“Aku hamil, Max”
Seorang wanita berumur dua puluh empat tahun, memandang seorang pria yang kini berdiri di hadapannya. Wanita berkebangsaan Prancis itu menatap sendu juga bahagia karena ada janin yang tumbuh di rahimnya.
Namun, hal yang dirasakan wanita itu dengan sang pria tampaknya berbeda. Pria itu langsung mundur saat mendengar sang wanita hamil.
“Tidak, Lusy.” Pria bernama Max itu memungkiri kehamilan wanita yang sudah dipacarinya selama berbulan-bulan.
Lusy begitu terkejut dengan sikap Max, apa maksud dari kata tidak yang terlontar.
“Aku benar-benar hamil, Max. Ini sudah berumur dua bulan,” kata wanita bernama Lusy Fernandez itu sambil menyentuh perutnya.
“Gugurkan, Lu!” perintah Max sambil sedikit mengangkat dagu.
Bak tersambar petir di siang hari, Lusy tidak menyangka jika pria yang menghamilinya malah memintanya menggugurkan kandungan.
“Apa maksudmu? Kamu tidak mau bertanggung jawab, hah?” Lusy mendekat cepat ke arah Max, lantas menarik lengan pria itu dan sedikit menggoyangkannya.
Max menepis kasar tangan Lusy, hingga kemudian menghardik wanita itu. “Aku sudah menikah, aku tidak bisa bertanggung jawab atas bayimu!”
Salju yang turun di bulan itu, semakin membuat beku hati Lusy saat mendengar pria yang dicintainya ternyata telah beristri. Lusy bergeming, memandang pria yang sangat dipercayai dengan hati yang begitu terluka.
“Gugurkan kandungan itu, aku akan memberimu uang! Sekarang, pergilah dulu dari sini!” perintah Max, sebelum kemudian berlalu meninggalkan Lusy di taman itu sendirian.
Hati Lusy begitu hancur, dia hamil di luar nikah dan sekarang baru mengetahui fakta kalau pria yang dicintainya beristri. Lusy memandang punggung Max yang menjauh darinya, telapak tangan menutup mulut yang seperti ingin menjerit. Lusy terduduk di kursi bangku taman, meratapi kebodohannya yang percaya begitu saja dengan pria, hingga kini dirinya hamil tanpa suami.
**
Lusy mengemudikan mobil menembus jalanan yang dihujani dengan salju. Air mata tidak berhenti luruh, meski Lucy sudah mencoba menghentikannya. Wanita itu mengeluarkan ponsel, lantas menghubungi seseorang.
Suara seorang wanita terdengar dari seberang panggilan, Lusy makin terisak karena memikirkan kebodohannya.
“Joy, aku menemuinya,” ucap Lusy membalas perkataan temannya yang bernama Joya.
“Joy, dia tidak mau mengakui. Dia sudah beristri, apa yang harus aku lakukan?” Lusy semakin terisak mengatakan fakta yang membuat dadanya sakit ke sahabat baiknya itu.
Suara temannya terdengar panik dari seberang panggilan, menanyakan di mana Lusy tapi wanita itu tidak menjawab dan terus meracau karena kebingungan.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Joy. Bagaimana dengan bayi yang ada di rahimku, apa yang harus aku lakukan?” Lusy terus meracau karena takut dan bingung.
Lusy sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini selain Joya—sahabat yang dikenalnya karena mereka bekerja di satu perusahaan yang sama dan tinggal di apartemen yang sama. Lusy benar-benar ketakutan, kehamilannya kini dianggap sebuah aib baginya karena pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab.
Lusy mendengar Joya terus bertanya di mana dia sekarang, tapi Lusy masih begitu sedih hingga terus saja menangis sambil mengemudikan mobil di jalanan tanpa arah.
“Joy, kenapa nasibku seperti ini? Kenapa aku tidak mendengarkanmu? Kenapa aku bodoh?” Lusy kembali meracau, kedua telapak tangan menggenggam erat stir kemudi dengan linangan air mata yang membasahi pipi.
Dari seberang panggilan, Joya terus memberikan dukungan ke Lusy, mengatakan jika semua bukan salah teman yang terpaut umur tiga tahun lebih muda darinya itu, lantas meminta agar Lusy tenang.
Lusy mendengar Joya yang begitu mencemaskannya, bahkan temannya itu memintanya untuk menepikan mobil karena akan disusul Joya. Namun, Lusy benar-benar larut dalam kesedihan, sampai-sampai tidak mendengar dan hanya terus menangis.
“Lu, kamu mendengarkanku?” tanya Joya dari seberang panggilan.
“Aku mendengar,” balas Lusy dengan masih sesenggukan.
Joya kembali bicara dan meminta Lusy agar menepi, Lusy mengangguk dan berkata akan menepi. Hingga Lusy sangat terkejut saat melihat seorang wanita tua tiba-tiba menyeberang jalan yang tertutup salju. Lusy berusaha menghentikan mobil dengan menginjak pedal rem dalam-dalam, tapi jalanan yang licin membuat ban mobil tidak bisa berhenti dengan cepat.
Terdengar suara decitan ban yang bergesek dengan aspal, begitu keras sampai Joya yang masih terhubung dengan panggilan, bisa mendengar suara decitan dan mesin mobil yang dipaksa berhenti mendadak.
“Lusy? Apa yang terjadi? Lusy?”
Dari seberang panggilan, Joya berteriak memanggil untuk menanyakan apa yang terjadi terhadap Lusy.
Lusy begitu terkejut dengan yang terjadi, kedua tangan gemetar bahkan kaki tidak sanggup digerakkan karena begitu takut. Dia pun membuka pintu mobil, turun dengan tubuh gemetar dan wajah masih basah karena sejak tadi terus menangis.
Lusy langsung membungkam mulut saat melihat apa yang tidak sengaja diperbuatnya.
“Ya Tuhan.”
Kedua kaki Lusy terasa lemas, hingga tubuh wanita itu terduduk di aspal yang berselimut salju. Dia melihat wanita tua yang terbaring di jalanan bersimbah darah dan sudah tidak bergerak, karena tidak sengaja ditabrak olehnya.
“Kenapa nasibku begitu buruk?” Lusy menangis dan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan.
Hancur dunianya saat mengetahui kekasih sudah beristri, kini masa depannya semakin kelam saat dirinya tidak sengaja menabrak seorang pejalan kaki.
**
“Dasar sialan! Kamu harus mati seperti Nenek kami!”
Seorang wanita mengumpat, bahkan mendorong tubuh Lusy hingga terhuyung dan jatuh ke lantai.
Lusy mencoba menahan tekanan yang didapat, sakit hati belum hilang karena ditinggal kekasihnya, kini dirinya harus berhadapan dengan keluarga wanita tua yang ditabraknya sampai meninggal.
Lusy mencoba bangun, perawat yang ada di sana membantu Lusy karena melihat jika wanita itu begitu syok dan tertekan. Lusy kemudian diminta duduk, sedangkan pria dan wanita keluarga korban yang ditabrak Lusy, menatap bengis ke wanita itu.
Lusy mendapatkan ancaman juga makian. Dia sendiri sudah tidak bisa mendengarkan orang-orang itu bicara karena tekanan yang terus menerus diterima. Tatapannya begitu kosong, hingga tanpa sadar Lusy menyentuh perut.
“Polisi akan datang dan bersiaplah mendapat pengadilan!”
“Kamu harus dihukum mati juga!”
Lusy masih terdiam mendengar semua cacian dan ancaman itu, merasa jika hidupnya sudah hancur, jika semakin hancur pun dia sudah pasrah.
Joya—teman Lusy datang ke rumah sakit setelah Lusy menghubungi dan berkata kalau dirinya menabrak orang sampai meninggal. Teman Lusy itu langsung duduk di samping Lusy, kemudian memeluk erat Lusy yang begitu syok.
Joya memaki wanita dan pria yang sejak tadi mengancam Lusy, meminta mereka tenang sampai polisi datang.
Lusy masih diam, bahkan kini tidak menangis seperti tadi. Dunianya sudah luluh-lantah, tidak ada lagi yang bisa diharapkannya.
Joya terus mengajak bicara Lusy, bahkan mengusap wajah dan merapikan rambut Lusy. Namun, Lusy masih bergeming dalam dekapan Joya.
“Apa aku akan mati di penjara?” tanya Lusy yang akhirnya membuka suara. Dia begitu putus asa dan kehilangan harapan.
Joya mencoba menghibur, berkata jika akan membantu mengatasi masalah Lusy.
Lusy berkata jika begitu menyesal karena telah terbujuk rayuan Max. Kenapa dirinya mau diajak bercinta, hingga akhirnya hamil dan kini malah dibuang. Lusy benar-benar tidak sanggup menghadapi hidup yang kini dijalaninya.
“Joy, aku ingin mati saja. Atau aku gugurkan saja bayi ini, Joy. Aku tidak sanggup. Aku tidak ingin dia merasakan dinginnya dinding penjara, aku tidak sanggup!”
**
Lusy akhirnya harus mendekam di penjara karena kelalaian hingga mengakibatkan nyawa orang lain melayang. Namun, Joya tidak tinggal diam dan meminta bantuan perusahaan untuk memberikan perlindungan hukum ke Lusy, terlebih Lusy dalam kondisi hamil.
Lusy duduk di sel yang begitu dingin, tidak ada alas untuk duduk, hanya ada lantai dan dinding yang terasa dingin. Dia memandang ke arah celah tembok yang terdapat di sisi sel, melihat sinar matahari masuk dari sana.
“Jika aku harus mendekam di sini, seharusnya bayi ini tidak ikut bersamaku. Kenapa kamu harus hadir saat aku terpuruk, kenapa?” Lusy memukul perutnya sendiri, tidak sanggup jika harus hamil kemudian melahirkan di tempat itu. Bagaimana nasib bayinya jika lahir di tempat yang gelap dan mengerikan itu.
**
Lusy divonis penjara hanya tiga tahun, sebab salah satu cucu wanita yang ditabraknya meminta keringanan hukuman untuk Lusy, karena wanita itu tidak sengaja, serta keluarga juga lalai dalam menjaga wanita tua yang sudah pikun itu.
Joya sendiri mencoba memberi kabar ke Max tentang kejadian yang menimpa Lusy, tapi ternyata pria itu tidak acuh serta mengatakan jika tidak peduli lagi dengan Lusy.
“Lu, makan yang banyak, ya.” Joya datang hari itu untuk menjenguk Lusy, gadis itu datang setiap hari untuk memastikan Lusy baik-baik saja.
Wajah Lusy terlihat begitu pucat, mungkin karena sedang hamil muda dan sering mual di pagi hari. Lusy mengangguk, kemudian mengambil alat makan untuk bisa menikmati makanan yang dibawakan Joya.
“Kamu harus makan banyak, agar kamu dan bayimu sehat,” ucap Joya yang senang karena Lusy mau makan.
Lusy berhenti makan, lantas memandang Joya yang tersenyum.
“Joy, aku tidak sanggup menghadapi ini. Bagaimana kalau aku menggugurkan saja janin ini?” tanya Lusy dengan tatapan penuh keputusasaan.
Joya sangat terkejut mendengar ucapan Lusy, hingga kemudian menggenggam erat telapak tangan Lusy.
“Kamu jangan bicara seperti itu, dia tidak bersalah jangan membunuhnya,” pinta Joya.
Lusy menunduk dan buliran kristal bening mulai luruh dari kelopak mata. Kedua pundak bergetar hebat atas permintaannya yang terdengar begitu jahat.
“Tapi aku tidak sanggup melihatnya lahir dan hidup di penjara, Joy. Dia terlalu lemah untuk hidup di tempat gelap seperti ini.” Lusy bicara sambil menangis sesenggukan.
Joya kini menggenggam telapak tangan Lusy dengan kedua telapak tangan, mencoba menyalurkan kekuatan untuk Lusy agar tidak menyerah dengan takdir yang dijalani.
“Dengarkan aku, kamu masih memiliki aku, Lu. Aku akan merawat bayimu jika dia lahir, akan aku berikan dia cinta dan kasih sayang sampai kamu keluar dari sini. Percayalah kepadaku, aku akan merawatnya seperti merawat anakku sendiri!”
Tiga tahun kemudian.
Seorang pemuda blesteran Indonesia-Turki berjalan menggunakan setelan jas rapi dan begitu formal. Dia masuk ke sebuah ruangan yang akan diadakan sebuah acara fashion show. Pemuda itu berjalan dengan gagahnya, wajahnya yang tampan dengan hidung mancung dan tetap memiliki garis tegas di wajah, menarik beberapa staf wanita yang ada di ruangan itu.
“Siapa dia, tampan sekali.” Seorang staf penanggung jawab acar fashion show terkagum-kagum dengan tampang pemuda yang baru saja melintas di depannya.
“Dia adalah direktur utama perusahaan permodelingan yang digunakan desainer kita,” bisik staf wanita lain.
“Astaga, modelnya cantik-cantik dan memukau, direkturnya lebih tampan dan memukau.” Staf wanita itu sangat mengagumi pemuda bernama Zayn Adzriel, putra pertama dari pemilik perusahaan Adz modeling.
Zayn datang ke acara itu untuk memastikan modelnya bekerja dengan baik. Dia memang terbiasa memantau semuanya sendiri. Zayn duduk di kursi deretan paling depan sebelah panggung, menunggu para tamu lain hadir dan acara dimulai.
Saat sedang duduk menunggu, ponsel Zayn berdering. Dia lantas merogoh saku jas dan melihat nama temannya terpampang di sana. Tanpa pikir panjang, Zayn pun langsung menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Ha ….” Baru saja akan menyapa, Zayn sudah mendengar suara temannya dari seberang panggilan bicara sedikit keras.
“Di mana kamu?” Suara teman Zayn terdengar dari seberang panggilan.
“Luar kota, ngapain telepon galaknya kek kucing beranak!” Zayn terkekeh setelah mengatai teman yang dikenalnya karena sebuah balap liar ketika masih belum mengurus perusahaan.
“Sialan! Memangnya aku kucing betina!” Teman Zayn terdengar emosi karena perkataan pemuda itu.
Zayn tergelak mendengar temannya kesal.
“Ada urusan apa nyari?” tanya Zayn kemudian.
“Ada yang ingin aku tanyakan, kapan pulang?” tanya teman Zayn dari seberang panggilan.
“Lusa, begitu sampai aku kabari,” jawab Zayn.
Panggilan itu berakhir setelah teman Zayn membalas. Zayn sendiri memasukkan kembali ponsel ke saku jas, lantas menatap beberapa kursi yang mulai terisi oleh tamu undangan acara fashion show itu.
“Pak Zayn.” Seorang wanita menyapa pemuda itu.
Zayn menoleh dan melihat seorang wanita sudah berdiri di samping kursinya.
“Saya Meghan.” Wanita itu memperkenalkan diri.
Zayn langsung berdiri mendengar nama wanita itu, menatap wanita yang berpakaian begitu modis dan terlihat begitu elegan.
“Senang bertemu dengan Anda, Nona.” Zayn langsung membalas sapaan wanita itu.
“Saya tak menyangka jika direktur utama Adz Modeling masih sangat muda. Pantas saja model-modelnya juga muda dan sangat cocok dengan busana yang saya ciptakan,” ujar wanita bernama Meghan itu dengan tatapan terus tertuju pada Zayn.
Zayn mengulas senyum tipis, lantas mengajak wanita yang ternyata seorang desainer untuk duduk bersamanya. Meghan adalah desainer yang menyewa model dari perusahaan Zayn, wanita berumur dua puluh sembilan tahun itu terlihat begitu anggun dengan bola mata berwarna biru.
“Anda terlalu memuji, saya sudah berumur cukup tua untuk menjadi seorang direktur,” seloroh Zayn saat sudah duduk bersama Meghan.
Meghan tertawa, lantas membalas candaan Zayn. “Ya, mungkin tua jika di kalangan para model Anda, tapi muda di kalangan kita sebagai pengusaha.”
Zayn lagi-lagi tersenyum tipis mendapat pujian itu.
“Saya berpikir, jika tak mungkin orang penting seperti Anda akan datang ke acara sederhana saya. Namun, siapa sangka Anda sangat rendah hati hingga menyempatkan datang kemari,” ujar Meghan.
“Saya ke sini hanya untuk memastikan semua lancar. Saya tak ingin ada kesalahan dari para model perusahaan saya. Bagi saya, kepuasan konsumen adalah yang utama,” balas Zayn panjang lebar.
Meghan memperhatikan Zayn, merasa kagum dengan sikap profesional pemuda itu dalam mengurus perusahaan.
“Saya benar-benar tersanjung Anda ada di sini. Saya harap kelak kita bisa terus menjalin hubungan dalam urusan bisnis, mungkin juga merambah ke urusan lain,” ujar Meghan.
“Saya juga merasa istimewa karena telah dipercaya oleh desainer terkenal seperti Anda, untuk menjadi salah satu bagian dari acara mewah ini,” balas Zayn dengan senyum di wajah.
“Ya, saya harap hubungan ini bisa terus berlanjut, Pak Zayn. Atau haruskah aku panggil Tuan Zayn, mengingat Anda tak setua yang saya bayangkan.” Tatapan Meghan tak teralihkan dari Zayn.
Zayn yang awalnya menatap ke arah panggung, lantas menoleh Meghan yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu mengulas senyum dan berkata, “Terserah Anda, selama itu membuat Anda nyaman.”
**
Paris-Prancis
Lusy terlihat memandang celah di dinding di mana ada cahaya bulan yang masuk menelusup di sana. Lusy menghitung hari, menunggu kebebasannya sebentar lagi.
“Cheryl, Mommy rindu,” lirih Lusy.
Lusy masih mendekam di penjara, sedangkan bayi yang dilahirkannya kini dibawa dan dirawat oleh Joya. Bayi yang dilahirkan Lusy berjenis kelamin perempuan, bayi mungil dan cantik itu diberi nama Cheryl Fernandez oleh Joya.
Joya sendiri tidak memutus hubungan antara Cheryl dan Lusy. Setiap Minggu Joya akan membawa Cheryl ke penjara agar Lusy bisa melihat bayinya. Namun, beberapa minggu yang lalu, Joya berkata jika dipindah tugas dan harus kembali ke Indonesia, membuat Lusy begitu sedih karena tidak bisa bertemu dengan putrinya lagi sebab Cheryl dibawa Joya ke Indonesia.
“Kami menunggu kebebasanmu, jika saat itu tiba, datanglah ke Indonesia dan kamu bisa bertemu serta membawa Cheryl bersamamu.”
Begitulah Lusy mengingat ucapan Joya saat terakhir mendatanginya dan memperlihatkan Cheryl untuk yang terakhir kali.
“Tunggu Mommy, Cheryl. Setelah ini kita bisa hidup bersama.”
Buliran kristal bening luruh dari ujung kelopak mata, janin yang dulu ingin dibunuhnya, kini lahir dan tumbuh menjadi bayi menggemaskan dan begitu cantik.
**
Hari berikutnya. Lusy dipanggil oleh sipir karena ada orang yang hendak menjenguknya. Lusy merasa heran karena selama ini selain Joya, tidak ada yang mendatanginya di penjara.
“Siapa yang mencariku?” tanya Lusy saat sipir membuka pintu ruangan khusus menjenguk tahanan.
“Maximus.” Sipir menjawab sambil membuka pintu ruangan itu.
Lusy membulatkan bola mata lebar, untuk apa pria itu menemuinya setelah dua tahun lebih tidak peduli.
Max melebarkan senyum saat melihat Lusy, tapi tidak dengan wanita itu yang sudah mati rasa dengan Max.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Lusy dengan tatapan dingin.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Max balik.
“Apa itu penting untukmu?” Lusy menanggapi ucapan Max dengan nada ketus.
Max menghela napas kasar, kemudian terlihat berpikir seolah ada yang ingin disampaikan.
“Lu, aku tahu sudah salah karena telah menelantarkanmu bahkan tidak peduli saat kamu dipenjara. Tapi percayalah jika semua itu karena aku masih syok dengan yang terjadi, serta belum siap mengungkap semua ke istriku,” ucap Max sambil menatap lekat Lusy.
Lusy tertawa ironi, setelah sekian tahun kini Max datang dan mengatakan jika syok, munafik sekali.
“Apa kamu pikir aku percaya? Katakan, apa yang sebenarnya kamu inginkan!” perintah Lusy karena tahu betul bagaimana sifat Max.
Max menatap tajam Lusy, ternyata tidak bisa membujuk dan merayu wanita itu lagi seperti dulu.
“Baiklah, tampaknya aku tidak bisa berbasa-basi denganmu.”
Tebakan Lusy benar, pria itu datang dengan maksud tertentu.
“Aku ingin bayi kita.”
Lusy membulatkan bola mata lebar mendengar permintaan Max.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!