“Kamu harus cepat pergi dari rumah kami,” ucap seorang wanita paruh baya yang menginginkan Nina untuk pergi dari rumahnya.
Nina adalah seorang gadis berusia 17 tahun. Orang tuanya meninggal saat dia berusia 15 tahun dengan Adik yang masih berusia 1 tahun.
Selama 2 tahun, dia tinggal bersama Bibinya (Adik dari Ayahnya). Sedangkan untuk sekolah, orang tuanya meninggalkan asuransi pendidikan untuk mereka berdua.
Saat Bibinya menyuruh mereka pergi, Nina pun bertanya, “Bi, kenapa kamu mengusir kami? Apa kesalahan kami, Bi?”
Tanpa basa-basi, Bibinya pun berkata, “Sudah hampir satu tahun ini Kakekmu gak mengirimi kami uang untuk biayamu sehari-hari. Sangat rugi jika kami tetap mempertahankan mu untuk tetap tinggal bersama kami di rumah ini.”
Bagai tersambar petir di siang bolong, betapa terkejutnya Nina saat mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau selama ini Bibinya membiarkan dia dan Adiknya tinggal hanya karena uang pemberian dari Kakek.
Karena merasa sudah tidak punya tempat untuk tinggal, Nina pun akhirnya memohon pada Bibinya dengan berkata, “Bi, aku mohon. Jangan usir kami. Jika Bibi mengusir kami, lantas kami harus tinggal di mana?”
“Bibi gak peduli. Pokoknya kamu harus segera pergi dari rumah ini. Pergi!” teriak Bibinya sambil memukul-mukuli Nina agar cepat pergi.
Di saat yang bersamaan, Alvaro pun tiba-tiba saja datang dan melihat kejadian ini. Karena merasakan ini sudah sangat melewati batas, akhirnya Alvaro pun berkata, “Bu, sudah. Jangan pukul dia lagi.”
“Anda siapa?” tanya Bibinya.
“Saya gurunya. Saya mohon jangan pukuli dia lagi,” pinta Alvaro.
“Baik. Aku tidak akan memukulnya lagi. Tapi dengan satu syarat, secepatnya bawa dia pergi dari rumah ini. Rumah ini bukan tempat penampungan untuk anak yatim piatu yang miskin seperti mereka,” ucap Bibinya ketus.
Alvaro yang mendengar ini pun langsung merasa pedih dan tanpa pikir panjang, Alvaro pun akhirnya membujuk Nina agar mau ikut dengannya.
Setelah beberapa saat kemudian, Nina akhirnya pun mau di ajak oleh Alvaro dan saat di tengah perjalanan, Adiknya yang kala itu berusia 3 tahun ini pun bertanya, “Tatak, tita mau mana?” (Kakak, kita mau ke mana?)
Sambil berusaha tersenyum, Nina pun menjawab, “Kita mau pergi cari rumah baru, sayang.”
Digandengnya tangan Adiknya itu dengan tangan satunya membawa sebuah koper berisi pakaiannya dan pakaian Adiknya.
Sambil melangkahkan kakinya tak tentu arah, Alvaro pun tiba-tiba melihat ada sebuah kursi di pinggir jalan. Di ajaknya Nina dan Adiknya ke sana untuk beristirahat sejenak.
Adiknya yang sudah cukup lelah berjalan ini pun tanpa tersadar sudah tertidur dengan kepala berada di pangkuan Nina.
Di saat adiknya sedang tertidur ini, Alvaro pun bertanya, “Hari ini kenapa kamu gak sekolah?”
Dengan suara lirih, Nina pun menjawab, “Maaf, Pak. Saya sepertinya sudah gak bisa pergi ke sekolah lagi.”
Mendengar ucapan seperti itu, Alvaro pun langsung menengok ke arah Nina dan kemudian bertanya, “Kenapa?”
“Bapak kan sudah tahu sendiri tadi. Aku sudah gak punya apa-apa lagi, Pak. Jangankan uang untuk sekolah, tempat tinggal pun kami berdua sudah gak punya,” jelas Nina lirih.
Mendengar jawaban Nina, Alvaro pun terdiam dan kemudian Nina pun kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Orang tua kami sudah meninggalkan kami dari dua tahun yang lalu dan selama ini kami bisa hidup dari uang ala kadarnya yang diberikan oleh Kakek tiap bulannya pada Bibi kami. Hingga sudah hampir satu tahun ini, kakek gak memberikan kami uang hingga Bibi pun bersikeras mengusir kami dari rumah mereka dan bahkan mereka pun mengambil uang asuransi pendidikan kami. Saat ini kami benar-benar gak tahu harus ke mana dan berbuat apa lagi.”
Mendengar penjelasan Nina seperti itu, betapa pedihnya hati Alvaro. Dia merasa iba dengan apa yang sudah terjadi pada diri Nina dan Adiknya. Di usia mereka yang masih belia, mereka harus merasakan kepedihan hidup seperti ini.
Andaikan saja waktu itu dia tidak kabur dari rumah, tentunya dia akan dengan mudah membantu Nina dan Adiknya ini.
Hingga sesaat kemudian dia terpikirkan sebuah cara.
“Nin, apa kamu masih mau sekolah?” tanya Alvaro.
“Maunya sih begitu, Pak. Tapi itu akan jadi mimpi yang gak akan mungkin bisa terwujud,” ucap Nina lirih.
“Siapa bilang. Aku bisa bantu kamu,” ucap Alvaro.
“Gimana caranya, Pak?” tanya Nina bingung.
“Hari ini kita ke KUA dan langsung menikah. Bukankah kalau gak salah sekarang usiamu sudah 17 tahun, bukan?” tanya Alvaro.
Nina pun mengangguk lalu Alvaro pun bertanya lagi, “Bagaimana? Apa kamu setuju dengan tawaranku?”
Nina pun terdiam mendengar tawaran Alvaro ini. Dalam pikirannya, jika dia menerima tawaran Alvaro, dengan sendirinya dia akan jadi beban untuk gurunya itu. Sedangkan jika dia menolak, jangankan untuk sekolah, untuk tempat berteduh pun dia tidak punya.
Melihat Nina hanya terdiam seperti ini, membuat Alvaro menyadari kalau gadis yang ada di hadapannya ini sedang merasa bimbang.
Dengan nada lembut, Alvaro pun kemudian kembali berkata, “Kamu gak usah memikirkan apa-apa. Aku ikhlas dan tulus. Lagi pula, dengan cara seperti ini, aku pun jadi bisa melindungimu juga. Iya, kan!?”
Di saat yang bersamaan, dalam hati Alvaro bergumam, “Nin, andaikan kamu tahu kalau dirimu adalah orang yang sekian lama aku sayangi dan kita sebenarnya sudah dijodohkan dari kecil. Sayangnya aku baru tahu ketika aku membaca biodatamu di sekolah. Jika tidak, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi padamu.”
Di sisi lain, mendengar ucapan Alvaro yang barusan saja membuat Nina kemudian berkata, “Pak, apakah itu gak akan merepotkan Bapak? Apalagi jika suatu saat nanti ada orang yang benar-benar Bapak cintai dan ingin Bapak nikahi, bagaimana?”
'Deg'
Hati Alvaro seketika merasakan hal aneh saat mendengar perkataan seperti itu dari Nina.
“Nin, percaya atau gak, sebelum aku bertemu denganmu saat ini, sampai saat itu aku gak ada niatan untuk mengenal wanita apalagi sampai menikah dengannya. Namun entah mengapa, dirimu dalam seketika dapat mengubah keinginanku itu,” jelas Alvaro menyembunyikan hal yang sebenarnya.
“Ja—jadi Bapak melakukan ini semua hanya karena kasihan padaku? Apakah itu cukup gak adil buat Bapak jika memang seperti itu?” tanya Nina.
Alvaro pun terdiam sejenak lalu kemudian berkata, “Gak apa-apa, Nin. Aku hanya mengikuti kata hatiku saja. Tapi jika suatu saat nanti ada orang yang kamu sukai dan dia pun ingin menikah denganmu, aku pun gak apa-apa. Jika saat itu terjadi, maka aku akan melepaskanmu.”
Betapa mulianya hati seorang Alvaro di mata Nina. Walau saat ini dia tidak bisa menjanjikan apa-apa pada gurunya tersebut, tapi sebisa mungkin dia akan berusaha sedikit demi sedikit mencintai gurunya tersebut sehingga tidak ada kata untuk yang namanya cowok lain lagi di hati Nina.
“Pak, baiklah. Aku bersedia menikah dengan Bapak. Aku juga sudah memutuskan untuk bersedia menyerahkan semua sisa hidupku untuk menemani Bapak,” ucap Nina.
‘Deg’
Jantung Alvaro seakan terasa seperti berdebar kencang saat mendengar ucapan Nina.
“Apa kamu yakin, Nin? Apa kamu gak akan menyesal dengan ucapanmu barusan?” tanya Alvaro memastikan.
Nina pun menggelengkan kepalanya lalu kemudian berkata, “Gak, Pak. Walau awalnya kita berdua menikah hanya karena faktor kebetulan, tapi bukan berarti kita gak bisa berusaha untuk saling setia.”
Betapa terkejutnya Alvaro dengan cara berpikir Nina yang terkesan dewasa sebelum waktunya itu.
“Nin, baiklah jika emang itu yang sudah jadi keputusanmu. Ayo sekarang kita ke kantor KUA,” ajak Alvaro yang kemudian menggendong Adiknya Nina yang bernama Azka.
Bersambung...
Keesokan harinya, Nina pun akhirnya dapat bersekolah lagi dan tidak ada satu pun dari orang di sekolah yang mengetahui status mereka berdua.
“Baik anak-anak, buka halaman 50,” ucap Alvaro yang kala itu sedang mengajar Matematika di kelas Nina.
Semua siswa pun tampak khusyuk mendengarkan penjelasan dari Alvaro terkecuali Nina.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau kehidupannya akan berubah drastis menjadi seperti ini.
Alvaro yang sadar akan sikap Nina ini pun sontak menjelaskan sambil berjalan ke arah Nina dan kemudian,...
'Tuk'
Sebuah pukulan pelan pun mendarat di atas kepala Nina sehingga membuat Nina tersadar kalau saat ini dia dan Alvaro adalah guru dan murid. Ya begitu lha cara Alvaro menegur Istrinya yang sedari tadi tidak fokus pada pelajarannya.
Sambil tersenyum dalam hati, ke duanya pun kembali pada status mereka masing-masing.
Hingga waktu istirahat pun tiba. Nina yang sedang duduk di kantin bersama dengan Ridwan ini pun tiba-tiba didatangi oleh seorang siswi dari kelas yang berbeda.
Siswi yang ternyata bernama Erin ini dengan wajah emosi pun berkata, “Hei, lo. Ngapain lo deket-deket ma cowok gue?”
Nina yang semula hanya mengobrol dengan Ridwan ini pun dengan wajah bingung melihat ke arah Ridwan.
Sementara itu, Ridwan yang juga dengan wajah yang tak kalah emosinya dengan Erin ini pun berkata, “Siapa yang cowok lo, hah? Bukannya beberapa hari yang lalu kita berdua udah putus dan yang putusin juga lo kan?!”
Mendengar ucapan Ridwan, Erin pun langsung berkata, “Rid, maafin gue. Gue nyesel. Ternyata gue baru aja sadar kalau gue masih aja gak rela lihat lo berdua sama cewek lain.”
Erin mengatakan seperti itu sambil menengok ke arah Nina dengan tatapan mata yang sangat kesal.
Namun buat Erin, tatapan seperti itu, tidak berarti apa-apa untuk dirinya karena dia tidak merasa seperti apa yang dituduhkan.
Sementara di saat yang bersamaan, Ridwan yang mendengar ucapan Erin ini pun langsung berkata, “Oh gitu?! Jadi lo nyesel, iya?! Tapi maaf, Rin. Gue gak bisa balik lagi ma lo.”
“Kok gitu sih, Rid?! Apa jangan-jangan gara-gara cewek ini jadinya lo gak bersedia buat balik lagi ma gue?” ucap ketus Erin sambil menunjuk-nunjuk ke arah Nina.
Nina yang merasa makin lama tuduhannya itu benar-benar membabi buta seperti itu pun langsung berkata, “Eh eh eh.. apa maksud ucapan lo barusan hah?! Lo tuh ya. Benar-benar deh cemburunya gak jelas banget kaya' begini. Lagi pula siapa juga yang mau rebut yayangmu itu?! Kurang kerjaan aja.”
Kali ini bukan Erin yang merasa kesal, melainkan Ridwan. Saat ia mendengarkan ucapan Nina, Ridwan pun langsung berkata, “Nin, lo gak suka sama gue?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, spontan Nina pun menengok ke arah Ridwan dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Ini cowok benar-benar membuat aku berada dalam masalah,” gumam Nina dalam hati.
Melihat Nina hanya menatapnya dengan tatapan bingung, Ridwan pun kembali berkata, “Gue dari awal berniat buat deketin lo. Apa lo keberatan, Nin?”
Belum juga pertanyaan Ridwan di jawab oleh Nina, Erin pun sudah terlebih dahulu menampar pipi Nina dan kebetulan ini terlihat oleh Randy, guru BK.
“Hei hei hei! Kalian bertiga! Apa yang sedang kalian lakukan hah?! Ayo ikut Bapak ke ruangan BK sekarang!” perintah Randy.
Sesampainya mereka bertiga di ruang BK, Randy dengan nada galaknya pun berkata, “Siapa diantara kalian bertiga yang mau menjelaskan masalah tadi hah?”
Untuk sesaat mereka bertiga pun terdiam hingga akhirnya Erin terlebih dahulu berani berkata, “Ini, Pak. Si Nina seenaknya aja udah deketin cowok orang. Apalagi sampai merayunya segala supaya bisa menjadi pacar cowokku.”
“Nggak, Pak. Itu semua gak benar. Aku dan Ridwan tidak punya hubungan apa-apa,” jelas Nina.
“Bohong, Pak. Malah barusan si Ridwan ini berani nembak Nina di depanku,” ucap Erin.
Randy yang mendengar perselisihan mereka ini pun akhirnya berteriak, “Diam!”
Setelah itu, Randy melihat ke arah Ridwan lalu bertanya, “Apa benar seperti yang dikatakan oleh Erin barusan?”
“Benar, Pak. Hanya saja aku dan Erin sudah beberapa hari yang lalu putus dan sekarang aku ingin mengejar Nina, apa itu salah?” tanya Ridwan.
“Rid, tapi gue nyesel udah putusin lo,” ucap Erin memelas.
Di saat yang bersamaan, Randy pun berkata, “Sudah sudah sudah. Lalu bagaimana denganmu sendiri, Nin? Apakah kamu juga menyukai Ridwan?”
“Tidak mungkin!” sahut Nina yang tidak sengaja juga berbarengan dengan sahutan Alvaro yang kala itu masuk ke dalam ruang BK.
Randy yang mendapati momen seperti ini pun terkejut lalu bertanya, “Al, lo ngapain ke sini?”
“Lha gue ada urusan lha. Emang lo aja yang punya urusan di ruang BK ini?” celetuk Alvaro sambil melirik ke arah Nina.
“Ha? Dalam rangka urusan apa ya, Al?” tanya Randy bingung.
“Nanti lo juga tahu sendiri. Sudah. Lanjutin aja tugas lo. Gue nyimak dari sini,” ucap Alvaro yang langsung duduk tidak jauh dari Nina.
“Haisss,” gumam Randy.
Setelah mengatakan hal itu, Randy pun terdiam sejenak lalu kemudian bertanya, “Sampai di mana kita tadi?”
“Sampai lo tanya ke Nina apa dia juga menyukai Ridwan,” ucap Alvaro sambil melirik ke arah Nina.
“Oh iya iya,...” ucap Randy, “ya udah. Sekarang kamu jawab sekali lagi, apa kamu juga menyukai Ridwan?”
“Tidak mungkin, Pak. Aku sama sekali tidak mungkin menyukai Ridwan,” jelas Nina.
Ridwan yang mendengar itu pun langsung bertanya, “Kenapa tidak mungkin, Nin? Apa kamu takut dengan Erin sehingga mengatakan hal itu?”
Nina pun menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, Rid. Tapi aku memang benar tidak bisa. Lebih baik kamu kembali saja dengan Erin yang sudah jelas-jelas menyukaimu. Jangan berharap lagi padaku ya.”
Ridwan yang mendengar ucapan Nina ini pun seketika menjadi lesu. Dengan kedipan mata, Nina pun memberikan sinyal pada Erin agar mau menenangkannya.
Erin yang melihat perlakuan Nina seperti ini pun tiba-tiba merasa menyesal telah berbuat kasar padanya tadi.
Dengan menganggukkan kepalanya, Erin pun menjawab sinyal yang diberikan Nina padanya.
“Maafin gue, Rid. Gue tidak akan maksain lo lagi. Tapi, tetep. Gue masih berharap kalau lo mau maafin gue dan beri gue kesempatan satu kali lagi. Ya?!” ucap Erin lebih lembut dari yang sebelumnya.
Ridwan yang masih belum bisa terima karena ditolak oleh Nina ini pun hanya terdiam, hingga akhirnya Erin pun mengajaknya pergi dari ruangan BK dan mencoba menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan baik-baik.
Sementara itu, Nina yang tertinggal sendirian ini pun tiba-tiba tersadar dengan rasa sakit di pipinya yang tadi ditampar oleh Erin.
Alvaro yang melihat ini pun langsung menghampiri dan melihat pipi Nina memar merah ini pun bertanya, “Sakit ya? Kenapa tadi kamu tidak balas melawannya?”
“Kalau aku balas, nanti teman Bapak tambah stres lho,” ucap Nina sambil melirik ke arah Randy.
Randy yang merasa kalau dirinya tengah disebut-sebut ini pun langsung berkata, “Apa?”
Melihat ekspresi wajah Randy seperti itu, baik Alvaro maupun Nina, keduanya sama-sama saling senyum sehingga membuat Randy pun menjadi merasa aneh.
“Tunggu tunggu tunggu.. rasanya gue paham apa maksud lo bilang ada urusan di ruangan ini. Jangan-jangan,...”
Belum juga Randy melanjutkan ucapannya, Alvaro pun sudah terlebih dahulu berkata, “Yup, lo bener banget.”
Alvaro pun langsung mengelus-elus rambut Nina yang kala itu sedang tergerai.
Melihat situasi seperti ini, Randy pun langsung menutup pintu ruangan BK lalu berkata, “Kalian,...”
“Ya. Kami sudah menikah,” sahut Alvaro.
“Apaaaaaaaaaaaaa????????”
Bersambung...
Malam harinya, saat Azka sudah tertidur. Nina pun mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Alvaro.
Alvaro yang kala itu sedang mempersiapkan bahan mengajar untuk esok hari ini pun terkejut dan akhirnya membukakan pintu kamarnya.
“Ada apa, Nin?” tanya Alvaro.
“Pak, maaf. Aku tiba-tiba kepikiran tentang masalah tadi siang. Apa gak apa-apa kalau kita memberitahukan soal status kita sama Pak Randy?” tanya Nina dengan ekspresi khawatir.
Alvaro pun tersenyum lalu menjawab, “Gak apa-apa, Nin. Kamu gak usah khawatir soal itu ya. O ya, apa kamu udah mengerjakan tugas yang aku kasih hari ini?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Nina pun menunduk sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa ada yang gak kamu mengerti?” tanya Alvaro.
Nina pun mengangguk lalu berkata, “Semuanya Pak.”
Mendengar jawaban Nina, Alvaro pun langsung menepuk jidatnya lalu bertanya, “Kenapa bisa seperti itu? Apakah ada yang salah dengan cara aku menerangkannya?”
Nina pun menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Gak ada yang salah dengan cara Bapak menerangkan. Hanya saja, akunya saja yang selama ini gak terlalu fokus dengan pelajaran karena hampir tiap hari gak ada waktu untuk belajar.”
‘Deg’
Alvaro pun langsung mengelus-elus rambut Nina sambil berkata, “Udah gak apa-apa. Sekarang kamu udah tinggal bersamaku. Kamu bisa dengan leluasa untuk belajar kapan pun kamu mau. Ayo sekarang kita belajar. Aku akan membantumu.”
Alvaro pun langsung keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar Nina.
Jadilah malam itu mereka berdua belajar bersama.
***
Keesokan paginya, seperti biasa, mereka pun berangkat secara terpisah. Nina berangkat terlebih dahulu karena harus mengantarkan Azka ke tempat penitipan anak sedangkan Alvaro berangkat setengah jam setelah Nina.
Namun karena tiba-tiba saja Azka merajuk, membuat Nina pun menjadi terlambat ke sekolah.
Sementara itu, tampak terlihat di pintu gerbang berdiri sosok Alvaro yang sedang bertugas. Sambil berjalan mengendap-endap, Nina pun berharap bahwa suaminya itu mau meloloskannya.
Tapi siapa sangka, belum juga Nina melangkahkan kakinya masuk ke pintu gerbang, Alvaro sudah terlebih dahulu datang menghampirinya.
“Nin, kenapa bisa telat? Bukannya kamu berangkat lebih awal dariku?” tanya Alvaro bingung.
“Iya, Pak. Tadi gak tahu kenapa, tiba-tiba saja Azka merajuk dan sangat sulit sekali untuk di tinggal,” jelas Nina.
“Ya udah. Lebih baik kamu masuk ke ruang BK saja dulu. Supaya gak ada yang curiga,” ucap Alvaro dan Nina pun mengangguk lalu pergi meninggalkan Alvaro.
Alvaro yang melihat punggung Nina dari belakang ini pun merasa kasihan pada gadis yang sedang berjalan menjauh tersebut. Dalam hatinya dia bergumam, “Nin, mulai saat ini, ada aku yang akan menjagamu. Kamu gak usah menyimpan semuanya sendirian lagi.”
***
Di ruang BK, Pak Randy pun bingung melihat Nina yang tiba-tiba saja datang ke ruangannya dibuntuti Alvaro dibelakangnya.
Karena merasa bingung, dia pun menceletuk, “Eh eh eh.. kalian ada urusan apa lagi nih datang ke sini?! Jangan bilang kalau kalian akan pamer kemesraan di sini deh.”
Mendapatkan sambutan seperti itu pun, Nina langsung menoleh ke arah Alvaro dan Alvaro pun seakan bisa mengerti dengan apa yang di pikirkan Nina.
“Hei, Ran. Kita berdua mau mangkal di sini, Ok?!” ucap usil Alvaro.
“Nah kan. Mangkal. Lo kira ruang BK ini halte kali ya. Pakai acara mangkal segala,” ucap Randy sewot.
Mendengar ucapan Randy seperti ini, Alvaro pun langsung tertawa terbahak-bahak dan itu adalah kali pertama Nina melihat guru sekaligus suaminya itu tertawa lepas seperti itu.
“Lha lha lha.. dia malah ngakak. Woi.. serius dikit napa?!” protes Randy yang kemudian mengambil segelas kopinya untuk menenangkan emosinya.
Mendapatkan protes dari Randy seperti itu, Alvaro pun spontan langsung berkata, “Ok ok ok. Gue bakalan serius. Jadi begini. Nina tadi tidak sengaja datang telat karena Azka tiba-tiba saja merajuk saat dititipkan di tempat penitipan anak.”
Mendengar ucapan Alvaro tentang Azka dan penitipan anak, yang terlintas di pikiran Randy saat itu adalah seorang anak yang merupakan hasil dari hubungan Alvaro dan juga Nina.
Karena pikiran yang mengada-ada seperti ini, sehingga membuatnya menjadi tersedak saat minum kopi miliknya.
“Gila ya kalian berdua. Ternyata diam-diam selama ini kalian sudah punya anak,” ucap Randy.
Baik Alvaro maupun Nina, keduanya sama-sama saling menatap saat mendengar ucapan Randy yang sepertinya sudah salah paham terhadap mereka.
Dengan mengambil sebuah buku, Alvaro pun berjalan mendekati Randy dan kemudian langsung memukul pundak Randy dengan buku tersebut.
“Dasar pengurus BK oneng. Orang tuh di mana-mana tanya lebih jelas dulu baru menyimpulkan. Lha ini, belum jelas tapi udah main nyimpulin aja,” ucap Alvaro.
Setelah mendengar ucapan Alvaro seperti itu, Randy pun tersadar kalau rupanya tadi dia sudah salah paham terhadap Alvaro dan juga Nina.
“Lha terus si Azka itu siapa?” tanya Randy.
“Azka itu adikku Pak,” sahut Nina yang disertai gelengan kepala Alvaro.
Randy yang mengerti dengan maksud gelengan tersebut itu pun kemudian berkata, “Ya maaf.”
“Gak apa-apa kok Pak,” ucap Nina sambil tersenyum.
Setelah semuanya sudah jelas, ada satu hal yang masih tetap tidak di mengerti oleh Randy. Dengan wajah bingung, dia pun bertanya, “Lha terus ini kenapa kalian berdua masih ada di sini?”
“Kan tadi udah gue jawab, kita berdua di sini karena mau mangkal. Ya gak, Nin?” ucap Alvaro.
Melihat sikap Alvaro sedang mengusili Randy yang seperti ini, membuat Nina pun menjadi ingin tertawa. Namun dengan sekuat tenaga dia pun mencoba menahannya.
“Ah lo, Al. Suka-suka lo aja dah,” ucap Randy kesal.
***
Hari itu, setelah melewati rutinitas seperti biasanya, Nina pun langsung pulang. Namun sebelum itu, dia terlebih dahulu menjemput Azka di tempat penitipan anak.
Namun saat dia sampai di tempat tersebut, salah satu pegawai di sana pun langsung menghampiri Nina dengan sambil menggendong Azka.
Pegawai tersebut berkata, “Maaf, Mbak. Adiknya Mbak sepertinya sedang sakit.”
“Sakit?!” ucap Nina yang terkejut.
Dengan spontan dia pun langsung memegang tubuh Azka dan dapat dirasakan olehnya suhu tubuh Azka yang panas.
Tanpa menunggu lama, Nina pun langsung berpamitan pada petugas di sana dan dengan segera membawanya ke Rumah Sakit terdekat.
Sesampainya di Rumah Sakit, Dokter mengatakan kalau Azka harus di rawat dan ini tentunya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dalam termenungnya Nina, tiba-tiba saja Alvaro datang dengan nafas tersengal-sengal.
“Nin, kenapa kamu gak cepat kasih tahu aku tentang masalah ini? Lalu sekarang bagaimana keadaan Azka?” tanya Alvaro khawatir.
“Dia sedang mendapatkan pertolongan pertama. Namun pihak Rumah Sakit masih menunggu kepastian apakah Aska mau di rawat atau gak,” jelas Nina lirih menahan tangis.
Alvaro yang menyadari ada yang salah dengan suara Nina ini pun langsung memeluk Nina sambil berkata, “Nin, kamu boleh menjaga Adikmu. Tapi ijinkan aku untuk menjagamu juga ya?! Mulai saat ini, aku berharap, kamu jangan memikul semuanya sendirian. Lebih baik kamu ceritakan semuanya padaku juga karena biar bagaimana pun aku ini suamimu. Ok?!”
Mendengar ucapan Alvaro, Nina pun sontak langsung menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Alvaro.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!