Pada malam itu langit dipenuhi dengan warna gelap. Seorang anak gadis yang sedang di bawahnya meringis karena merasa sebentar lagi ia akan diguyur hujan.
Aldara berlari secepatnya agar sampai ke rumah lebih cepat. Wanita itu terus berusaha agar mencapai kediamannya.
Aldara dapat bernapas dengan lega setelah melihat rumahnya yang menjulang tinggi di depannya. Ia pun berlari masuk ke dalam rumah itu, tapi belum sempat ia mencapai teras Aldara mendengar suara erangan yang sangat nyaring.
Tubuh Aldara bergetar kuat ketika ia sangat mengenali suara siapa itu yang barusan menggerang kesakitan di dalam sana. Itu adalah suara ibunya. Aldara dengan panik mengendap-endap masuk ke dalam rumah ingin memastikan apa yang sedang terjadi pada ibunya.
Aldara sangat terkejut saat melihat ada sekumpulan orang-orang yang tengah merampok rumahnya. Tapi bukan itu yang menjadi objek utama Aldara. Ia melihat sang ibu yang tergelatak bersimbah darah dan sudah tak bernyawa lagi.
Aldara menangis kencang dan berusaha menahan tangisnya agar persembunyiannya tak diketahui oleh siapapun.
Ia menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya kejadian mengerikan itu. Aldara tak mungkin tinggal diam melihat rumahnya dirampok dan ibunya dibunuh. Ia menelpon bantuan ke nomor polisi.
Sambil menunggu bantuan, Aldara mendekap tubuhnya dan berusaha untuk bersembunyi. Tangis Aldara pecah dan tak ada yang bisa menenangkan wanita itu saat ini.
Semuanya sudah hancur dan orang yang membuatnya ia bertahan di muka bumi ini sudah tidak ada. Aldara menatap ke depan tepatnya kepada mereka yang terus diam-diam mengangkut harta bendanya bahkan barang-barang kesukaannya dan juga barang ibunya.
Aldara menyimpan dendam yang sangat dahsyat kepada mereka. Apa mungkin ini salahnya karena pulang sekolah terlambat hingga orangtua yang turut menjadi korban.
Terdengar suara sirene mobil polisi yang masuk ke pekarangan rumahnya. Aldara merasa sangat senang dan sedikit mengobati sakit di hatinya.
Sontak saja mereka para perampok itu lekas melarikan diri sebelum tertangkap. Tapi sayangnya, mereka sudah terlambat dan polisi sudah masuk ke dalam rumah tanpa mereka bisa melarikan diri.
Tak ingin ditangkap dengan mudah, para perampok itu pun melawan aparat dengan senjata yang mereka bawa. Aldara menutup telinganya saat mendengar suara tembakan yang terus menusuk di telinganya.
Dada Aldara terasa sangat sesak karena mendengar semua itu di rumahnya yang tak pernah ia sangka akan ada tragedi berdarah seperti malam ini.
Aldara tak sanggup menopang berat badannya. Perlahan matanya pun mulai gelap dan tubuhnya juga semakin lemas. Aldara memejamkan mata dan terjatuh, akan tetapi seseorang menangkap tubuhnya.
Aldara terkejut dan menoleh ke belakang. Ia melihat jika orang itu adalah seorang polisi yang menyelamatkan dirinya.
"Bertahanlah." Aldara ingin bertahan sesuai dengan keinginan polisi itu, tapi ia benar-benar pusing dan ditambah dengan bayang-bayang mengerikan yang terjadi di depan matanya membuat Aldara tak bisa bertahan lebih lama.
"Maaf." Satu kata yang keluar dari mulut Aldara dan setelah itu ia kehilangan kesadarannya.
Sang polisi yang menahan tubuh Aldara pun terdiam dan menatap penuh prihatin kepada polisi tersebut.
"Seharusnya aku yang minta maaf," ujar polisi tersebut dan langsung membawa tubuh Aldara keluar dari rumah dan dilarikan ke rumah sakit.
Pun sama dengan jenazah ibunya yang langsung dirujuk ke rumah sakit untuk diotopsi takut ada kejanggalan di sana serta ingin mengetahui bagaimana ia dibunuh.
__________
Aldara memandang nisan di depannya dengan pandangan sakit. Ia baru saja kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Aldara tak berhenti menangis di atas batu nisan tersebut.
"Mama! Kenapa kau meninggalkanku dengan begitu cepat? Aku membencinya Mama! Mama aku tak bisa hidup sendiri di sini. Hiks, tolong aku Mama!" Harapan Aldara benar-benar tak ada lagi.
Semuanya sudah jelas jika ia tak memiliki cahaya di masa depan. Aldara ingin orang yang selalu mendampinginya adalah ibunya.
Tapi Tuhan berkehendak lain hingga ibunya Aldara pun memutus nyawa dengan sangat menggenaskan.
Hujan kembali turun dan Aldara beranjak sembari menghapus air mata. Pandangannya lurus ke depan menatap nisan sang ibu.
"Selamat tinggal Mama. Maaf Aldara tak bisa menemanimu." Perlahan Aldara meninggalkan kuburan sang ibu yang masih basah dan penuh dengan bunga di atasnya.
Setiap langkah Aldara ia selalu terbayang-bayang dengan wajah sang ibu serta kenangan bersamanya yang sangat banyak. Aldara tak yakin jika ia sanggup pergi dari kuburan sang ibu, jika ia bisa kalau perlu Aldara akan menginap di kuburan ini.
Ia menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya dan berusaha untuk melawan nafsunya yang ingin tidur di kuburan.
Tidak mungkin hal itu ia lakukan walau bisa saja terjadi.
"Apa yang sudah kau pikirkan Aldara?" tanya Aldara pada dirinya sendiri dengan tidak mengerti. Ia pun menarik napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ia terlalu bodoh ingin melakukan hal nekat seperti itu. Belum tentu ibunya merestui dirinya melakukan hal tersebut.
Sedangkan di balik pohon besar ada seseorang yang terus memperhatikan Aldara. Orang itu berpayung hitam dan berpakaian hitam. Ia menatap sedih dan juga merasa bersalah kepada Aldara.
Ia tak bisa melakukan tugasnya dengan benar dan sangat lalai. Melihat Aldara yang semakin menjauh dan ia pun turut mengikuti Aldara.
Hingga Aldara tak bisa lagi tahan dan ingin jatuh pingsan. Namun sebelum hal itu terjadi ia lekas menghampiri Aldara dan menahan tubuhnya
Aldara menatap sayu-sayu kepada orang itu. Ia mengernyitkan keningnya merasa penasaran tapi Aldara tak bisa berpikir jernih hingga ia pun akhirnya menutup mata tanpa ia bisa melihat dengan jelas siapa yang telah menolongnya tersebut.
Ia menarik napas panjang. Mengusap kepala Aldara penuh dengan kasih dan sayang kemudian membawa Aldara pergi dari sana.
"Tidak baik terlalu larut dalam kesedihan. Aku tahu aku tak mengerti dengan maslahat mu tapi aku yakin kau bisa melewati semua ini dengan mudah. Jadi jangan pernah lah menyerah untuk berjuang cantik," ucapnya dan kemudian pergi sembari menggendong tubuh Aldara yang sudah tak memiliki kesadaran.
__________
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Aldara membuka matanya dan menatap ruangan yang serba putih. Awalnya ia bingung kenapa bisa berada di tempat ini, tapi memorinya pun kembali berputar pada saat kejadian ia hampir kehilangan kesadaran. Aldara menarik napas panjang. Kenapa bisa-bisanya ia berpikir ingin tidur di kuburan tadi. Memalukan.
"Aldara!" Aldara menatap k arah pintu dan ia tersenyum melihat jika teman-teman satu sekolahnya yang datang.
Mereka sangat khawatir kepada Aldara dan Aldara merasa bahagia karena masih memiliki orang yang amat peduli padanya seperti mereka.
"Kalian datang?" tanya Aldara merasa bahagia. Ia pun berusaha untuk bangun dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang rumah sakit.
"Aldara. Kami turut berdukacita. Kami tahu apa yang sudah terjadi pada kamu adalah sesuatu yang tidak ringan. Tapi kami yakin kau pasti bisa melewatinya." Aldara mengangguk beberapa kali dan ia juga merasa jika dirinya suatu hari nanti akan kuat.
"Terima kasih. Kalian sudah datang ke sini dan aku tak bisa menyediakan apapun."
"Hey kau ini sedang sakit kenapa kau bisa-bisanya berpikir ingin menyediakan sesuatu kepada kami. Seharusnya kami yang membawakan sesuatu untuk mu. Nih kami bawakan pisang kesukaan kamu."
Aldara tertawa melihat pisang satu sisir yang dibawa mereka untuknya. Memang Aldara sangat menyukai pisang dan itu bukanlah sebuah rahasia umum lagi.
"Terima kasih. Kalian benar-benar membuat ku terharu. Baru kali ini aku diberi suprise yang sangat wow."
Maya dan Indri pun memutar bola mata mereka. Apa yang sedang dibicarakan oleh Aldara? Padahal hadiah mereka hanyalah sesisir pisang dan juga buah-buahan yang tak ada apa-apanya.
"Kau ini! Padahal sangat sederhana."
"Baiklah, sederhana tapi juga sangat berharga buat ku."
Mereka pun saling tersenyum lebar dan tertawa. Inilah persahabatan yang sangat erat. Mereka saling menguatkan satu sama lain.
"Aldara. Apakah kau juga menginginkan sesuatu?" tanya Indri yang duduk di samping Aldara. Ia memijat tubuh Aldara.
Aldara yang merasakan pijatan itu merasa terkejut dan langsung berpindah tempat duduk.
"Apa yang kau lakukan Indri? Tidak usah, aku baik-baik saja."
Maya menghela napas panjang dan meraih tangan Aldara. Tangan tersebut amatlah pucat dan juga terasa sangat dingin. Maya bahkan menahan napasnya melihat kondisi Aldara yang benar-benar buruk.
"Kau tahu kau sedang tidak sehat begini dan masih saja keras kepala."
"Tapi aku benar-benar tidak ingin."
Aldara pun terdiam sejenak. Pijatan yang dilakukan Indri mengingatkannya pada suatu kebersamaan dengan sang ibu. Di mana saat itu Aldara sangat kekalahan dan ibunya akan membantu memijat tubuhnya. Kenangan itu sangat manis dan Aldara bahkan tak pernah berpikir jika dirinya akan kehilangan sosok tersebut di hidupnya.
Tanpa sadar ia kembali menangis yang membuat kedua temannya merasa bingung dan panik.
"Apa yang terjadi pada mu Aldara? Apakah kami menyakiti mu?" tanyanya pada Aldara.
Aldara menggeleng lemah. Bukan mereka yang membuat Aldara sedih tapi sesuatu yang kembali teringat di kepalanya lah yang membuat Aldara menangis.
"Aku hanya merindukan Mama."
Aldara menarik napas panjang dan menghapus air matanya. Ia menatap teman-temannya dengan pandangan yang kuat tanpa ada maslaah apapun di wajahnya.
"Kau tahu, kau sangat menyedihkan jika seperti itu. Sudahlah, sini kami peluk." Mereka dengan kompak memeluk tubuh Aldara penuh kasih sayang.
Aldara tak bisa menahan air matanya yang meledak-ledak membuat Aldara merasa jika penderitaannya berkurang dengan hadirnya mereka.
Tapi di tengah rasa kesedihan itu Aldara merasa jika ada sesuatu yang sangat mengganjal. Di mana merasa jika dirinya diselamatkan oleh seseorang sebelum pingsan dan bangun sudah berada di tempat ini.
Akan tetapi siapa yang sudah melakukan hal tersebut? Aldara merasa bingung dengan dirinya sendiri karena ia pun tak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang sudah membantunya tersebut.
Aldara ingin berterima kasih tapi sudahlah, karena dirinya baik-baik saja dan orang itu yang niatnya membantu sudah tak ada, Aldara hanya membiarkan saja semoga Tuhan lah yang membalas kebaikan laki-laki yang telah menolongnya.
____________
Setelah mengalami penderitaan yang sangat panjang, Aldara sudah bisa masuk sekolah kembali. Anak itu mengawali hidup dengan lembaran baru dan ingin dirinya tak lagi hidup dengan kesedihan.
Berminggu-minggu Aldara sakit hingga ia akhirnya bisa kembali bersekolah. Tak ada yang mengurus Aldara di rumah karena setelah paska perampokan yang terjadi di rumahnya ia tak lagi memiliki siapa-siapa.
Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya menjadi korban pembunuhan.
"Aldara!" sapa teman-teman sekelasnya saat melihat Aldara kembali masuk ke sekolah.
Ah ya Indri dan Maya tak sekelas dengannya dan kelas mereka juga sangat jauh. Hingga Aldara tak memiliki teman yang banyak. Ia memang anak yang tipe introvert, sedangkan Indri dan Maya adalah temannya semasa kecilnya hingga besar dan satu sekolah tapi sayangnya dia tak satu kelas.
Mereka semua di dalam kelas ini juga tahu jika hal buruk telah menimpa Aldara. Mereka juga turut berduka cita dan mengirimkan bantuan untuk Aldara.
"Hay!" sapa Aldara balik dengan ramah. Sapaan nya begitu kaku karena Aldara memang sedikit susah untuk bersosialisasi.
Aldara duduk di kursi paling belakang dan melemparkan senyum kepada semua teman-temannya yang tampak sangat peduli padanya.
Mereka menghampiri Aldara dan memberikan beberapa hadiah untuk membantu Aldara.
"Apa yang kalian lakukan? Ini tidak perlu," ujar Aldara dan menolak pemberian mereka.
Mereka memasak agar Aldara tetap menerimanya.
"Hey rezeki tidak boleh ditolak," ucap mereka dan kemudian pergi.
Aldara menatap beberapa kado yang mereka berikan. Aldara tersenyum dan menyimpan kado mereka.
Aldara memang tak memiliki teman dekat di kelas ini tapi kelasnya sangat peduli kepada sesama. Bukan tak ada yang ingin berteman dengan Aldara akan tetapi perempuan tersebut lah yang sedikit susah untuk berteman.
Sembari menunggu guru masuk ke dalam kelas, Aldara menghabiskan waktunya untuk membaca novel kesukaannya. Hanya novel itu yang menjadi penghibur Aldara di saat kesendirian.
Hingga terdengar suara derap langkah kaki yang Aldara tahu jika itu adalah gurunya. Ia menatap ke depan dan melihat jika orang itu benar adalah gurunya. Ia pun berhenti membaca novel dan menyimpannya ke kolong meja.
"Selamat pagi anak-anak!"
"Selamat pagi Buk."
____________
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Aldara menatap anak-anak yang ingin keluar gerbang dan beradalih ingin membeli sesuatu di luar sekolah dan menjadi suruhan guru itulah alasannya.
Tentunya sang satpam itu tak percaya begitu saja dan sangat marah ketika tahu kebohongan mereka. Satpam itu baru beberapa hari bekerja dan Aldara baru tahu karena ia jarang masuk sekolah.
Tapi ia mendengar desas-desus jika sang satpam sangat galak dan dibenci oleh banyak siswa dan siswi. Aldara tak ambil pusing akan hal itu apalagi satpam tersebut sangat tegas. Aldara malah kagum karena tak ada rasa takut sama sekali di diri satpam itu kepada mereka dan juga anti sogok-menyogok.
Memang seperti itulah karakter satpam yang seharusnya. Ia pun berusaha untuk mengabaikan dan melewati satpam tersebut, tapi Aldara terhenti dan menatap ke arah sang satpam lagi karena ia merasa penasaran apakah satpam itu sangat tampan atau tidak seperti yang juga ramai di kalangan para siswa.
Ia menatap dengan seksama dan Aldara terkejut karena ketampanannya. Hal itu jugalah yang membuat sang satpam populer di kalangan siswa. Di balik mereka yang sangat membenci sang satpam ternyata juga menyimpan rasa kagum kepada satpam tersebut.
Aldara juga merasa jika dirinya turut menjadi korban dari sang satpam. Wajahnya tersipu malu dan segera pergi setelah membenarkan letak kacamatanya.
Baru kali ini Aldara merasa jika dadanya kembang kempis dengan sangat cepat. Aldara menyentuh dadanya tersebut seraya bergumam, "ada apa dengan diriku oh Tuhan?" tanya Aldara sembari berusaha untuk menahan senyum di wajahnya.
Sementara itu sang satpam mendengar suara seseorang berlari sontak menatap ke arah sumber suara.
Ia diam memandang tubuh seorang wanita yang tengah berlari kencang. Ia tersenyum tipis karena merasa gemas dengan tingkah anak murid tersebut.
"Kenapa kami tidak boleh keluar? Padahal kan kami diminta Guru untuk membeli makanan."
Sang satpam tersebut menggelengkan kepalanya. Ia berkacak pinggang dan menatap para siswa yang tak bertanggung jawab itu dengan galak.
"Meminta dibelikan sesuatu? Apakah di kantin tak ada dijual? Jika disuruh oleh guru mana surat izinnya?" tagih sang satpam.
Satpam baru mereka kali ini benar-benar susah ditaklukkan tak seperti satpam sebelumnya yang sangat ramah.
Mereka hanya mendengus keras dan kemudian pergi dengan kekecewaan karena tak berhasil mengelabuhi sang satpam.
"Dasar anak zaman sekarang ada-ada saja kelakuannya," ujarnya dan duduk di pos.
Sementara itu Aldara di dalam perpustakaan terus terbayang dengan wajah sang satpam yang ia lihat di depan gerbang.
Dia sangat tampan. Aldara bahkan tak bisa berpikir jernih dan fokus kepada novelnya. Aldara berusaha untuk meyakinkan jika dirinya sedang tak jatuh cinta.
"Bagaimana mungkin aku jatuh cinta hanya karena tampang?" tanya Aldara kepada dirinya sendiri. "Kau mandang fisik, Aldara. sudahlah hentikan pikiran konyol mu ini."
Aldara memukul kepalanya menggunakan buku novel yang dipegangnya.
"Auuu sakit juga ternyata," ujar Aldara yang baru sadar jika memukul kepala sendiri juga terasa sakit.
Ia menghela napas kasar dan merenung di depan meja. Aldara tak sadar jika ada petugas perpustakaan yang datang dan mencolek bahunya.
"Hoy!"
"Hah? Ada apa?" tanya Aldara terkejut dan menatap petugas perpustakaan yang berjenis kelamin pria tersebut yang sudah duduk di sampingnya.
"Kenapa kau melamun dan memukul kepala mu sendiri?" tanyanya membuat Aldara terkejut. "Wajah mu juga memerah. Hayo cerita ada apa?" tanyanya pada Aldara membuat Aldara terpojok kali ini.
"Ishhh bukan apa-apa. Muka Aldara juga tidak merah," ujar Aldara seramah mungkin kepada petugas perpustakaan itu.
"Kau berbohong Aldara. Ayolah cerita." Aldara merasa tak nyaman dengan kehadiran sang petugas perpustakaan tersebut.
Bukan rahasia umum lagi jika sang petugas perpustakaan tertarik kepada Aldara. Hanya Aldara yang tak menyadarinya. Bahkan banyak orang merasa heran kepada Niko yang menyukai Aldara. Karena Aldara adalah cewek nerd dan juga susah bersosialisasi sementara itu Niko adalah anak yang ceria dan juga pria itu sangat tampan dan populer di kalangan para siswa.
"Maaf tapi aku harus pergi," ujar Aldara dan kemudian pergi.
Niko terdiam dan ia menghela napas panjang karena tak bisa menaklukkan Aldara. Akan tetapi itulah yang menjadi tantangan baginya tak seperti kebanyakan wanita yang mabuk dengan pesonanya.
"Benar-benar gadis yang menarik."
____________
Aldara merasa terkejut ketika rantai sepedanya terbuka. Ia dengan susah payah membenarkan rantai sepedanya.
Hingga seseorang datang menghampiri Aldara lalu memberikan bantuan untuk Aldara.
"Apa aku bisa membantu mu?" Aldara menatap ke arah orang yang baru saja menawarkan bantuan kepadanya.
Tapi tatkala sudah melihat wajah sang objek malah ia terdiam dengan wajah yang tersipu. Aldara berusaha untuk menahan dirinya mati-matian agar tak terbawa dengan pesona sang satpam.
"Hah? A...apa?" tanya Aldara terbata-bata dan lekas menjaga jarak karena jika berdekatan maka tak baik untuk jantungnya.
"Aku ingin membantu mu," ujarnya dan berjongkok lalu membenarkan rantai sepeda Aldara.
Aldara menatap sang satpam dengan pandangan penuh memuja dan juga menyimpan kesakitan karena ia merasa jika tak mungkin Aldara bisa mendapatkan seorang satpam.
"Ji... jika bo..***..eh tahu si..siapa nama mu?" tanya Aldara dengan suara terdengar jelas sangat bergetar.
Aldara merutuki dirinya yang tak bisa menahan diri di depan sang empu. Tangannya saling meremas memohon bantuan kepada Tuhan agar dirinya bisa diselamatkan olehnya.
Sang satpam itu berhenti memperbaiki rantai sepeda Aldara. Saat ia menoleh kepada Aldara, Aldara tak bisa menahan napasnya karena ketampanan sang satpam yang menurutnya sangat di luar nalar.
Aldara menjadi terbata-bata jika di hadapan satpam itu. Ia menggaruk kepalanya dan berusaha untuk mengalihkan wajahnya agar tak ketahuan jika saat ini ia tengah salting berat.
"Ah ya nama ku adalah Samuel," ucapnya dan sangat dingin.
Dari suaranya saja Aldara merasa sangat meleleh. Tapi nada dingin yang terdengar jelas dari pria itu membuat Aldara untuk mundur. Lebih baik mengagumi sang satpam bernama Samuel itu secara diam-diam saja. Mungkin itu lebih baik untuk dirinya.
"Huh, dia sangat dingin. Pantas saja anak-anak banyak mengatakan jika dia sangat galak dan mengerikan. Ternyata memang seperti itu."
"Sudah selesai. Kau bisa pulang."
Aldara mengangguk dan menunggangi sepedanya. "Terima kasih."
"Hm."
___________
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!