Di sebuah penginapan bertarif murah, seorang wanita sedang berjalan tergesa-gesa di depan ruang-ruang yang merupakan kamar penginapan di tempat itu.
Ia berhenti saat sudah sampai di kamar yang ia tuju. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal telah menuntunnya ke tempat itu.
Matanya mengarah ke sebuah sepeda motor yang ia kenal tengah terparkir di depannya. "Ini memang sepeda motor Mas Rafli. Ya Allah, semoga saja motor ini dipinjam temannya."
Lama berpikir, akhirnya wanita yang diketahui bernama Lisa itu mendorong pintu dengan kuat dan terkesan mendobrak hingga pintu berhasil terbuka.
Saat sudah terbuka, mata Lisa membola saat melihat pemandangan menjijikkan di depannya. Dua orang yang ada di depannya tengah memandangnya dengan penuh keterkejutan. Mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut.
"Apa yang kalian lakukan!!!!" Lisa berteriak pada dua insan yang adalah calon suami dan juga sepupunya.
Calon suaminya bernama Rafli dan sepupunya bernama Mela yang akan ia nikahi satu bulan lagi, hanya tinggal menyebar undangan saja.
"Lisa? Bagaimana kamu tau tempat ini?" tanya Rafli dengan wajah pucat.
"Kamu nggak perlu tau! Sekarang jawab pertanyaan aku! Kenapa kalian bisa melakukan ini sama aku?!!" Lisa menatap tajam pada Rafli maupun Mela.
"Aku sama Mas Rafli saling suka, kenapa?" Mela terlihat menantang Lisa.
"Apa? Saling suka? Jadi aku kalian anggap apa?!" Lisa menatap tak percaya.
"Udahlah, Lis, jangan sok lebay. Harusnya kamu sadar diri. Gadis miskin seperti kamu jangan pernah bermimpi untuk mempunyai suami seperti Mas Rafli yang adalah seorang manager. Hanya aku yang pantas menjadi istri Mas Rafli. Orang tuaku punya sawah yang banyak." Mela memandang remeh pada Lisa.
"Kenapa kamu tega banget sama aku Mel, salah aku apa?" Lisa jatuh berlutut di atas lantai, sementara dua insan pendosa itu masih berada di atas ranjang dengan selimut yang membalut tubuh polos mereka.
"Salah kamu? Ya banyaklah. Kamu itu selalu mendapat pujian orang-orang sekitar sebagai gadis yang rajin dan tekun. Sedangkan aku? Mereka semua nganggep aku gadis malas!"
Lisa tak bisa berkata-kata lagi pada Mela. Kini ia beralih ke Rafli yang sejak tadi hanya diam saja.
"Mas Rafli, pernikahan kita tinggal satu bulan lagi, Mas. Kita cuma tinggal sebar undangan aja. Kenapa kamu melakukan hal ini, Mas?" ucap Lisa lirih.
"Maafin aku, Lis. Dibanding kamu, Mela jauh lebih diatas segalanya. Dan juga, kamu nggak pernah mau aku ngajak ngamar sejak kita pacaran, aku bosen kalau pacaran gitu-gitu aja. Makanya, beberapa bulan lalu, ketika aku kenal Mela, aku jadi tertarik sama dia. Maaf, Lis, aku udah nggak cinta lagi sama kamu." Rafli menatap datar.
Lisa hanya bisa diam mematung setelah mendengarkan ucapan Rafli. Secara langsung, bahkan di depan Mela sendiri, Rafli tega mengatakan hal itu. Dimana hati nuraninya? Bahkan ia tidak melakukan pembelaan untuk sekadar bisa berbaikan dengan Lisa.
Lisa mengusap air matanya, lalu kembali berdiri.
"Ya udah, kalau begitu, mulai sekarang kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Semoga kalian bahagia di atas penderitaan orang lain." Lisa melepas cincin tunangan yang melingkar di jari manisnya, lalu melemparkannya ke Rafli. Ia pun pergi dari kamar tersebut, meninggalkan dua insan yang akhirnya mengembangkan senyum mereka.
"Mas, akhirnya kamu putus dari Lisa. Kamu akan nikahin aku kan, Mas." Mela menatap penuh harap.
"Iya, aku akan segera nikahin kamu. Tapi gimana cara ngomong sama orang tua kamu dan Lisa. Kamu kan tau sendiri kalau yang mereka tau, aku pacaran sama Lisa."
"Halah, itu masalah gampang. Dari dulu, orang tua Lisa tuh takut sama orang tua aku, jadi mereka nggak akan berani melawan." Mela tersenyum dengan percaya diri.
"Ya udah, kalau gitu kita lanjut, yuk, yang tadi tanggung." Rafli mencolek pipi Mela.
"Iya, tapi kamu kunci dong, Mas."
"Iya, iya." Rafli bangkit dari ranjang, lalu mengunci pintu kamar tersebut. Setelahnya, mereka pun kembali melakukan hubungan terlarang itu.
Lisa berjalan dibawah guyuran air hujan karena ia tak ingin orang melihatnya menangis. Ia memutuskan pulang untuk jalan kaki sambil memikirkan bagaimana caranya menyampaikan berita buruk ini pada kedua orang tuanya.
"Aku nggak nyangka, ternyata Mela dan Mas Rafli bermain di belakang ku. Mereka tega sama aku. Padahal selama ini aku selalu nurut sama Mela meski dia sering nyuruh aku bersihin rumahnya."
Lisa kembali mengingat semua perlakuan Mela selama ini padanya. Mela sering sekali menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah dan memasak makanan yang ia inginkan. Meskipun begitu, Lisa tidak pernah sekalipun marah atau menolaknya. Ia melakukan semua itu karena rasa sayangnya pada sepupunya itu. Dan sekarang, ia dapat melihat bagaimana Mela membalas semua kebaikannya selama ini.
*****
"Assalamualaikum," ucap Lisa saat memasuki rumahnya yang kecil dan sederhana yang itupun mereka punya dari bantuan pemerintah dari hasil perbaikan rumah. Sedangkan rumah mereka yang dulu hanyalah rumah dengan dinding bambu dan atap Rumbia.
"Waalaikumsalam, Nduk, kok kamu basah-basahan," ucap seorang wanita separuh baya yang tak lain adalah ibu Lisa yang bernama Marni.
"Iya, Buk, tadi nggak ada angkutan umum," jawab Lisa berbohong.
Marni segera pergi ke ke belakang dan mengambil handuk untuk Lisa.
"Kamu habis darimana toh, Nduk, pergi nggak bilang-bilang Bapak sama Ibu?" tanya Marni sambil menyerahkan handuk pada Lisa untuk sekadar mengeringkan air di wajahnya.
"Tadi ada urusan penting, Buk." Lisa mengusap handuk ke wajahnya pelan. Tidak ada bekas make up di handuk tersebut karena Lisa memang tidak pernah menggunakannya. Hanya sebatas bedak dan lipgloss saja.
"Lho, Nduk, kamu kok hujan-hujanan, seperti anak-anak saja." Bapak Lisa yang bernama Hamid datang dari arah dapur. Sepertinya ia habis mandi dengan handuk yang masih berada di lehernya.
"Nggak ada angkutan umum, Pak," sahut Marni mewakili jawaban Lisa.
"Kamu itu kan sebentar lagi mau nikah. Jaga kesehatan, Nduk, jangan cari penyakit," sambung Hamid.
Lisa hanya bisa berpura-pura tersenyum dan mengangguk meski sejujurnya, saat ini hatinya sangatlah sakit.
"Ya sudah, kamu langsung mandi, Ibu udah masak makanan kesukaan kamu, nanti kita makan sama-sama, ya," ujar Marni.
"Iya, Buk." Lisa mengangguk lalu pergi ke kamar mandi.
Setelah membersihkan dirinya, ia pun bergegas ganti baju dan ikut makan dengan kedua orang tuanya.
"Buk, tadi Bapak ketemu sama Pak RT. Katanya beliau yang akan menjadi saksi di pernikahan Lisa nanti," ucap Hamid.
Lisa yang mendengarkan, langsung menghentikan aktivitas makannya.
"Hah? Beneran, Pak? Alhamdulillah," sahut Marni.
"Iya, Buk, katanya dia juga akan membantu menyumbang tenda dan peralatan makan miliknya kepada kita sebagai hadiah."
"Wah, Alhamdulillah, Pak, artinya kita nggak usah mikirin masalah itu lagi ya."
"Iya, Buk, katanya karena Lisa itu baik banget sering bantu-bantu warga kalau ada acara hajatan di rumah. Bapak bangga sama Lisa." Hamid mengusap kepala Lisa
Lisa hanya diam saja. Sebisa mungkin ia menahan tangisnya saat ini.
"Ibuk tau nggak? Pak Lurah juga mau nyumbang lagu di acara kita. Padahal dia jarang-jarang mau nyanyi di hajatan orang. Bapak nggak sabar nunggu hari H nya."
"Wah, pasti nanti ramai, ya, Pak. Ibu juga nggak sabar, Pak."
"Oh ya, Nduk, gimana soal undangannya di percetakan Pak Anto? Katanya kamu mau pesan besok bersama Nak Rafli?" tanya Marni.
Bukannya menjawab, Lisa malah menangis. Ia tak bisa lagi menahan kesedihannya setelah mendengar percakapan kedua orang tuanya.
"Nduk, kamu kenapa?" tanya Marni dan Hamid dengan panik.
"Bapak, Ibuk, maafin Lisaaaaa." Lisa menghambur di pelukan ibunya.
"Ada apa, Nduk? Kamu kenapa?" Marni semakin terlihat khawatir.
"Sebenarnya aku dan Mas Rafli tadi udah putus." Tangisan Lisa semakin pecah. Untungnya suara hujan berhasil meredam suaranya hingga tak terdengar ke rumah tetangga.
"Putus kenapa, Nduk? Kalau karena selisih paham, itu wajar, masih bisa diperbaiki." Hamid menimpali.
"Bukan itu, Pak, Mas Rafli ketahuan selingkuh dengan Mela!"
"Apa?!"
"Apa? Mela? Mela siapa? Anak tukang jamu itu? Atau anak tukang ayam?" tanya Marni masih menerka-nerka.
"Nggak, Buk, Mela anaknya Pakde Hasan dan Bude Ayu," sahut Lisa.
"Apa?" Melani maksud kamu?" Hamid membelalakkan matanya.
"Iya, Pak, Melani. Sepupu Lisa."
"Hah? Yang betul kamu, Nduk? Darimana kamu tahu? Kalau cuma dari orang, nggak usah dipercaya." Marni mencoba menepis prasangkanya.
"Tadi Lisa memergoki mereka di penginapan di jalan mawar itu."
"Apa? Penginapan? Maksud kamu mereka berzina?" tanya Marni yang masih tak percaya.
"Iya, Buk, mereka tidur bareng. Dan yang lebih menyakitkan, Mas Rafli bilang kalau dia nggak cinta sama aku."
"Astaghfirullahalazim." Hamid tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Ia memegangi bagian dada sebelah kiri.
"Pak, Bapak kenapa?" Lisa dan Marni langsung panik melihat Hamid yang kesakitan seperti itu.
"Buk, sakit, Buk." Hamid masih memegangi dadanya semakin kuat.
"Lis, ayo kita bawa ke kamar," ujar Marni.
Lisa mengangguk. Mereka pun segera membawa Hamid ke dalam kamar dan memberikannya obat dan juga air putih. Setelah merasa lebih baik, Hamid pun beristirahat.
"Buk, apa jantung Bapak kambuh lagi?" tanya Lisa yang merasa bersalah karena ini adalah akibat ulahnya.
"Iya, Nduk, sepertinya begitu. Dulu dokter pernah bilang kalau Bapak mu nggak boleh mendengar kabar buruk."
"Maafin Lisa, Buk. Ini semua gara-gara Lisa."
"Ini semua bukan salahmu, Nduk, Mela lah yang salah. Kamu tenang aja, nanti Ibu akan adukan Mela pada orang tuanya. Kamu yang sabar, ya." Marni kembali memeluk Lisa.
Lisa hanya mengangguk sambil terus menangis.
*****
Malam harinya, setelah memastikan kondisi Hamid sudah membaik, Lisa dan Marni pergi ke rumah Mela yang berjarak hanya beberapa rumah saja.
Sesampainya di sana, ternyata sudah ada Rafli yang tengah duduk bersama kedua orang tua Mela dan juga Mela sendiri. Namun, mereka tidak melihat raut wajah tegang, melainkan sebuah kehangatan dalam keluarga.
"Marni? Ngapain kamu ke sini? Mau ngutang ya?" tanya Ayu yang merupakan kakak iparnya.
"Saya mau bicara sama Mas dan Mbak," ucap Marni datar.
"Oh, kamu mau bahas masalah Rafli dan Mela? Iya, mereka udah ngaku kalau saling suka. Terus kamu mau apa? Marah? Nggak terima anakmu nggak jadi nikah sama manager? Takut gagal jadi orang kaya?" Ayu berkacak pinggang seperti sedang memarahi anak kecil.
"Mbak, perbuatan mereka itu nggak pantas. Mela sudah mengkhianati Lisa sebagai saudaranya." Marni mencoba memberi perlawanan.
"Halah, masih pacaran kan? Lagian Rafli sukanya sama Mela kok. Dan orang sekitar juga nggak tahu kalau Lisa mau nikah sama Rafli. Mereka taunya Lisa mau nikah aja. Ya cari dong tukang ojek atau tukang sayur buat nikahin dia. Kayak nggak laku aja anak kamu itu."
"Mbak, jangan seenaknya bicara. Kamu membela anakmu meski dia salah? Mereka sudah menyakiti hati Lisa. Bahkan sekarang Mas Hamid sakit setelah mendengar kabar dari Lisa."
"Masih sakit aja, kan? Belum mati." Hasan yang merupakan ayah Mela menambahkan.
"Astaghfirullahalazim, Mas, jaga ucapanmu. Bagaimana pun juga Mas Hamid itu adalah adik kandungmu. Satu-satunya saudara yang kamu punya. Kenapa Mas tega mengatakan hal itu?" Marni menatap tak percaya.
"Udahlah, suruh si Hamid jadi orang kaya dulu, baru aku akui saudara. Kalau masih miskin, dia nggak pantas jadi adikku."
"Iya, dan kamu juga ngaca ya, Marni. Kalian itu orang miskin, nggak pantes dihargai. Udah sana, pulang." Ayu mendorong Marni dan Lisa hingga ke luar pintu.
Namun, sebelum menutupnya, Marni sempat menahan pintu dan berkata. "Jangan pernah bangga punya anak perempuan yang nggak bisa menjaga kehormatannya. Tadi siang, Lisa memergoki mereka berzina di penginapan. Segera nikahkan mereka agar tidak terlalu lama terjerumus dalam dosa zina."
Dan setelah itu, mereka mendengar sedikit keributan di dalam rumah dimana orang tua Mela mendesak Rafli supaya menikahi anak mereka. Terdengar juga suara makian dan umpatan pada dua insan tak tahu malu itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!