NovelToon NovelToon

Thief Of Boundless Strings

Chapter 0 End of Road

Dalam hidup yang telah aku jalani, aku akhirnya menyadari hal yang penting. Esensi sebenarnya dari sebuah hubungan. Jalinan persahabatan dan cinta yang aku pikir merupakan sesuatu hal spesial, kenyataannya tak lebih dari sebuah ilusi yang datang dalam waktu singkat.

Yang aku kira kuat ternyata amat rapuh, yang terlihat indah namun kenyataannya begitu menjijikkan.

Melalui lembaran waktu kini aku dapat melihat semua dengan jelas. Bagaimana sebuah keterikatan itu memudar secara perlahan. Perspektif salah yang berakar dari perasaan sentimental.

Persahabatan yang aku duga tak terpatahkan kenyataannya hanya sebatas hubungan saling menguntungkan. Cinta yang aku banggakan tak lebih dari ilusi yang tercipta dari permainan melankolis.

Dan seiring berjalannya waktu, seperti terbangun dari mimpi yang panjang, ikatan yang semu itu lenyap begitu saja.

Tersisa banyak cerita manis, tapi semua itu tak lagi berguna. Coretan kebahagiaan, bergandengan tangan, tertawa tanpa alasan jelas, menangis karena hal remeh, hingga ketika melakukan hal gila yang tak masuk akal. Semua itu hancur berkeping-keping tersimpan dalam sebuah kotak hitam yang aku sebut sebagai penyesalan.

Mataku mulai terbuka saat kami dihadapkan dalam sebuah persimpangan. Mereka yang berjalan ragu tanpa menoleh. Mereka yang terus berlari maju dan meninggalkan aku sendirian.

Sementara aku disini tidak pernah bisa menarik langkah. Terdiam, tidak berubah, detak waktu statis menyanderaku. Atau aku mungkin hanya takut. Berdiri ditimpali hati yang kosong, tertawa dan ditertawakan waktu itu sendiri. Setia menunggu mereka kembali.

Sampai pada batasnya, aku kehilangan keluarga yang merupakan tempat satu-satunya berpijak.

Aku pun tanpa berpikir panjang memilih untuk mengakhiri semuanya.

Masa-masa indah SMA yang terlupakan, aku kembali menggali ingatan kecil itu melalui sebuah perjalanan terakhir.

Angin menghempas, menyapu kasar rambutku. Aku yang membenci kebut-kebutan untuk pertama kalinya memacu sepeda motorku hingga spedometer melewati angka seratus. Mengenakan baju putih dan celana abu-abu yang sudah kesempitan.

Suara sirine lantang terdengar memekakkan. Aku menoleh ke arah kaca spion. Satu mobil dan dua motor polisi mengejar.

Apa polisi mengejarku karena tidak memakai helm? atau mungkin karena aku menerobos Fly over yang belum rampung? Entahlah, yang jelas aku sudah tak bisa berhenti.

Aku melepaskan tangan dari stang motor dan mulai merentangkan tangan selebar mungkin.

Sebuah penghujung jalan berada didepan mata. Patahan jalan yang belum terhubung. Ada seutas tali penghalang menghadang didepan, tapi aku sama sekali tidak mengurangi kecepatan. Andai saja bisa selamat dari aksi berbahaya ini, pasti momen selanjutnya akan menjadi momen terkeren dalam hidupku.

Aku membayangkan sebuah akhir yang menanti, kematian.

Motorku terlepas menjauh. Tidak ada gerakan slow motion seperti yang biasanya terjadi dalam sebuah film, game atau anime. Gravitasi terlalu angkuh untuk ditaklukkan. Semuanya terjadi hanya dalam sekali hembusan nafas.

Telinga berdengung hebat saat menghantam tanah, rasa perih dan nyeri yang menyiksa, semuanya berpadu menjalar ke sekujur ragaku tanpa ampun. Hanya saja, mungkin karena geger otak, aku tak lagi punya kuasa untuk merintih sedikit pun. Yang bisa aku lakukan hanya memandangi aspal yang tidak rata dengan mulut ternganga.

Dalam sudut pandangku kematian datang pelan dan menyakitkan.

Gumpalan darah perlahan menggenangi aspal dalam penglihatan. Dadaku mulai terasa sakit luar biasa. Nafasku terasa berat, tenggorokanku terbakar.

Pada sebuah batas toleransi, aku kehilangan kemampuan seluruh inderaku. Sampai akhirnya kegelapan menjadi satu-satunya temanku.

Namun sayangnya keheningan yang aku cari itu tidak bertahan lama.

Percikan cahaya keunguan mencelat melewati kegelapan. Tanpa sebab yang bisa aku mengerti, aku bisa kembali menghembuskan nafas. Jari-jariku kembali bisa digerakkan. Hidungku memang masih mencium bau anyir darah, tetapi anehnya rasa sakit lenyap tak berbekas.

Darah itu bukan lagi milikku, Genangan yang membentuk danau didepanku dihasilkan oleh tumpukkan mayat yang bergelimpangan. Ribuan jasad terkapar, tertusuk tombak, pedang dan anak panah. Jasad-jasad tak berdaya terbaring di atas gugusan bukit-bukit gurun keemasan yang tampak asing.

"Katakan, kamu berasal dari dunia seperti apa?"

Gadis manis berkulit gelap menutupi sebagian besar cahaya dalam pandanganku. Aku terpaku beberapa saat. Senyum yang ramah dan polos. Mata hijau bulat sayu yang menghadirkan ketenangan batin. Aku tidak yakin berada di surga, karena pemandangannya sungguh tidak menggambarkan keagungannya. Namun jika neraka sungguhlah tempat ini, mengapa seorang bidadari bisa terjebak disini?

Ketika aku sepenuhnya meraih kesadaran, aku sudah terlena di atas pangkuannya. Tak berkeinginan untuk bangkit, aku berlindung dalam dekapan kasihnya.

"Aku tidak ingin mati.." Aku menangis seperti anak kecil.

Gadis itu menggenggam tanganku lalu berkata;

"Hiduplah, dan nikmati tiap detiknya."

Chapter 1 Goodbye Mr Assassin

Api menyembur melalui moncong pelantak tubruk yang berhasil menembus pintu benteng. Prajurit terhempas dan terlindas, sementara sebagian lainnya berlarian panik dengan tubuh terbakar. Tangisan, teriakan serta tawa kegilaan semuanya menjadi tumpang tindih.

Di kedua sisi benteng kota, musuh sudah berhasil merapatkan menara dorong ke dinding benteng. Pasukan yang bertahan mulai kewalahan, tak lagi mampu menahan terjangan sabetan pedang dan kampak lawan. Lusinan prajurit jatuh terjerembab dari ketinggian, darah merembes membanjiri parit.

Para penduduk yang tak sempat mengungsi hanya bisa pasrah, meringkuk di dalam rumah atau sudut-sudut ibukota. Kebencian, ketakutan serta keputusasaan menaungi pihak yang rentan.

Meski demikian sisa pasukan kerajaan Luminas masih tak mau menyerah. Pasukan Elite segera bergegas mundur ke dalam istana demi melindungi anggota kerajaan. Para Priest berusaha menyembuhkan prajurit yang terluka, White Knight gagah berani menerobos kerumunan lawan demi mengulur waktu. Mage merapalkan sihir ilusi dan tanah berupaya membuat bingung lawan dengan sisa Mana yang masih tersisa. Sedangkan Archer dan Hunter mengintai pergerakan musuh dengan seksama, sembari sesekali memberikan tembakan bantuan dari menara-menara istana yang tinggi menjulang.

Tapi kenyataannya aksi heroik mereka hanya upaya putus asa. Semua demi melindungi secercah harapan dari kebangkitan kerajaan tersebut suatu hari nanti. Para prajurit yang tersisa dengan senang hati akan menukar nyawa mereka demi hidup pewaris tahta.

Kekalahan Luminas sudah diputuskan, setelah ibukota kerajaan terkepung 700 ribu pasukan bersenjata lengkap.

Malam terakhir untuk Kerajaan makmur, Negara yang mencintai perdamaian lebih dari negara manapun. Kemalangan yang sama sekali tidak diduga siapapun.

"Tapi yah, apa peduliku?"

Mungkin aku akan kehilangan lapak untuk mencari kepingan emas, tapi aku tidak terlalu bodoh untuk ikut-ikutan melindungi kerajaan orang, toh aku juga bukan orang asli sini. Tepatnya--Bukan dari dunia ini.

Beruntung aku tak sengaja menemukan jalan rahasia melalui gorong-gorong. Jalan yang aku temukan ketika berburu Giant Rat beberapa hari lalu. Kabar buruknya aku tidak sempat menyelamatkan barang-barangku yang masih tertinggal di penginapan. Ya daripada mati membusuk di sini, lebih baik aku kehilangan barang yang tidak seberapa.

Dalam hati aku berharap, semoga master Yuri juga bisa selamat. Dia adalah Thief veteran yang mengajarkan aku banyak hal. Dari bagaimana cara bertahan hidup di dunia asing ini, ilmu pertarungan jarak dekat, penguasaan medan ketika berburu, cara mendeteksi bahaya serta berbagai hal penting lainnya. Aku tidak akan pernah melupakannya, dia juga satu-satunya orang yang mengetahui asal-usulku yang sebenarnya.

Yuri merupakan guru yang keras. Aku pernah berulang kali dibanting karena kesulitan menguasai jurus Ankle Break. Saat pelajaran tehnik Backstab pun dia juga mematahkan beberapa tulang rusukku. Mungkin sebagian besar kenangan yang aku ingat adalah rasa sakit, namun aku tahu semua itu sangat berarti. Aku bisa bertahan sejauh ini semua karena jasa-jasanya.

Meski kodratnya guruku adalah seorang wanita, Yuri tak pernah menonjolkan daya tariknya. Aroma alkohol pekat selalu tercium saat berada di dekatnya. Rambutnya hitam, kusut, dan tak terawat. Kelopak mata yang menyerupai panda akibat jarang tidur. Meski begitu beliau adalah wanita baik. Saat aku hampir menyerah, dia selalu memberiku pijaran semangat. Kadang menghapus air mataku saat hari mulai terasa berat. Serta merawatku tanpa bayaran ketika terluka parah.

Jangan mati Yuri. Aku belum menyampaikan perasaanku yang terpendam.

Aku sebelumnya menandai cabang lorong dengan bekas goresan. Jadi seharusnya aku tidak akan tersesat. Aku sudah dua kali berkelok, seingatku jika melewati satu persimpangan lagi, aku akan tiba disaluran air utama.

Tinggal lurus saja, aku akan tiba di sungai Ivis. Jika menyisir sungai sampai ke hulu, aku akan tiba di desa Alben. Tidak ada kedai minum yang bagus di sana, tapi karena letaknya yang dekat dan jarang dikunjungi para pelancong, Alben adalah satu-satunya pilihan bijak. Di desa itu aku bisa mengawasi keadaan terlebih dahulu. Bersantai sejenak tanpa menarik perhatian, mengumpulkan bekal sambil menyusun rencana berikutnya.

Suara jeritan tiba-tiba terdengar. Langkahku pun terhenti seketika.

"Aku tidak perlu ikut campur. Tinggal sedikit lagi aku bisa kabur. Itu mungkin cuma perasaanku saja, itu cuma suara Giant Rat yang lagi kawin," aku berbicara sendiri mencoba meyakinkan diri.

"Jangan sentuh dia berengsek!"

Bunyi kelontang bergema pada sebuah sudut lorong gelap. Suara desingan logam yang berbenturan membuat degup jantung berdebar kencang. Tak lama setelah jeda sunyi singkat, suara rintihan kematian terdengar lantang.

"Liat dulu deh. Siapa tahu ada yang meninggalkan barang berharga," bisikku pelan.

Aku mengaktifkan skill Hiding. Langkahku menjadi begitu ringan, nafasku perlahan melambat. Diselimuti keremangan aku berjalan pelan, tanganku merambat dinding berlumut. Bergerak tanpa secuil suara pun. Mendekat menuju asal suara yang menelisik rasa ingin tahu.

Setidaknya ada dua pijaran api yang tampak dari kejauhan. Aku mulai menunduk dan merangkak penuh kehati-hatian.

Aku mendongak pada sebuah sudut, mataku bergerak cepat, memperhatikan detail dalam waktu singkat.

"Empat Swordman, satu Archer, satu Hunter dan satu lagi pria berzirah hitam," aku kembali menarik kepalaku. "Serius deh mending kabur saja," aku mengelus-elus dada, mencoba menghentikan detak jantung yang tak terkontrol.

Aku mulai menjauh. Ini bukan urusanku. Aku mundur pelan-pelan. Hidupku masih panjang, aku masih ingin menikah. Punya banyak anak, mungkin dua sudah cukup. Satu laki-laki satu lagi perempuan. Setelah itu akan membeli sepetak ladang. Hidup berleha-leha di rumah sampai nunggu panen. Bertengkar dengan istri yang cemburu sama istri tetangga. Memancing ikan saat anakku sudah agak dewasa. Bikin adik lagi. Mengantar anakku kepelaminan. Menghajar menantu yang membuat anakku menangis. Punya cucu, memancing dengan cucuku, dan seterusnya.

"Mungkin setelah itu aku akan kawin lagi," aku terkekeh geli. "Duh! Sakit! perasaan tidak ada tembok di sini tadi?!"

"Memang tidak ada..."

Bahuku seketika bergetar. Aku pelan-pelan mengangkat daguku ke atas. Bodohnya aku. Karena keasyikan nge-halu, aku jadi tidak bisa merasakan keberadaannya. Pria tinggi kerempeng berdiri menghadangku. Sebagian wajahnya tertutup masker dan tudung merah, hanya matanya yang tampak. Sepasang bola mata coklat berkilat yang memancarkan keinginan membunuh yang dahsyat.

"Oh om Assassin! Piye kabarnya om, sehat? Anjay om, tadi itu Skill Stealth ya? Mantap banget om. Cius dah om, aku sama sekali enggak sadar. Kalau aku mah cuma bisa Skill Hiding, itu juga masih level rendah om, maklum om, aku kan Thief abadi. Sebenernya sih pengen banget naik level jadi Assassin om, tapi apa daya om, kita mah cupu. Ini aku jadi Thief aja kayanya bentar lagi mau di DO..."

Aku meracau tidak karuan. Tamat sudah. Ini semua karena rasa ingin tahuku. Jika saja aku tidak bertindak bodoh dan keluar dari ibukota secepatnya, mungkin aku bisa hidup sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Tetapi sekarang malaikat pencabut nyawa berdiri di depan mata.

Tamat sudah. Aku tidak mengira akan dibunuh seorang Assassin. Kalau boleh memilih, aku ingin mati ditangan wanita cantik. Om-om dengan lengan kerempeng dan dekil sama sekali bukan tipeku.

"Apa aku akan mati digorok? atau ditusuk dengan skill Backstab dari belakang? yang manapun sepertinya sama saja," dalam hati aku sudah pasrah.

Anehnya Assassin di depanku masih tidak bergeming. Dia hanya mematung, menatapku dengan sorot mata mengerikan.

"Ya udah aku permisi dulu ya om, aku kebelet boker nih!" aku menarik langkah menyamping bak kepiting sambil menutupi bokongku, berusaha menghindari kemarahan om Assassin. "Duluan ya om!"

"Tunggu dulu bocah pencuri!" jemari tangan Om Assassin yang panjang kerempeng mencengkram tengkukku.

Mampus sudah.

Assassin menyeramkan melemparku dengan kasar. Aku pun jatuh tersungkur tepat di kaki dua wanita cantik yang berdiri gemetaran.

"Aku menemukannya di sana sepertinya dia menguping," ujar om Assassin.

"Pengawal putri? atau mata-mata kesultanan Zahrim?" tanya rekan om Assassin yang sepertinya seorang Archer.

"Tak ada pilihan. Kita bunuh saja," jawab om Assassin dingin.

Gawat aku berada diujung tanduk. Gara-gara salah paham aku bisa mati. Aku tidak mungkin menang melawan mereka semua. Semuanya kelihatan sangat terlatih. Disenggol sedikit saja, aku mungkin bisa langsung tewas. Dan yang tampak paling berbahaya dari kelompok dihadapanku adalah pria berzirah hitam yang hanya mengawasi dari belakang. Apakah dia seorang Dark Knight, Wyvern Rider, atau Blademaster, aku sama sekali tidak bisa menebak. Yang pasti dan sudah jelas levelku jauh di bawah sosok itu.

Kelompok itu sudah menutup jalan untuk kabur. Om Assassin tetap di samping belokan tempat dimana aku bersembunyi sebelumnya. Sementara yang lainnya berdiri menghadang jalan di depanku. Jalan satu-satunya cuma lorong panjang yang berada dibelakangku. Celakanya dari kejauhan terdengar bunyi gemericik air yang berbenturan. Dari suaranya, firasatku mengatakan hanya jurang tinggi dan curam lah satu-satunya pilihan terakhirku. Kemungkinan selamat sangat kecil, belum lagi aku tidak bisa berenang.

"Tunggu dulu om-om sekalian, aku ini cuma kebetulan lewat. Sumpah deh om, aku ini cuma Thief miskin, sampah generasi micin. Liat nih bajuku aja udah bolong-bolong gini," aku dengan bangga memperlihatkan lubang pada bagian ketiak pakaianku. "Kalo engga gini aja om. Damai aja gimana? Jangkrik Bos!" aku merogoh kantung koin yang sebenarnya cuma berisi satu koin perunggu, tapi agar kelihatan lebih berisi, berat, dan supaya tidak kelihatan seperti orang susah aku terbiasa memasukan beberapa krikil ke dalam kantung koin tersebut.

"Micin? Jangkrik Bos? apa maksudnya?" Om Archer tampak bingung. Tapi setelah aku mengepalkan kantung koin ke telapak ya, dia pun tersenyum lebar.

"Makan tuh satu perunggu, buat makan aja engga dapet. Paling dapet minum doang, itu juga cuma air putih. Kembung-kembung dah tuh perut, rasain!" kataku dalam hati sambil menahan gelak tawa.

"Kalau begitu..." Pria berzirah akhirnya mengeluarkan suara. Dia kemudian melemparkan pedang pendek ke arah aku berdiri. Bunuh pelayannya! Kalau kau membunuhnya, aku akan membiarkan kau pergi," pria berzirah hitam menunjuk wanita berseragam Maid yang sedari tadi melindungi gadis dibelakangnya dengan sebilah pisau dapur.

Akhirnya ini kesempatanku. Aku masih bisa hidup. Ada jalan keluar dari kesalahpahaman ini. Lagipula ini bukan kali pertama aku membunuh manusia. Aku pernah menghabisi beberapa bandit sebelumnya. Uhhh. Sebenarnya kalau diingat-ingat itu semua bukan pengalaman yang menyenangkan, aku ingin muntah setiap kali mengenangnya.

Aku memungut pedang didepanku. Lalu kemudian menghampiri wanita berseragam Maid lengkap. Rambut hitam pendek yang menawan. Tahi lalat kecil dibawah mata yang memberi kesan manis. Bibir yang agak tebal dan berwarna merah muda. Dan dia tampak begitu dewasa karena memiliki lekuk tubuh proporsional.

Sayang sekali dia harus mati. Aku harap dia bisa memaafkanku. Aku harap dia juga tidak dendam padaku. Kalau aku tak ada pun, pasti dia juga akan mati ditangan mereka. Aku juga tak terbiasa dengan hal-hal heroik. Dicari kemanapun pasti tidak ada jalan keluar. Ini seperti persimpangan hidup dimana kematian berada pada setiap sisi.

"Tolong terima ajalmu..." Tanganku gemetaran.

Aku hanya perlu menusuk pedang ini tepat di jantungnya. Tunggu aku tidak bisa, itu akan merusak keindahan tubuhnya. Aku mungkin bisa memberikan kematian cepat dengan mengiris tenggorokannya. Tapi kalau aku meleset nanti malah akan membuatnya mengalami kematian yang mengerikan.

Sanggup atau tidak, lebih baik aku coba dulu. Sayang sekali aku tidak bawa racun, padahal bisa lebih praktis.

"Ya ampun ini sulit," aku mendesah panjang. Tanganku kian bergetar hebat.

Sudahlah lupakan saja. Persetan dengan semua ini. Kalau ingin mati, setidaknya aku bisa mati dengan keren. Seorang Thief juga setidaknya punya satu atau dua kebanggaan.

"Kalian bisa berenang tidak?" bisikku pelan.

"Apa?" wanita pelayan bingung.

"sttt!! Jangan keras-keras... Bisa berenang tidak?" aku mengulang pertanyaanku dengan nada agak jengkel.

"Bisa!"

"Kalau begitu, tolong selamatkan aku ya," bisikku lagi.

Aku merogoh kantung tersembunyi dalam celanaku, tepatnya didalam celana dalamku. Satu bom asap, dan satu lagi bom berdaya ledak sedang. Harganya masing-masing satu keping emas, cukup mahal. Tapi tentu saja nyawaku lebih berharga. Aku membuang pedang terkutuk itu ke tanah.

"Maafkan aku om-om sekalian. Sepertinya aku tidak bisa mengikuti perintah kalian," semua mata tertuju padaku. Himpunan pandangan keji yang dipenuhi amarah kini mengincarku. "Bahkan untuk seorang Thief ampas, punya kebanggaan untuk dilindungi. Aku hanya merenggut emas, bukan nyawa orang!"

Aku membanting satu bom tepat didepanku. Asap putih menyebar cepat. Aku tersenyum kecil dan lalu menepuk bokong si pelayan cantik, dia pun langsung menjerit.

"Tunggu apa lagi?!Ayo cepat lari!" pekikku sambil berlari ke arah belakang.

Mereka berdua mengikutiku. Pintu keluar ada di sana, tepatnya lima puluh meter di depanku sekarang. Tebing curam. Kemungkinan tulang patah, tenggelam, atau koma karena dinginnya sungai di awal musim dingin. Tetapi mari lupakan itu semua, aku akan bertaruh. Semoga saja bisa selamat.

"Kalian lompat duluan, tapi ingat jangan lupa tolong aku!"

"Apa maksudmu?" Pelayan cantik masih kebingungan.

"Aku tidak bisa berenang!"

Aku merasa sangat malu. Aku tahu yang ingin pelayan itu katakan hanya dengan sekilas membaca raut wajahnya; Serius seorang Thief tidak bisa berenang? Berenang itu kemampuan dasar bertahan hidup loh! Thief macam apa coba. Najis banget, payah banget. Mampus saja mendingan.

"Haah...Haah... Cepet banget si om larinya!"

Sementara aku terus berlari mati-matian, aku menyadari keberadaan om Assassin yang hampir mengejar. Bom asap sejak awal bukan trik efisien saat dihadapkan dengan profesi Assassin. Aku jadi tak punya pilihan selain membiarkan pelayan dan gadis yang bersamanya berlari jauh mendahuluiku.

Backstab. Om Assassin langsung melancarkan serangan andalannya. Tusukan tepat ke arah vital yang pasti akan langsung membuat lawannya terkapar. Gerakan yang sangat halus itu bahkan bisa ia lakukan sambil berlari. Seperti dugaanku Om Assassin memang bukan orang normal.

"Tapi sayang sekali om..."

Backstab juga merupakan jalan jurus andalanku. Aku tahu dengan baik dimana belati Om Assassin akan ditusukkan. Memanfaatkan momentum sepersekian detik, aku menggeser pijakanku agak ke kiri. Hasilnya lengan om Assassin terjepit di ketiakku.

"Ambyar deh om baunya, aku udah engga mandi selama seminggu, tidak sabunan selama setahun, udah gitu engga pernah pake deodorant selama sepuluh tahun," aku tidak bohong karena di dunia ini harga masuk pemandian umum cukup mahal bagi Thief gembel seperti aku, harga sabun cuma terjangkau bagi kalangan bangsawan atau petualang veteran, dan didunia ini tidak ada tuh yang namanya deodoran.

Om Assassin langsung goyah dan menjatuhkan belati miliknya, dia tak kuasa menahan bau limbah beracun yang berasal dari ketiakku yang super jorok.

Tak membuang waktu, aku pun membetot tangan Om Assassin yang satunya lagi. Menaruh lengan kerempeng di atas bahuku, dan dengan sekali hentakan ke depan, aku membanting Om Assassin dengan kekuatan penuh.

Om Assassin jatuh terjungkal. Tapi pastinya itu tidak akan melukainya. Aku cuma ingin membuatnya sedikit terkejut. Serangan Backstab yang kedua kalinya pasti akan membunuhku. Aku pun tak punya pilihan selain memanfaatkan kesempatan semaksimal mungkin. Sambil tersenyum aku menyelipkan "Hadiah" perpisahan.

Penghujung jalan sudah di depan mata.

Setelah pelayan dan gadis yang bersamanya melompat, anak panah mulai berterbangan. Aku menghindar dengan susah payah. Beruntung dari lusinan anak panah yang melesat nyaris semuanya tak menemui sasaran, sisanya lagi hanya menggores bahu dan betisku. Sedikit perih, tapi aku masih bisa berlari.

Om Assassin kembali bangkit. Dia sepertinya sangat marah. Dia semakin bernafsu untuk membunuhku. Malangnya, "Hadiah" sudah terlanjur aku selipkan pada kantung pakaian yang ia kenakan. Dan tanpa dia sadari, hidupnya telah berakhir.

"Hasta la Vista, BABY!" teriakku sebelum melompat.

Ledakan bergema keras. Hembusan angin dahsyat mendorong tubuhku keluar dari mulut gorong-gorong. Lidah api yang menjalar bahkan mampu membakar sebagian pakaianku. Ragaku pun terjun bebas menuju riak-riak air yang membentuk kabut tipis.

Aku berhasil kabur dengan selamat, tapi ini belum selesai.

Aku tidak bisa berenang.

Chapter 2 4K Platinum

Bidadari dengan seragam Maid lengkap memandangiku penuh kecemasan. Menepuk-nepuk pipiku dengan lembut. Rambut basahnya terurai bebas. Bibir mengkilap dan merona. Mata bulat yang indah. Ekspresi yang terpancar dari rasa khawatirnya membuat jantungku berdegup kencang.

"Hei Thief! Apa kau masih hidup?"

Merdu suaranya justru membuatku tak ingin terbangun. Aku lantas kembali menutup mata. Mungkin saja, jika aku berpura-pura tidak sadar dia akan memberiku nafas buatan. Sudah lama sekali aku tidak merasakan lembutnya bibir gadis cantik. Tak salah kan mengambil kesempatan dalam kesempitan?

"Mungkin kita harus memberikan nafas buatan?"

"Tapi tuan Putri, aku belum pernah melakukan nya..."

"Kalau begitu biar aku saja!"

"Tidak mungkin, Yang Mulia hanya boleh disentuh oleh laki-laki terhormat yang sudah meminang anda, bukan Thief miskin dan bau seperti dia!"

"Ya udah sih enggak usah berebutan, gantian kan bisa," kataku dalam hati. "Tapi tolong banget jangan lama-lama. Aku bisa kena Hipotermia nih!" Aku menggigil kedinginan.

Aku sangat penasaran dengan wajah Putri yang sebelumnya tidak terlihat dengan jelas. Aku pun membuka mataku, mengintip sedikit.

Wajahnya terlihat sangat muda dan manis. Tapi seingatku; Kerajaan Luminas memiliki dua Putri berparas cantik. Seorang gadis bernama Clarissa Emelda Luminas dan seorang wanita bernama Luciana Fafina Luminas.

Aku tidak pernah melihat Putri Lucia secara langsung karena ia jarang sekali tampil didepan publik.

Berbeda dengan dengan Putri Claris yang tahun depan akan dinobatkan menjadi Ratu, ia sering kali muncul dihadapan rakyat jelata pada beberapa event Kerajaan. Dia terkenal dengan keramahtamahan dan kerendahan hatinya. Dia juga sering kali terlihat mengunjungi tempat-tempat kumuh atau bar murah demi mengorek aspirasi rakyat secara langsung. Entah itu karena bagian dari manuver politiknya, membangun image yang baik, atau memang karena ia benar-benar mencintai rakyatnya.

Lucia yang hampir tidak pernah muncul di depan publik merupakan Komandan Elite Wyvern Rider. Sepak terjang Putri tomboi yang lekat dengan kekerasan memang tidak terlalu populer bagi kebanyakan rakyat jelata. Tapi sebagai ahli strategi, Lucia adalah seorang Genius murni. Dia selalu membawa pulang kemenangan tiap kali memimpin pertempuran. Selain itu Putri Lucia juga sangat pintar mengambil hati para bangsawan. Berkat kekuatan divisi Wyvern Rider yang tidak tertandingi, Lucia yang merupakan pucuk pimpinan divisi tersebut juga memiliki pengaruh kuat dalam pengawasan perdagangan antar kerajaan. Nyaris tidak ada perompak atau bandit yang berani beroperasi ketika pelabuhan atau jalur perdagangan berada dalam perlindungan Divisi Wyvern Rider.

Jadi apakah yang ada didekatku sekarang adalah Putri Lucia? Dia tampak terlalu muda, lagipula untuk seorang yang sering berada di garis depan pertempuran, bukankah dia tampak terlalu rentan? Wyvern Rider memang tidak memiliki reputasi yang baik jika terpaksa dihadapkan pada pertarungan darat, tapi bagi seorang komandan yang mempunyai kebanggaan tinggi karena memegang garis kepemimpinan militer strategis, mana mungkin dia bersedia berlindung dibelakang seorang pelayan, gadis yang tidak mempunyai kemampuan bertarung sama sekali.

"Tapi Putri Lucia sungguh menawan," aku mulai memonyongkan bibirku, menepis segala kecurigaan yang berkutat dalam pikiran. Yang penting aku bisa merasakan sentuhan bibir yang indah. Putri atau pelayan dua-duanya akan aku lahap. Kemari sayang!

Ah mantap. Sensasi itu akhirnya aku rasakan. Benda lembab menyentuh bibirku. Sedikit kasar dan berbau amis. Tidak hanya bibirku yang diserang, lidahnya juga membasahi pipiku. Anggota Kerajaan rupanya sangat Agresif. Sekarang dahiku, dia menjilatinya. Serangannya tidak terkontrol.

"Aaaahhhhh KimoChiiiiiiiI!!!!!" aku merintih kegelian.

Deru nafasnya sangat aneh, bahkan bagi wanita yang dilanda birahi tinggi. Alunan nafasnya sangat tidak wajar, tidak seperti manusia pada umumnya.

Aku pun membuka mataku.

Mata tajam, moncong panjang dengan gigi taring yang menonjol. Bulu berwarna putih bersih yang hampir menutupi seluruh tubuhnya yang berbentuk memanjang. Corak merah ada diujung kesembilan ekor yang bergerak liar. Apa dia berasal dari Konoha? Ah tidak juga, dia semungil kucing peliharaan dan tidak seseram monster yang disegel itu. Dia masih mendengus, sambil sesekali menjilati wajahku.

"Berhasil! Kono memang hebat!"

Aku bangkit dan menyipitkan kelopak mata ke arah sebelah kanan. Suara itu berasal dari mulut Putri manis yang tampak melompat-lompat kegirangan.

"Aku tidak menduganya sama sekali. Rupanya Kono sangat mahir memberikan nafas buatan. Meskipun aku merasa risih ketika melihatnya," si Pelayan memberi komentar positif dengan bijaksana layaknya juri kontes ajang pencarian bakat.

"Kenapa sih bukan kalian saja yang memberiku nafas buatan?" tanyaku jengkel seraya menenteng tengkuk hewan didepanku. Ketika aku mengangkatnya ke depan wajahku, makhluk itu masih mencoba menjilatiku.

Entah mengapa, untuk sesaat terngiang lah kembali theme song Korean Drama; *My Gi*lfriend is Gumiho*.

"Aku yang menyelamatkan kalian loh. Aku ini dah mempertaruhkan jiwa dan raga demi kalian. Sudah seharusnya kalian berterima kasih. Satu-dua kenyot juga aku dah ikhlas, aku bisa aja mati loh, kalian punya perasaan engga sih?" lanjutku mencari alasan.

"Maaf, kami tidak berpengalaman soal itu, jadi..." balas sang Putri dengan wajah memerah.

"Okay, karena kamu imut, aku maafin," aku mengangguk serius dan lalu mengalihkan pandangan kepada si Pelayan.

"Kami juga menyelamatkan kamu! Kami kesulitan membawa Thief tidak berguna yang tidak mampu berenang ke tepian sungai, dan jangan lupa arusnya sangat deras! Kami juga mempertaruhkan nyawa tahu! Jadi kita seharusnya impas!"

"Oke! Fine!" aku meletakkan rubah ekor sembilan versi mini ke tanah. "Karena sudah impas, jadi selamat tinggal!"

Kalau dugaanku benar, maka kelompok pengejar akan tiba sebentar lagi disini. Tidak sulit bagi Hunter menemukan kami, apalagi kalau mereka punya serigala atau anjing pemburu yang dapat mengendus bau ketiakku yang harum mewangi sepanjang tahun.

Aku bukan orang baik yang mau membantu cuma-cuma orang yang sama dua kali dalam sehari. Terlebih lagi dengan orang yang terang-terangan menolak memberikan aku nafas buatan dan merendahkan aku sekaligus. Lagipula aku juga tahu batas kemampuanku, sangat tidak mungkin aku bisa selamat jika membawa lari seorang Putri yang sekarang menjadi buronan satu negara.

Aku secuil pun tak ada hubungannya dengan kerajaan Luminas, aku juga tidak tahu menahu negara mana yang menyerang Luminas. Tapi karena wajahku sudah dikenali, akan lebih baik bila aku segera mengungsi ke negara lain.

Mari merubah rencana, langsung menuju ke perbatasan adalah pilihan pintar. Pemberhentian selanjutnya adalah Frostguard, kota terdekat yang terletak di barat. Setelah mengumpulkan perbekalan, aku langsung bisa menuju perbatasan.

Mereka memang dua gadis cantik, sebetulnya ada sebagian dari sisi jantanku yang masih tersisa merasa bersalah meninggalkan mereka. Tapi aku rasa mereka punya kesempatan lebih baik jika berpisah denganku sekarang ini. Bertahan hidup memang sulit, tapi Si pelayan dan Putri pasti dapat melewatinya. Dia mungkin tidak bisa berburu, namun setidaknya si pelayan bisa membedakan jamur dan buah yang dapat dimakan.

Semoga beruntung Tuan Putri dan Pelayan judes. Aku mendoakan keselamatan kalian berdua. Mungkin saja nanti ada pangeran berkuda putih yang menyelamatkan kalian. Seorang Putri punya daya tarik seperti itu kan? Ya mungkin saja kisah tragis kalian bisa jadi komedi romantis. Seperti judul FTV yang dulu aku tonton; Delete Kerajaan Download Putri Cantik, Putri Gemes Men-Backstab Hatiku, Terciduk Cinta Putri Jaman Now, atau Putri Cantik Jadi Tukang Cilok.

"Tuan Thief! Tunggu sebentar," suara Putri menghentikan lamunanku.

"Apa kang cilok? Eh..." Aku berdeham dengan elegan. "Ada apa gerangan adinda Putri cantik?" aku menampilkan senyum terbaikku.

"Jangan yang Mulia! Dia tidak bisa dipercaya! Dia mesum! Sebelumnya dia juga mencuri kesempatan meremas bokongku, bukan tidak mungkin nanti dia akan menyerang kita saat malam!" lagi-lagi si Pelayan melemparkan komentar pedas. "Lihat saja senyum itu! Terlihat mesum, bukan?"

"Tunggu dulu aku keberatan. Ada perbedaan signifikan antara kata Menepuk dan Meremas. Dan asal kamu tahu aku memberikan 'cinta' murni dalam tepukkanku, jadi itu bukan termasuk pelecehan, itu seperti cinta orangtua pada anaknya," kataku sambil menyensor senyumku yang dituduh mesum dengan kedua telapak tangan.

"Aku sudah memutuskannya Gina, maafkan aku," Putri manis itu menghampiriku.

"Jadi nama pelayan judes itu Gina," aku melirik ke arah Gina. Dan dia membalas dengan tatapan jijik lalu meludah ke tanah.

"Tuan Thief perkenalkan, aku adalah Putri ketiga Kerajaan Luminas, Corona Grace Luminas," Putri Luminas mengangkat sedikit Gaun Onepiece polosnya sambil membungkuk sopan. "Aku tahu ini sangat merepotkan, tapi bisakah tuan Thief mengantarkan kami ke benteng Los Angelus di pesisir selatan. Aku harus segera menemui kakakku Lucia, tentu saja aku akan memberikan kompensasi. Aku harap tuan Thief bersedia," dia membungkuk lagi, tapi kali ini lebih rendah.

Pengakuannya sebagai Putri Ketiga Luminas yang seharusnya tidak pernah ada, sangat membuat aku penasaran. Tapi dengan tegas aku menjawab, "Aku menolak!"

"Sudah aku duga tuan Putri, Thief ini tidak bisa diandalkan. Dengan kalung yang diberikan mendiang Putri Claris, kita bisa dengan mudah menyewa satu kelompok Raid petualang," ketus Gina.

"Benarkah?" tanya Corona, gadis yang mengaku sebagai Putri ketiga Luminas.

"Ya tuan Putri. Kalung itu nilainya tidak kurang dari 4000 Platinum, satu-satunya aset yang kita miliki, jadi kita harus memanfaatkan dengan baik," jelas Gina seraya menunjuk ke arah Liontin yang dikenakan Corona.

"Anjiiiiiiiiiiir 4000 plat?!" aku mencoba menelan ludah tapi ternyata aku tidak bisa melakukannya karena mulutku tiba-tiba terasa kering kerontang.

Satu Platinum sama dengan Seratus keping Emas. Aku bisa bersenang-senang di kedai minum sampai bertahun-tahun hanya dengan satu Platinum. Aku belum pernah melihat wujud Kepingan Platinum. Thief kelas teri sepertiku, menyentuhnya dalam mimpi saja aku tidak akan sanggup.

Apa yang bisa aku lakukan dengan 4000 Platinum? Hidupku pasti terjamin sampai 100 tahun atau lebih. Aku mungkin bisa beli rumah--Tidak! Lupakan rumah, aku bisa membeli Mansion. Bayangkan Mansion! Dengan selir-selir cantik dan seksi. Makan buah-buahan segar setiap hari. Aku juga bisa membeli perkebunan anggur sekalian. Aku mungkin akan melamar Yuri, tidak peduli jika dia akan menolakku atau langsung membunuhku.

Aku langsung membenturkan keningku didepan kaki Putri Corona. Bangkit, lalu merubah raut wajahku seperti pria tampan, setampan-tampannya. Sebenarnya sih aku cuma menarik alisku ke atas dan tersenyum selebar mungkin.

"Yaz Al Grazt, Thief profesional yang berasal dari kampung Salo, tepatnya di Gang Melati RT 004 RW O5, depan warung soto Mpok Jamilah, samping kontrakan ibu Haji Ilham Bibih," Putri Corona memiringkan kepalanya, kebingungan. Tapi aku harus jujur pada calon majikanku. Aku tidak mau seperti wakil rakyat yang tukang bohong sejak awal dengan segala janji manisnya, Ya padahal--ijazahnya aja palsu. "Hamba siap membantu!" seruku seraya meletakkan telapak kananku ke bahu kiri lalu membungkuk, berlagak seperti bangsawan.

"Apa-apaan perubahan sikap itu!" Gina meludah ke tanah--LAGI.

"Hamba sangat mengenal jalur. Hamba juga paham berbagai metode mengaburkan jejak. Tidak hanya itu, hamba juga ahli dalam berburu dan memasak. Putri dijamin tidak akan kelaparan. Yang mulia tidak perlu khawatir soal pertarungan, hamba akan melindungi tuan Putri meski nyawa jadi taruhannya!" Tak lupa aku meninggikan sedikit suaraku agar terdengar lebih meyakinkan.

"Lebih baik kita menyewa pengawal lain saja yang Mulia! Thief busuk ini paling hanya bisa Skill Pickpocket. Lihat saja wajah tak bermoral ini! Sangat mencurigakan bukan?!" Gina menusukkan jari telunjuknya ke pipiku.

Gina sepertinya sangat membenciku. Tapi aku tidak akan terpancing, aku harus menjaga perilaku demi mendapatkan kepercayaan Putri Corona. Masa depanku yang cerah dipertaruhkan, selir-selirku sedang menantikan kepulanganku.

"Di saat genting seperti sekarang kalian tidak bisa mempercayai pengawal bayaran yang baru kalian temui. Mereka mungkin akan menyerahkan kalian pada musuh ketika kalian lengah. Tidak hanya itu, alih-alih mengikuti perintah kalian, pengawal itu bisa saja langsung merampas Liontin milik Putri Corona. Tidak akan sulit melakukannya, toh kalian hanya sepasang gadis lemah. Dan jangan salah paham, itu semua bukan skenario terburuknya," aku menjilat bibir sambil melemparkan tatapan bejat ke arah Gina. "Melihat gadis yang tidak mempunyai pertahanan, dalam dunia laki-laki yang kejam dan gersang. Kalian tahu apa yang aku maksud? Masih untung kalau mereka hanya merampas benda berharga milik kalian lalu pergi. Beberapa laki-laki, tentu saja bukan aku yang termasuk didalamnya, aku adalah laki-laki terhormat, aku memang agak mesum, aku akui itu, tapi masih ambang batas normal, okay mungkin sedikit di atas normal, tapi itu semua masih dalam batas yang bisa ditolerir. Dan jangan salah sangka, aku sama sekali tidak tertarik dengan pelayan bermulut kasar. Namun ya, banyak sekali laki-laki yang seringkali kehilangan kontrol saat mendapatkan kesempatan emas. Dengan tatapan haus mereka, meraih tangan kalian masuk dalam kegelapan. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Mereka akan merobek baju kalian. Dan lalu..." Aku melompat bermaksud membuat kaget Gina. "...Melahap kalian!"

Gina terjerembab jatuh terduduk, namun dia tetap sigap melindungi tubuhnya dengan kedua tangan, dia memandangku penuh rasa takut.

"Ya belum lagi kalau bertemu begal payudara atau menjadi korban Klitih," kataku seraya menyilangkan kedua tangan dengan penuh percaya diri.

"Apa itu?" Berbeda dengan Gina yang sudah ketakutan, Putri Corona justru terlihat antusias dan penasaran.

"Ya lebih baik tuan Putri tidak tahu," balasku sambil tersenyum licik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!