Namanya Cefixime Xaviera Salim, Cefixime? Iya. Namanya memang antibiotik yang selalu kalian liat namanya di bungkus obat yang diberikan oleh dokter di rumah sakit.
Lucu? Bagi Cefi tentu saja tidak. Lihatlah bagaimana dia meledak-ledak, berlari dari depan rumahnya masuk ke dalam rumah tanpa memberikan salam dan justru ...
Brakkk!
Cefi membanting tasnya dengan kekesalan tingkat dewa setelah masuk ke dalam rumah, tepat di depan pintu. Seragam SMA-nya sudah sangat berantakan dan terlihat kekanak-kanakan di usianya yang 19tahun.
Iya, meski cantik, dia tidak sepintar teman-temannya, dia bahkan pernah tidak naik kelas satu kali karena kebebalan dan kemalasannya untuk datang ke sekolah. Kini dia kelas 12, usianya paling tua satu angkatan, ah tidak, maksudnya usianya masuk ke dalam jajaran teman laki-lakinya yang tidak naik kelas karena terlibat tawuran.
Cefi melihat ayahnya, Wijaja Salim, yang ternyata sedang duduk di sofa ruang tamu dengan ponsel yang ada di tangan.
"Astagfirullah, Nak? Kenapa lagi? Sini duduk dulu sama papa." Tanya sang ayah sambil menepuk-nepuk sofa di sebelah beliau.
Beliau tidak terlalu terkejut dengan tingkah putrinya yang meledak-ledak. Beliau bahkan sepertinya tahu apa yang terjadi kepada anaknya tersebut, karena alasan anaknya selalu marah-marah selalu sama.
"Pah, aku mau papa sewa mobil buldoser sekarang juga! Pokoknya sekarang jugaaaa!" Ucap Cefi sambil menghempaskan bokongnya di atas sofa tepat di samping ayahnya dan melipat tangan di dada menunjukkan kekesalannya kepada ayahnya.
Meski bandel, Cefi memang anak yang penurut pada orang tua. Jadi, diminta untuk duduk, ya dia akan duduk.
"Anak papa kenapa sih? Sewa mobil buldoser buat apa?" Tanya Pak Wijaja dengan lembut mencoba menenangkan anaknya.
Cefi mengubah posisinya dan menatap ayahnya dengan berapi-api.
"Buat ancurin rumah tetangga yang ada di depan rumah!" kata Cefi sambil menunjuk-nunjuk rumah yang ada di depan rumahnya.
"Astaghfirullah al-azim, Nak."
"Cepetan telepon mobil buldoser, Pa! Biar rumah itu cepet hancur sama penghuni-penghuninyaaa..."
"Astaghfirullah, Sayang. Kalau kita masuk penjara gimana?"
"Ya, kita tinggal bilang sama polisi kalau kita udah diusik. Putri papa ini udah dilecehkan, Pa. Masa papa mau diem aja? Papa nggak sayang ya sama aku?" Cefi pun menangis setelah mengucapkan kalimat itu.
pak Wijaja terkejut setengah mati, beliau langsung menatap anaknya yang kini tengah menangis. "Siapa yang melecehkan kamu? Antar papa sekarang juga!"
Kali ini giliran Pak Wijaja yang bangkit dan menarik tangan anaknya.
"Baron?" Tanya Pak Wijaja.
Cefi menganggukkan kepalanya.
Cefi terdiam sebentar, dia bingung harus berbuat apa. Ibunya Cefi yang mendengar suara keributan pun langsung bergabung dengan anak dan suaminya.
"Ada apa si, Pa?" Tanya Ibu Larasati, ibu dari Cefi. Beliau bertanya dengan penuh rasa khawatir.
"Ini, Ma. Anak kita dilecehkan. Papa nggak terima!" Kata Pak Wijaja dengan berapi-api.
Kini giliran Cefi yang terdiam, dia sedikit merasa ada yang salah dengan apa yang terjadi. Namun, dia juga bingung di mana kesalahannya. Yang dia tahu dia memang sedang marah gara-gara Baron, tetangganya yang merupakan musuh bebuyutannya.
Baron Xavier Halim. Tetangga Cefi yang sudah tinggal di depan rumahnya sejak usia Cefi satu tahun. Usia Baron kini 22 tahun, semester 7, jurusan pendidikan matematika di salah satu universitas terbaik di Jakarta.
Sesampainya di depan rumah keluarga Halim, ayah dari Cefi langsung menekan bel rumah tersebut beberapa kali hingga seseorang membuka gerbang rumah tersebut.
Orang tersebut adalah ayah dari Baron, namanya Pradana Halim.
"Ada apa, Pak Wijaja?" Tanya Pak Pradana.
"Saya datang mau minta tanggung jawab anak kamu. Di mana Baron?"
"Lebih baik masuk dulu, Pak. Kita bicarakan baik-baik di dalam."
"Nggak usah, Pak. Saya ingin menyelesaikan di sini saja."
"Tapi banyak orang berdatangan, Pak."
Mendengar suara ribut-ribut memang membuat semua warga Kompleks keluar rumah dan penasaran dengan apa yang terjadi.
"Biarkan saja. Biar semua orang tau kalau anak bapak udah melecehkan anak saya!"
"Astagfirullah, nggak mungkin anak saya melecehkan Xaviera."
"Xaviera sendiri yang bilang pada saya, Pak. Dia bilang kalau dia dilecehkan sama Baron. Di mana Baron?! Di mana?"
Pak Pradana melihat istrinya yang bernama Anesia datang, "Ma, tolong panggilkan Baron, Ma!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Ibu Anes pun langsung berlari menuju ke dalam rumah, "Barooon! Barooon!" Seru Anes.
Di luar rumah, tetangga kompleks sudah keluar dan mencoba mencari tahu mengenai apa yang terjadi. Cefi masih di tempat, dia masih ingin melihat Baron dimarahi.
Tak lama kemudian, Baron pun keluar.
"Nah, ini dia anaknya. Baron! Kamu harus tanggung jawab sama anak saya. Selama ini saya sabar sama kamu tapi kali ini saya gak bisa sabar lagi!" Seru Pak Wijaja.
"Pak, sabar dulu, Pak. Kita bicarakan baik-baik." Ayah dari Baron terus menengahi.
Baron melirik Cefi, dia merasa bingung dengan apa yang terjadi namun Cefi langsung membuang muka ke arah lain. Rasanya dia tidak sudi melihat ke arah Baron.
"Maaf, Om. Tanggung jawab kenapa ya?" Baron terlihat bingung.
"Kamu telah melecehkan anak saya! Anak saya tadi datang menangis dan ingin menyewa buldoser buat hancurin rumah kalian karena kamu sudah mecelehkan dia!" seru Pak Wijaja masih berapi-api.
"Sabar, Pa. Sabar." Ibunya Cefi mencoba menenangkan suaminya.
"Nggak bisa, Bu. Saya gak terima anak kita dilecehkan sama Baron!" Seru Pak Wijaja.
Baron terkejut setengah mati mendengar tuduhan kalau dia telah melecehkan Cefi.
"Maaf ya, Om, Tante. Ini bukannya saya nggak sopan tapi kayaknya ada salah paham. Saya nggak pernah sekalipun melecehkan si Antibiotik, maksud saya Xaviera. Menyentuh dia aja saya nggak pernah, Om. Sumpah demi apapun Om, Tante."
"Tapi anak saya bilang kalau dia sudah dilecehkan oleh kamu. Jangan bohong kamu. Anak saya itu walaupun bodoh tapi dia anak yang jujur, nggak pernah bohong."
Baron kesal sekali kepada Cefi atas tuduhan itu, dia pun menatap Cefi, Cefi langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, "Heh, Antibiotik! Lo ngomong apaan sama bokap lo?"
"Ya, gue jujurlah kalau lo udah melecehkan gue."
"Tuhkan! Anak saya pasti jujur!" Seru ayahnya Cefi. Ibunya Cefi hanya bisa mengusap lengan suaminya untuk menenangkan.
Baron menatap Cefi, "Astaga, fitnah lo! Sekarang gue tanya, kalau gue udah melecehkan lo, bagian mana yang gue sentuh?"
"Sentuh?"
"Iya! Gue gre.pe-gre.pe lo bagian mana?"
"Gre.pe-gre.pe?"
"Iyaa gue megang badan lo gak? Pegang dada lo atau alat- ..."
"Hus!" Ayahnya Baron mengingatkan sebelum anaknya menyebutkan sesuatu yang sangat tabu.
"Pegang gak? Gue nyentuh lo aja ogah ya, gimana mungkin gue perkosa lo?" Baron melanjutkan sambil bertanya dengan kekesalan yang memuncak kepada Cefi. Bisa-bisanya Cefi menuduh dia melakukan pelecehan.
"Ih, gue nggak bilang kalau lo perkosa gue. Gue cuma bilang kalau lo udah melecehkan gue!" Seru Cefi yang juga merasa kesal dengan Baron yang memarahinya.
"Trus lo ngapain bilang ke bokap lo kalau lo dilecehin sama gue, Antibiotik!" Seru Baron kesal setengah mati.
"Kan lo emang melecehkan gue. Sekarang aja lo lagi melecehkan gue. Lo manggil gue pake antibiotik-antibiotik."
"Itu namanya bukan melecehkan tapi ngatain! Astaghfirullah, bisa mati muda gue kalo deket lo."
Cefi langsung mengambil ponselnya dan membuka aplikasi KBBI, dan menuliskan kata 'melecehkan'. Cefi memberikan ponselnya kepada Baron. Ayah Cefi dan Ayah Baron langsung ikut melihat apa yang diperlihatkan oleh Cefi.
"Melecehkan artinya memandang rendah, menghina, menista. Itu artinya lo udah melecehkan gue! Karena lo selama ini udah ngata-ngatain gue, udah- ..." Belum selesai Cefi mengucapkan sesuatu, Ayahnya Cefi langsung membawa anaknya pulang ke rumah.
Pak Wijaja benar-benar merasa malu dengan apa yang terjadi, apalagi beliau sudah marah-marah di depan Keluarga Halim dan juga warga kompleks. Ntah harus diletakkan di mana wajahnya untuk disembunyikan.
Suasana di rumah Cefi sekarang sangat tidak menyenangkan. Rumah yang biasanya hangat menjadi dingin karena ayah Cefi yang kini tengah marah kepada anaknya.
"Kamu benar-benar membuat Papa malu, Xaviera. Sekarang mau dikemanakan wajah papa di depan orang kompleks?" Tanya Pak Wijaja kepada putri semata wayangnya.
"Papa, itu bukan salah aku. Aku cuma bilang kalau aku dilecehkan. Tadi waktu aku lagi nangis di jalan, si Barongsai datang ngatain aku cengeng sama ngatain aku antibiotik gak guna. Siapa yang mau dilecehkan begitu, Papa?" Cefi masih belum mengerti konteks perbincangan mereka.
"Astaghfirullah, Xavieraaa! Ma, Papa ke kamar dulu ya, tolong bicara dengan Xaviera, papa gak kuat lama-lama. Nanti malam kita akan minta maaf sama keluarga Pak Pradana." Akhirnya Pak Wijaja yang tidak sanggup berbicara dengan anaknya lebih memilih untuk pergi.
Bukan apa-apa, Pak Wijaja bukannya tidak marah dan mau lepas tanggung jawab terhadap Cefi, namun beliau merasa takut kalau amarahnya tak terbendung dan akan mengatakan hal yang tidak-tidak kalau terus mendebat anaknya.
"Loh, Papa? Kok kita harus minta maaf sih, kan Barongsai yang salah." Ucap Cefi.
Ibu Larasati menghela napas, beliau tahu kalau beliau harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya dengan bahasa yang lembut kepada anaknya.
"Nak, kamu tau apa kesalahan kamu?" Ibu Larasati mulai mengajak anaknya untuk mengobrol.
"Enggak, Ma. Aku nggak ngerasa bersalah. Emang aku salah apa, Ma?" Tanya Cefi.
"Nak, kamu tadi sudah buat semua orang salah paham. Kamu bilang kalau kamu dilecehkan. Meskipun di KBBI yang kamu tunjukkan arti dari melecehkan itu menghina namun di masyarakat pelecehan itu konotasinya kamu diperkosa atau kamu dipegang-pegang sama orang lain tanpa izin terutama di bagian-bagian sensitif perempuan. Itu yang buat papamu marah dan semua orang sekarang mengira kalau Baron itu sudah melakukan asusila sama kamu." Terang Bu Larasati.
Cefi terdiam. Kini dia mengerti mengapa ayahnya terlihat begitu marah begitu saja.
Konotasi dan asusila, hal itu yang harus dia pikirkan nanti.
"Nanti malam kita minta maaf ya ke keluarganya Baron ya, Nak?"
"Ma, tapi Barongsai itu udah ngata-ngatain aku. Jadi, dia yang harus minta maaf."
"Iya, nanti mama suruh dia minta maaf sama kamu."
***
Malam pun datang. Bu Larasati dan Pak Wijaja sudah berganti pakaian dengan pakaian yang rapi, begitu juga dengan Cefi. Mereka akan datang ke rumah Keluarga Halim untuk meminta maaf atas kekacauan yang terjadi siang tadi.
"Ini, kamu bawa buat Tante Anes dan Om Pradana." Kata ibunya Cefi sambil menyerahkan kue kering yang sudah dimasukkan ke dalam paperbag.
"Iya, Ma."
"Nak, kamu udah minta maaf sama papa?"
Cefi menggelengkan kepalanya.
"Minta maaf dulu sana!"
Cefi menganggukkan kepalanya begitu saja dan berjalan menuju ke arah ayahnya, "Papa, aku minta maaf karena udah buat malu papa." Katanya.
"Iya, Sayang. Maafin papa juga ya udah emosi sama kamu tadi." Kata Ayahnya Cefi memeluk anaknya.
Kemudian, mereka pun langsung mendatangi rumah tetangganya yang ada persis di depan rumah mereka. Mereka pun disambut baik oleh Keluarga Halim.
"Pak Pradana, Bu Anes, Nak Baron. Kami datang untuk meminta maaf atas apa yang terjadi tadi siang. Saya pribadi pun merasa bersalah karena sudah datang marah-marah dan menuduh Nak Baron yang tidak-tidak." ucap Pak Wijaja dengan tidak enak hati.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa kami memakluminya, kalau saya jadi bapak juga pasti saya akan marah kalau dengar aduan putri kita seperti itu." Jawab Pak Pradana. Beliau memang pria yang sangat bijak.
Cefi di tempatnya menatap kesal ke arah Baron. Sedangkan Baron hanya bisa menaikkan alisnya.
"Xaviera ayo, Nak. Minta maaf dulu." Pinta Bu Larasati kepada anaknya.
Cari menganggukkan kepalanya begitu saja.
"Om Pradana, Tante Anes, aku minta maaf. Ini untuk Om dan Tante." Kata Cefi yang meletakkan kue kering yang dibawanya di atas meja, kemudian, menghampiri Pradana dan Anes, "Salim dulu." Kata Cefi.
"MasyaAllah. Iya, Nak. Kami maafkan kok." Kata Pak Pradana.
"Iya, Nak. Betul kata Om." Kata Bu Anes.
"Nak, ayo minta maaf juga sama Nak Baron." Kata ibunya Cefi.
"Ma, aku nggak mau. Yang ngatain aku kan dia, jadi aku nggak mau minta maaf." Kata Cefi.
"Xaviera ..." Peringatan ayahnya.
"Tidak apa-apa, Pak. Mungkin Xaviera memang benar. Seharusnya anak sayalah yang minta maaf sama Xaviera karena Baron pastilah yang memulai duluan." Kata Pak Pradana. "Baron, cepat minta maaf pada Xaviera dan Om dan Tante." Sambung Pak Pradana.
"Tapi, Pa. ..."
"Nggak ada tapi-tapian, cepat minta maaf!" Titah Pak Pradana.
Baron pun bangkit dan meminta maaf kepada kedua orang tua Xaviera. "Maafkan saya, Om dan Tante. Saya ngatain Xaviera cuma bercanda."
"Ck, bercanda apaan." Ucap Cefi sambil berdecak sebal.
"Iya, Nak. Kami tau, kami sudah memaafkan kamu." Kata Pak Wijaja. Hal itu dibetulkan oleh Bu Larasati.
"Minta maaf sama Xaviera juga, Nak!" Kata Bu Anes.
Baron berjalan menuju ke arah Cefi. Cefi tersenyum senang. Pasalnya selama ini Baron tidak pernah mau meminta maaf kepada dirinya.
Cefi dengan angkuh menyodorkan tangannya kepada Baron, "Cium tangan sekalian biar afdol." Ucap Cefi.
Kedua orang tua Cefi menggelengkan kepalanya melihat anaknya yang sangat absurd itu.
"Ck, enak aja. Yang aja juga lo yang cium tangan ke gue. Gue lebih tua tiga tahun dari lo."
"Bodo amat nggak mau tau."
"Lagian gue nggak mau minta maaf."
Cefi langsung mendongak ke arah Baron dengan kesal kemudian menurunkan tangannya. Kemudian, menoleh ke arah Ibu Anes, "Tante ... Anaknya nggak mau minta maaf ke aku." Adunya.
"Baron ..." Peringat Bu Anes.
"Iya, Ma. Dia harus bilang terima kasih dulu, baru Baron mau minta maaf ke dia. Yang anterin dia pulang waktu nangis-nangis di jalan tadi itu Baron, Ma." Ucap Baron.
"Ck, pamrih banget si lo." Ucap Cefi.
"Suka-suka guelah." Kata Baron.
Ibu Laras meminta kepada anaknya untuk mengucapkan terima kasih dengan menggunakan isyarat. "Apa, Ma?" Cefi yang tidak tahu kode bertanya.
Ibu Laras menghela napas, "Cepat bilang terima kasih!"
Cefi menghela napas. "Iya, makasih. Udah kan sekarang lo minta maaf ke gue."
"Iya, gue minta maaf."
Cefi menyodorkan tangannya ke arah Baron meminta Baron untuk mencium punggung tangannya. Baron pun menjabat tangan Cefi dan tanpa disangka, Baron langsung mendorong tangannya ke bibir Cefi agar Cefilah yang mencium punggung tangannya.
"Ishhh! Barongsaaai!"
***
Suasana kantin begitu ramai. Bagi siswa-siswi SMA Angkasa Raya, waktu istirahat adalah waktu paling mengasyikkan bagi mereka untuk bercengkerama dengan teman-teman di kantin. Sama seperti Cefi dan ketiga temannya yang bernama Amel, Putri dan Dara.
Kini, ketiga teman Cefi sedang mendengarkan ocehan Cefi tentang kejadian yang menimpa Cefi kemarin. Lengkap, inseden salah paham tentang pelecehan sampai acara minta maaf.
"HAHAHAHAHAHAHA!" tawa tiga siswa murid kelas 12 IIS 1 itu begitu menggelegar. Sedangkan, Cefi yang baru selesai bercerita hanya bisa mengerucutkan bibirnya.
"Kok lo-lo pada malah ketawa sih? Kesel banget tau gue! Sumpah ya ngeselin banget gak si tuh anak! Benci banget gueee!" Seru Cefi berapi-api.
"Lagian lo si, Cef. Orangmah punya otak ya dipake gitu loh, jangan dijadiin cadangan doang. Lagian ya, kalau gue boleh saran, ati-ati lo jangan sebegitu bencinya sama tuh cowok. Ntar suka sama dia." Ucap Dara.
Cefi langsung melotot ke arah Dara karena kesal.
"Bener tuh! Dan, siapa tau dia jodoh lo, Cef! Hahaha Gue penasaran deh sejak kita temenan, lo kan selalu ceritain dia ya, nah mukanya kayak gimana sih? Ganteng gak? Harusnya sih anak kompleks mah ganteng ya?" Ucap Amel.
"Iya, tiap kita ke rumah kamu juga kayaknya kita gak pernah liat ya?" Tanya Putri.
"Sialan lo-lo pada. Bukannya bantuin gue meredakan amarah malah ngompor-ngomporin. Gue gak mungkinlah suka sama cowok kayak gitu! Kayak gak ada cowok lain ajaaa." Ucap Cefi.
"Lagian nih ya, dia itu jeleeek. Jeleeek banget. Ceking, tinggi, ngeselin, serem kayak barongsai. Udah dah. Lengkap jangan sampe deh lo-lo pada ketemu sana dia. Di kompleks gue aja, dia itu cowok paling jelek, paling busuk, paling burik. Ihhhh, enggak dah enggak banget." Sambung Cefi. Tentu saja semua yang dikatakan oleh Cefi bukanlah yang sebenarnya.
Baron justru bertubuh tinggi, badannya bagus, tampan, kulitnya putih bersih, dan menjadi idaman semua warga kompleks.
"Udahlah. Males gue ngomongin dia." Kata Cefi yang ingin mengakhiri pembicaraan tentang Baron.
"Yaudah-yaudah, ehhh gue punya gosip baru." Kata Amel.
"Apa?" Tanya Cefi.
"Gue tadi sama Putri liat ada 5 mahasiswa yang dateng ke ruang Kepsek. Gue yakin kalau mereka bakalan PKL di sini. Iya, kan Put?" Tanya Amel kepada Putri.
"Iyaaa, dan ada 2 mahasiswa yang ganteng asli. Tapi yang satu ganteng bangetttt." Ucap Putri berbinar-binar.
"Oh yaaa? Lo liatnya kapan?" Tanya Cefi.
Cefi yang mendengar ada cowok ganteng tentulah menjadi semangat. Bagaimana pun dia sama seperti siswa SMA lainnya, tergila-gila pada mahasiswa tampan.
"Tadi pagi. Tapi kayaknya sekarang udah pulang deh." Kata Amel.
"Yah, parah lo baru kasih tau kita sekarang. Kita kan juga mau liat ya, Cef?" Kata Dara.
"Emang Lo suka laki juga, Dar?" Tanya Mel.
"Sialan." ucap Dara.
Cefi, Putri, dan Amel pun langsung tertawa terpingkal-pingkal. Di antara mereka berempat, memang Daralah yang yang belum pernah pacaran. Lihatlah bagaimana penampilan, rambut pendek, pakai topi, dan juga baju digulung. Siapa laki-laki yang mau dengan perempuan seperti itu?
Awan terlihat mendung, Cefi baru saja turun dari angkot. Meski dia memiliki mobil di rumah, juga bisa naik kendaraan online, namun ntah mengapa dia lebih suka naik angkot. Karena dari tempat turunnya angkot, dia bisa berjalan terlebih dahulu ke rumahnya yang masuk ke dalam Kompleks Bintang dan melihat pemandangan kompleksnya yang asri. Aneh memang tapi kalau tidak aneh, bukan Cefi namanya.
Cefi menatap awan dan tersenyum, dia sama sekali tidak keberatan kalau harus kehujanan di jalan, sebab dia menyukai hujan. Namun, sepertinya, hal itu tidak mungkin terjadi mengingat meski sudah mendung, gerimis tidak juga jatuh padahal dia sudah berjalan pelan-pelan dari halte turunnya angkot menuju ke rumahnya.
"Sayang, kita kenapa sih nggak satu kelompok aja? Kan kamu bisa pindah ke kelompok aku. Aku nggak mau jauh-jauh dari kamu, Sayang. Aku mau kita ngajar di satu sekolah, biar kalau aku ada materi yang gak bisa, bisa tanya kamu." Suara seseorang mulai terdengar di telinga Cefi.
"Sayang, maaf ya. Kelompok kita udah ditentuin sama prodi. Sekolahnya juga sama, ditentuin juga. Jadi, aku atau kamu gak bisa pindah soalnya ngurusnya juga ribet, Sayang. Cuma 3 bulan kok sabar yaaa. Kamu kan masih bisa telepon aku kalau ada yang kamu gak ngerti." Ucap Baron sambil menyampirkan rambut pacarnya ke belakang telinga.
Senyum mengembang di bibir pacarnya Baron karena Baron terlihat lembut sekali. "Yaudah deh, Sayang. Tapi kita sepulang ngajar harus sering ketemu yaaa."
"Iya, Sayang."
Cefi pun langsung menajamkan pandangan. Ternyata di sana ada seorang seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Baron. Cefi bisa melihat kalau almamater yang dikenakan gadis itu dan Baron sama.
Sebuah ide terlintas dibenak Cefi.
"Sayaaang!" Seru Cefi yang langsung berlari ke arah Baron dan langsung memeluk Baron.
"Astaghfirullah, lo ngapain anjir!" Pekik Baron yang langsung mencoba melepaskan Cefi begitu saja.
"Ya ampun, Sayang. Kok kamu tega banget sih. Kamu selingkuh dari aku ya? Heh, cewek. Lo pelakor ya? Parah banget sih cantik-cantik pelakor." Cerocos Cefi.
Ucapan Cefi membuat Baron ingin memakan Cefi hidup-hidup.
"Antibiotik! Lo bener-bener ya!" Baron menatap Cefi dengan kesal.
Kemudian, Baron menatap pacarnya, orang yang lebih penting dari pada Cefi untuknya saat ini, "Sayang, dia bukan siapa-siapa aku. Dia cuma orang gila sayang, jangan dengerin dia ya?" Kata Baron yang mencoba mengambil tangan pacarnya yang kini menatap Baron dengan tatapan marah.
"Enak aja orang gila. Kita itu pacaran. Kita baru jadian dua bulan yang lalu. Kamu kok jahat banget sih? Yaudah kita putus!" Tanya Cefi sambil pura-pura menangis dan langsung berjalan pergi meninggalkan Baron.
"Kita baru jadian satu bulan tapi kamu udah jadian sama dia dua bulan. Itu artinya aku selingkuhan kamu? Aku nggak nyangka kamu kayak gitu, Baron. Kita putus! Gue nggak mau kenal lagi sama lo!" Seru perempuan itu yang langsung berlari begitu saja menuju jalan raya.
"Rayaaa! Rayaaa! Tunggu. Ini salah paham! Dia bohong, Raya!" Seru Baron mengejar Raya.
Namun, Raya langsung masuk ke salah satu taksi yang lewat dan meninggalkan Baron sendirian.
Di tempatnya, Cefi yang tidak mau melewatkan momen itu langsung merekam bagaimana Baron yang sedang mengejar perempuan itu sambil terkekeh. "Emang enak lo! Putus lagi, putus lagi! Hahahaha!" Cefi langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya.
Baron yang melihat bagaimana pacarnya pergi, pun mengepalkan tangan dan langsung berbalik, ingin meminta pertanggungjawaban dari Cefi.
"Antibiotikkk! Abis lo sama gue!" Seru Baron yang langsung berlari ke arah Cefi.
Cefi yang terkejut pun langsung berbalik dan berlari sambil tertawa terbahak-bahak, "Emang enak lo. Jomlo lagi, jomlo lagiii jahahahaha!"
"Berhenti gak lo!" Seru Baron.
Jarak Baron dengan Cefi sudah sangat dekat. Membuat Cefi panik setengah mati.
Tak lama kemudian, Cefi merasakan tangannya ditahan oleh seseorang. Dia pun langsung bisa mengetahui kalau orang itu adalah Baron. "Mamaaa! Tolong Xaviera mama! Baron mau melakukan tindak asusila!"
Baron pun langsung memutar tubuh Cefi hingga kini Cefi menghadap Baron, "Lo tuh bener-bener ya, Antibiotik. Bisa gak si lo gak ganggu hidup gue sehari aja? Kalau gue jadi perjaka tua gimana?!" Seru Baron.
Cefi yang mendengar hal itu pun langsung terkekeh begitu saja, "Hahahahahaha emang itu yang gue mau."
"Sialan. Lo harus jelasin ke cewek gue kalau lo cuma bohong!" Ucap Baron sambil menunjuk ke arah Cefi.
"Dihhh, nggak mau. Ogah amat. Jelasin aja sendiri." Ucap Cefi tak mau kalah.
"Nak, ada apa ribut-ribut?" Tanya Bu Laras yang keluar dari rumahnya.
Bu Laras melirik tangan Baron yang ada di tangan anaknya. Baron yang melihat tatapan itu langsung sadar dan langsung melepaskan tangan Cefi, dia tidak mau kalau sampai ibunya Cefi sampai salah paham dengannya.
"Maaf, Tante. Ini dia ngeselin Tante." Ucap Baron.
"Yeuuu, enggak, Ma. Bohong. Orang dia abis putus sama pacarnya yang disalahin aku." Kata Cefi.
Baron kesal setengah mati. "Ya kalau lo gak ngaku-ngaku sebagai cewek gue, gue sama cewek gue gak bakalan putus!" Ucap Baron kesal.
"Bodo amat. Ayo, Ma. Kita masuk ajaaa. Hahaha emang enak jomlo."
Cefi langsung menarik tangan ibunya untuk masuk ke dalam rumah. Sesampainya dia menutup gerbang, Cefi terkekeh begitu saja. Dia merasa puas dengan apa yang dilakukannya. Dia bisa membayangkan kalau Baron sekarang sedang kesal kepada dirinya.
"Kamu nggak boleh gitu, Sayang. Kasian Nak Baron." Ucap Ibu Larasati.
"Biarin aja, Ma. Biar tau rasa."
"Hus!"
Cefi hanya bisa nyengir kuda ke arah ibunya. Kemudian dia pun masuk ke dalam rumah.
Malam pun datang. Cefi pun mengambil ponselnya. Dia langsung mencari aplikasi untuk membaca novel sampai akhirnya sebuah pesan masuk di Grup Capdar (Cefi, Amel, Putri, Dara).
Amel: Gue gak sabar mau ketemu sama mahasiswa PKL itu deh 🤩
Cefi: Emang mereka besok ke sekolah?
Putri: Katanya Bu Nur mereka mulai ngajar awal bulan. Dua hari lagi berarti kan?
Dara: Besok udah awal bulan Pele. Liat kalender sana!
Putri: Oiya, lupaaa. Maaf-maaf.
Cefi: Wkwkwkwk ngablu lo ya?
Amel: Kurang-kurangin put ... Put wkwkwk
Dara: Sorry-sorry gue boker dulu baru nimbrung lagi.
Amel: Anjirrr
Cefi: Peleee
Putri: Astaghfirullah. Mending kita juga udahan aja yuk chatnya, besok kan ulangan matematika.
Amel: Bukan kita kali, Put. Kita bertiga doang si Cefi mah gak ikutan.
Putri: Oiya, Cefi harus ngumpulin tugas yang kemarin dulu ya baru boleh ulangan?
Cefi terperanjat di tempatnya. Dia seketika teringat kalau dirinya memiliki tugas matematika khusus dari gurunya karena selama ini dia tidak pernah mengerjakan tugas sehingga tidak boleh ikut ulangan.
Cefi: Astagaaa, gue lupa 😭😭😭. Gimana donggg?
Dara: Ya kerjainlah pake nanya
Putri: Dara, maaf kamu bukannya lagi di kamar mandi?
Dara: iya, ini lagi nongkrong hahahaha.
Amel: gblk. Wkwkwk
Cefi: kalian gak ada yg mau bantuin gue apa?
Amel: otak kita aja pas-pasan, Cef. Lo mending minta tolong Barongsai lo aja. Kata lo dia pinter
Cefi: Duh, gue abis bikin dia putus sama pacarnya.
Dara: Gue mencium bau-bau ...
Cefi: Bau kentut lo.
Amel: wkwkwkwk udah sanaaa
Putri: iya, Cef, dari pada kamu gak bisa ulangan. Nanti ngulang lagi satu tahun.
Dara: Bener tuh. Mau apa 20 tahun masih kelas 12? Gue si malu
Amel: jujur bat si dara wkwkwk
Dara: jujur tetap lebih baik.
Cefi: BRISIK lo-lo pada!
Cefi pun langsung berjalan menuju ke balkon. Dia mengamati rumah di depannya. Kamar Cefi memang berada di lantai dua dan di seberang sana, Baron juga menempati kamar di lantai dua. Cefi pun menggaruk kepalanya, dia merasa bingung harus berbuat apa.
"Gue minta tolong dia apa nggak ya?" Ucap Cefi. "Tapi kalo gak minta tolong gue bisa ngulang kelas 12 lagi anjir." Sambungnya.
Cefi pun langsung menghela napas. Dia sepertinya memang harus datang ke rumah Baron. Namun, Cefi malu untuk minta tolong pada Baron, terlebih Baron sedang marah padanya, sehingga ibunya adalah jalan ninja bagi Cefi.
"Maaa ..." Panggil Cefi.
"Kenapa, Sayang? Kok teriak-teriak?" tanya Ibu Larasati.
"Aku ada PR matematika, mama tolong bantuin aku buat kerjain ya? Atau papa mana?" Tanya Cefi.
"Papa belum pulang, Sayang. Katanya papa lembur malam ini. Duh, mama mana bisa, Xaviera. Mending kamu minta tolong Nak Baron aja." Usul Bu Larasati.
Cefi tersenyum samar. Memang itu tujuannya. Orang tua Cefi tentulah tidak bisa membantunya mengajarkan pelajaran sekolah. Ibunya Cefi sama sekali tidak bisa, sedangkan ayahnya Cefi kadang terlalu lelah untuk mengajar karena sudah lelah bekerja di kantor.
"Nggak mau ah, Barongsai suka nggak mau ngajarin. Pelit ilmu dia." Kata Cefi.
"Yaudah, mama anterin aja. Kalau mama yang minta pasti dia mau ngajarin." Ucap Ibu Larasati.
Cefi pun menganggukkan kepalanya begitu saja. "Iya, Ma. Bener tuh bener." Ucapnya.
"Kamu ganti baju dulu sana. Masa pake baju tidur kayak gini?" Ucap Ibu Larasati.
"Iya, Ma." Ucap Cefi yang langsung mengganti baju dengan semangat. Akhirnya, dia berpeluang besar untuk tidak mengulang kelas 12 lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!