"Demi Tuhan, aku membenci datangnya cahaya remang-remang yang berlaku sewenang-wenang!" murka bocah perempuan di ambang pintu.
Petang hari ketika matahari di atas punggung gunung, ayahnya baru pulang bekerja.
Mataku tersakiti ketika seseorang mengetuk pintu rumah keras-keras, tanpa berujar sepatah kata pasukan berseragam biru membelenggu kedua tangan ayahku, menjadi sekat ikatan ini.
Ketidakadilan telah membawa pergi cinta pertamanya.
Kini dia tinggal berdua bersama ibunya yang berusia setengah abad, bernama Ruhina bermakna wangi, senantiasa menebarkan aroma wangi dalam keihklasannya pada kesendirian hati.
Usai tragedi di malam mencekam itu, tekadnya menjadi seorang pengacara adalah tepat. Walau membuat ibunya mati dua kali.
Hingga datang cahaya yang mengusir kegelapan dalam hidupnya. Dalam pertemuan 6 hari, 8 jam menghabiskan waktunya berbicara pada sebuah Mannequin laki-laki di kelasnya.
Tuhan memang Maha Adil. Di saat kehidupan keluargaku baik-baik saja, di sekolah begitu buruk.
"Apakah lo selalu diam seperti ini?" tanya Alima dengan santai kepada seseorang yang duduk di sebelahnya.
Seperti tertindih benda berat saat tertidur, seumur-umur baru kali ini telinganya mendengar pertanyaan itu.
Laki-laki itu masih membungkam mulutnya. Dimulai dari kedua alisnya yang menyatu, terlihat akan mengatakan sesuatu.
Namun hasilnya nihil. Dia malah menjauh dari Bia dan pergi entah ke mana.
"Emang ada yang salah ya dari ucapan gue?" ucap Alima pergi menyusulnya.
Alima tidak akan menyerah sebelum teman sebangkunya itu mau mengatakan sesuatu padanya. Walau harus jungkir balik menaklukan setiap batu sandungannya.
"Maaf kalau gue salah," ucap Alima menghentikan langkahnya.
Alima menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya, "dimaafin ya, please. Gue nggak mau lo pindah tempat duduk dan gue harus sebangku sama Adi !" pinta Alima bersimpuh agar keinginannya dikabulkan.
Bukannya membantunya berdiri, dia pergi begitu saja.
Membuat Alima terlihat bodoh, bersimpuh di hadapan laki-laki seperti mengharap cintanya.
Untung saat itu tidak ada yang wara-wiri di sana, kalau ada bisa jadi buah bibir satu sekolah.
Laki-laki itu benar-benar tidak mengampuninya, ketika Alima kembali ke kelas dan sudah mendapati Adi duduk di bangku sebelahnya.
Ada dendam kesumat apa sampai Alima menolak keras dekat dengan Adi?
Laki-laki yang memiliki nama lengkap Adinata Dirja, bermakna paling unggul dan sangat selamat, berasal dari Kota Gudeg yang bertransmigrasi ke Ibukota Jakarta, karena di sekolah sebelumnya tidak lagi mendapat tempat di hati teman-temannya. Lantaran satu kesalahan, yaitu gugur dalam aksi "Germen" gerakan menyontek.
Sejak saat itu, dia berikrar untuk selalu jujur dalam hal apapun.
Kejujuran selalu membawa mujur, tapi di sekolah barunya orang yang jujur dibuat tersungkur.
Apa Alima membenci kejujurannya? Tentu bukan, dia tidak menyukai sifatnya yang mau menang sendiri.
Hal itu tentu akan membuatnya rugi, karena untuk berkata benar tidak harus dengan tindakan kasar.
"Pergi lo!" usir Alima menatap dengan pandangan yang berapi-api.
Adi beranjak dari tempat duduknya dan mendekatkan wajahnya pada Alima, dengan jarak cukup dekat.
"Kalau bukan karena terpaksa gue nggak akan mau kok duduk sebangku sama lo, tahu nggak kenapa?" ucap Adi perlahan menjauhkan dirinya dari Alima.
"Lo tuh berisik, sok asyik, cowok nggak akan betah sama cewek kaya gitu, cuma gue yang bisa bertahan!" lanjut Adi sambil menyilangkan tangan di depan.
"Oh iya? Gue masih mending dong sok asyik, dari pada munafik?" ucap Alima membuat Adi terdiam.
"Tolong hentikan pertikaian ini !" ucap Samy tiba-tiba datang diantara mereka.
"Maaf ya, gue nggak bermaksud untuk buat lo masuk ke dalam masalah ini!" jelas Samy pada Adi membuat Alima geleng-geleng kepala.
"Santai aja Sam, udah biasa buat gue !" ucap Adi merangkul Samy.
"Biar gue yang duduk di sini, lo bisa balik lagi," ucap Samy duduk di bangku sebelah Alima.
"Ini perlu dirayakan, akhirnya gue bisa lihat lo ngomong untuk yang pertama kalinya!" ucap Alima masih berdiri memandangi wajah laki-laki yang sudah membuatnya kehabisan energi.
Kring...Kring...
Semua berhamburan keluar untuk menghirup udara segar, setelah di dalam mengalami sesak napas dihantam mata pelajaran matematika di jam akhir.
Ada yang ganjil, tidak ada hujan dan angin Alima tidak bergeser dari tempatnya duduk, merenungi suatu hal menganggu pikirannya.
Samy yang kebagian tugas piket hari itu. Menatap Alima begitu aneh.
"Kenapa nggak dilanjutin?" tanya Alima membuat Samy tersadar, dirinya ketahuan memperhatikan Alima.
"Apanya? Ngeliatin lo diem aja?" ucap Samy sontak membuat mata Alima melebar.
"Hah?" Gimana maksudnya?" tanya balik Alima mengernyitkan dahinya.
Samy memalingkan wajahnya, "Lo nggak sadar apa, kalau udah jam pulang?"
"Apa peduli lo, soal gue pulang atau nggak?" ucap Alima membuang muka.
Beberapa menit kemudian, Alima memanggil Samy untuk menjawab pertanyaannya dengan jujur.
"Menurut lo, gue orangnya cerewet ya?" tanya Alima serius.
"Oke, lo mau gue jujur aja atau jujur banget?" ucap Samy membalikkan badannya menatap Alima begitu tajam menghujam jiwa.
"Wah, gue sangat terkejut ternyata lo orangnya bisa bercanda juga ya!" ucap Alima beranjak dari tempat duduknya sambil tepuk tangan.
Bercandanya orang pendiam sudah membuatnya terkejut, bagaimana dengan diamnya orang suka bercanda.
Hal itu yang dirasakan sebelum beranjak dewasa.
Masa kecilnya selalu kenyang dengan canda tawa dari keluarganya yang utuh. Sekarang sudah berubah arahnya.
Di sisa waktu hidup ibunya, Alima berharap mampu memberikan kebahagiaan.
Alima Puspandari seorang gadis sederhana, namun siapa sangka memiliki IQ di atas rata-rata, sekelas Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci.
Hal itu tidak membuat teman-teman SMA nya iri, dengki. Sebaliknya, kehadiran Alima membuat segalanya menjadi mudah.
Dia berpikir, ini bisa menjadi peluang usaha nya. Di dunia ini tidak ada yang gratis bukan?
Mungkin yang gratis hanya raga, bagian organ tubuh, dan nyawa pemberian dari Tuhan.
Itupun titipan.
Laki-laki yang duduk di sebelahnya adalah, Samy Fajar Ahsa.
Seorang Pradana Pramuka yang optimis di tangannya ekstrakurikuler pramuka SMA Superior, jaya.
Di dunia ini adakah manusia yang paling sempurna? Samy Fajar Ahsa hampir mendekati sempurna, dari keluarga berada, harta tidak habis 7 turunan, rumah yang megah, otak encer dan berparas tampan, sedikit bicara, senang dengan kesendirian.
Bukan berarti dia tidak ingin menikah, dan bahagia.
Saat itu Alima memasuki sekolah dasar pada umur 4 tahun dan mengambil program akselerasi pada jenjang SMA untuk mempercepat waktu tempuh pendidikannya sebelum melanjutkan pendidikannya ke UI.
Di usianya yang baru menginjak 18 tahun 11 bulan, dia bisa menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia dengan gelar sarjana hukum termuda.
Suka duka ikut mengiringi perjalanannya dalam mengudara, mengepakkan sayapnya menuju negeri Paman Sam, memilih melanjutkan bidang studinya di New York University dan mengambil program JD-LLM In International Law Program. Alima berhasil lulus dengan menyandang gelar JD (Juris Doctor).
Umumnya, dibutuhkan waktu selama 3-4 tahun untuk dapat mencapai gelar ini.
Biasa hidup bersama seorang ibu, kini dituntut menjadi anak mandiri.
Hari-hari memasak telur mata sapi.
Dengan biaya hidup yang mahal di negeri orang ini dia dipaksa untuk bisa berhemat.
Jika di Indonesia harga satu bungkus mie instan berkisar antara Rp 3.300 per bungkus, di Amerika harga satu bungkus mie instan bisa mencapai 25 ribu.
Dunia luar memang kejam!
...~BERSAMBUNG~...
Glup ! Alima menelan ludahnya ketika melintas di jalan yang penuh dengan gerobak dan kios makanan menghiasi jalanan New York.
Aroma nikmat itu mengusik indera penciumannya.
Tidak tahan dia pun berlari menghampiri salah satu penjual makanan cepat saji, hot dog.
Yang benar saja, sesampainya di sana antrian begitu memanjang.
Jika menunggu, keburu mati kelaparan.
Tetapi hanya di tempat ini yang tidak banyak menguras kantongnya.
Wiu wiu wiu....
Alima mendengar bunyi sirine mobil polisi yang sedang bergerak mendekatinya, merasakan nada yang didengarnya semakin tinggi.
Memakai rompi anti peluru, penutup kepala, kaca mata hitam, kemeja putih, dan berdasi hitam.
Mereka keluar dari mobil perlahan-lahan dengan membawa pistol di tangan.
Dua petugas mengamankan penjual makanan jalanan itu, lainnya menggeledah kiosnya mencari bukti-bukti.
Dan salah seorang petugas menatap Alima begitu lekat, tatapan itu berlangsung selama 3 menit.
Matanya bersinar seperti kilat perak ketika menatapnya.
Dalam hati, dia menyesali hari ini. Dari semua tempat yang ada di dunia ini, kenapa kamu harus kembali ke kehidupan ku, Alima?
Tanpa basa-basi, petugas itu membawanya ke kantor FBI setempat untuk dimintai keterangan.
Dag Dig Dug... suara kencang itu berasal dari detak jantung Alima saat memasuki ruang dengan cahaya redup, dan sempit benar-benar membuatnya tersiksa.
Petugas menebar senyum lalu mempersilakannya duduk.
Dengan tubuh gemetar, telapak tangan mulai berkeringat, sesekali menutup kedua matanya menyingkirkan bayang-bayang kematian di angan-angan.
"You don't have to be afraid, we just want you to tell the truth!" (Anda tidak perlu takut, kami hanya ingin anda berkata jujur) ucap seorang Petugas di hadapannya.
Matanya melebar, membuat hidung laki-laki berseragam itu berkerut.
"What's your name? Where are you from?" (Siapa nama anda? Dari mana anda berasal?) lanjut seorang Petugas memperlihatkan gigi putih berserinya.
"My name is Alima, I'm from Indonesia!" (Nama saya Alima, saya dari Indonesia) jelas Alima sambil menggosok telapak tangannya yang berkeringat.
Petugas sambil menghentakkan jarinya ke meja, "Indonesia is my dream country!" (Indonesia adalah negeri impian saya!).
"What food is good there?" (Makanan apa yang enak di sana?)
"Lots of! There is a meatball, chicken noodles, chicken satay," ucap Alima menghitung macam-macam makanan dengan jari tangan.
"Oh yeah fried rice! Mr. Barack Obama really likes it!" (Oh iya nasi goreng! Bapak Barack Obama benar-benar menyukainya!) Petugas tersenyum tipis mendengar ucapan Alima.
Seketika Alima merasa mulutnya dipaksa untuk mengikuti ketukan suara yang perlahan menjadi sebuah bentakan.
"Why do you buy food in that place?" (Mengapa anda membeli makanan di tempat itu?) tanya Petugas, matanya menelisik, mencari-cari apa ada jejak kebohongan di mataku.
Alima mencoba bersikap tenang, "Because it's cheap and it feels good!" (Karena murah, dan rasanya enak!)
Petugas berhasil membuat urat-urat di wajah Alima menegang.
"Did you know that the food contains drugs?" (Tahukah Anda bahwa makanannya mengandung obat-obatan?) jelas Petugas itu kembali membuat Alima membuka matanya lebar-lebar.
Matanya kosong, sekosong jiwanya. Petugas langsung menyimpulkan Alima terlibat dalam kasus ini.
"Please believe me Sir that I am not a criminal!" (Tolong percayalah Pak kalau saya ini bukan seorang penjahat!) seru Bia mencoba menghentikan langkah petugas itu.
Kruk..kruk.. Alima meremas perutnya.
"You heard that sound?" (Kamu dengar bunyi itu?) tanya petugas mendadak menghentikan langkahnya.
"Sorry Sir, it comes from my stomach!" (Maaf Pak, itu berasal dari perut saya!)" ucap Alima menundukkan wajahnya.
Kemudian petugas itu membawanya ke sebuah ruangan, di mana malah mempertemukannya dengan Samy Fajar Ahsa.
Mantan kekasihnya saat di SMA.
Yang saat ini sedang bertugas di sana, setelah lulus akademi FBI.
Dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga, keringat yang berhenti bercucuran. Alima berjalan perlahan mendekati Samy.
"Sam, jadi tadi itu benar-benar kamu?" tanya Alima.
"Apa kabar kamu, sombong banget nggak nyapa!" lanjut Alima memanyunkan bibirnya.
"Penting buat saya?" ucap Samy memalingkan wajahnya.
Alima menghela napasnya berat, "Serius Sam, setelah bertahun-tahun kita nggak ketemu dan ini adalah ucapan pertama yang aku dengar dari mulut kamu?"
"Bukankah dulu kamu bilang nggak mau melihat saya lagi?"
"Memang, tapi itu dulu bukan. Walau sudah nggak ada lagi ikatan di antara kita, apa nggak bisa kita berteman?"
"Setelah apa yang sudah terjadi dengan saya, kamu ingin kita berteman?" ucap Samy dingin dengan sorot mata yang tajam.
"Apa kamu nggak jijik mengambil kembali sampah itu?" lanjut Samy membuat mata Alima berkedip cepat. Samy pun pergi meninggalkan nya sendirian.
Namun langkahnya terhenti, saat sesuatu mencoba menarik rompi yang melekat di tubuhnya.
"Tolong jangan lakukan ini, saya bilang lepaskan!" teriak Samy membalikkan badannya, tapi nyatanya tidak terlihat apapun di sana. Karena ternyata rompinya tersangkut di bagian ujung kursi.
Di dekat jendela yang mulai usang, perasaaan yang dulu telah jauh ku buang, dan hilang.
Kembali datang, tak diundang.
Kepala Polisi memanggil Samy untuk membicarakan soal kasus yang tengah dihadapi saat ini.
Tidak hanya itu, Samy juga mendapatkan sanksi tegas karena berhubungan dengan komplotan penjahat, yang dimaksud adalah Alima.
Dirinya menyebutkan jika tidak mengenalnya sama sekali.
Meskipun tahu Alima mendengar semuanya, Samy tetap tidak peduli.
Alima terkejut, melihat Samy begitu sangat membenci dirinya.
"Sam tunggu, kenapa tadi kamu bilang nggak kenal sama aku? Apa karena kita sudah jadi mantan, kamu pura-pura lupa sama aku?" ucap Alima penuh penekanan.
"Kamu pikir saya bodoh, mengaku pada mereka mengenal seorang penjahat?" jelas Samy membuat wajah Alima muram.
Alima mendecak kesal, "Cukup, berapa kali sih aku harus tegaskan sama kalian, kalau aku ini bukan seorang penjahat!"
"Buktikan bahwa apa yang kamu katakan itu benar!" ucap Samy melangkah pergi.
Alima Puspandari bukan sosok yang mudah menyerah, sebab Samy harus tahu Alima meninggalkannya bukan atas kemauannya melainkan sebuah pilihan.
Sampai akhirnya menemukan Samy tengah duduk di bangku panjang depan ruang tunggu.
Langkah kakinya yang berat terdengar, Samy menoleh ke belakang sesaat, lalu kembali menghadap ke depan.
"Samy, aku mau bicara sama kamu!"
"Nggak ada yang harus dibicarakan lagi, dan nggak seharusnya kamu ada di sini!" ucap Samy beranjak dari tempat duduknya.
"Sayangnya saya nggak memiliki kewenangan untuk membuat kamu pergi dari sini!" lanjut Samy telapak tangannya mengepal bak petinju.
"Please Sam, kali ini aja kamu mau dengar penjelasan dari aku," desak Alima.
Samy membalikkan badannya, menatap dengan pandangan yang berapi-api, "Bagian yang mana? Bagian kamu ninggalin saya begitu saja tanpa sepatah kata?"
Samy tidak mau lagi mendengar alasan Alima, dan lebih memilih untuk menjauh.
Alima tahu ini salahnya, meninggalkan Samy tanpa kejelasan.
Andai pergi tidak meninggalkan luka
Pastilah tiada duka di setiap anak yang kehilangan orang tuanya.
"Itulah yang kamu nggak tahu Sam, kebenaran," ucap Alima memandangi punggung Samy yang semakin jauh.
...~BERSAMBUNG~...
Flashback on ...
Mendaki gunung..
Lewati lembah..
Sungai mengalir indah bersamudra..
Bersama teman bertualang..
Kegiatan Pramuka Darling (Sadar Lingkungan) Everything! Di Jalur Pendakian Gunung Papandayan. Menjelajah sambil memunguti sampah.
Kaki mungilnya merengek meminta belas kasihan.
Kalau bukan karena wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka, Bia tidak akan pernah mau apalagi harus satu regu dengan orang yang tidak dia suka.
"Kenapa berhenti? Katanya cewek tangguh, kuat, belum apa-apa sudah menyerah, dasar payah!" ucap Samy melengkungkan bibirnya.
Alima berkacak pinggang dengan kaki terbuka lebar, "Sorry ya, gue nggak akan pernah menyerah!" tegas Bia melanjutkan langkahnya.
Tinggal beberapa pos, Alima akhirnya mengibarkan bendera putihnya. Tidak mampu lagi menopang tubuhnya, dengan beban berat puluhan sampah yang ada di punggungnya membuatnya terpeleset dan jatuh dalam pelukan Samy. Keduanya bersitatap, dada bergemuruh riuh.
Wajahnya memerah saat tertangkap teman-teman lainnya.
Alima pun menjauhkan tubuhnya dari Samy.
Sampainya di puncak gunung. Samy menghampiri Alima yang tengah duduk termenung. Terlihat menekan telapak kakinya dengan jari sesekali meringis kesakitan.
"Lebih baik kamu urut dengan ini, mungkin saja bisa membaik," ucap Samy menyodorkan minyak urut pada Alima.
"Terima kasih, gue nggak butuh!" ucap Alima membuang muka.
"Segitunya nggak mau dibilang lemah, kalau nggak diobati bisa tetanus!" ucap Samy menakuti-nakuti.
Alima menoleh cepat, "Serius?" Matanya melebar, dan langsung mengambil minyak urut yang ada di tangan Samy.
"Lo tuh sebenernya niat nggak sih mau sembuh? pakai minyak urut aja nggak bisa, sini biar gue bantu!" ucap Samy meraih kaki Bia dan menaruhnya di atas pahanya.
"Ah, pelan-pelan dong!" rengek Alima.
"Sekarang coba lo buat jalan, pelan-pelan ya!"
"Oke, gue coba ya,"
Alima mencoba pelan-pelan berjalan, kerikil-kerikil kecil dan lahan basah menjadi rintangan untuk dirinya, sulit jika melatih kakinya di medan yang terjal.
Hal itu membuat dirinya kembali terpeleset. Untungnya ada Samy yang siap menangkap tubuhnya dari belakang.
"Sengaja ya terpeleset, biar bisa tatapan gini sama gue?" ucap Samy membuat Alima berjarak darinya satu meter.
Peristiwa di Puncak Gunung Papandayan, menjadi awal mula benih cinta di hati keduanya mulai tumbuh.
Hingga waktu yang menginginkan mereka berpisah.
Alima yang telah lulus lebih dulu, lalu Samy meratapi kesendirian.
Detik-detik separuh nyawaku menghilang,
Tak terbayang ditinggal yang tersayang.
Terus berjuang atau kubuang
Waktuku akan habis menunggumu pulang.
"Entah aku harus senang atau sedih, yang pasti aku sangat bahagia karena selangkah lagi kamu berhasil mewujudkan impian itu!" ucap Samy nyaris mengeluarkan bulir-bulir bening.
"Jangan cemas ya, karena aku masih menunggu kamu di sini!" lanjut Samy memegang erat tangan Alima.
Sepulang sekolah, niat Alima pergi ke rumah Samy terhalang saat memandang langit berwarna kelabu dan tertutup oleh awan hitam. Angin yang bertiup terasa kencang dan dingin. Tidak lama kemudian, turun hujan sangat deras.
Tiba-tiba petir menyambar disertai dengan kilatan cahaya yang menyilaukan, disusul dengan suara guruh yang menggelegar dan bergemuruh.
"Apalagi yang harus kamu tunggu, hujan atau kemelaratan?" ucap Ibunya.
"Jika ada kesempatan baik jangan disia-siakan Alima, Ibu hanya ingin melihat kamu berhasil!" lanjut Ibunya sembari mengelus rambut Alima.
Alima menoleh perlahan, "Alima janji sama Ibu untuk belajar lebih giat lagi, tapi tolong jangan pisahkan Alima dengan Samy Bu!"
"Hanya karena seorang laki-laki kamu berani melawan Ibu? Laki-laki seperti apa dia yang membiarkan orang yang dia cintai melakukan hal bodoh seperti ini?" bentak Ibunya membuat Alima terdiam.
Di satu sisi, Samy menundukkan wajahnya tidak berani mengangkat kepala saat Ayahnya berbicara.
Dia mencoba memperjuangkan cintanya tetapi hasilnya nihil.
Ayahnya memintanya untuk melupakan Alima, karena cinta yang mereka jalin hanyalah cinta monyet belaka.
Pagi hari berselimut kabut tebal, hawa dinginnya menusuk batin. Hujan kemarin sore menyisakan genangan.
Perpisahan bukanlah akhir sebuah perjalanan, tapi menjadi babak baru perjalanan yang lain.
Samy keluar rumah dengan sepeda Hybridnya menemui Alima. Kaki yang mengayuh cepat, sampainya di sana pagar rumah tertutup rapat.
"Permisi," ucap Samy turun dari sepedanya.
Tiga kali memanggil namanya, tetap tidak ada jawaban.
Hingga terdengar suara seseorang dari dalam, yang keluar menghampirinya.
"Mas Samy bukan?" tanya seorang wanita paruh baya.
"Iya Bu, Alima ada?"
Wanita paruh baya itu tidak menjawab pertanyaannya, tapi merogoh saku bajunya, memberikan secarik kertas pada Samy.
"Dari Mbak Alima, Mas Samy. Maaf saya harus pergi, karena masih banyak pekerjaan," ucap wanita paruh baya itu menutup pagar rumah sambil tersenyum.
Dengan hati-hati, Samy membuka sepucuk surat dari Alima.
"Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sudah pergi jauh. Sam, terima kasih karena kamu selalu membuat hari-hari aku berwarna. Untuk cinta dan perhatian kamu selama ini.
Perlu kamu tahu, setelah aku pikir-pikir ternyata kita nggak cocok. Maaf, aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Rasanya hidup di dunia ini hanya sebentar kalau hanya bertahan pada satu orang saja. Aku harap kamu bisa menemukan cinta sejati yang mau menerima kamu ya. Alima Puspandari." Hati Samy tercabik-cabik setelah melihat surat yang dibuat Alima.
"Kenapa Alima, kenapa?" ucap Samy berteriak kalang kabut *******-***** surat dari Bia sampai tidak berbentuk.
***
"Buat kamu," ucap Samy sambil menyodorkan sekotak makanan di hadapan Alima yang sedang duduk.
Alima mendongak ke atas, "Terima kasih, aku udah kenyang,"
"Tapi kata petugas kamu lapar, jadi makanlah!"
"Udah nggak selera makan," Bia memalingkan wajahnya.
Samy pun menyerah dan duduk di sebelahnya, "Untuk menghadapi mereka, kamu juga butuh tenaga. Sayang loh kalau dibuang makanannya,"
"Taruh situ aja, nanti aku makan kok!"
Tugasnya sudah selesai, dia memutuskan kembali ke markas. Namun Alima menghentikannya.
"Sam, aku mau bicara sama kamu," ucap Alima lirih.
Samy menghela napasnya, kali ini mau mendengarkannya.
"Kamu percaya kan, kalau aku nggak mungkin melakukan perbuatan yang mereka tuduhkan?"
"Saya harap begitu, kamu nggak terlibat dalam kasus ini!"
"Oh iya, ada satu hal yang harus aku jelaskan sama kamu, biar nggak ada lagi kesalahpahaman di antara kita!"
Bang ! Bang ! bunyinya terdengar keras, mengguncang jiwa.
Kaki ini kian melejit menuju ke arah suara itu.
"Alima, jangan pergi!" teriak Samy dari jauh.
Suara itu berasal dari seberang jalan,
Seorang misterius bersenjata sedang baku tembak dengan polisi.
Alima yang tidak tahu ke mana akan pergi, berteriak histeris saat peluru itu meluncur ke sebuah balok kayu yang berada di dekatnya.
"Alima!" teriak Samy mendekap erat tubuhnya dan membawanya ke dalam.
"Saya mohon kamu tetap di sini, jangan ke mana-mana sebelum tempat ini aman, mengerti?" ucap Samy sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.
Alima mengangguk, belum sempat mengingatkan untuk berhati-hati, Samy berlari membantu rekan-rekannya.
Boom !
Sosok misterius itu berhasil meloloskan diri dengan melayangkan bom molotov, beberapa orang terluka termasuk Samy yang terlempar sejauh 3 meter.
"Samy, get up!" ucap salah seorang petugas.
Mata Samy tertutup rapat, jantungnya berdetak lambat.
Mereka segera membawa Samy ke rumah sakit sebelum terlambat.
...~BERSAMBUNG~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!