Pagi hari yang cerah seorang pemuda tampan dan manis yang sedang terlelap menggeliat dalam tidurnya. Cahaya matahari pagi itu benar-benar mengganggu tidurnya yang indah.
Pemuda itu terbangun dan merubah posisinya menjadi duduk. Seandainya jika dia tidak ingat bahwa hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah SMA, mungkin pemuda itu sekarang masih terus bergelut dengn selimut hangatnya.
"Sudah pagi ya? Hoaamm... cepat sekali. Tapi aku masih mengantuk," gumam pemuda itu sambil menguap.
"Darel Wilson, sekarang sudah saatnya untuk mandi dan bersiap-siap pergi sekolah!" seru seorang pemuda tampan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
Dengan malas-malasan, pemuda yang di panggil Darel itu melangkahkan kakinya mengambil handuk yang sudah di sediakan pemuda itu.
Pemuda itu adalah Kakak tertuanya, sekaligus kakak kesayangannya.
"Kakak. Aku masih mengantuk," jawab Darel malas. Davian hanya tersenyum menanggapi keluhan adiknya.
"Ayoo, buruan mandi nanti kamu bisa telat."
Akhirnya dengan langkah malasnya, Darel masuk ke kamar mandi.
***
[Ruang Makan]
"Apa adik bungsu kalian sudah bangun?" tanya seorang wanita paruh baya yang masih kelihatan muda dan cantik kepada pemuda-pemuda tampan yang duduk di hadapannya.
Wanita itu adalah Adelina Wilson, ibu dari 13 orang putra yang sangat tampan.
"Mungkin masih tidur, Ma! Tapi Kak Davian sudah berada di kamar Darel untuk membangunkannya."
Pemuda tampan yang bernama Daffa Wilson menjawab pertanyaan dari ibunya. Sementara ibunya mengangguk mengerti atas jawaban dari putra ketujuhnya itu.
Tak lama kemudian, Darel berjalan pelan memasuki ruang makan ditemani dengan seorang pemuda yang berwajah tampan yang saat itu sedang menggodanya.
"Adik Kakak yang satu ini sangat tampan dan juga manis sekali. Wajahnya begitu menggoda dan menggemaskan." Davian masih terus menggoda adiknya.
Sedangkan Darel cuma menanggapinya dengan wajah cemberut yang malah terlihat sangat imut membuat Davian pun tersenyum dan mecubiti pipinya.
"Awww! Sakiit Kakak!" seru Darel sambli melepaskan cubitan maut Davian di pipinya yang putih.
Sedangkan yang lainnya hanya tersenyum melihat kelakuan dua anggota keluarga mereka.
"Ehemm... Sudahlah Davian. Jangan ganggu adikmu terus. Cepat duduk dan sarapan. Nanti Darel, Evan dan Raffa bisa terlambat ke sekolah!" seru Arvind Wilson selaku sang kepala keluarga.
Darel dan Davian segera duduk di tempat masing-masing, kemudian melanjutkan sarapan yang seharusnya sudah di lakukan sejak beberapa menit yang lalu.
Selesai sarapan, Ghali yang mengantar Darel ke sekolah. Sedangkan Andre yang mengantar Evan dan Raffa. Mereka pun berangkat ke sekolah adik mereka mereka masing-masing.
Sementara Arvind sudah berangkat sejak 5 menit yang lalu ke kantor.
***
Ghali telah sampai di sekolah adik bungsunya. Setelah itu, Darel pun turun dari mobilnya.
"Nanti yang akan menjemput kamu adalah Arga. Jadi jangan pulang sendiri atau menumpang dengan orang lain. Mengerti!" ucap Ghali pada Darel.
"Baik Kak," jawab Darel.
"Ya, sudah! Belajarlah yang benar dan jangan malas-malasan," ucap Ghali sambil mengacak-acak rambut Farel sayang.
"Aish, Kakak! Kau merusaki rambutku," protes Darel dengan bibir yang dimajukan.
Ghali tersenyum gemas melihat wajah cemberut adiknya itu.
"Aku masuk dulu Kak!" seru Darel, lalu berlari memasuki gerbang sekolahnya.
***
Disisi lain, Evan dan Raffa juga sudah sampai di sekolah mereka.
"Nanti yang akan menjemput kalian Kak Nevan," ucap Andre.
"Baik Kak." Evan dan Raffa menjawab secara bersamaan, lalu mereka pun memasuki gerbang sekolah mereka.
***
[Perusahaan]
Antony Wilson dan putra sulungnya Arvind Wilson sekarang berada di ruang kerjanya miliknya. Mereka sedang membahas masalah Harta Warisan.
"Jadi, Papa akan tetap mewarisi seluruh kekayaan Papa untuk Darel?" tanya Arvind.
"Iyaa! Papa juga akan memberikan posisi papa padanya di perusahaan. Darel akan mengambil alih semua tanggung jawab Papa baik di rumah maupun di perusahaan." Antony menjawab dengan mantap.
"Kenapa hanya Darel yang sebagai pewarisnya, Pa? Dan kenapa harus Darel yang menggantikan posisi Papa? Lalu cucu-cucu Papa yang lainnya Bagaimana? Apa mereka tidak akan cemburu nantinya? Aku tidak mau hal yang tidak diinginkan terjadi pada putra bungsuku, Pa?" ucap dan tanya Arvind.
"Kau tidak perlu khawatir Arvind. Papa sudah pikirkan hal itu."
"Apa alasan Papa memilih Darel?" tanya Arvind.
"Karena putra bungsumu itu sangat istimewa. Dia saudara paling kecil dikeluarga, tapi pemikirannya lebih dewasa dan juga sabar dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain."
"Oh iya! Adik perempuanmu, Evita mengundangmu, istri dan anak-anakmu makan malam di rumah. Jadi datanglah. Jangan buat adikmu itu kecewa. Sebisa mungkin menginaplah beberapa malam."
"Baiklah! Kami akan datang," jawab Arvind.
***
[Kediaman Arvind Wilson]
Di sebuah kamar terlihat sepasang suami istri yang sedang merundingkan sesuatu. Mereka adalah Arvind dan Adelina.
"Evita dan Papa mengundang kita makan malam disana. Mereka berharap akan kedatangan kita," ucap Arvind pada istrinya.
"Aku tidak masalah sayang. Tapi bagaimana dengan anak-anak, terutama Davian? Pasti Davian tidak akan setuju," jawab Adelina.
"Itu tugasmu, sayang. Kau bujuklah mereka," pinta Arvind.
"Aish, Kau ini! Kaukan Ayahnya. Kenapa bukan kau saja yang bicara dengan mereka?" kesal Adelina.
"Justru aku Ayah mereka, makanya aku tidak tahu cara merayu mereka. Apalagi saat mereka sudah marah. Hanya kau yang bisa merayu dan membujuk mereka." Arvind membujuk istrinya sembari mencium pipi sang istri.
"Baiklah, baiklah!" Adelina pun pasrah atas tingkah suaminya
^^^
Di ruang tengah telah berkumpul pemuda-pemuda tampan. Mereka asyik dengan kesibukan masing-masing.
"Waah! Lagi ngumpul semua nih putra-putra Papa. Boleh tidak Papa dan Mama bergabung!" seru Arvind yang datang bersama istrinya menuju ruang tengah.
Mereka dengan kompak melihat kedatangan orang tua mereka dan dengan kompak pula menjawabnya.
"Silahkan Pa, Ma!"
Arvind menyikut siku Adelina, istrinya untuk memberi kode agar istrinya langsung pada intinya.
"Aish, kau ini seperti anak kecil saja. Mereka kan putramu kenapa kau tak berani berbicara langsung pada mereka." Adelina berbicara berbisik.
Davian selaku putra sulung dikeluarga melihat kearah orang tuanya yang sedang berbisik-bisik.
"Pa, Ma! Kalian berdua kenapa? Kenapa bisik-bisik seperti itu? Apa ada sesuatu yang ingin kalian sampaikan pada kami?"
DEG!
"Waw! Pertanyaan putra sulungku tepat mengenai sasaran," batin Arvind.
Davian dan adik-adiknya sedang menatap kedua orang tua mereka. Mereka menatap kedua orang tua mereka dengan tatapan bingung.
"Pa, Ma! Kalian kenapa sih? Kalian ini ini aneh," ucap Raffa.
"Baiklah. Begini anak-anak. Kakek dan Bibi kalian bibi Evita mengundang kita makan malam disana. Jadi, malam ini kita akan kesana!" ucap Adelina was was.
"Aku tidak akan datang ke rumah itu lagi, Ma!" jawab Evan, lalu Evan beranjak pergi meninggalkan keluarganya sambil menarik pelan tangan Darel, adik bungsunya.
"Ayoo, Darel. Kita ke kamar."
Darel yang ditarik oleh kakaknya hanya pasrah dan menurut.
"Aku juga! Aku tidak mau menginjak rumah itu lagi," saut Raffa dan Raffa pun menyusul Evan dan Darel.
Daffa, Vano, Alvaro dan Axel kompak berdiri. "Kami juga tidak akan pergi kesana Pa, Ma! Maafkan kami!" Mereka pun pergi menyusul Evan, Raffa dan Darel.
Tersisa Arvind, Adelina dan keenam putra sulungnya di ruang tengah. Setelah mendapatkan penolakan dari ketujuh putranya yang lain.
"Davian! Kau harapan Papa satu-satunya. Papa tahu kalian sangat marah pada Bibi dan sepupu-sepupu kalian atas apa yang mereka lakukan pada Darel empat bulan yang lalu. Tapi kan kejadian itu sudah lama. Dan Papa yakin hal itu tidak akan terulang lagi. Kita hanya makan malam saja tidak lebih." Arvind memohon pada putra sulungnya.
"Ayolah, anak-anak! Mama mohon. Ini juga permintaan dari Kakek dan Bibi kalian, Bibi Evita. Ditambah lagi Bibi Salma juga merindukan kalian." Adelina membujuk keenam putranya.
Davian menatap adik-adiknya. Setelah mendapatkan anggukkan dari kelima adiknya, Davian menatap kembali kedua orang tuanya.
"Baiklah. Kalau hanya sekedar makan malam saja, kami akan ikut."
Adelina dan Arvind tersenyum. "Bagaimana dengan adik-adikmu yang lain, Davian?" tanya Arvind.
"Papa tidak usah khawatir. Aku akan bicara pada mereka," ucap Davian.
"Terima kasih, sayang. Maafkan Papa yang sudah memaksamu dan adik-adikmu untuk ikut makan malam di rumah Kakek kalian. Dan Papa tahu kau sangat menyayangi adik-adikmu, terutama Darel," ucap Arvind.
"Sudahlah, Pa! Papa tidak perlu mengucapkan terima kasih padaku. Aku melakukan ini karena aku menyayangi Papa," jawab Davian.
Di kediaman Wilson, Antony Wilson sedang duduk santai di ruang tengah ditemani oleh anak, menantu dan juga cucu-cucunya.
"Kakek hanya mau menyampaikan pada kalian. Malam ini kita ada acara makan malam keluarga. Semua anggota keluarga akan berkumpul, tak terkecuali Arvind beserta keluarganya akan hadir!"
"Kenapa mereka harus datang, Kek? Rumah ini sudah tenang kalau tidak ada mereka," sahut Rayyan yang tidak suka.
"Rayyan, jaga ucapanmu. Bagaimana pun dia adalah Pamanmu sekaligus kakak kandung Bibi!" bentak Evita.
Agatha yang melihat dan mendengar putranya dimarahi, merasa tidak terima.
"Evita. Beraninya kau membentak putraku. Apa hakmu, hah?!" bentak Agatha.
"Kalau kau tidak mau aku membentak putramu. Kau bilang pada putramu itu kalau rumah ini bukan miliknya saja. Tapi milik bersama. Jadi kakakku Arvind Wilson dan keluarganya juga punya hak yang sama di rumah ini!" bentak Evita balik.
"Cukup! Aku masih hidup. Tapi kalian sudah beraninya bertengkar di depanku. Apa kalian sudah tidak memandangku lagi sebagai ayah kalian?!" bentak Antony Wilson.
"Dan kalian berdua Rayyan dan Kevin. Tolong jaga sikap kalian disaat mereka ada disini. Jangan kalian melakukan apa yang pernah kalian lakukan empat bulan yang lalu pada Darel?"
FLASHBACK ON
Darel berada di dalam kamarnya. Ia sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya, karena sebentar lagi dirinya akan menghadapi ujian kelulusan. Disaat tenggorokannya merasa haus, Darel memutuskan untuk keluar kamar untuk menuju dapur mengambil minuman.
Saat Darel sudah berada di luar kamarnya. Darel berpapasan dengan Rayyan dan Kevin. Tapi Darel berusaha menghindar, karena dia tahu kalau kedua saudara sepupunya ini pasti akan mencari masalah dengannya.
Ketika Darel ingin menghindar dengan gesitnya tangan Kevin sudah terlebih dahulu menahan bahu kirinya.
"Kau mau kemana, Darel? Mau menghindari kita ya?" tanya Kevin dengan senyuman liciknya.
"Kau takut, hah? Tenang! Kami tidak akan memakanmu kok. Kami hanya ingin bermain-main sebentar denganmu. Hehehe!!" tutur Rayyan dengan tawa khasnya.
"Lepaskan! Aku tidak pernah takut dengan siapa pun. Apalagi dengan kalian? Aku hanya tidak mau bertengkar dengan kalian. Bagaimana pun kalian adalah saudaraku? Dan kalian lebih tua dariku," jawab Darel.
"Ooohh! Sudah berani melawan rupanya, hah!" bentak Kevin.
PLAAKK!
Kevin memberikan tamparan keras di wajah Darel sampai menimbulkan luka di sudut bibirnya.
"Aakkhh." Darel meringis kesakitan disertai air matanya yang sudah jatuh.
"Cih! Dasar cengeng. Baru ditampar sedikit saja sudah nangis. Dasar anak manja," ejek Rayyan.
"Sudah sana pergi! Kami jijik melihat wajahmu!" bentak Kevin.
"Awas saja kalau kau berani macam-macam. Kami akan menyakitimu lebih dari ini!!" ancam Rayyan.
Saat Darel melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Rayyan dan Kevin saling memberikan tatapan dan setelah itu mereka melihat kearah Darel.
Dan mereka dengan tega mendorong Darel. Seketika tubuh Darel berguling-guling di anak tangga dan berakhir naas di lantai keramik yang dingin dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
Tanpa Rayyan dan Kevin sadari. Perbuatan mereka disaksikan oleh semua kakak-kakaknya Darel, karena pada saat itu mereka memang berencana ingin memberikan kejutan untuk sibungsu.
"Darel!" teriak mereka semua dan berlari mengerubungi Darel.
Mereka menatap Kevin dan Rayyan dengan tatapan amarah mereka. Sedangkan Kevin dan Rayyan sudah berlari masuk ke kamarnya Kevin.
Davian mengangkat tubuh Darel dan berlari menuju mobil dan disusul oleh Daffa, Vano, Alvaro dan Axel. Mereka membawa Darel ke rumah sakit.
Sedangkan Nevan dan Ghali dengan amarah yang sudah memuncah mengejar Kevin dan Rayyan. Keduanya mengedor-ngedor pintu kamar Kevin seperti orang kesetanan.
BRAKK! BRAKK!
"Rayyan, Kevin. Buka pintunya!" teriak Ghali.
BRAKK! BRAKK!
"Rayyan, Kevin. Kalau kalian tidak membuka pintunya sekarang, kami akan menghancurkan pintu ini!" ancam Nevan.
"Rayyan, Kevin! Jangan buat kesabaran kami habis. Buka pintunya sekarang juga!" teriak Nevan lagi.
Nevan dan Ghali saling pandang, lalu mereka mengangguk. Dan mereka pun mendobrak pintu kamar Kevin dengan sekali tendangan.
BRAKK!
Dan pintu kamar itu pun terbuka. Mereka dengan penuh amarah menarik kasar Kevin dan Rayyan keluar dari kamar.
Mereka terus menarik Kevin dan Rayyan sampai menuruni anak tangga. Saat tiba di bawah mereka berdua mendorong dengan kuat tubuh Kevin dan Rayyan sampai keduanya tersungkur ke lantai dan bertepatan dengan datangnya orang tua mereka masing-masing.
Melihat kedua putranya diperlakukan buruk oleh Nevan dan Ghali membuat Agatha murka.
"Apa yang sudah kalian lakukan? Apa kalian ingin membunuh putra-putraku, hah?!" bentak Agatha.
"Tanyakan saja pada kedua putra kesayanganmu itu!" teriak Nevan.
Nevan tidak peduli dia sedang berbicara dengan siapa? Sementara Agatha melihat kearah kedua putranya.
"Kami hanya bermain-main dengan Darel," jawab Kevin enteng.
"Hah! Bermain-main katamu! Bermain-main dengan cara kalian mendorong adikku dari atas tangga dan sampai tidak sadarkan diri. Apa itu yang kalian bilang hanya bermain-main, hah?!" bentak Andre.
"Apa? Darel!" lirih Adelina, lalu tatapannya beralih pada Kevin dan Rayyan. "Apa yang sudah kalian lakukan pada Darel? Kenapa kalian selalu menjahatinya?" tanya Adelina.
"Heeiiii!" teriak Agatha sambil menunjuk ke wajah Adelina. "Jangan beraninya kau memarahi kedua putraku. Hanya aku yang berhak memarahinya!" teriak Agatha.
"Kalau begitu. Lakukan tugasmu. Hukum mereka karena mereka sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal!" teriak Adelina yang tak mau kalah.
"Untuk apa aku menghukum mereka. Aku tidak melihat langsung kejadiannya. Yang melihatnya hanya kalian," jawab Agatha dengan entengnya.
"Kau tidak bisa seperti itu, Agatha. Kau harus bersikap adil. Jangan hanya anak-anak kami saja yang selalu kau salahkan. Tapi disaat anak-anakmu melakukan kesalahan, kau malah membelanya," ujar Evita.
"Kau jangan ikut campur Evita. Ini masalahku dan Adelina!" bentak Agatha.
"Kau...!!" ucap Evita terhenti saat melihat Adelina menahannya.
"Sudah aku bilang. Aku tidak melihat langsung kejadiannya. Jadi aku tidak akan menghukum putra-putraku," ucap Agatha tersenyum puas.
"Kalau aku menunjukkan buktinya padamu, Nyonya Agatha yang terhormat. Apa yang akan kau berikan padaku sebagai imbalannya?" tutur Arga yang tiba-tiba datang.
"Kenapa diam Nyonya? Ayoo, jawab pertanyaan dari adikku!" bentak Nevan.
"Atau begini saja. Aku akan perlihatkan rekaman ini ke polisi. Jadi biar polisi saja yang memberikan hukuman pada kedua bocah sialan ini! Adilkan!" ancam Arga.
"Jangan!" teriak Kevin dan Rayyan bersamaan.
"Sudahlah, Arga!! Ayoo, kita ke kantor polisi dan serahkan rekaman itu pada pihak kepolisian," sahut Nevan dan setelah itu, mereka pun segera pergi meninggalkan Agatha dan kedua putranya.
"Tunggu!" teriak Agatha.
Arga membalikkan badannya dan menatap Agatha. "Ada apa?"
"Apa yang kau mau dariku? Aku akan menurutinya. Asal masalah ini jangan dibawa ke polisi," pinta Agatha.
"Aku mau kedua putramu ini jadi babu untuk adikku, Darel. Mereka berdua harus melayani Darel selama dua bulan penuh. Kalau mereka sampai melakukan kesalahan lagi, hukuman akan ditambah!" seru Arga.
"Apaa?" teriak Agatha.
"Tidak usah teriak-teriak, Bibi Agatha. Semua keputusan ada di tangan Bibi dan Bibi tinggal pilih polisi atau Darel, adik kami." Arga berucap sembari menatap remeh Agatha.
"Baiklah," jawab Agatha pasrah.
"Oke! Hukuman berlaku mulai besok," ucap Nevan.
Setelah itu, mereka semua pun pergi meninggalkan Agatha dan kedua putranya untuk menuju rumah sakit.
"Setelah hukuman itu berakhir. Kita akan pindah dan tinggal di rumah kita sendiri, Ma! Kami tidak mau tinggal disini dan satu rumah dengan iblis!" tutur Elvan sinis.
FLASHBACK OFF
"Baik, Kek." Kevin dan Rayyan menjawab bersamaan.
"Kalau kalian tidak bisa menjaga sikap kalian. Kakek akan langsung mengambil tindakan tegas dan kalian semua tidak akan bisa melarang ataupun protes! Berlaku untuk kalian semua," ancam Antony.
***
[KEDIAMAN ARVIND WILSON]
Davian dan saudara-saudaranya sedang berada di kamar sibungsu Darel.
"Kita akan pergi makan malam di rumah Kakek. Hanya makan malam saja. Setelah itu kita akan pulang ke rumah kita lagi," ucap Davian.
"Darel maukan ikut makan malam di rumah kakek??" tanya Davian.
"Aku.. aku terserah kalian saja, Kak. Aku menurut saja bagaimana baiknya?" jawab Darel.
"Tapi Kak Davian. Bagaimana kalau mereka menyakiti Darel lagi?" tanya Evan khawatir.
"Itu tidak akan terjadi lagi, Evan. Selama kita mengawasi Darel. Tidak akan terjadi apa-apa pada Darel?" jawab Elvan.
"Hanya makan malam sajakan, Kak?" tanya Axel.
"Iya! Hanya makan malam saja," jawab Davian tersenyum.
"Baiklah. Kami akan ikut!" seru Vano dan diangguki oleh yang lain.
Akhirnya mereka memutuskan untuk ikut makan malam di rumah kakek mereka, Antony Wilson.
Arvind beserta keluarganya sudah berada di rumah ayahnya, Antony Wilson. Mereka sekarang tengah berkumpul di ruang tengah. Terpancar kebahagiaan di wajah Antony ketika melihat anak, menantu sulungnya serta cucu-cucunya berkumpul.
"Papa senang melihat kalian semuanya berkumpul disini. Semoga seperti ini selamanya. Papa ingin kalian saling menjaga," ucap Antony.
"Dasar tua bangka bodoh. Kalau bukan mengharapkan hartamu, mana mungkin aku dan anak-anakku berada di rumah ini," batin Agatha.
"Darel," panggil Antony saat melihat cucu bungsunya yang duduk di samping ibunya.
Darel pun melihat sang kakek. "Ya, Kek." Darel menjawabnya dengan lembut.
"Kemarilah dan duduk di dekat Kakek," pinta Antony.
Darel melirik melihat ayahnya dan kemudian sang ayah mengangguk, lalu kemudian Darel pun pindah duduk di samping kakeknya.
Detik kemudian, Antony menarik lembut tangan Darel untuk menuju kamarnya.
"Ikut Kakek ke kamar. Ada yang ingin Kakek bicarakan padamu, Darel" Antony berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan anggota keluarganya. Serta diikuti oleh Darel di belakang.
Antony menghentikan langkahnya sejenak dan membalikkan badannya menatap anak, menantu dan cucu-cucunya yang sedang duduk di ruang tengah.
"Jangan ada di antara kalian yang berani menguping pembicaraanku dengan Darel. Kalau kalian semua sampai mengetahui apa yang kami bicarakan, aku pastikan kalian tidak akan mendapatkan sepeser pun atas kekayaan yang kumiliki." Antony berbicara sembari mengancam.
Setelah itu, Antony pun kembali melangkah menuju kamarnya
"Sialan!! Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan situa bangka itu pada anak tidak tahu diri itu," batin Agatha.
"Hei, kau Adelina. Sebenarnya apa yang sudah kau ajarkan pada putra bodohmu itu, hah?! Kenapa Papa begitu perhatian padanya? Padahal Papa memiliki banyak cucu, tapi kenapa Papa hanya perhatian pada Darel saja? Papa pilih kasih!" bentak Agatha.
Davian dan adik-adiknya seketika tersulut emosi mendengar perkataan dari Agatha. Mereka mengepal tangan mereka disertai tatapan penuh amarah menatap kearah Agatha.
Adelina selaku ibu menyadari bahwa putra-putra sedang berada dalam suhu yang panas, lalu Adelina menggenggam tangan putra sulungnya untuk memberikan ketenangan. Dan juga Adelina menatap putra-putranya yang lain dengan memberikan senyuman dan gelengan kepala.
"Jangan terpancing emosi, sayang." Adelina berbicara berbisik.
"Kalian juga. Mama tidak apa-apa," ucap Adelia kepada putra-putranya yang lain.
"Bibi salah. Kakek tidak pernah pilih kasih pada semua cucu-cucunya. Selama ini Kakek selalu memberikan kasih sayang dan perhatian yang adil kepada kita semua, termasuk kepada ketujuh putra bibi," jawab Rendra, putra bungsu dari Sandy Wilson.
"Kau jangan ikut campur. Bibi hanya bicara pada bibimu, Adelina!" bentak Agatha.
"Aku tidak bermaksud ikut campur, Bi! Tapi aku hanya mengingatkan saja kalau kakek tidak pernah pilih kasih pada cucu-cucunya," jawab Rendra lagi.
"Kau berani melawanku, hah!" bentak Agatha.
"Maaf Bi. Bibi tidak perlu membentak adikku. Apa yang dikatakan oleh adikku itu ada benarnya? Jadi bibi tidak perlu marah-marah begitu," tutur Steven Wilson.
"Aku heran pada kalian semua. Kenapa kalian semua tenang-tenang saja? Bagaimana jika kakek kalian memberikan semua hartanya pada anak sialan itu? Apa kalian tidak akan cemburu atau iri, hah?!" tanya Agatha yang sengaja memancing keributan.
"Kalau pun kakek melakukan hal itu. Aku secara pribadi ikhlas dan tidak akan pernah sedikit pun merasa cemburu bahkan iri sekalipun pada Darel. Bagaimana pun juga Darel itu adikku? Dia paling kecil dikeluarga ini. Dan aku yakin kakek punya seribu alasan melakukan hal itu," sahut Erick Wilson.
Sandy Wilson dan Salma Wilson tersenyum bangga mendengar penuturan putra ketiganya itu.
"Kami hidup bukan untuk mencari kemewahan, tapi kebahagiaan. Apa gunanya memiliki kemewahan yang melimpah, tapi hidup tidak bahagia!" seru Naufal Jecolyn putra sulung dari Evita Jecolyn dan Daksa Jecolyn.
Saat mereka tengah bersitegang, terdengar suara yang membuat mereka semua terkejut.
"Aku masih hidup, tapi kalian sudah mempermasalahkan masalah harta," ucap Antony.
Antony menduduki dirinya di sofa dan Darel duduk di samping Kakak kesayangannya yaitu Davian. Kemudian Davian berbisik pada Darel.
"Kakek bicara apa padamu?"
"Ti-tidak terlalu penting, Kak. Kakek hanya bilang kalau kakek merindukan kita," jawab Darel berbohong.
"Maaf Tuan besar, Tuan, Nyonya. Makan malamnya sudah siap!" seru salah pelayan yang datang menghampiri mereka.
Mereka semua pun menuju meja makan untuk melakukan kegiatan makan malam bersama.
Suasana makan malam sangat hening tanpa ada suara, lalu tiba-tiba Darel memecahkan keheningan.
"Maaf aku mau ke kamar mandi sebentar," ucap Darel. Darel pun beranjak dari duduknya, lalu pergi meninggalkan meja makan.
Lima menit kemudian, Dzaky Wilson dan Aldan Wilson juga pamit mau ke kamar mandi.
"Kami juga permisi mau ke kamar mandi!" seru mereka bersamaan. Keduanya pun berlalu pergi.
Davian menatap satu persatu adik-adiknya. Dan memberikan kode pada mereka. Mereka menatap sang kakak dan mengerti akan kode yang diberikan oleh sang kakak, lalu Andre dan Vano pun pergi meninggalkan meja makan menyusul adik bungsu mereka.
Andre dan Vano sudah tiba di belakang. Vano kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuat sebuah rekaman.
Andre dan Vano melihat Darel yang keluar dari kamar mandi dan langsung dijegat oleh Dzaky dan Aldan. Mereka berdua mendorong kuat tubuh Darel ke dinding sampai Darel meringis kesakitan.
"Aakkhh!"
"Kenapa kau harus datang lagi ke rumah ini, hah?!" bentak Dzaky.
"Sudah bagus kau dan keluargamu tidak ada di rumah ini. Sekarang kalian malah datang lagi. Dasar pengganggu!" bentak Aldan.
"Sekarang katakan pada kami. Apa yang kau bicarakan bersama kakek di kamarnya kakek?" bentak Dzaky sambil menarik kerah kemeja Darel.
"Bukan urusan kalian. Aku sudah berjanji pada kakek untuk tidak menceritakan kepada siapapun!" bentak Darel balik, lalu menepis kasar tangan Dzaky yang ada di kerah ke mejanya.
"Oooh, sudah berani sekarang ya!" ucap Aldan, lalu melayangkan pukulan ke wajah Darel.
Tapi pukulan ditahan oleh Andre. Andre dan Vano sudah berdiri di depan Darel.
"Mau menyakiti adikku, hum? Jika kau ingin menyakiti adikku. Langkahi dulu mayatku," ucap Andre dengan tatapan matanya yang tajam.
BUUAAGG!
Satu pukulan tepat mengenai wajah tampannya Aldan. Pelaku pemukulan itu adalah Andre. Sedangkan Vano bersedekap dada dan memandang remeh pada Aldan dan Dzaky.
"Masih berani kalian menyakiti adikku, hah! Apa sudah menjadi hobi kalian, ya? Apa kalian tidak punya kerjaan lain selain mengganggu adikku?" Andre berbicara dengan nada ketus serta tatapan kebenciannya.
"Adik kalian itu hanya manusia sampah. Manusia tidak tahu diri. Dia selalu mendapatkan perhatian lebih dari kakek!" bentak Dzaky.
"Kau...!!" emosi Vano yang ingin memberikan pukulan pada Dzaky tapi ditahan oleh Darel.
"Ka-kakak!" lirih Darel sambil menggelengkan kepalanya.
"Jadi kalian cemburu? Hahahaha! Kalau kalian cemburu dan merasa marah. Kenapa kalian tidak langsung protes pada kakek? Dan kenapa kalian harus marah pada Darel, adikku!" bentak Vano.
"Sudahlah, Vano. Kita kembali saja ke ruang makan. Ngapain kita lama-lama disini," ucap Andre dan mereka pun pergi meninggalkan Dzaky dan Aldan.
"Kamu tidak apa-apa, Rel?" tanya Andre.
"Aku tidak apa-apa, Kak." Darel menjawab dengan memperlihatkan senyuman manisnya.
^^^
Andre, Vano, Darel, Dzaky dan Aldan telah kini telah berada di meja makan.
"Aldan. Kenapa wajahmu lebam begitu?" tanya Dirga.
"Siapa lagi pelakunya kalau bukan Andre sialan itu?" jawab Aldan dengan kasar.
"Brengsek! Kau apakan adikku, Andre? Beraninya sekali kau memukulinya, hah!" bentak Dirga.
"Selama anak seperti kalian tidak bisa menghargai orang lain, selama itulah kami akan bertindak," sahut Andre.
"Kalau kau tidak mau adik-adik babak belur ditangan kami. Katakan pada adik-adikmu itu untuk tidak menyentuh adikku, Darel!" bentak Vano pada Dirga.
"Kami tidak melakukan apapun pada Darel, Kak Dirga, Pa, Ma!" sahut Aldan dan diangguki oleh Dzaky.
"Benar Pa, Ma, Kak Dirga. Mereka hanya berbohong," tambah Dzaky.
"Kalian benar-benar keterlaluan ya. Bisa-bisa nya kalian menuduh kedua putraku menyakiti adik kalian yang tidak tahu diri itu!" bentak Agatha.
"Aku minta maaf, Agatha. Kalau memang putra-putraku bersalah, aku minta maaf. Tapi satu hal yang aku minta padamu. Tolong jangan sebut putra bungsuku sebagai anak sialan. Aku tidak pernah mengatakan hal-hal yang menjijikan pada putra-putramu, Agatha. Tapi kalau kau masih tetap mengatakan hal itu pada putra bungsuku. Jangan pernah kau marah padaku, apabila aku mengatakan hal yang sama pada putra-putramu itu!" bentak Adelina.
"Oooohh! Kau mengancamku, hah! Kau pikir aku takut padamu, Adelina. Aku mau mengatakan anak sialan pada putra bungsumu itu, itu hakku. Dan lagian ini mulut-mulutku. Kau tidak berhak mengaturku!" bentak Agatha.
BRAAKKK!
Davian tiba-tiba menggebrak meja dengan kerasnya sehingga membuat mereka semua terkejut. Tak terkecuali Agatha dan ketujuh putranya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!