Namaku Lusiana tapi sering di panggil dengan Lusi. Saat ini usiaku sudah 22 tahun. Di mana umurku masih terbilang sangat muda. Iya itu hanya menurutku saja. Dan di usia ku saat ini harus merantau ke perantauan negeri seberang, karena masalah ekonomi.
Lusi yang dulunya terbilang memiliki sifat dingin, hanya memakai isyarat mengangguk-anggukkan kepala saja pada orang lain, yang mengakibatkan banyak tetangga yang tidak menyukai gadis itu. Lain halnya jika bersama dengan keluarga.
Di dalam anggota keluarga Lusi terdiri dari 6 orang yang memiliki perbedaan sifat mereka terdiri dari Ayah, ketiga kakak, Lusi dan keponakannya.
Ayahnya bernama Ilham. Ayah merupakan sosok ayah yang tegas dan juga penyayang terhadap anak-anaknya.
...
Saudara pertama Lusi bernama Amber. Dia adalah wanita yang cantik, tegas dan ketat dalam hal ibadah.
...
Saudara keduaku bernama Sinta. Dia adalah wanita yang cantik, penyayang, dan penurut. Dia akan melakukan apa saja yang menurutnya baik.
...
Saudara ketiga ku bernama Arya. Dia adalah laki-laki yang pendiam, cuek, penyayang dan tidak banyak tingkah. Ia hanya akan berbaur dengan orang yang menurutnya nyaman. menyayangi keluarganya termasuk adiknya Lusi.
...
Dan terakhir Lusi sendiri yang memiliki sifat paling pendiam diantara keluarganya. Lusi sendiri hanya akan menampilkan sifat banyak omong pada orang yang menurutnya bisa di percaya.
****
Ting!
Ponsel Lusi berbunyi di samping kasur, Lusi yang sedang tidur siang itu pun segera meraih ponsel tersebut. "Halo ...."
"Dek ... kamu ada di mana?"
"Kamar, kenapa kak?" jawab Lusi dengan mata masih tertutup.
"Besok jam 7 pagi kamu harus bersiap-siap!" ucap sang kakak di seberang sana.
Lusi yang masih tidak mengerti hanya terus bertanya. "Jam 7 pagi? Memangnya aku harus kemana?"
"Besok akan ada tekong (tekong merupakan orang yang mengurus pemberangkatan keluar negeri) kesana, untuk menjemputmu karena kakak ingin kau berangkat ke sini," terangnya.
Lusi yang mendengar itu langsung membuka matanya lebar-lebar, tidak percaya pada apa yang di katakan oleh sang kakak. "Hah?! Kenapa tiba-tiba kak?"
"Sudah! Kamu jangan banyak bertanya, cepat! Kau beres-beres pakaianmu yang akan kamu pakai di perjalanan nanti. Ingat!! Jangan terlalu banyak membawa pakaian ya! Di sini kakak sudah mempersiapkan segala keperluan mu," ucapnya panjang lebar.
Tut ... tut ... Sambungan telepon pun terputus.
"Haaaah ... apa apaan itu? kenapa tiba-tiba sekali," gerutu Lusi. Gadis itu pun bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke arah di mana sang ayah biasanya duduk.
"Ayah?" panggil Lusi saat menemukan sang ayah berada di teras depan rumah.
"Ada apa?" sahutnya.
"Barusan kak Amber menelfon ku, dia bilang aku harus mengurus paspor keberangkatanku besok yah," ucap Lusi pada sang ayah.
Ayahnya pun hanya mengangguk kecil lalu berkata. "Pergilah! Selagi itu bisa membuatmu tidak kesusahan di sini nak."
"Ayah bicara apa sih yah? Aku tidak kesusahan! Kan aku kerja yah," balas gadis itu dengan wajah sedikit kesal. Lusi tau meskipun waktu itu gadis itu sudah bekerja di warung nasi goreng temannya. Tapi gadis itu merasa belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga.
Lusi pun hanya mengangguk kecil karena gadis itu tau itu hanya menjadi beban keluarga kala itu. Lusi berdiri dan pergi meninggalkan Sang ayah yang mungkin telah menatap kepergian anaknya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore di mana Lusi harus bekerja. Lusi hanya membutuhkan waktu 3 menit untuk sampai ke tempat kerjanya. Karena tempat kerjanya hanya berada di sebelah barat rumah gadis itu.
"Hm ... tumben awal Lusi? Biasanya kau selalu datang telat," ucap Irma temannya dan sekaligus anak dari sang pemilik warung.
"Iya, hanya ingin datang tepat waktu saja," balas Lusi seraya tersenyum dan memulai dengan pekerjaannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam di mana warung sudah tutup. Lusi yang sudah selesai keperjakaan nya dan langsung menuju ke arah bibi Rus sang pemilik toko untuk mengambil gaji karena gadis itu memang di gaji harian.
"Lusi ini gaji mu ya nak," ucap bibi Rus sembari menyodorkan uang kepada Lusi .
"Makasih by ...," ucap Lusi sembari meraih uang tersebut dari tangan bibi Rus.
"Iya sama-sama."
"Bibi," panggil Lusi lagi.
"Iya, ada apa nak?"
"By ... aku hanya ingin bilang bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bekerja di sini by."
Bibi Rus yang sedang menghitung hasil jualannya langsung menghentikannya sejenak, lalu mendongakkan kepalanya. "Loh kenapa nak? Gajimu tidak cukup ya? Bibi tambahkan lagi jika kamu mau."
Lusi menggelengkan kepalanya. "Tidak bibi ... gaji yang bibi berikan sudah cukup."
"Lalu kenapa kau ingin berhenti?" tanya bibi Rus memegang tangan Lusi seraya menggenggamnya.
"Kak Amber menyuruhku untuk menyusulnya bibi."
Bibi Rus pun melepaskan tangannya sambil mengangguk. "Ah, ternyata begitu. Ya sudah kalau begitu bibi tidak bisa memaksa mu lagi Lusi. Bibi doakan semoga berjalan dengan lancar ya nak," ucapnya lalu merogoh kantong plastik yang terdapat uang dari hasil jualannya, ia mengeluarkan uang seratus ribu dan langsung memberikannya kepada Lusi.
" Ambil ini! Gunakan uang ini waktu kamu ingin makan di saat mengurus pasport mu," sambungnya lagi.
"Tap-tapi by ini...,"
"Sudah kamu ambil saja Lusi! Anggap saja ini hadiah dari bibi untukmu."
Lusi pun akhirnya mengambil uang dari pemberian bibi Rus dan mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pulang.
"Aku pulang ... ayah? Aku pulang," sahut Lusi saat sampai di rumahnya. Tapi tidak ada sahutan terdengar dari sang ayah.
Gadis itu masuk ke dalam rumah dan ternyata sang ayah tengah tertidur pulas di sofa depan tv. Lusi menghampirinya dan membenarkan selimut yang terjatuh ke lantai.
Di rumah hanya ada tiga orang karena kedua kakaknya berada di negeri seberang. Sedangkan Sinta kakak keduanya ikut suaminya ke kota tempat sang suami.
Lusi pun menuju kamar dan langsung membersihkan diri, lalu segera beranjak untuk tidur.
****
Keesokan harinya Lusi sudah bersiap-siap dan menunggu kedatangan orang yang akan menjemputnya mengurus persiapan keberangkatan. Tepat jam 8 orang yang di tunggu Lusi pun akhirnya datang dan tanpa menuju lama mereka pun berangkat ke Surabaya.
Di perjalanan ... Lusi bisa merasa bahwa orang di sampingnya yang menjemputnya tengah memerhatikan gadis itu. Lusi yang risih akan hal itu pun menoleh.
"Anda sedang melihat apa?" tanya Lusi dengan wajah datar.
Yang terciduk pun hanya tersenyum. "Tidak aku hanya heran saja, apa benar kau ingin bekerja?"
"Iya."
"Kau masih terlalu muda untuk merantau ke negeri orang."
"Tidak masalah selagi itu bisa pekerjaan halah," ucap Lusi yang sudah menatap pemandangan luar dari arah kaca mobil.
Tidak ada pembicaraan lagi yang keluar dari mulut orang itu. Lusi pun dengan terus memandangi pemandangan luar tanpa berniat mengalihkannya ke arah lain.
Beberapa jam kemudian. Mereka pun telah sampai tujuan dan segera mengambil tiket antrian. Di sana Lusi tidak sendiri karena ada dua orang lain. Yang juga melakukan pengurusan dokumen.
Setelah seharian mengurus berbagai surat-surat yang harus dilakukan, akhirnya selesai juga. Lusi pun langsung mencari makanan karena merasa perutnya begitu sangat lapar sebelum diantar pulang oleh seorang yang tadi menjemputnya.
Selesai makan Lusi pun menuju mobil. Di dalam mobil masih tetap sama yaitu tetap berdua dengan orang itu, karena dua orang yang juga mengurus surat-surat tadi telah ikut orang yang menjemputnya.
Mobil pun melaju meninggalkan area cap jari tersebut (author lupa nama gedungnya apa, maafkan daku).
Lusi melirik ke arah pemuda yang sedang menyetir mobilnya itu. Dia begitu sangat muda, tadi awalnya Lusi mengira dia hanyalah anak yang mengurus surat-surat nya yang sengaja menjemput gadis itu. Tapi ternyata gadis itu salah. Justru laki-laki di sampingnya itu adalah yang mengurus keberangkatannya.
"Kenapa di pandangi terus bak? Ganteng ya?"
Ucapan itu sukses membuat Lusi berpaling karena ketahuan meliriknya, sungguh gadis itu malu sekali. Bukan karena Lusi tertarik padanya tapi melainkan karena gadis itu hanya penasaran saja, karena dia begitu sangat muda tapi sudah hebat dalam hal ini. Mungkin bisa di pastikan pemuda di sampingnya ini berusia dua puluh dua tahun.
Lusi kembali memfokuskan perhatiannya pada luar jendela. Ini baru kali pertamanya gadis itu memasuki area kota Surabaya, ternyata pemandangan kota dengan kampung desanya sangatlah berbeda jauh. maklum Lusi hanya anak desa yang tidak pernah ke kota sama sekali.
****
Tepat jam tujuh malam akhirnya Lusi sampai di rumah, laki-laki yang tadi mengantarkan gadis itu hanya di depan jalan raya saja, karena rumah Lusi dengan jalan raya berjarak lima puluh meter. Jadi laki-laki itu tidak bisa mengantarkannya langsung sampai depan rumah.
Saat Lusi ingin keluar, laki-laki itu menahan tangannya, Lusi pun membalikkan badan dan menatapnya dengan tatapan tanya. Pemuda di sampingnya itu hanya tersenyum lalu berkata. "Nanti saat paspor mu sudah keluar aku akan menelfon, untuk memberitahu kapan keberangkatan kamu ya mbak."
Lusi yang mendengar hanya menganggukkan kepala. lalu keluar dengan menarik tangannya yang masih di genggam oleh pemuda itu. tanpa berniat mengucapkan terima kasih ataupun selamat malam kepadanya, sungguh Lusi seperti anak tidak tau sopan santun.
"Ayah, aku pulang," ucap Lusi saat sudah di depan rumah dengan suara sedikit di naikkan.
Sang ayah pun keluar dari kamarnya dengan koran yang ia pegang. "Sudah pulang nak? Cepatlah bersihkan tubuhmu lalu pergi tidur."
Lusi mengangguk, lalu meninggalkan sang ayah yang telah terduduk di deras depan. Lusi membaringkan tubuhnya sejenak karena merasa sedikit capek.
"Haaaah ... haruskah aku meninggalkan ayah sendiri di sini?" gumam Lusi pada dirinya sendiri. lalu bangkit dan menuju kamar mandi.
Dua puluh menit kemudian.
Lusi selesai membersihkan diri. Lalu menuju ke arah luar karena ingin memastikan sang ayah apakah masih ada di teras atau sudah kembali ke kamarnya, saat sampai di depan pintu Lusi melihat ayahnya masih dengan koran yang ia baca. Lusi pun menghampirinya.
"Yah," panggil Lusi dan duduk di sebelah sang ayah.
Sang ayah pun menoleh ke arah Lusi seraya berkata. "Belum tidur nak?"
Lusi menggeleng pelan. "Belum ... sebentar lagi aku masuk kok yah. Em, ayah sudah makan belum?"
"Sudah tadi, ayah beli nasi di warung bibi Rus mu itu." ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya pada koran itu.
Lusi mengangguk kecil. "Yah?"
"Hm ...? Kenapa nak?" sahutnya.
"Kalau aku berangkat nanti, siapa yang akan mengurus ayah di sini? Kak Sinta kan ada di ikut suaminya jadi mungkin dia tidak akan bisa pulang untuk mengurus ayah." ucap Lusi pada sang ayah yang masih dengan korannya.
Ayah Lusi menghentikan acara membacanya, lalu menghadap ke arah sang anak sambil menepuk pundak anak gadisnya itu pelan.
"Kamu jangan khawatir ya, ayah kan bisa ke rumah nenekmu jika ayah mau makan," ucapnya menenangkan sang anak yang sudah mengeluarkan air mata.
Lusi mengusap air matanya yang sudah mengalir. "Jika ayah tidak ingin aku berangkat, aku bisa membatalkannya kok yah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!