa dengan kesendiriannya selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Keluarga? Sepertinya mereka tidak memikirkan keberadaan Kayla, mereka menganggap Kayla tidak ada dan itu pasti saja, karena Kayla merasa semua hanya terfokus kepada adik perempuannya saja dan tidak lain lagi.
Entah bagaimana besarnya nanti jika sejak kecil terus diperlakukan manja seperti itu, yakin saja jika nanti dia tidak akan bisa mandiri dengan kakinya sendiri dan akan terus bergantung kepada orang lain.
Walaupun sedih tidak mendapatkan perhatian orang tua, Kayla tetap bersyukur jika dirinya bisa hidup mandiri tanpa harus bergantung terus. Orang tuanya mengirimkan uang dan itu hanya cukup untuk kebutuhan rumah, dan sekolah saja. Makan? Kayla harus mencari cara sendiri.
Gadis itu selalu sendirian, teman pun hanya ada di sekolah itu pun tidak ada yang begitu dekat. Hanya kenal saja, sapa dan lainya. Tidak ada yang spesial di dunia pertemanan Kayla.
Kakinya melangkah terus berjalan ke arah rumahnya, sederhana saja di sebuah perumahan biasa saja. Masuk ke dalam gang yang tidak terlalu kecil atau terlalu besar, di kelilingi banyak rumah atau mobil yang terparkir di luar sana.
Kayla menatap di sekeliling, begitu sepi dan gelap. Melihat banyak anak remaja seumurannya sudah tidur, ada yang belajar dengan di temani ibu mereka masing-masing. Sukses membuat Kayla tersenyum miris, menertawai nasibnya sendiri.
"Beruntung sekali, tidak seperti aku yang terlantar ini. Hahaha, lucu sekali hidupku." Ucapnya sendiri dengan senyuman miris, tapi walaupun ia tersenyum atau bahkan tertawa.
Melihat pemandangan tadi dengan waktu sebentar saja sudah membuat hatinya menangis keras. Selalu mengatakan, kapan ia akan ada di posisi itu? Kapan? Apakah memang benar jika Kayla hanyalah anak dari hasil kecelakaan saja?
"Aku punya hati bodoh, bisa-bisanya memanggilku anak hasil kecelakaan, sialan." Terus menggerutu sepanjang jalan, sampai tanpa sengaja Kayla mendengar langkah kaki di belakangnya.
'Lagi? Ayolah, jangan seperti ini. Walaupun aku suka sekali bertengkar tapi jika seperti ini, aku juga takut sialan.'
Kayla langsung saja mempercepat langkahnya. Dan telinganya juga mendengar langkah yang sama seolah mengikuti dirinya sekarang, semakin cepat dan Kayla malah berlari membuat orang itu merasa sepertinya Kayla tahu akan kehadirannya.
Kayla berlari dengan kencang sesekali menoleh ke arah belakang, ternyata benar dugaannya tadi. Lebih dari 4 orang mengejarnya membuat Kayla berlari tanpa henti.
Tapi siapa sangka jika ada seorang lelaki berjalan santai melewati Kayla begitu saja dengan langkah jalan berlawanan arah. Lelaki itu berjalan ke arah para pria yang mengejar Kayla.
Gadis itu sudah kelewatan takut dan terus berlari tidak memperdulikan apa pun, yang ada di pikirannya adalah segera sampai di rumah dan segera tidur. Jantungnya terasa berdetak kencang ketika berlari.
Di sisi lain. Lelaki itu yang berjalan berlawanan arah, langsung menghalangi langkah keempat pria itu tanpa perasaan takut sama sekali. Topi yang menutupi hampir separuh dari wajahnya membuatnya tidak bisa di ketahui.
"Hey! Siapa kau?! Menyingkirlah dari jalan kami!"
"Kalau aku menolak, kenapa?" Ucapnya dengan santai bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu saja ia akan masuk ke dalam bahaya yang dia lakukan sendiri.
"Anak ini, akan ku hancurkan kau!" Lelaki itu melepaskan topinya dan menunjukan senyuman yang aneh, bukan wajah ketakutan yang seharusnya dia tunjukan.
Kayla masuk ke dalam rumah dengan perasaan panik, ia bahkan menutup gerbang depan serta pintu rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Membuang nafas panjang, berusaha bernafas dengan baik agar tidak sesak.
Gadis itu baru ingat akan lelaki yang melewatinya tadi, ia sedikit mengintip dari jendela dan keadaan diluar tentu saja sepi. Karena memang sudah malam dan waktunya orang-orang istirahat setelah lelah bekerja.
Bagaimana sekarang? Kayla takut jika pria-pria tadi tahu alamat rumahnya dan lalu membunuh Kayla, astaga. Apa yang gadis itu pikirkan sekarang begitu berlebihan? Tapi wajar bukan karena keadaannya berbeda dari biasanya.
Ia tidak menduga akan terjadi hal seperti ini, sekarang Kayla takut pulang sendiri. Lihat saja besok, dia pasti suka sekali salah sangka dengan orang-orang yang belum tentu melakukan hal buruk. Kebiasaan Kayla memang seperti itu.
"Bagaimana dengan lelaki tadi? Lupakan saja, aku harus segera tidur sekarang juga." Kayla berlari ke kamarnya, dan langsung bersembunyi di balik selimut tebalnya tanpa mengganti bajunya.
...•••...
Di tempat lain, ia berdiri dengan tatapan datar di antara pria-pria itu yang bergeletakan di atas tanah. Entah apa yang mereka lakukan sekarang? Sepertinya mereka tidak sanggup lagi melawan lelaki di depannya.
Dia berjalan melewati orang-orang itu begitu saja, tapi satu orang yang belum ia habisi sudah menghindar dari hadapannya. Lelaki itu berlari ketika pria itu juga berlari menghindari dirinya, dengan satu tendangan tepat di punggung pria itu seketika tumbang.
"JANGAN APA-APAKAN AKU! AKU MOHON! AKU JANJI TIDAK AKAN MELAKUKAN ITU LAGI!"
Lelaki itu tidak menjawab, ia hanya membungkuk dan menarik kaos pria itu dengan kasar. Bagaimana rasanya sekarang? Siapa yang menyuruh mereka menganggu apa yang sudah menjadi miliknya?
"Siapa yang menyuruhmu?" Hanya satu pertanyaan yang membuat pria itu seketika kehilangan semua bahasa yang ada. Ia harus berkata jujur atau tidak, lelaki itu akan tetap tahu semuanya. Percuma saja, tapi alangkah lebih baiknya mengaku saja.
"Aku di suruh tuan Jung." Ucapnya dengan nada suara gemetaran tidak dapat menyembunyikan perasaan takutnya itu, terlihat jelas dan bahkan dari suara saja dia sudah jelas ketakutan.
"Jung? Jung Jeffry?"
"Iya, lepaskan aku-"
Brug!
Satu pukulan mengenai pria itu membuatnya terletak tidak berdaya di atas tanah, wajahnya babak belur bahkan termasuk teman-temannya yang lain juga merasakan hal yang sama. Lelaki itu mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke arah pria itu yang sudah ketakutan setengah mati.
"Jangan bunuh aku, aku mohon." Lelaki itu hanya tersenyum, ia menatap pria itu dengan tatapan tidak dapat dijelaskan bagaimana tapi itu menakutkan.
"Aku tidak membunuhmu, tapi aku akan mengakhiri hidupmu."
Tidak ada suara kecuali sebuah peluru menembus kepala itu, darah muncrat tepat di wajahnya membuat suasana semakin menakutkan. Lelaki itu melangkah mundur beberapa langkah, ia menatap ke arah kamera pengawas dengan tatapan datar.
Dan sampai di mana ia pergi dari sana, dan tentu saja kamera penjaga. Sebuah pusat di mana ada penjaga yang akan menjaga setiap kamera yang ada. Dia melihat aksi lelaki tadi yang menggunakan topi tadi, ia panik dan akan menelpon polisi untuk melapor.
Tapi baru saja ia mencari dan menemukan telpon yang dia cari sejak tadi. Dia sudah menekan semua tombol darurat dan ketika hendak mengangkat telponnya, sebuah tangan menahannya membuat penjaga itu terdiam.
Ia menoleh ke arah samping dengan penuh perasaan takut, dan bisa di lihat lelaki yang dia lihat tadi sudah berada di dekatnya. Matanya melirik ke arah pintu yang terbuka, penuh dengan darah dan ia yakin semua darah itu adalah milik dari rekannya.
"Mau menelpon seseorang tuan?" Ucapnya dengan senyuman yang begitu menakutkan, pria itu menggelengkan kepalanya. Tapi terlambat ketika ia hendak melarikan diri, sebuah pisau terlebih dahulu menusuk bagian perutnya dengan begitu dalam.
Tusukan yang berada tepat di belakang, mata pisau itu bahkan terlihat olehnya yang berarti menembus tubuhnya. Lelaki itu mendekat dan berbisik tepat di telinganya.
"Aku akan membebaskan mu, tapi dengan satu syarat." Pria tua itu gemetaran bukan main, ketika lelaki muda itu mulai semakin memperdalam tusukan pisaunya. Membuat darah seketika keluar dari mulutnya.
"Berikan matamu untuk ku." Ucapnya dan pria itu tidak bisa berkata apa-apa lagi karena ia terlalu merasakan sakit yang teramat di perutnya yang di tusuk.
Ketika pisau itu di cabut membuatnya ambruk ke lantai dengan keadaan masih setengah sadar, lelaki itu seperti membiarkannya dan dia lebih memilih untuk mengotak-atik semua layar kamera pengawas itu, bahkan membawa rekaman cadangan yang ada dan pria itu merangkak hendak keluar dari sana.
"Tolong-" Pria itu kembali di tarik oleh lelaki itu, dan dengan cekatan ia langsung membanting pria itu tanpa ampun sama sekali.
"Kenapa kau keras kepala sekali? Aku bahkan belum mengambil bola matamu itu." Kalimat itu sukses membuat jantungnya seolah berhenti berdetak, bagian lehernya yang di cekik dan badannya yang di tindih lelaki itu.
Matanya melotot ketika tangan lelaki itu mulai mendekat dan mencongkel matanya. Darah mengalir begitu saja tanpa hambatan apa pun, ia juga menarik bola mata itu tanpa berpikir panjang dan menarik bagian saraf mata itu dengan kasar sampai terputus.
Bukannya panik atau khawatir akan polisi yang akan datang, pemuda itu justru malah tersenyum senang. Ada apa dengannya? Ia melempar bola mata itu begitu saja, dan mendekat ke arah pria itu lagi.
"Bola mata mu ternyata jelek sekali, tidak jadi aku ambil. Terima kasih sudah pasrah ya." Ia tidak bisa berteriak karena cekikan lelaki itu yang begitu kencang.
Pemuda itu beranjak dan kemudian berjalan dengan santai keluar dari area tersebut, meninggalkan hampir 5 mayat pria di sana dalam keadaan mengenaskan.
Berjalan santai ke rumahnya, menaiki mobilnya dan begitu santai ia kembali ke rumahnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Masalah kamera CCTV tadi sudah ia tangani, ia jeda selama 10 menit membuat kendaraannya tidak akan terekam. Memori cadangan rekaman juga sudah ia ambil, tidak ada yang akan bisa mengakses kamera itu kecuali dirinya saja.
Lelaki itu tersenyum dengan wajah berlumuran darah tapi tidak ada luka sama sekali. Ia bahkan tertawa ketika mengingat apa yang dirinya lakukan itu kepada semua orang tadi, menyenangkan baginya setidaknya cukup hiburan.
"Semua sudah selesai, kamu pasti ketakutan bukan? Aku tahu, aku akan membuatmu merasa aman di dekat ku." Ucapnya sendiri, ia menatap ke arah foto yang terpasang di gantungan kunci kaca spionnya.
Gadis manis dengan senyuman indahnya membuat lelaki itu tergila-gila sampai bodoh seperti ini. Ia tidak menghiraukan darah yang berada di sarung tangannya.
"Tidak ada yang boleh menyentuhmu selain aku, kau hanya milik ku."
Kayla baru saja memasuki area sekolah dan menuju ke koridor dengan niat ke kelas pagi hari, bukan terlalu pagi sebenarnya. Sudah jam 7 pagi tapi masih saja gerbang di buka, mungkin saja ada tamu penting sampai tidak di tutup gerbang seperti biasanya.
Gadis itu berjalan dengan santai, dengan lagu yang mengiringi langkahnya tapi mendadak ia berhenti melangkah karena banyak sekali gerombolan siswa yang tengah mengerumuni sesuatu.
Pada dasarnya Kayla memang memiliki jiwa penasaran yang tinggi, jadi gadis itu mencoba menerobos kerumunan itu dan melihat adegan yang seharusnya tidak ia lihat. Gadis itu melepaskan headsetnya agar ia bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Hampir 4 orang tengah merundung salah satu murid, yang Kayla tahu dia tuli. Jadi dia mendengar karena bantuan alat yang dia pakai di telinganya, jika tidak di pakai ia juga tidak bisa bicara dan hanya bisa menggunakan bahasa isyarat.
"Hey! Kau bisa mendengarkan tuli?" Ucap salah satunya yang Kayla tahu jika namanya adalah Yohan, dia adalah pimpinan kelas angkatan terakhir sedangkan teman-temannya satu angkatan dengan Kayla.
Melihat jika lelaki itu tidak melawan sama sekali dan hanya pasrah padahal wajahnya sudah babak belur, bahkan sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah. Gadis itu melirik ke seluruh sudut koridor terdapat kamera pengawas di sana dan, tidak ada yang datang satu pun?
Ketika Yohan memaksakan alat itu terlepas dari telinga lelaki itu, padahal dia sudah berusaha agar Yohan tidak mengambil alat pendengarannya tapi dia memaksa.
"Lepaskan tanganmu itu, atau akan ku buat kau lumpuh." Ucapnya tapi tidak membuat lelaki bernama lengkap Brian Aldiwijaya itu pantang menyerah tidak mau melepaskan alat pendengarannya itu.
"MEMBANTAH KAU!-"
Sebuah pukulan terlebih dahulu sudah mendarat ke kepala Yohan, seseorang itu berdiri dengan angkuh dan melirik ke arah Brian yang sama sekali tidak bisa berbuat apa pun. Terkejut siapa pelaku yang sudah memukul Yohan? Kayla.
"Merundung yang lemah? Pengecut dari planet mana kau ini?" Ucapan Kayla membuat satu koridor terdiam, bahkan semua penonton terdiam bahkan tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali.
Sedangkan Brian menatap ke arah Kayla dengan tatapan penuh arti, sampai tatapannya bertemu dengan gadis itu secara langsung.
"Berdiri." Brian tidak tahu apa yang Kayla katakan, karena mungkin ia baru sadar akan sesuatu. Kayla mengulurkan tangannya ke arah Brian dan membuat lelaki itu menerima tangannya dengan tangan gemetaran.
"Kau lagi." Ucap Yohan, membuat Kayla dengan penuh sanjungan tersenyum dengan manis.
Ia tidak merespon dengan jawaban apa pun kecuali senyuman, memang Kayla yang selalu menghentikan aksi Yohan. Memangnya siapa yang mau melihat pemandangan penyiksaan itu? Termasuk Kayla juga tidak suka.
"Ya begitu lah, lama tidak memukulmu tapi aku lega karena sudah membuat wajah sok tampan mu itu memar." Tidak ada rasa bersalah sama sekali, dan untuk apa merasa bersalah hanya karena memberikan satu pukulan untuk menyadarkan manusia seperti Yohan.
Harusnya Yohan berterima kasih kepada Kayla karena sudah membuatnya sadar hanya karena satu pukulan yang selalu tepat sasaran, Kayla melirik ke arah alat mungil yang terjatuh tidak jauh darinya. Ia mengambilnya, dan melihat alat itu sudah pecah.
Gadis itu membuang nafas panjang, ia menatap ke arah Yohan yang masih menatapnya dengan tatapan tidak suka. Biarkan saja, lagi pula Kayla tidak masalah akan tatapan itu. Ia sudah mulai bosan dengan sikap Yohan yang selalu saja bertingkah seperti anak kecil padahal dia mau lulus.
"Aku akan bilang kepada ayahmu, mengganti alat pendengaran ini atau jika kau menghalangi ku, akan ku pastikan telinga mu tidak akan selamat." Ucap Kayla sebagai peringatan, ia menarik Brian dan membawa lelaki itu menjauh dari sana.
Melewati empat lelaki itu begitu saja tanpa perasaan takut, untuk apa takut? Lagi pula ayah Yohan sudah memberikan kepercayaan kepada Kayla untuk melaporkan apa saja yang Yohan lakukan di sekolah. Lumayan dapat uang setidaknya sedikit saja, mengurangi beban Kayla sedikit.
"Aku ingin berkata kasar, tapi kau tuli." Brian tidak tahu apa yang Kayla katakan karena alatnya sudah rusak itu pun Kayla yang pegang.
Lelaki itu menatap ke arah di mana gadis itu menggenggam tangannya, tentu saja dengan ukurannya yang jauh berbeda tapi lebih mendominasi walaupun tidak sesuai. Dia diam-diam tersenyum, merasa senang karena ia bisa dekat dengan seseorang yang dia suka selama ini.
"Aku akan melaporkan semua ini." Entah apa yang Kayla katakan, tapi Brian terlanjur berharap jika gadis itu akan membebaskan dirinya dari jeratan dunia yang kejam ini.
...•••...
"Sekarang apa lagi?" Kayla memutar bola matanya malas, ia melemparkan alat mungil yang dia bawa dan melirik ke arah lelaki di sampingnya.
Masih dengan keadaan kacau, bahkan seragamnya sangat kotor karena ulah perundung gila itu. Jangan tanya bagaimana keadaan Brian sekarang, meskipun ia sudah bebas karena Kayla datang dan membawanya pergi.
Keadaan wajahnya tidak akan berubah, wajahnya babak belur nyaris tidak berbentuk lagi. Tidak ada yang tahu bagaimana wajah asli Brian, karena setiap saat lelaki itu terus mendapatkan luka. Entah di wajah ataupun tubuhnya.
"Apa alat pendengarmu di rusak oleh anak saya?"
"Dia tidak bisa mendengar."
"Yasudah, anggap saja saya bicara dengan kamu, Kay. Saya akan mengganti alat pendengarannya itu, Kayla bisa kamu kemari?" Kayla sebenarnya sudah malas tapi ia tetap saja menurut.
Ia menerima beberapa uang untuk membeli alat itu, tidak seberapa sekali. Kayla hampir saja protes tapi dia justru mendapatkan ancaman, karena gadis itu pada dasarnya malas membuat keributan meskipun dia suka melakukannya.
Kayla melangkah mundur, ia menatap ke arah Brian. Tatapan Brian begitu polos, membuat Kayla terkadang merasa kasihan dengan lelaki itu.
"Aku pergi." Kayla langsung menarik tangan Brian, padahal Brian belum memberi hormat kepada kepala sekolah. Kayla tidak memberikannya ruang untuk salam dulu, langsung menarik Brian dan mengajak pemuda itu keluar dari ruangan itu.
Gadis itu sepertinya kesal sekali, bahkan ia tidak habis pikir. Uang itu, mana cukup untuk membelikan alat pendengar itu, alat itu pasti sangat mahal Kayla yakin itu. Padahal pria tua tadi juga banyak uang, kenapa tidak memberikan Kayla bonus juga karena sudah memberikan laporan? Dasar memang pelit.
"Aku tidak bisa bahasa isyarat, jadi aku harus apa ketika bicara dengan mu?" Kayla bahkan langsung menghadap ke belakang tanpa aba-aba, membuat Brian terkejut dan dia reflek melangkah ke belakang karena ia juga tidak mau membuat Kayla terjatuh karena ulahnya juga.
Kayla hanya diam menunggu jawaban Brian, lelaki itu tetap tidak paham. Sampai di mana Brian paham dengan tatapan Kayla itu, ia menunjukan buku kecil yang sering dia bawa dan memberikannya kepada Kayla. Gadis itu awalnya juga tidak begitu paham tapi dia menerima buku kecil itu beserta pulpen di sana.
Ia melihat beberapa tulisan, yang dia tahu adalah tulisan guru-guru. Kayla melirik kearah Brian dan kembali membaca beberapa tulisan yang tertulis di atas kertas itu.
"You have no friends? Malang hidupmu." Kayla menuliskan sesuatu yang ingin ia katakan kepada Brian dan lalu memberikannya kepada lelaki itu setelah selesai menulis.
Brian membaca dan ia menulis sebagai balasan ucapan Kayla tadi. Ia tidak tahu harus menulis apa, tapi ia benar-benar gugup ketika ia terus mendapatkan tatapan dari Kayla. Pada akhirnya Brian menunjukan hasil tulisannya kepada Kayla.
"Seharusnya kau tidak di sini, bro." Brian bingung, walaupun ia sedikit bisa membaca gerakan bibir Kayla. Apa maksudnya?
Melihat tatapan polos dari lelaki itu membuat Kayla merasa ada yang janggal, ia membuang wajah ke arah lain dan enggan menatap balik ke arah Brian.
"Lupakan saja, kembali ke kelas saja." Kayla pergi meninggalkan Brian yang masih berdiri mencerna apa yang Kayla katakan, berawal dari tatapannya yang begitu lugu dan polos.
Sampai ketika darah mengalir dari hidungnya, secara mendadak ekspresi Brian berubah drastis dengan yang sebelumnya. Pemuda itu tersenyum dengan senyumannya yang tidak pernah siapa pun melihat.
"Your it's mine."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!