..."Aku sudah menjatuhkan hatiku padamu meskipun tatapanmu selalu penuh kebencian."...
...****************...
"Saya terima nikah dan kawinnya, Gisela Thania Ayudia binti Hendarto Wijaya Kusuma dengan maskawin tersebut dibayar, tunai!"
Gemuruh ucapan syukur seketika menggema di ruangan itu. Tepat di mana ijab kabul dilangsungkan. Tepuk tangan dan sorakan pun ikut mengiringinya. Binar bahagia dan senyum yang mengembang tampak terlihat jelas dari kedua mempelai. Namun, tidak di wajah Farah. Wanita paruh baya yang saat ini sudah resmi menyandang gelar sebagai mama mertua dari Gisela. Ia tampak tak acuh dan bahkan melayangkan tatapan sinis ke arah Gisela.
Tidak dipungkiri, pernikahan ini sangat tidak direstui oleh Farah karena ia merasa Gisela bukanlah tipe menantu idaman. Bahkan, sangat berbanding terbalik dengan yang ia inginkan. Penampilan Gisela sangat sederhana meskipun gadis itu berasal dari kalangan cukup berada, hal itu membuat Farah merasa malu. Yang diinginkan Farah sebagai menantu adalah gadis cantik sekelas model papan atas yang glamor dan tentu saja pantas jika harus bersanding dengan Abram. Namun, hal yang perlu digarisbawahi kalau keputusan Abram tidak pernah bisa diganggu gugat karena selama ini hidup Farah terutama soal keuangan sangat bergantung kepada Abram.
Gisela pun menyadari tatapan mama mertuanya, tetapi ia berusaha untuk tidak terlalu mengambil hati. Bagi Gisela, semua itu berproses dan seiring berjalannya waktu, Gisela sangat berharap Farah bisa menerima dirinya. Tentu saja, Gisela akan berusaha untuk mengambil hati wanita paruh baya itu. Walaupun dalam hati Gisela merasa tidak terlalu yakin.
Acara demi acara berlangsung hingga pukul tujuh malam semua baru selesai. Gisela pun merasa gugup saat Abram mengajaknya masuk ke kamar. Beberapa hal yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya begitu menari dalam pikiran. Seperti Abram yang menyentuhnya penuh cinta. Rasanya, Gisela sudah sangat tidak sabar, tetapi ia tetap harus bisa menahan diri. Jangan sampai ia terlihat murahan di depan suaminya sendiri.
"Ganti bajumu dan hapus riasanmu! Percuma kamu berdandan setebal itu. Kamu tetap saja terlihat jelek," hina Abram. Berbicara tanpa peduli pada perasaan Gisela.
Gisela mendongak. Masih belum sepenuhnya percaya dengan nada bicara Abram yang begitu ketus. Sangat berbeda dengan sebelumnya. Padahal ketika di pelaminan tadi, Gisela bisa melihat tatapan Abram yang sangat meneduhkan. Namun, kenapa sekarang berbeda? Pertanyaan itu begitu berkecamuk di dalam hati Gisela.
"Baik. Tunggu sebentar. Aku masih sangat lelah," ucap Gisela. Ia duduk di samping Abram, tetapi lelaki itu justru mendorong tubuh Gisela hingga hampir terjatuh karena posisinya yang berada di tepi ranjang.
"Kenapa kamu sangat kasar," ucap Gisela setengah merengek. Ia pikir Abram akan memberi perhatian padanya, tetapi ternyata ia salah. Abram justru melengos dan berdecih.
"Sudah cukup aku bersandiwara sejak tadi." Abram menangkup dagu Gisela begitu kuat hingga membuat gadis itu meringis sakit. Namun, lagi-lagi Abram tidak peduli. Ia justru menguatkan remas*nnya seolah hendak mematahkan tulang dagu milik Gisela. "Dengarkan aku, wanita kampungan! Mulai sekarang kamu harus menurut padaku dan apa pun perintahku maka jangan sekalipun kamu membantah! Atau aku tidak akan segan-segan membuangmu ke tempat pelacuran!"
Gisela menatap Abram dengan tatapan nanar, tidak menyangka jika suaminya akan berbicara sekejam itu padanya. Gisela hendak menangis, tetapi Abram justru menghempaskan tangannya untuk melepaskan dari dagu Gisela.
"Mas—"
"Jangan pernah menangis! Aku benci wanita cengeng!" bentak Abram. Ia hampir saja menampar Gisela. Namun, tangannya mengapung di udara saat tatapannya tertuju pada kebaya Gisela yang terbuka hingga nampaklah dada mulus gadis itu. Tonjolan buah dada yang masih kencang seketika membuat tubuh Abram serasa panas dingin.
Abram menelan ludah susah payah. Sungguh, itu pemandangan sangat menggoda imannya. Walaupun ia tidak mencintai Gisela dan hanya menikahi gadis itu karena tujuan tertentu, tetapi ia tetaplah lelaki biasa yang memiliki hawa napsu.
"Ka-kamu kenapa?" Gisela perlahan mundur saat Abram terus maju dan seperti hendak menerkamnya. Gisela benar-benar takut saat melihat sorot mata Abram yang sangat menajam seperti parang yang siap menghunusnya. Belum juga Gisela menjauh, Abram sudah menarik paksa tubuh Gisela dan langsung menghempaskan ke atas ranjang.
"Sakit," rintih Gisela saat Abram begitu beringas seperti singa kelaparan yang dihadapkan makanan. Gisela sama sekali tidak bisa berontak karena ia telah kalah tenaga. Ia hanya bisa menangis saat Abram menggagahinya dengan paksa. Bukan seperti pengantin baru yang penuh cinta, tetapi Gisela lebih merasa dirinya seperti sedang diperkosa. Begitu brutal dan tanpa perasaan. Abram benar-benar seperti iblis yang tidak peduli meskipun air mata Gisela sudah mengalir deras seiring erang*n yang terdengar memecah keheningan di kamar itu.
"Aahhh." Abram membenamkan adik kecilnya sedalam-dalamnya ketika ia telah sampai puncak. Tubuhnya pun ambruk di atas Gisela yang sudah lemas. Abram tidak peduli pada keadaan Gisela dan mencabut paksa adik kecilnya hingga membuat Gisela meringis kesakitan.
"Ingat, kamu adalah istriku dan turuti perintahku. Aku ingin kita terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Jangan sampai membuat orang lain curiga. Bersikaplah seolah aku memperlakukanmu dengan penuh cinta," titah Abram.
"Ke—"
"Sudah diam! Tidurlah, Aku lelah." Abram menyela ucapan Gisela dengan nada setengah membentak. Gisela pun menutup rapat mulutnya. Hanya cairan bening yang mengalir dari kedua sudut mata Gisela yang mampu menjelaskan seberapa sakit hatinya wanita itu.
"Kenapa kamu sangat tega padaku, Mas? Memangnya apa salahku padamu?" gumam Gisela. Mencoba berpikir keras apa kesalahannya. Apakah mungkin karena Gisela memaksa orang tuanya agar bisa merayu Abram untuk menikah dengannya hingga membuat lelaki itu menyimpan dendam.
"Hah!" Gisela mendes*hkan napas kasarnya. Merasa bimbang pada pikirannya sendiri. Ia pun pada akhirnya memilih untuk mencoba tidur meskipun tubuhnya masih sangat lengket bekas peluh sisa percintaan mereka. Rasa lelah yang begitu mendera membuat Gisela merasa enggan untuk bangkit ke kamar mandi.
...****************...
Prang!
Bunyi dentingan dari arah dapur seketika mengejutkan Farah yang saat itu sedang duduk di ruang tengah sembari membaca majalah. Dengan langkah lebar dan tergesa, wanita paruh baya tersebut mendekati dapur dan langsung memekik kesal ketika baru sampai di ambang pintu. Wanita itu meradang saat melihat Gisela yang sedang memunguti pecahan piring yang tercecer di lantai.
"Apakah kamu tidak bisa bekerja dengan baik! Belum ada satu hari tinggal di sini saja kamu sudah sangat ceroboh!" sergah Farah sembari mendelik.
Gisela berdiri terpaku. Menatap Abram yang berdiri di belakang Farah. Bukannya membela istrinya agar tidak dibentak sang mama, Abram justru berlalu pergi begitu saja seolah tanpa dosa. Yang membuat hati Gisela makin terasa berdenyut sakit adalah saat Abram justru tersenyum sinis ke arahnya.
"Dasar menantu sialan!" umpat Farah.
Gisela menunduk dalam untuk menghalau air matanya agar tidak tumpah. Jujur, dalam hati Gisela merasa sakit dibentak seperti itu karena kedua orang tuanya tidak pernah membentaknya.
Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit sekali?
Seusai menyiapkan sarapan, Gisela langsung berdiam diri di kamar. Ia sengaja menjaga jarak dari Farah karena tidak ingin terlibat pertengkaran dengan wanita tersebut. Gisela yakin, ia pasti akan selalu serba salah di depan mama mertuanya. Lantas, ke mana Abram sekarang? Sudah pasti Abram lebih mementingkan pekerjaannya. Meskipun kemarin mereka baru saja melangsungkan pernikahan, tetapi hari ini Abram langsung berangkat kerja. Gisela pun berusaha mengerti dan ia takkan berharap untuk pergi bulan madu.
"Kamu sudah pulang, Mas?" Gisela yang saat itu sedang bermain ponsel pun segera menghentikan kegiatannya dan turun dari ranjang menyambut Abram.
Wajah Abram tampak tidak bersahabat. Bahkan, ketika Gisela hendak membantu membuka jas yang dikenakan Abram, lelaki itu langsung menghempaskan tangan Gisela secara kasar.
"Jangan menyentuhku tanpa seizinku!" kata Abram setengah membentak. Gisel terdiam dan merasakan hatinya berdenyut sakit. "Siapkan air panas untukku. Jangan pakai lama!"
Tanpa banyak bertanya, Gisela segera berjalan cepat menuju ke kamar mandi dan menyiapkan air panas untuk suaminya. Ketika telah siap, Gisela pun langsung menyuruh Abram untuk mandi. Namun, Gisela yang hendak menyiapkan pakaian ganti untuk Abram, terkejut saat mendengar erangan dari dalam kamar mandi. Gisela pun berbalik dan melangkah dengan tergesa.
"Ya Tuhan. Kenapa kamu bisa jatuh, Mas." Gisela hendak membantu Abram untuk bangkit. Akan tetapi, ia tersentak saat Abram justru mendorongnya kencang hingga tubuh Gisela jatuh di tepi bath-up. Gisela meringis kesakitan karena pantatnya cukup keras menabrak lantai.
"Bagaimana bisa kamar mandi selicin ini? Kamu sengaja ingin membunuhku, ya!" Abram menarik rambut Gisela hingga kepala wanita itu ikut terdorong ke belakang. Gisela merintih dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Abram, tetapi ia kalah tenaga.
"Lepaskan aku, Mas. Aku mohon," pinta Gisela memelas. Namun, Abram justru makin menguatkan cengkeraman tangan tersebut seolah hendak melepas paksa rambut Gisela sampai ke akarnya.
"Kamu ini harusnya melayaniku jangan sampai ada kecerobohan seperti ini! Atau kamu sengaja ingin aku mati dan kamu bisa dengan bebas menguasai hartaku. Iya!"
"Ti-tidak, Mas. Aku tidak memiliki maksud apa-apa. Aku bahkan tidak tahu kalau lantai ini licin," ucap Gisela diiringi tangisan. Rasa panas di kepala seolah menyatu dengan rasa sakit yang menghujam jantungnya.
"Dasar wanita kampungan!" Abram mendorong kepala Gisela lalu tanpa ampun mengguyurnya dengan air dari bath-up. Gisela berusaha menghentikan apa yang dilakukan Abram, tetapi lelaki itu justru makin gencar mengguyurnya. Tidak peduli meskipun wajah Gisela sudah memanas dan terbatuk-batuk karena air yang masuk ke hidung.
Setelah merasa puas, Abram pun segera berjalan ke shower dan membersihkan diri di bawah guyuran air tersebut. Membiarkan Gisela yang masih terduduk menangis di tepi bath-up. Tangisan Gisela yang begitu memilukan sama sekali tidak bisa membuat hati Abram luluh. Lelaki itu justru makin bersikap tidak peduli dan meninggalkan Gisela begitu saja setelah selesai mandi.
"Kenapa semua jadi begini?" Gisela menghapus air mata yang mengalir deras membasahi wajahnya yang telah basah sebelumnya. Gisela benar-benar tidak menyangka jika Abram akan berbuat sekejam itu padanya. Padahal usia pernikahan mereka baru akan menginjak dua hari. Mematahkan harapan Gisela yang berharap indah setelah menikah.
"Kalau kamu tidak juga kembali ke sini maka aku akan menguncimu di kamar mandi sampai seminggu!"
Teriakan Abram yang terdengar begitu keras membuat Gisela dengan cepat bangkit dan langsung membersihkan diri. Setelahnya, Gisela keluar hanya dengan memakai jubah mandi karena ia tidak membawa baju ganti.
"Cih! Kamu mau menggodaku?" tukas Abram.
"Ti-tidak. Aku hanya lupa membawa baju ganti." Gisela pun berjalan cepat mencari pakaian ganti sebelum Abram makin marah padanya. Namun, ia tersentak saat Abram sudah mendorongnya hingga menempel pada tembok. Abram pun menggunakan kedua lengannya untuk mengunci Gisela agar tidak bisa kabur.
Gisela merasa takut apalagi saat melihat sorot mata Abram yang dipenuhi napsu. Ia pun menggenggam kuat piyama bagian dada. Khawatir Abram akan bertindak kasar padanya lagi. Namun, lagi dan lagi ia kalah tenaga. Abram sudah mencium lehernya dan bahkan mencetak banyak tanda cinta di sana.
"Aku mohon, jangan ... Mas." Gisela menggeleng. Berusaha menolak. Namun, ia tidak mampu berbuat apa pun lagi saat Abram sudah mengajaknya bercinta di kamar mandi. Sentuhan dan hentakan Abram pun begitu kasar hingga membuat Gisela hanya bisa menangis dan berharap agar ini semua bisa segera berakhir.
***
"Mas, aku mau pulang ke rumah."
"Untuk apa!" tanya Abram membentak.
"Aku akan mengambil beberapa barangku yang tertinggal di rumah. Aku janji, tidak akan lama di sana. Aku hanya ingin melepas rindu dengan kedua orang tuaku," kata Gisela berusaha merayu Abram.
"Awas kalau sampai kamu mengadu yang tidak-tidak! Kalau sampai orang tuamu berpikiran macam-macam soal aku, maka aku tidak akan segan memberi hukuman padamu. Ingat, kamulah yang memintaku agar menikahi gadis tidak laku sepertimu," ujar Abram setengah menghina. Gisela hampir saja menangis, tetapi ia pun berusaha menghalau air matanya agar tidak terjatuh.
"Tidak. Kamu tenang saja." Gisela pun menunjukkan senyum getir, sedangkan Abram berlalu begitu saja tanpa peduli pada Gisela lagi.
Selepas kepergian Abram, Gisela sudah bersiap untuk pulang ke rumah. Sebenarnya ia tidak memiliki barang apa pun yang tertinggal. Itu hanyalah alasan Gisela agar bisa menjenguk kedua orang tuanya.
Akan tetapi, semua ternyata tidak semudah yang dibayangkan oleh Gisela. Walaupun ia sudah mengantongi izin dari Abram, nyatanya sekarang ia harus menghadapi Farah yang saat ini sedang duduk di ruang tamu bersama wanita cantik. Dengan langkah ragu, Gisela pun melangkah perlahan dan hendak berpamitan.
"Ma—"
"Aku bukan mama kamu! Menjijikkan!"
Gisela memejamkan mata perlahan saat hatinya tiba-tiba berdenyut. Embusan napas panjang beberapa kali terdengar darinya. Gisela hanya sedang meredam emosinya agar tidak meluap.
"Dia menantu Tante Farah?" Wanita cantik dengan pakaian seksi yang duduk di samping Farah pun membuka suara.
"Bukan. Sampai kapan pun tante tidak akan anggap dia menantu. Lihat saja, dia sangat berbeda denganmu yang cantik, baik, dan begitulah. Pokoknya berbeda jauh." Farah menatap Gisela sinis, sedangkan Gisela pun hanya bisa merem*sakan jari-jarinya.
Aku harus bersabar. Ini hanya permulaan dan aku tidak ingin menyerah. Aku harus buktikan kepada mamanya Mas Abram kalau aku ini layak sebagai menantunya. Akan aku buktikan rasa cintaku padamu, Mas. Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku dan membalas perasaanku.
..."Semakin kamu lukai maka aku akan semakin menguatkan hatiku untuk tetap bertahan. Walaupun aku tahu hanya ada dua kemungkinan. Kamu berubah dan mencintaiku atau aku yang menyerah dan memilih mengalah pada perasaanku sendiri." ...
...****************...
Gisela menghela napas panjang setelah sampai di depan pintu gerbang rumah milik orang tuanya. Dia bersyukur jika akhirnya bisa sampai di rumah tersebut meskipun tadi harus memohon-mohon kepada Farah. Gisela tidak tahu apa alasan Farah menahannya karena yang ia tahu, wanita itu sangat membencinya.
Gisela pun melangkah lebar menuju ke pintu utama yang menjulang tinggi. Jika diteliti lebih dalam, rumah milik Gisela setara dengan milik keluarga Abram. Bahkan, papa Gisela juga merupakan salah satu pengusaha yang cukup sukses di Indonesia. Namun, Gisela dan keluarga selalu berusaha terlihat sederhana di depan orang lain. Bukan tanpa alasan, merintis usaha tersebut dari bawah membuat Hendarto—papa Gisela— memiliki sikap yang rendah hati dan itu menurun kepada putra-putrinya.
"Gisel! Ini benar kamu, Sayang?"
Gisela tersenyum saat melihat wanita paruh baya yang saat itu sedang duduk di ruang keluarga, bergegas bangkit dan langsung memeluknya erat. Gisela pun membalas pelukan sang mama tak kalah erat. Baru dua hari berpisah, ternyata Gisela sudah merasakan rindu yang teramat menggebu. Maklum saja, sejak kecil Gisela jarang berpisah dengan orang tuanya.
Setelah kedua perempuan itu saling melepaskan pelukannya, Vera—mamanya Gisela— mengajak putrinya untuk duduk mengobrol. Banyak hal yang dipertanyakan oleh Vera, terutama soal hubungan pengantin baru tersebut. Apakah Abram memperlakukannya dengan baik. Apakah Gisela makan dengan baik, tidur dengan nyenyak. Pertanyaan itulah yang membuat Gisela tak kuasa menahan air mata haru.
Seandainya Mas Abram juga bersikap sebaik ini. Mungkin hidupku akan semakin bahagia.
Gisela kembali menghela napas panjang saat merasakan hatinya sedikit sesak. Apalagi, saat ia harus berbohong di depan mamanya sendiri. Bagaimana ia harus menutupi keburukan suaminya hanya karena tidak ingin orang tuanya khawatir padanya. Selama dirinya masih sanggup maka Gisela akan berusaha bertahan. Walaupun sikap Abram sangat tidak baik kepada Gisela, tetapi wanita itu tetap memuji Abram di depan Vera. Mengatakan jika Abram melimpahinya dengan penuh kasih sayang.
"Mas Abram."
Gisela terkejut saat melihat Abram sudah masuk ke rumah dan langsung bergabung bersama ia dan Vera. Lelaki itu bahkan menyalami Vera penuh dengan kesopanan. Hal yang membuat Gisela makin tersentak adalah bibir Abram yang mengecup keningnya sangat mesra. Sungguh hal yang tidak terduga bagi Gisela.
"Aduh, pengantin baru bikin Mama iri, deh," goda Vera. Gisela tersenyum simpul, sedangkan Abram pun ikut tersenyum. Lelaki itu sungguh terlihat manis dan baik hati di depan Vera. Setidaknya hal itu membuat Gisela sedikit merasa bahagia meskipun ia tahu itu hanyalah pura-pura. Bahkan, ketika Vera menayakan apakah Abram tidak bekerja, lelaki itu mengatakan jika masih ingin berdekatan dengan istrinya, tentu saja dengan nada bicara yang lembut.
Ketika waktu makan siang hampir tiba, Abram mengajak Gisela agar segera pulang. Lelaki itu bahkan merayu Gisela dengan mengatakan akan makan siang romantis di sebuah restoran yang telah dipesan sebelumnya. Gisela tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan dan bergegas berpamitan dengan sang mama. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin segera berkencan bersama suaminya.
"Memangnya kita mau ke mana, Mas?" tanya Gisela antusias saat mereka sudah berada dalam perjalanan.
"Tentu saja pulang! Memang mau ke mana lagi? Sudah cukup waktuku sia-sia karena menemanimu," sarkas Abram. Lelaki itu berbicara tanpa filter sama sekali. Tidak sedikit pun peka jika ucapannya bisa saja melukai hati Gisela.
Senyuman yang sejak tadi menghiasi kedua sudut bibir Gisela pun perlahan memudar. Raut wajahnya mendadak sendu saat mendengar ucapan Abram yang kembali terasa menyakiti hatinya.
"Mas, kenapa tadi di depan mama kamu terlihat sangat manis dan sekarang kamu begitu cuek padaku. Bahkan, kamu terkesan galak." Gisela berusaha memberanikan diri untuk protes. Namun, ia segera menunduk saat melihat sorot mata Abram yang menajam.
"Bukankah sudah aku katakan kalau di depan orang lain kita harus bersikap seperti pasangan romantis pada umumnya? Sepertinya kamu belum cukup pikun untuk lupa pada ucapanku yang itu," kata Abram. Gisela tidak berani lagi mendebat. Hanya diam dan berperang dengan pikirannya sendiri. Bahkan, Gisela tidak bertanya apa pun kepada Abram. Termasuk ke mana Abram akan pergi setelah mengantarnya pulang.
"Untung Nyonya Farah tidak di rumah sekarang." Gisela mengembuskan napas lega saat masuk rumah tersebut suasana begitu sepi. Ia pun bergegas ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah.
***
"Ya Tuhan, bisakah kamu bekerja dengan baik? Kenapa kamu selalu saja ceroboh!" Bentakan Farah dari ruang tamu terdengar sampai pintu utama. Beberapa pelayan yang berada di sana pun tidak ada yang berani membela karena mereka takut akan dipecat oleh Farah.
"Maafkan saya, Nyonya." Gisela duduk menunduk dan memunguti pecahan vas bunga yang tercecer di lantai.
"Maaf! Maaf! Kamu pikir kata maafmu itu bisa mengembalikan vas yang pecah ini!" bentaknya lagi.
"Ada apa ini, Ma?" tanya Abram yang saat itu baru saja melewati pintu utama.
"Lihatlah istrimu ini! Dia sangat tidak becus!" adu Farah.
Gisela menatap Abram untuk meminta pembelaan dari lelaki itu, tetapi yang ada justru tatapan tak acuh. Abram seolah tidak peduli meskipun Gisela sedang bersimpuh saat ini.
"Nanti biar aku nasehati dia, Ma." Abram pun mengajak Gisela untuk masuk ke kamar tanpa berpamitan kepada Farah. Tidak ingin ada keributan karena ada beberapa pelayan di sana. Bagaimanapun juga, Abram tidak ingin mendapat citra buruk di depan orang lain.
Ketika mereka baru saja masuk kamar, Abram langsung mengunci pintu rapat. Menaruh jas dan tasnya secara sembarang. Gisela hanya diam dan ekor matanya tidak lepas sekalipun dari gerak-gerik suaminya.
"Minum ini yang rutin! Jangan sampai kamu telat meminumnya sekali saja!" Abram menaruh sesuatu di telapak tangan Gisela secara kasar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!