SEBELUM DI BACA JANGAN LUPA KASIH AUTHOR 🌹 DAN JUGA VOTE, SUPAYA AUTHOR BERSEMANGAT BUAT UP🤗 LIKENYA JANGAN KETINGGALAN🙏
Witma Alya gadis yang menikah saat usianya baru saja beranjak 15 tahun, tidak pernah terpikir olehnya kalau ternyata pernikahannya dengan Reka akan menjadi mimpi buruk baginya. Bagaimana tidak? Ternyata Witma dinikahi oleh laki-laki yang sering main tangan memukul tanpa tahu apa salahnya. Yang lebih membuat Witma tidak habis pikir ternyata suaminya itu masih bergantung kepada kedua orang tuanya.
Hingga pada suatu malam Reka, sang suami pulang dengan keadaan yang sangat acak-acakan Witma juga mencium bau Alkohol yang begitu menyengat masuk ke indra penciumannya. Karena Ini bukan yang pertama kalinya Reka pulang dalam keadaan begini maka dari itu Witma tidak terlalu terkejut.
"Mas, mabuk lagi?" tanya Witma sambil memapah Reka untuk masuk, kebetulan semua orang di rumah Reka sudah tertidur. Jadi, tidak ada yang tahu kalau Reka pulang dalam keadaan mabuk berat. Kebetulan mereka berdua masih tinggal bersama kedua orang tua Reka dan juga ketiga adiknya.
"Layani aku, aku kedinginan," ucap Reka tiba-tiba.
Witma yang mendengar itu langsung saja menggeleng karena ia sedang datang bulan. "Tidak bisa Mas, aku saat ini datang bulan," tolak Witma secara halus.
"Aku tidak peduli, yang penting kamu layani aku!" bentak Reka, sambil membanting Witma dengan kasar ke atas ranjang.
"Tidak Mas, bukannya dalam agama kita dilarang berhubungan Int–" Kalimat Witma terputus di saat Reka menindih tubuhnya.
"Kamu cukup menikmatinya, tidak usah banyak bicara," bisik Reka sambil menggigit kecil daun telinga Witma.
"Mas tolong jangan lakukan ini," pinta Witma memohon. Namun, Reka seperti kerasukan setan bukanya berhenti ia malah semakin menggila bermain liar di atas tubuh Witma.
Witma tidak tinggal diam ia terus saja memberontak berharap Reka menghentikan kegiatannya tetapi, apa yang terjadi Reka malah merasa Witma sedang menantang dirinya sehingga membuat hasratnya semakin menggebu-gebu.
"Mas, sakit dan perih sekali," kata Witma lirih dan kini sudut matanya juga sudah mulai berair.
"Sudah ku katakan, kamu cukup menikmatinya!" Lagi-lagi Reka membentak Witma.
"Tega kamu Mas … " ucap Witma. Dengan suara bergetar karena ia sedang menahan rasa sakit dan perih di bawah sana. Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.
*
*
Keesokan paginya Witma terbangun dari tidurnya dengan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhnya. Ternyata semalam itu Reka menikmati tubuhnya hingga dini hari.
"Ya Allah, kenapa badanku sakit semua. Apa ini karena Mas Reka bermain terlalu kasar," gumam Witma pelan ia takut Reka mendengarnya. "Akhh, sakit sekali Ya Allah," ringgis Witma saat ia mencoba berjalan. Ia bermaksud ingin membersihkan tubuhnya tetapi, baru saja ia membuka pintu langkah kakinya terhenti di saat dirinya tidak sengaja mendengar ibu dan ayah mertuanya sedang membicarakan dirinya.
"Witma sampai sekarang kok, belum hamil sih, Pak," ucap ibu mertua Witma yang bernama Endang. "Apa jangan-jangan anak itu mandul?" tanya Endang pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya. Tetapi, suaminya itu hanya merspon dengan mengangkat bahu. "Ish, Bapak. Gimana sih, malah nggak dijawab!" ketus Endang.
"Bapak mana tahu Bu, mungkin Allah belum memberi mereka kepercayaan." Ayah mertua Witma akhirnya menjawab, ia memang tidak terlalu sering ikut campur dalam urusan rumah tangga Witma dan Reka. "Bapak mau pergi ke sawah dulu, nanti kalau Reka bangun suruh saja dia menyusul ke sana," pinta ayah mertua Witma yang bernama Badrun.
"Apa Reka salah pilih istri? Jika benar Witma mandul, aku harus mencari calon istri lagi buat Reka," kata Endang sambil tersenyum. "Gimana, Pak?"
"Bu, mereka baru saja menikah beberapa bulan yang lalu wajar saja Witma belum hamil, Bapak minta Ibu jangan menjadi duri dalam pernikahan mereka." Badrun memang ayah mertua yang paling bijak dalam berpikir. "Apa yang tadi Ibu dengar, kalau nanti Reka bangun su—"
"Bela saja terus menantu mandul kesayanganmu!" ketus Endang. "Jika dalam dua bulan ini Witma masih belum hamil juga, maka tekadku bulat akan mencari wanita lain untuk Reka," sambungnya lagi.
Sedangkan Witma yang menguping dari tadi sudut matanya mulai berair, setelah mendengar ucapan Endang. Membuat air matanya lolos begitu saja. "Ya, Allah. Kuatkan hati hamba mu ini," lirih Witma sambil mengusap air mata. "Jangan Engkau biarkan siapa saja merusak rumah tangga ku ini. Karena aku ingin ini pernikahan yang pertama dan terakhir bagiku tanpa harus ada orang ketiga." Witma masih betah berdiri di sana meskipun Endang dan Badrun sudah pergi.
*
*
"Witma!" Reka yang baru bangun langsung saja memanggil Witma dengan suara yang melengking. "Witma! Apa kamu tuli?"
"I-iya, Mas!" sahut Witma karena Reka paling tidak suka jika panggilannya diabaikan atau tidak di jawab. "Tunggu sebentar." Witma mencuci tangannya karena saat ini ia sedang memasak di dapur.
"Jangan membuat darah ku mendidih pagi-pagi begini, cepat kesini!" seru Reka.
Membuat Witma buru-buru masuk ke dalam kamar, kebetulan letak dapur dan kamar mereka tidak terlalu jauh maka dari itu Witma tidak perlu memakan waktu yang lama untuk sampai ke kamar. "Ada apa?" tanya Witma setelah masuk dan ia juga begitu terkejut ketika melihat Reka sudah mengacak-acak lemari pakaian. "Mas, apa yang kamu cari?" tanya Witma sekali lagi.
"Kalung yang kuberikan, dimana kamu menaruhnya?" Reka tiba-tiba menanyakan kalung, yang ia berikan sebagai maskawin Witma.
"Ini, yang Mas cari?" Witma menunjuk lehernya karena saat ini ia sedang memakainya.
"Buka, aku ingin pinjam. Besok aku ganti dua kali lipat," ucapan Reka yang tidak dapat Witma percaya. Karena beberapa bulan yang lalu ia juga pernah meminjam cincin yang ibu Witma belikan sewaktu gadis. Tapi Reka tidak pernah menggantinya sampai sekarang. "Kenapa diam, sini berikan padaku!"
Bukannya Witma tidak memberikan Reka, tapi kalung itu adalah harta satu-satunya yang ia punya. "Mas, buat apa lagi? Cincinku saja belum kamu ga—" perkataan Witma terpotong di saat Reka menarik kalung itu sampai putus.
"Berisik! Nanti juga aku ganti." Setelah berhasil mendapat kalung itu Reka mendorong Witma. "Pergi ke rumah ibumu sana! Minta uang yang banyak. Bilang saja aku yang mau pinjam buat modal usaha." Reka berjongkok memegang dagu Witma. "Apa kamu paham?"
Witma menggeleng, karena ia tahu ibunya juga hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya setelah ayah Witma berpulang ke pangkuan sang khalik. "Ibu tidak punya uang, beda halnya dengan yang dulu saat almarhum Ayah masih ada."
Tangan Reka turun ke leher Witma dan mencekiknya, hingga Witma kesulitan untuk sekedar bernafas. "Mati saja kamu! Dasar tidak berguna!" Reka tertawa renyah. Tapi tiba-tiba … .
"Reka!! Apa yang kamu lakukan?"
Bersambung.
SESUDAH DIBACA, USAHAKAN LIKE DAN KOMEN.🤗🌹
Kebetulan Badrun ingin mengambil air minum yang ketinggalan di meja dapur, tidak sengaja ia melihat pintu kamar Witma sedikit terbuka. Ia juga mendengar suara Reka yang tertawa tidak seperti biasanya sehingga ia memutuskan untuk sedikit mendekat dan mengintip.
Setelah mengintip Badrun begitu terkejut di saat melihat Reka mencekik leher Witma dengan sangat kencang, Badrun yang takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan suara melengking berteriak di ambang pintu. "Reka!! Apa yang kamu lakukan?"
Reka langsung melepas cekikannya, ia kemudian sedikit menyunggingkan senyum simpul. "Bapak, Reka sama Witma sedang bercanda. Iya 'kan. Sayang?" Mata Reka melotot ke arah Witma yang sedang memegang leher.
"I-iya," jawab Witma gugup.
"Jangan berbohong Reka, lihat leher istri mu sampai merah begitu." Badrun menunjuk leher Witma. "Itu bukan bercanda Reka, apa jangan-jangan kamu mau membunuh istrimu?" Tebakan Badrun sama sekali tidak meleset. "Kenapa diam jawab Bapak, Reka?"
"Bapak apa-apaan sih, kita cuma bercanda. Jangan berlebihan begitu," kilah Reka. "Ayo, sayang, kita pergi kerumah Ibu," ajak Reka yang membantu Witma untuk berdiri.
"Jika kamu sudah tidak cinta dan sayang kepada Witma, pulangkan saja dia dengan baik-baik," kata Badrun.
"Witma nggak apa-apa kok, Pak. Benar apa kata Mas Reka, kalau kita tadi cuma bercanda." Witma memaksakan bibirnya untuk tersenyum, supaya Badrun percaya.
"Tuh, Bapak dengar sendiri 'kan." Reka kemudian melingkarkan tangan di pinggang Witma. "Jangan didengar ucapan Bapak. Ya, sayang. Karena mau sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mau berpisah dengan mu."
Witma hanya bisa mengangguk, karena rasa sayangnya terhadap Reka begitu besar lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.
"Baiklah, Bapak harap ini kejadian yang pertama dan terakhir. Kamu jangan pernah mengulanginya lagi Reka, karena itu termasuk perbuatan KDRT." Badrun tahu kalau saat ini Witma hanya berpura-pura tersenyum. "Witma, olesi lehermu dengan salep yang ada di kotak P3K, supaya bekasnya memudar. Bapak tidak mau Ibu kamu melihat bekas cekikan Reka."
"Tidak usah Pak, Witma akan menutupnya pakai syal," jawab Witma yang mendapat cubitan kecil dari Reka.
"Kalau begitu Bapak mau pergi ke sawah dulu," pamit Badrun. "Kalian hati-hati di jalan, kamu Reka bawa motor jangan ngebut-ngebut." Pak Badrun selalu memperingati Reka, jika akan pergi menggunakan motor metiknya.
"Apa bensin sudah full?" Seperti biasa Reka akan menanyakan bensin full atau tidak. Supaya ia tidak perlu mengisinya lagi.
"Bapak kemarin lupa isi, kamu saja yang beli ke POM." Badrun memberikan Reka satu lembar uang. "Beli pakai uang Bapak saja, kamu jangan bilang-bilang sama Ibu." Badrun pergi setelah mengatakan itu.
Reka memiringkan kepalanya untuk memastikan Badrun sudah benar-benar pergi. Setelah mendengar suara pintu tertutup Reka mendorong Witma lagi. "Ini uang buat ongkos ojek, kalau pulang nanti mita ongkos ke Ibumu."
Witma mengambil uang lima ribuan yang Reka berikan. "Kurang Mas, ongkos ke rumah ibu dua puluh ribu."
"Sudah kukatakan! Minta sama Ibumu. Aku tidak punya uang lagi." Reka menyambar jaket yang ada di atas ranjang. "Langsung pulang, tidak usah menginap. Oke!"
Witma diam, karena ia tadi melihat di saku celana Reka ada beberapa lembar uang yang berwarna merah.
"Aku pulang larut malam, kamu seperti biasa tunggu aku pulang baru tidur." Reka selalu berpesan kepada Witma seperti ini setiap akan bepergian.
"Baik Mas." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Witma.
*
*
Terik matahari yang begitu menyengat membuat Witma beberapa kali mengusap keringatnya. "Tinggal satu pengkolan, aku akan sampai ke rumah Ibu," ucap Witma. Yang memutuskan untuk berjalan ke rumah ibunya karena uang yang diberikan Reka tidak cukup. Ditambah ia juga tidak mau meminta uang kepada ibunya yang juga hidupnya pas-pasan.
Witma yang berjalan sambil melamun, hampir saja di serepet oleh sepeda motor. Ia yang kaget spontan mengucapkan dua kalimat syahadat. "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah." Sambil memegang dadanya yang terasa jantungnya berdetak begitu kencang.
"Witma, kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki yang hampir saja menyerempet Witma tadi.
Witma yang sepertinya mengenal laki-laki itu dengan cepat memalingkan pandangan. "Maaf, Kak Arash, aku berjalan terlalu ke tengah." Witma malah meminta maaf padahal tadi ia hampir saja di serepet.
"Tidak apa-apa, bukankah kamu mau kerumah Ibu? Sekalian saja aku antar," tawar Arash.
Arash anak kepala desa, yang ternyata adalah mantan Witma. Arash peninggalan Witma dengan status mereka masih berpacaran karena ia harus menyelesaikan kuliahnya. Namun, kenyataan pahit harus Arash terima setelah beberapa tahun ia di luar Negri ia malah mendapat kabar dari kedua orang tuanya kalau Witma sudah menikah dengan laki-laki lain. Padahal Arash sudah berjanji akan menikahi Witma ketika Witma sudah tamat SMA, ia juga berjanji akan membiayai Witma kuliah kalau mereka sudah menikah. Tapi sayang keinginan itu harus Arash kubur dalam-dalam karena semesta sepertinya tidak merestui hubungan mereka.
"Tidak usah, kak." Witma tidak berani menatap bola mata Arash laki-laki baik yang telah ia khianati itu. "Witma, jalan dulu kalau begitu. Permisi kak."
Arash memegang tangan Witma, wanita yang telah ia damba-dambakan menolak banyak wanita cantik dan sexsi hanya demi seorang Witma gadis yang masih seumuran dengan adiknya itu. "Biar aku antar, sekalian aku ingin mengantar surat undangan pengajian ke rumah Ibu." Jujur sampai sekarang Arash tidak bisa melupakan sosok Witma yang telah berhasil memporak porandakan hatinya.
"Kak, tolong singkirkan tangan kakak, malu dilihat orang. Witma juga sekarang sudah menjadi istri orang," ucap Witma takut-takut.
"Astagfirullahaladzim." Arash mundur beberapa langkah, setelah melepas cengkramannya dari tangan Witma. "Maaf, kakak tidak sengaja."
"Kakak bisa langsung pergi kerumah Ibu, biar nanti Witma menyusul belakangan," ujar Witma.
Arash malah menatap penampilan Witma yang sudah berubah, tidak memakai jilbab lagi. Lalu ia bertanya, "Apakah jilbab menghalangi kecantikanmu?"
Witma menggeleng, mana mungkin ia mengatakan kalau Reka tidak suka melihatnya memakai jilbab. "Bukan begitu kak, Witma cuma gerah menggunakan jilbab." Witma terpaksa berbohong.
"Gerahmu di dunia, tidak sebanding dengan panasnya kobaran api neraka." Arash merasa Witma sedang menyembunyikan sesuatu karena ia tidak sengaja melihat tanda kemerahan di leher Witma.
"Witma duluan kak, Assalamu'alaikum." Witma tidak mau membuat Reka cemburu, karena ia tahu mata-mata Reka ada di mana-mana.
"Witma!!" teriak Reka dari atas motor metiknya.
Witma menoleh. "Mas Reka," gumamnya lirih. Ia tahu Reka pasti akan menghukumnya.
"Pulang cepat!" Terlihat mata Reka sudah merah menyala. "Wanita gatal!" pekiknya yang bisa didengar oleh Arash.
Bersambung.
Setiba di rumah, Reka tanpa aba-aba langsung saja menampar pipi mulus Witma hingga tanda merah jelas terlihat di sana. "Wanita murahan! Sudah punya suami tapi masih saja ingin menggoda laki-laki lain!" suara Reka menggema di ruang tamu itu. "Kurang apa aku selama ini, hah?" Reka menjambak rambut Witma.
Witma menggeleng, sambil memegang pipinya yang terasa sangat panas bekas tamparan Reka. Tangannya yang sebelah kiri memegang tangan Reka. "Mas, kamu salah paham, tadi itu aku tidak sengaja bertemu dengan kak Arash." Witma akan menjelaskan supaya Reka tidak salah paham. "Percaya sama aku, Mas." Witma tahu saat ini Reka sedang cemburu. "Mana mungkin aku akan mengkhianatimu di belakang, bukankah Mas sudah tau sendiri. kalau hati ini hanya untukmu seorang." Witma tetap bicara lemah lembut, meski Reka masih saja betah menjambak rambutnya.
"Aku tidak bodoh! Mana mungkin kebetulan. Jangan-jangan kalian sudah janjian. Iya, kan?" tanya Reka yang tidak mudah percaya begitu saja dengan apa yang Witma katakan.
"Demi Allah, Aku tidak berbohong Mas." Witma mencoba melepas tangan Reka dari rambutnya.
"Sekali lagi aku melihatmu, berduaan seperti yang tadi! Aku tidak akan segan-segan mengurungmu di rumah ini, dan jangan berharap kalau aku akan membiarkanmu pergi ke rumah ibumu lagi, paham?"
Witma mengangguk dengan cepat, karena ia takut Reka akan semakin marah. Ia kemudian berkata, "Kita duduk dulu Mas, supaya rasa amarah di hati mu menjadi sedikit berkurang."
Reka melepas jambakannya pada rambut Witma. Kemudian menatap intens Witma dari atas sampai bawah, senyum smirk tiba-tiba saja terukir jelas di bibirnya. "Sudah mandul, banyak tingkah. Dasar murahan!"
Suara Reka bagaikan belati yang menusuk-nusuk relung hati Witma, ia tidak menyangka Reka akan berkata demikian, air matanya yang dari tadi ia tahan akhirnya tumpah membasahi kedua pipi mulusnya. "Aku tidak mandul Mas," lirih Witma. "Hanya saja Allah, belum memberi kita kepercayaan. Disinilah kita harus menempatkan satu kata yaitu kata sabar," sambung Witma.
"Pembelaan yang terus saja keluar dari mulutmu! Bukan hanya sekali tapi berulang-ulang kali. Gendang telinga ku sampai sakit mendengarnya," desis Reka.
"Tugas kita terus berdoa, tawakal, dan berusaha. Selebihnya kita serahkan kepada yang diatas," kata Witma yang selalu saja mengingatkan Reka. Meskipun Reka terlihat bodoh amat, tentang apa yang Witma ucapkan. "Bukankah Allah lebih tahu, jalan hidup kita seperti apa nanti. Maka dari itu kita jangan pernah mendahului takdirnya." Witma meraih tangan Reka. "Percayalah, Allah tidak akan menguji hambanya sesuai batas kemampuannya."
"Eleh, ceramah di masjid jangan di sini!" Reka menepis tangan Witma. "Sok alim, padahal mulutmu selalu di gunakan untuk melawan suami!" cetus Reka.
*
*
Setelah selesai sholat isya dan mengaji, Witma berniat ingin merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara Endang yang memanggilnya dari arah ruang tamu, dengan buru-buru Witma keluar. Ia ingin tahu kenapa ibu mertuanya itu tumben memanggilnya dengan suara lemah lembut.
"Nak, Witma kesini cepetan!" seru Endang
"Iya, Bu. Tunggu dulu, Witma sebentar lagi keluar," sahut Witma yang sedang memakai pakaiannya, karena yang tadi ia hanya memakai dalaman saja.
"Witma," panggil Endang sekali lagi.
Witma keluar dengan wajah ceria, begitupun bibirnya yang terukir senyum manis. "Iya, Bu, ini Witma sudah keluar. Ada apa?" tanya Witma ketika sudah menghampiri Endang.
"Sini, kenalan dulu sama calon istri Reka." Suara Endang memang lemah lembut, tapi mampu membuat jantung Witma hampir saja berhenti berdetak. "Kenapa diam, sini dulu, Nak."
Senyum yang tadi terukir indah, kini sudah tidak terlihat lagi di bibir ranum Witma. Setelah melihat wanita yang begitu seksi duduk di dekat Endang. "Bu, apa maksud semua ini. Kenapa Ibu memperkenalkan wanita ini sebagai calon istri Mas Reka?" Witma duduk di sebelah Endang, ia tidak mungkin terus saja berdiri di saat tungkai kakinya terasa lemas. "Bu, tolong jawab Witma." Suara Witma bergetar.
Bukannya menjawab, Edang malah mengajak wanita yang jauh lebih tua dari Witma itu berbicara. "Lisa, kenalin ini istri Reka yang … ." Endang sengaja menjeda kalimatnya, sebelum melanjutkannya. "Maaf dia istri Reka yang mandul itu," bisiknya pelan.
Witma yang mendengar itu, memegang dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Ia tidak menyangka ternyata ucapan Bu Endang pagi tadi tidak main-main. "Bu, Witma tidak akan pernah membiarkan Mas Reka menikah lagi." Witma berusaha berdiri, meski kakinya masih terasa lemas. "Assalamualaikum, Witma tidur dulu," pamit Witma.
Lisa dan Endang sama-sama melongo, setelah Witma pergi dari sana. Sampai-sampai mereka tidak menjawab salam Witma.
*
*
Tepat jam 12 malam, Reka pulang dengan wajah yang begitu berseri-seri. Ia juga tidak sempoyongan seperti biasa, sehingga Witma yang melihat itu menjadi senang. "Mas, kamu sudah makan?" tanya Witma langsung. Saat Reka duduk di sebelahnya.
"Sudah, ini sisa makanan ku yang tadi, aku bungkus. Sayang dibuang." Reka memberikan Witma satu kantong kresek yang berwarna hitam. "Ayo, ambil."
Tangan Witma terulur dan mengambil kresek itu. "Dapat uang dari mana? Bisa beli makanan sebanyak ini?" tanya Witma yang ingin memastikan apakah makanan yang Reka bawa itu dibeli dengan uang halal. Karena selama ini Witma tau Reka akan memiliki uang bila menang main judi.
"Makanlah, ini uang halal. Hasil kerja lemburku malam ini," ucap Reka berbohong. "Jika kamu masih meragukan suamimu ini, jangan dimakan, kasih saja Agung dan Sera yang masih nonton Tv di luar."
Witma terdiam, ia merasa aneh. Kenapa nada suara Reka terdengar berbeda yang biasanya selalu marah-marah kini berbanding terbalik. "Kerja apa, kalau Witma boleh tau?" Witma bertanya was-was, takut Reka kembali ke setelan pabrik. "Nanti dulu dijawab, aku mau kasih ini dulu ke mereka. Kebetulan aku sudah sangat kenyang." Witma berkata jujur.
Reka yang merasa gerah membuka bajunya. "Terserah kamu saja, yang penting aku sudah berusaha menjadi suami yang baik," kata Reka yang merebahkan tubuhnya. "Di saku bajuku yang tadi, ada uang. Kamu kasih ibu semuanya besok pagi, itung-itung uang itu bayar terima kasih kita karena ibu menampung kita tinggal dirumah ini."
"Mas … ." Witma yang mengingat kejadian tadi langsung saja memanggil Reka, ia ingin memberi tahu Reka perihal apa yang telah terjadi.
"Hmm," jawab Reka singkat. Karena ia sudah tau apa yang akan Witma katakan.
"Ibu tadi membawa wanita ke si—"
"Aku sudah tau, kamu nggak usah ambil hati, ambil saja batu, habis itu lempar tuh wanita biar tau rasa," potong Reka cepat. "Lain kali, kalau ibu bawa wanita lain, siapkan pisau," sambung Reka.
Witma tidak henti-hentinya beristighfar, di dalam hatinya. Ia tidak menyangka Reka akan mengatakan itu. "Mas, dari mana kamu tahu?"
"Lisa …," jawab seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!