NovelToon NovelToon

Ex-boyfriend'S Brother

Berjumpa Lagi

"Sierra, kami mau pergi minum-minum nih! Kamu mau ikut, nggak?"

Sierra melirik malas ke arah teman sekelasnya yang baru saja mengajaknya pergi minum ramai-ramai.

Ini adalah awal semester ke 5 Sierra berkuliah, ada beberapa anak yang belum Sierra kenal sebelumnya, jadi mereka berinisatif mengadakan acara minum bersama sebagai ajang pendekatan satu sama lain.

Sierra sih tidak masalah, mau minum atau pergi ke suatu tempat bersenang-senang bersama juga dia oke. Masalahnya adalah, Sierra agak malas pergi ke mana-mana hari ini, dan ingin bergegas pulang untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya.

"Kamu ikut ya? Ya? Nggak seru kalau nggak ada kamu!" Tapi sepertinya temannya yang satu ini tak akan membiarkannya pulang lebih awal.

Terpaksa Sierra mengiyakan ajakan-semi paksaan, dari Elena. Kalau tidak begitu, Elena pasti akan merengek terus padanya.

"Yeyy~ Gitu dong! Kamu pasti nggak akan menyesal udah ikut acara kali ini!" Elena tampak bersemangat sekali. Sierra tahu Elena suka sekali mengadakan acara kumpul-kumpul bersama entah dengan anak-anak sekampus maupun dari luar kampus.

Hmmm..Apa ini keputusan yang bagus? Entah mengapa Sierra jadi ragu sekarang.

"Cuma minum sebentar 'kan? Nggak ada acara lainnya 'kan?" Sierra ingin memastikan lebih jelas.

Ditanya begitu, Elena jadi salah tingkah. Namun dia berusaha menyembunyikan kegugupannya sebaik mungkin demi kesuksesan acara malam ini.

Bukan tanpa alasan mengapa Elena bersikeras mengajak Sierra ikut. Gadis dengan surai keemasan itu merupakan gadis populer yang sangat digandrungi banyak orang, baik lelaki maupun perempuan. Jadi jelas, kehadiran Sierra memiliki pengaruh besar dalam menarik minat orang-orang untuk ikut bergabung dalam acara yang Elena adakan nanti malam.

Saking gembiranya Elena, tanpa sadar gadis itu senyum-senyum sendiri, yang jatuhnya justru tampak mencurigakan di mata Sierra.

"Beneran ya, nggak bakal ada yang aneh-aneh di sana nanti?" Berteman sejak semester pertama membuat Sierra tahu sedikit banyak tentang tabiat Elena yang suka nyeleneh.

"Ya enggak lah~ ha ha ha...ka-kalau gitu sampai ketemu nanti malam! Kalau nggak mau berangkat sendiri, aku siap menjemputmu kok! Dadahhh~" Elena kabur secepat kilat demi menghindari desakan pertanyaan dari Sierra. Bisa gawat kalau mulutnya sampai keceplosan, Sierra itu orang yang sangat peka, jadi gadis itu bisa menangkap kebohongannya dengan cepat.

Jadi kabur adalah jalan ninja yang bisa Elena lakukan. Toh semua ini demi kebaikan teman baiknya itu, Elena hanya ingin Sierra lebih menikmati masa-masa belajarnya di kampus dengan dibumbui romansa-romansa cinta yang manis.

'Udah waktunya kamu mencoba menjalin hubungan dengan seseorang, Sierra. Biar luka di hatimu dapat terobati sedikit demi sedikit..'

...✨...

...✨...

"Kamu ada di mana sih? Aku udah sampai di depan restorannya nih." Sierra menghubungi Elena, sekedar memastikan lagi apakah kedai yang dia datangi ini sudah sesuai dengan tempat acara Elena diadakan.

"Iya~ masuk aja, sayang. Aku nggak bisa keluar nih, masih sibuk ngurusi pesanan~" Elena menjawab di seberang telpon.

Ya sudah, Sierra memutuskan sambungan telpon mereka sebelum melangkah masuk ke dalam restoran dengan gaya khas Jepang di depannya.

Di kawasan ini banyak sekali kedai dan restoran yang menawarkan berbagai jenis makanan khas Asia, sehingga agak membingungkan Sierra yang baru pertama kali ini datang ke kawasan tersebut.

"Selamat datang! Apakah anda sudah membuat janji?" Seorang pelayan menyambut kedatangan Sierra.

Sierra gugup, dia belum pernah mendatangi restoran dengan ciri khas seperti ini.

"I-itu, teman saya sudah reservasi katanya. Bisa tolong antarkan saya ke tempatnya?" Dasarnya Sierra itu gadis yang pemalu, jadi kalau mencari sendiri ruangannya hanya akan membuat kegugupannya bertambah berkali-kali lipat.

"Baik. Akan saya antarkan anda! Mari, lewat sini, nona."

Syukur pelayannya ramah dan sabar, Sierra jadi tidak seberapa tegang lagi. Lalu mereka berdua berjalan menuju ke bagian belakang, di mana ruang-ruang lebar yang biasanya digunakan sebagai tempat acara ada di sana.

"Silahkan masuk, nona. Ini ruangannya." Pelayan itu berhenti di satu ruangan tertutup, bahkan Sierra tidak bisa mendengar suara apapun dari dalam sana.

Entah mengapa firasat Sierra kembali campur aduk.

Tok tok

"Permisi, tuan-tuan. Ada satu tamu lagi yang datang." Pelayan itu mengetuk pintu ruangan sebelum membukanya dari luar.

'Tuan-tuan?' Dahi Sierra mengerut mendengar ucapan salam dari pelayan tersebut.

Grakk

Pintu digeser dengan hati-hati. Sierra yang tak sempat protes akhirnya dapat melihat siapa orang yang ada di dalam ruangan tersebut.

Ternyata orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut berisi sekumpulan pria dengan setelan jas rapi dan bertampang lumayan sangar.

Wajah Sierra seketika memucat, bukan ruangan ini yang dia cari. Apalagi isinya kebanyakan bapak-bapak paruh baya yang ekspresinya sangat menyeramkan!

"A-anu...kayaknya salah ruangan. Teman saya itu perempuan, yang mengadakan acara kampus," Sierra berbisik pada si pelayan wanita yang membuat kesalahan.

Sontak saja pelayan itu membungkukan badan, memohon maaf sebesar-besarnya.

Tak enak hati, Sierra akhirnya ikut meminta maaf. Toh ini juga kesalahannya tidak menyebutkan nama orang yang telah membuat tempat reservasi.

"Maafkan kami, sudah mengganggu pembicaraan penting anda sekalian. Kami akan undur diri secepatnya," pamit Sierra sebelum berbalik arah, pergi dari ruangan tersebut.

"Sierra?"

Seseorang memanggil namanya. Kaki Sierra sontak berhenti melangkah dan sekujur tubuhnya menegang.

Suara itu...suara orang itu mirip sekali dengan seseorang yang dulu Sierra kenal.

"Benar 'kan kamu Sierra?!" Pria yang memanggil nama Sierra berdiri dari duduknya lalu menghampiri Sierra secara tergesa.

Sierra bahkan tak berani menengok ke belakang lantaran takut bila orang yang memanggilnya adalah orang yang ada dalam benaknya.

"Ah..maaf kalau buat kamu kaget. Ini aku, Maximillan. Kamu masih ingat aku?"

'Max?!' Kedua mata Sierra membulat mendengar nama yang sudah sangat lama tak dia dengar. Barulah Sierra memberanikan diri berbalik badan menghadap pada sosok pria yang mengaku sebagai Maximillan.

"Ka-kak Maximillan?" Serena ragu-ragu memanggil laki-laki di belakangnya itu.

Senyum terbit di wajah Max. Ternyata Sierra tidak melupakan dirinya meskipun mereka sudah cukup lama tidak bertemu.

"Iya, ini aku...Maxi. Apa kabarmu? Kebetulan sekali kita bertemu di sini!" Senyum tak luntur dari wajah Max.

Sierra mendesah lega, ternyata orang itu benar-benar Max, hatinya menjadi lebih tenang sekarang.

"Maaf, nona. Apa anda jadi pergi ke tempat reservasi lainnya?" Pelayan perempuan itu menyela obrolan Sierra dan Max.

"Ah, iya, tolong antarkan aku ke sana setelah berpamitan sebentar," Sierra hampir melupakan tujuannya datang ke restoran itu.

"Kamu...ada acara juga di sini?" Max masih ingin mengobrol banyak dengan Sierra, tapi waktunya tidak tepat. Sierra tampak sedang terburu-buru sekarang.

Sierra mengangguk mengiyakan, "Aku harus segera pergi sekarang, kak. Senang melihatmu lagi, aku harap kakak selalu sehat dan sukses." Kini saatnya mereka untuk berpisah.

Toh Sierra sudah tidak punya urusan apapun dengan Maximillan ataupun dengan anggota keluarga laki-laki itu lagi.

"Aku pergi dulu. Selamat tinggal."

Deg

Tanpa sadar tangan Max bergerak dengan sendirinya, mencengkram lengan Sierra yang hendak pergi dari hadapannya.

Sierra yang terkejut nyaris terjungkal ke belakang, andai badan Max tidak menahannya supaya tidak jatuh.

"Akh?! Ma-maaf, kak! Aku benar-benar nggak sengaja!!" Sierra buru-buru menegakkan tubuhnya dan menjaga jarak dengan Maximillan. Kaget juga badan mereka tiba-tiba menempel satu sama lain.

Berbeda dengan reaksi Sierra yang meloncat menjauh bagaikan anak kucing yang sensitif, Max justru terpaku di tempatnya berdiri.

Sierra yang sudah lama tidak berinteraksi dengan Max secara pribadi, tentu saja menjadi malu dan salah tingkah. Bagi Sierra, dirinya dan Maximillan sudah menjadi orang asing satu sama lain. Pertemuannya dengan Max di masa lalu juga bisa di hitung dengan jari, jadi hubungan mereka tidaklah akrab sedari awal.

"Maaf atas kecerobohanku. A-aku pamit dulu kalau gitu!" Kedua pipi Sierra bersemu merah.

Max terbangun dari lamunannya dan menatap Sierra secara lekat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.

"Oke...Hati-hati di jalan." Namun Max memilih membiarkan gadis itu pergi.

Mereka sudah tidak punya urusan lagi sekarang. Max juga tak perlu bersikap sok ramah dan baik kepada Sierra seperti yang dulu dia lakukan.

Tapi mengapa hatinya tidak rela membiarkan gadis itu pergi?

Kenangan mereka di masa lalu kembali berputar dalam pikiran Max. Meski mereka jarang bertemu dan berinteraksi, tapi hubungan mereka terbilang baik dan saling menghormati. Karena mau bagaimanapun, Sierra merupakan kekasih dari adiknya di masa lalu, Max tak punya pilihan lain selain memperlakukan gadis itu sebaik mungkin.

...🌸...

...🌸...

"Ughh...Elena....si g!la itu! Udah tau aku nggak bisa minum banyak! Kenapa malah aku yang kena hukuman sih?!"

Sierra berjalan sempoyongan menuju toilet perempuan yang ada di bagian belakang restoran. Elena, teman 'baiknya' itu benar-benar keterlaluan sekali. Padahal Elena sudah tahu kalau Sierra itu tidak kuat minum minuman beralkohol terlalu banyak, tapi gadis itu terus menerus menuangkan sake ke dalam gelas Sierra. Alhasil Sierra mabuk dengan cepat.

"Aku mau pulang..." Bahkan untuk berjalan menuju toilet saja terasa sangat sulit. Sierra merasakan pusing yang begitu hebat berputar dalam kepalanya.

Bruk

Kedua kaki Sierra akhirnya menyerah. Rasa mual serta pusing yang melanda membuat fokus serta keseimbangan tubuh Sierra hilang.

"Sierra?"

Samar Sierra mendengar seseorang memanggil namanya.

Sierra berusaha menengok ke sumber suara berasal. Sayangnya, pandangan Sierra semakin buram dan tak jelas.

"Err...siapa?"

"Ini aku, Max. Kamu ngapain duduk di bawah kayak gini? Ayo, bangun. Aku pegangi kamu." Max berjalan cepat menghampiri Sierra yang terduduk tak berdaya di lantai kayu restoran.

Bau sake menyeruak tajam dari mulut Sierra yang begitu dekat dengan wajah Max, yang kini menopang tubuh gadis cantik itu.

"Kamu minum? Seingatku, kamu nggak kuat minum banyak-banyak. Berapa gelas yang udah kamu minum?" Max heran, Sierra dalam ingatannya selalu menolak ajakan seseorang untuk minum bersama dengan alasan mudah sekali mabuk.

Tapi sekarang?

Sierra bahkan datang sendiri ke rumah makan yang terkenal sebagai tempat untuk melepas penat serta mengadakan acara minum bersama satu rombongan.

Apa memang kebiasaan seseorang bisa berubah seiring bertambahnya waktu dan usia?

Jika iya, mungkin Sierra juga mengalami fase itu, atau mungkin karena Sierra sudah menginjak usia dewasa, jadi dia berusaha menikmati hidup layaknya orang dewasa pada umumnya.

"Kak Max? Ini benar kamu 'kan?"

Max mendesah panjang, sepertinya tak mungkin meninggalkan Sierra pulang sendiri dalam keadaan mabuk begini.

"Mau aku antar pulang? Atau kamu menyetir sendiri?"

"Eum...aku....naik taksi tadi.."

Max berpikir keras, kepalanya menengok sekitar, berharap ada seseorang yang mengenal Sierra lalu membawa gadis itu pulang dengan selamat. Sayangnya, Max tidak melihat ada satu orang pun yang berkeliaran di lorong.

"Barang-barangmu udah kamu bawa? Aku antar kamu pulang, kasih tau aku alamat tempat tinggalmu." Tak ada pilihan lain, Max harus mengantarkan Sierra sebelum gadis itu tak sadarkan diri.

"Alamat....ugh...alamatku apa ya?" Sierra tidak bisa berpikir jernih sekarang. Belum lagi rasa mual yang semakin menjadi-jadi.

"Mual..." Sierra mengeluh sambil memeluk perutnya yang terasa tidak enak.

Ini situasi gawat, Max juga tidak membawa kantung plastik bersamanya.

"Sebentar! Aku ambilkan kantung plastik dulu! Tunggu di sini ya!" Buru-buru Max pergi mencari seorang pelayan untuk membantunya mengurus Sierra yang mabuk berat.

Sierra yang sudah tidak kuat mempertahankan kesadarannya, akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang tiba-tiba datang menyerang.

Samar Sierra mendengar suara Max yang berjalan mendekatinya, namun kelopak matanya yang berat menyulitkan Sierra untuk menyahuti seruan Max.

Apa Alasannya?

Sierra berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat. Tak hanya itu, perutnya terasa seperti diaduk-aduk dan sangat mual. Sierra mencoba bangkit dari tidurnya, hendak pergi menuju kamar mandi sebelum dia memuntahkan sesuatu di atas ranjang.

"Hooeekkk!"

Sierra di landa hangover cukup parah. Entah berapa banyak gelas yang dia minum semalam tadi, Sierra sendiri tak dapat mengingatnya secara jelas.

Ceklek

"Sierra! Kamu baik-baik aja?!"

Seseorang tiba-tiba menyelonong masuk ke dalam kamar mandi yang Sierra gunakan. Kemunculan pria itu sukses membulatkan kedua mata Sierra lebar-lebar.

"Ka-KAMU KENAPA ADA DI SINI?!"

Sierra merangkak mundur ke belakang, syok berat melihat kemunculan Max yang tak terduga. Belum lagi rambut Max terlihat setengah basah serta bathrobe yang melekat di tubuh pria itu, otomatis Sierra segera mengecek pakaiannya sendiri.

Wajah Sierra seketika memucat, berbagai pertanyaan memenuhi pikiran Sierra sampai membuat wanita itu luar biasa bingung.

"Sierra, jangan duduk di lantai terlalu lama. Nanti kamu bisa sakit. Ayo, kita pindah ke tempat lain, aku udah nyiapin minuman hangat buatmu." Max bergerak maju, hendak membantu Sierra bangkit dari duduknya.

Namun Sierra terus merangkak mundur ketika Max mendekat. Hening seketika menyelimuti keduanya. Sierra tidak berani menanyakan kejadian semalam, apa yang telah mereka lakukan dan mengapa mereka bisa berakhir di kamar hotel yang sama.

Sadar bila Sierra takut padanya, Max merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di sana.

"Maaf, kalau aku bikin kamu salah paham, tapi semalam tadi kamu mabuk berat dan aku nggak tau alamat tempatmu tinggal jadi aku bawa kamu ke hotel ini. Tapi tenang, kita nggak tidur di kamar yang sama, aku menyewa dua kamar buat kita kok."

Berharap penjelasannya ini dapat menenangkan Sierra yang di landa kepanikan. Meski Sierra tak berani bertanya secara langsung, Max dapat menebak jalan pikiran Sierra melalui ekspresi yang gadis itu tunjukkan.

"Be-beneran?" Sierra mencicit takut.

Max mengangguk tegas, lalu mengulurkan tangan kanannya. "Kamu bisa cek sendiri ke resepsionis. Sekarang, kita hilangkan dulu sakit mualmu itu. Aku udah pesenin makanan sama minuman penghilang mabuk. Kamu harus makan sampai habis ya?"

Flushh

Tak lupa Max memencet flush toilet yang habis digunakan oleh Sierra. Pria itu membantu Sierra dengan begitu telaten dan penuh kehati-hatian.

Di sisi lain, Sierra luar biasa kikuk sekaligus malu. Max telah melihat sisi lain dirinya yang memalukan, belum lagi kesalahpahaman yang tadi dia pikirkan. Sierra benar-benar malu berhadapan dengan Maximillan dalam kondisi yang buruk seperti ini.

"Maaf kak...aku bener-bener kacau ya semalam tadi?" Sierra menggaruk permukaan pipinya untuk mengurangi kegugupan yang menyelimutinya.

Max sendiri sibuk menyiapkan makanan yang baru datang setelah dia pesan pagi tadi. Sierra harus makan atau perut gadis itu akan semakin sakit karena kosong.

"Nggak juga. Kamu masih dalam kategori tenang untuk ukuran orang mabuk. Aku udah sering lihat yang lebih parah dari ini," Entah itu pujian atau gurauan. Tapi Sierra lega Max tidak kelihatan terganggu karena dirinya.

"Aku bakal ganti semua, tolong nanti kirimkan tagihannya ke aku ya?" Tak enak rasanya Sierra membiarkan Max membayari semua kebutuhannya sejak semalam.

"Nggak usah. Aku tulus bantuin kamu. Aku lebih senang bisa bantu kamu, jadi jangan merasa keberatan." Max membalas dengan senyuman yang lebar.

Untuk sesaat, Sierra baru mengingat betapa tampannya pria itu. Apalagi ketika Max menyajikan beberapa menu makanan untuk dirinya, Sierra merasa diperlakukan seperti seorang kekasih oleh Max.

'Kayaknya dulu kak Max nggak kayak gini deh?' Maksud Sierra, kebaikan Max tidak berlebihan seperti ini. Dulu Max memang baik dan ramah padanya, tapi Sierra tahu itu hanya sekedar formalitas semata untuk menghormati dirinya yang waktu itu masih berstatus kekasih dari adik Max.

Sierra jadi bertanya-tanya, apa untungnya bagi Max berbaik hati sampai merawat dirinya bahkan tanpa di minta sekalipun.

Sierra akan menanyakan hal itu nanti, sekarang dia harus menghabiskan semua makanan dan minuman yang telah Max beli untuknya. Meski nafsu makan Sierra tidak sebaik dulu, dia tetap harus memasukkan semua itu ke dalam perutnya demi menghargai kebaikan hati Max.

'Kamu pasti bisa, Sierra...jangan sampai buang rezeki dari orang!'

"Kalau gitu, selamat makan!"

...🦁...

...🦁...

"Kak? Kak Max? Kok kak Max nggak ada di kamarnya? Apa dia udah berangkat lebih pagi?"

"Tuan muda, cari Tuan Maximillan ya?" Seorang pelayan datang menanyai si tuan muda yang tampak kebingungan di depan kamar kakak dari laki-laki itu.

"Iya. Bibi tau di mana kak Maxi? Aku cariin dari tadi nggak ada."

Pemuda berambut coklat tua itu, Gideon, tampak panik tak kunjung menemukan batang hidung sang kakak sedari tadi.

Padahal biasanya Max akan berpamitan pada semua orang sebelum berangkat kerja, tapi pagi ini, Max bahkan tak nampak berkeliaran di dalam rumah. Terakhir Gideon melihat kakaknya itu sebelum Max pergi makan malam bersama beberapa rekan bisnis.

"Tuan Maximillan belum pulang sedari malam, tuan muda Gideon. Apa beliau tidak memberitahu anda?"

Laporan dari pelayan itu sedikit mencengangkan Gideon. "Kak Max nggak pulang dari semalam?! Bibi nggak bohong 'kan?!"

Bagaimana Gideon tidak terkejut? Kakaknya yang satu itu termasuk introvert, jadi mustahil bagi Max untuk berkeliaran di luar kecuali untuk urusan pekerjaan yang memang mengharuskan pria itu berinteraksi dengan banyak orang.

Gideon juga yakin sekali kalau makan malam kemarin juga tak mengundang satu wanita pun, jadi ke mana perginya Max?

"Iya, tuan muda. Saya juga sudah mengkonfirmasikannya dengan satpam yang berjaga semalam. Memang benar, Tuan Maximillan belum pulang sekalipun."

Berarti memang benar Maximillan belum pulang sampai siang ini. Tapi ke mana kakaknya pergi? Gideon jadi mengkhawatirkan Max.

"Ya sudah, terima kasih infonya, bi. Nanti kalau kak Max sudah pulang, segera kasih tau aku ya?"

Pelayan wanita yang sudah bekerja puluhan tahun di kediaman Callisto itu membungkuk hormat pada Gideon.

'Aku bahkan nggak bisa hubungi ponselnya. Nggak ada masalah 'kan sama makan malam kemarin?'

Mungkin Gideon hanya terlalu mencemaskan kakaknya, sampai pikiran negatif datang menghantuinya. Toh Maximillan bukan lagi remaja yang suka kelayapan ke sembarang tempat, Gideon tidak perlu mencari kakaknya layaknya orang hilang.

'Nanti kalau ketemu aku tanyain deh. Aku cuma khawatir karena akhir-akhir ini musuh lebih provokatif ketimbang biasanya.'

Gideon menghela nafas panjang. Dia yakin Maximillan aman di suatu tempat, mungkin kakaknya membutuhkan hiburan atau sedang ingin bersantai sejenak. Tak masalah, asalkan Maximillan aman, Gideon tidak perlu cemas.

Memulai Kembali

"Ini...tempatmu tinggal?"

Max menatap nanar bangunan tua yang katanya menjadi tempat tinggal Sierra selama ini.

"Iya. Err...maaf, aku nggak bisa ajak kak Max masuk ke dalam. Soalnya...ya...gitu...tempatnya nggak sebagus yang kakak bayangin. Sampai di sini aja aku turun, makasi banyak ya, kak. Buat semua yang kakak lakuin untukku. Aku janji akan membayar tagihannya begitu gajiku turun. Makasi banyak," ujar Sierra dalam satu tarikan nafas.

Sierra ingin cepat-cepat turun dari mobil Max yang telah mengantarkannya pulang dengan selamat. Well, sejujurnya Sierra tak ingin Max mengetahui hunian barunya yang sekarang.

Akan sangat memalukan bila Max mengetahui bagaimana kehidupannya yang sekarang dan Sierra tak pernah berharap Maximillan melihatnya yang sedang dalam kondisi terendah ini.

Untuk sesaat Max terlarut dalam dunianya sendiri. Dia memang tahu tentang bangkrutnya bisnis milik keluarga Sierra dulu, tapi Max tak pernah mengira bila itu akan berdampak cukup fatal pada finansial Sierra juga.

Dan lagi berita itu turun beberapa bulan pasca Sierra putus dengan adiknya. Pada waktu itu juga Max sangat sibuk dengan pelantikannya sebagai Kepala Direktur yang baru, jadi fokusnya tidak tertuju pada Sierra sama sekali.

Kini setelah Max melihat dengan mata kepalanya sendiri, rasa prihatin itu muncul dengan sendirinya. Sierra yang Max ketahui selalu mengenakan pakaian branded serta mempunyai fasilitas yang lengkap kini benar-benar tampak seperti gadis biasa pada umumnya.

"Kakak nggak perlu merasa kasihan sama aku."

Seolah dapat membaca pikiran Max, Sierra lebih dulu menegur.

"Daripada dulu, kehidupanku yang sekarang jauh lebih bahagia. Meski aku sering kehabisan uang, tapi aku lebih nyaman begini. Jadi karena itu, jangan memandangiku dengan tatapan belas kasihanmu itu. Aku muak."

Deg

Ucapan Sierra bagaikan belati yang menusuk ulu hati Max. Tatapan dingin namun tajam itu seolah memperingati Max untuk tidak memandangnya remeh.

Sierra yang sekarang, benar-benar berbeda dengan Sierra yang dulu pernah Max kenal. Tak ada senyum secerah mentari yang dulu menjadi daya tarik utama gadis itu. Tatapan kosong dalam sorot mata Sierra seakan menunjukkan seberapa beratnya kehidupan yang telah gadis itu lalui demi bertahan hidup.

Tapi menunjukkan rasa kasihan dan simpati hanya akan meremehkan harga diri Sierra, jadi Max akan berhenti melakukan itu.

"Maaf...aku cuma terlalu kaget aja. Aku tau perusahaan ayahmu yang lama itu udah bangkrut, tapi kudengar bisnis barunya mulai berkembang lagi. Jadi kupikir finansial keluargamu udah bangkit lagi.."

Oh...rupanya Max cukup up to date dengan kabar mengenai ayahnya itu. Sierra tak heran lagi, karena Max 'kan juga bergelut di bidang yang sama dengan ayahnya itu.

Sierra menggaruk belakang kepalanya, dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Ini akan memakan waktu yang cukup lama bila dia menceritakan semuanya secara detail. Jadi Sierra akan menyingkatnya saja, "Ayah dan ibuku udah bercerai cukup lama, tepatnya setelah ayah bangkrut waktu itu. Dan ayah udah menikah lagi sama anak dari salah satu investornya dulu. Kakak nggak tau berita itu?"

"WHAT?!" Spontan Max berseru kaget.

"A-ayahmu nikah lagi?! Terus? Gimana kamu sama ibumu?!"

Kenapa Max baru mengetahui berita ini?! Kemana saja dia selama ini? Mengapa baru sekarang Max mendengar perceraian orang tua Sierra?

"Jadi kakak bener-bener nggak tau ya? Yah..wajar sih, ayah nyembunyiin pernikahan keduanya dari media, gatau alasannya apa. Terus aku sama ibu..."

Ahh..ibunya...Sierra hampir melupakan sosok yang telah meninggalkannya itu.

Membicarakan soal ibu, mood Sierra selalu down. "Aku...nggak tau dia ada di mana.." Meski berat, Sierra tetap memberitahu Max.

Entahlah, Sierra sendiri heran, kenapa dia bisa menceritakan persoalan hidupnya dengan begitu mudah di hadapan Max. Padahal ketika teman-teman kuliahnya bertanya, Sierra hanya memilih bungkam dan tak banyak bicara.

Semua informasi ini nyaris membuat kepala Max meledak detik ini juga. Apa apaan ini? Tadi Max baru mengetahui perceraian orang tua Sierra, lalu kini ibu Sierra menghilang entah ke mana?

Jadi selama ini, Sierra hidup dengan siapa?

Banyak pertanyaan tiba-tiba memenuhi otak Maximillan, akan tetapi pria itu tidak berani untuk bertanya begitu melihat ekspresi sendu yang Sierra tunjukkan.

"Ibuku...dia pergi gitu aja tanpa kabar apapun. Yah, aku masih beruntung bisa bertahan hidup dengan kekuatanku sendiri. Seperti yang kakak lihat, aku baik-baik aja sekarang." Sierra menampilkan senyuman terbaiknya agar Maximillan tidak mengkhawatirkan dirinya.

Sierra muak. Membicarakan orang tuanya hanya membuatnya kesal dan kecewa. Sierra tidak ingin mengingat kembali masa-masa kelabu yang dia hadapi dengan begitu sulit.

Meski Sierra tersenyum seakan-akan dia baik-baik saja, namun Sierra tidak bisa membohongi Max.

Melihat senyuman Sierra yang begitu dipaksakan membuat emosi Max semakin meluap-luap entah karena apa.

'Kenapa kamu maksain tersenyum? Apa kamu nggak mau aku bertanya lebih banyak tentang kehidupanmu selama ini?' Itu yang terbesit dalam benak Max.

Max yang tidak pernah sekalipun tertarik dengan kehidupan orang lain, mau susah ataupun senang, kini sepenuhnya tertarik pada kehidupan Sierra setelah mereka lost contact.

"Aku minta nomor telponmu," Max tahu Sierra tak akan bercerita banyak tentang hidupnya pada orang lain, sekalipun itu Max orangnya. Jadi yang bisa Max lakukan adalah tetap menjalin komunikasi yang baik dengan Sierra agar dia tidak ketinggalan jejak gadis itu lagi.

"Buat apa?"

Di lain sisi, Sierra pikir mereka tak akan pernah berjumpa lagi seterusnya. Tapi sepertinya Max masih ingin melakukan kontak dengannya.

Sierra jadi ragu, apakah ini benar untuk dilakukan atau tidak. Karena jujur, ketika Sierra memandang wajah Max, selalu terbesit wajah laki-laki s!alan yang telah melukai hatinya di masa lalu.

"Kita 'kan udah nggak ada kepentingan lagi selain ganti rugi biaya yang udah kamu keluarin hari ini. Setelah itu, ada baiknya kita jalani kehidupan masing-masing tanpa bersinggungan lagi.."

Sebenarnya hati Sierra sedikit berat melepas kepergian Max. Saat ini, orang yang paling dekat dengan dirinya mungkin hanya Max seorang. Semua teman serta saudara yang dulu berada di sisi Sierra, semuanya berbalik memunggunginya dan mencampakkannya setelah jatuhnya bisnis sang ayah.

Sierra tak lagi mempunyai teman untuk bercerita atau bersandar ketika dia lelah dan kecewa. Bahkan ibu yang seharusnya selalu berada di sisinya dan membimbingnya juga ikut meninggalkannya seorang diri.

Sierra benar-benar kesepian dan hampa. Dia bahkan takut berteman terlalu dekat karena trauma akan ditinggalkan lagi.

"Karena aku pengen dekat denganmu. Maaf kalau terkesan memaksa, tapi seenggaknya, izinkan aku menyimpan nomor telponmu untuk jaga-jaga."

Sorot mata Max yang tajam seakan menghipnotis Sierra dan meruntuhkan tekadnya yang kuat. Di saat seperti ini, Sierra kembali mengingat kebersamaan mereka berdua bersama dengan mantan kekasihnya yang s!alan itu.

"O-oke..ini nomorku, kakak bisa catat sendiri.."

Kenangan di masa lalu memang menyakitkan, namun Sierra tidak sepenuhnya membenci kenangan manis itu. Berkat kenangan-kenangan indah yang pernah dia ukir bersama sang mantan dan Max, dapat memberikan Sierra kekuatan untuk hidup lebih lama di dunia yang kejam ini.

'Apa ini akan baik-baik aja? Apa aku terlihat seperti mengharapkan sesuatu? Bagaimana pun juga, kak Max bukan orang asing yang nggak kukenal...bolehkan kalau kami tetap berteman?'

Sierra tidak meminta hal besar, dia hanya berharap Max bersedia menjadi temannya lagi. Atau sekedar kenalan juga tidak apa-apa. Dengan begitu, Sierra tidak merasa seorang diri lagi.

"Done. Ini, aku kasih nomor telponku juga ya? Kalau butuh sesuatu kamu bisa langsung hubungi aku ke nomor itu. Itu nomor pribadiku kok, nggak banyak orang yang tau nomor itu. Jadi kalau kamu hubungi aku, aku bisa langsung tau kalau itu kamu," ungkap Max, setelah menyodorkan secarik kartu nama khusus berlapiskan tulisan berwarna emas kepada Sierra.

Hebat...hanya dalam beberapa tahun, Maximillan sudah menjadi seorang pria yang mapan dan dewasa. Benar-benar berbeda dengan Maximillan sewaktu kuliah dulu. Hanya dengan melihat kartu nama milik Max sudah terasa sekali perbedaan dunia tempat mereka tinggal. Sierra tertawa miris, orang seperti Max tidak cocok berteman dengan orang miskin seperti dirinya. Sierra amat menyadari kesenjangan di antara mereka.

"Ma-makasi banyak..."

Namun hati Sierra lagi-lagi melemah. Sisi egoisnya tidak mau menyerahkan kartu nama itu pada si pemilik dan kembali pada misinya untuk berpura-pura tidak perduli terhadap pria itu.

"Sama-sama. Akan lebih menyenangkan kalau kita lebih sering berkomunikasi. Bukan sebagai mantan pacar adikku, tapi sebagai 'Sierra'. Karena aku pedulinya memang sama Sierra aja~"

Entah itu sebuah gurauan semata untuk mencairkan suasana canggung di antara mereka, atau memang Max benar-benar serius atas ucapannya. Apapun itu, Max berhasil menghibur hati Sierra yang sedang campur aduk.

"Kalau kakak maksa, akan kuusahain hubungi kakak. Tapi janji nggak akan marah karena terganggu ya? Soalnya aku bisa jadi agak cerewet kalau di chat."

Sierra sama sekali tidak tahu ekspresi apa yang gadis itu tunjukkan pada Max. Melihat semburat kemerahan menghiasi kedua pipi Sierra membuat wajah gadis itu semakin terlihat manis sekaligus imut di mata Max.

Meski wajah Sierra tidak secerah dulu ketika masih punya banyak uang, namun kecantikan gadis itu masih tidak pudar ataupun berkurang hanya karena warna kulitnya yang sedikit kecoklatan.

'Manis...masa gadis secantik ini disia-siakan gitu aja? Cuma orang bego yang ngelakuin itu demi jelmaan rubah yang licik. Ah~ bener...orang bego itu adalah adikku sendiri. Kalau Gideon tau aku kontakan lagi sama Sierra, reaksinya bakal gimana ya? Nggak seru kalau cuma Sierra doang yang terluka akibat kebodohan anak itu. Apa aku bantu Sierra buat balas dendam ke mereka?'

'...kayaknya bakal seru...tapi itu kalau Sierra menginginkannya juga sih. Lagian sekarang aku udah nemuin Sierra, masalah itu bisa diurus lain waktu. Sekarang aku mau fokus buat bantuin Sierra dulu deh, terutama finansial gadis itu...kira-kira apa yang bisa aku lakuin buat bantuin Sierra ya?'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!