"Dek, kamu tinggal di rumah Kakak saja tak perlu kos. Kakak khawatir sama kamu, kehidupan di kota Jakarta itu keras tak seperti di kampung. Apalagi, adiknya kakak ini 'kan cantik. Pastinya akan banyak kumbang berniat menghisap madu," ucap Kak Disya sambil tersenyum.
Selama ini sang kakak 'lah yang membiayai sekolah Sella, diluar beasiswa yang Sella dapatkan. Disya juga selalu membantu kedua orang tuanya di kampung. Ayah mereka hanya seorang perangkat desa di kampungnya. Gajinya tak cukup untuk membiayai semua kebutuhan sehari-hari. Untungnya Sella selalu mendapatkan beasiswa pendidikan. Seperti saat ini, dia mendapatkan beasiswa sekolah di Universitas Negeri di Jakarta.
"Ini kamar kamu, anggap saja seperti rumah kamu sendiri," ujar Disya sambil menunjukkan kamar kepada sang adik.
Sedangkan Bagas hanya memperhatikan sang istri berbicara. Selama ini, semua urusan di rumah Bagas tak pernah ikut campur. Dia menyerahkan semuanya kepada sang istri. Bagas termasuk suami yang bertanggung jawab dan selalu bersikap lembut kepada sang istri.
Disya merasa beruntung memiliki Bagas. Namun, sudah dua tahun mereka menikah. Mereka belum juga memiliki anak, Diam-diam Disya memiliki sebuah rahasia yang tak diketahui Bagas. Bagas mengira rumah tangga mereka berjalan baik, meskipun Disya tak menjalankan sepenuhnya sebagai seorang istri.
Disya selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan kerap melupakan peranannya sebagai seorang istri. Selama ini Bagas selalu mengerti, meskipun dirinya kerap merasa kecewa. Terlebih saat dirinya menginginkan sentuhan lembut dari sang istri, Disya selalu bilang kalau dirinya capek bekerja.
Disya kerap pulang larut malam dan tugas keluar kota, untuk menemani bosnya mengunjungi kantor cabang dan klien yang berada di luar kota.
"Sel, karena kamu sudah di sini. Kakak boleh tidak minta tolong sama kamu. Tolong bantu urus keperluan Mas Bagas ya! Tolong perhatikan pakaian kerjanya dan juga makannya! Kamu 'kan pintar memasak kalau di rumah suka membantu Ibu," ungkap Disya dan Sella tampak menganggukkan kepalanya patuh.
Tidak mungkin dia menolak permintaan sang kakak, inilah saatnya dia untuk membalas kebaikan sang kakak. Lagi pula permintaan sang kakak tak berat, dia akan melakukannya dengan senang hati.
Pagi ini terlihat cerah, Sella sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus untuk melakukan registrasi. Sesuai permintaan sang kakak, sebelum dirinya berangkat ke kampus. Sella menyiapkan sarapan terlebih dahulu untuk dirinya dan semua yang berada di rumah tersebut. Disya memiliki ART di rumahnya, tetapi untuk urusan suaminya dia serahkan kepada sang adik.
Awalnya Bagas merasa risih, dan canggung. Bagaimanapun dirinya dengan Sella berlawanan jenis. Berbeda halnya, jika ada Disya. Bagas tak merasa keberatan.
"Sel, maaf ya Kakak tak bisa antar kamu ke kampus. Nanti kamu sama Kak Bagas saja ya, kebetulan arah ke kampus kamu searah dengan kantor Kak Bagas! Mas, kamu tak keberatan 'kan aku titip Sella sama kamu?" tanya Disya yang kini menatap ke arah suaminya.
"Iya, nanti Sella bareng sama Kak Bagas saja ya! Tetapi maaf, Kakak tak bisa menemani kamu mengurus kuliah kamu. Karena Kakak jam 09.00 WIB ada meeting di kantor," ucap Bagas.
"Iya Kak, tak apa-apa. Aku bisa naik ojek online pulangnya. Maaf ya Kak sudah merepotkan," sahut Sella dan Bagas hanya menganggukkan kepalanya.
Disya pamit berangkat lebih dulu, karena lokasi kantor Disya lebih jauh dari rumahnya. Saat ini dia bekerja sebagai seorang sekretaris di perusahaan tempat dia bekerja.
"Aku berangkat ya Mas," pamit Disya sambil mencium tangan suaminya dan Bagas tampak mengecup kening istrinya dengan mesra. Meskipun mereka belum dikaruniai anak, mereka selalu terlihat mesra.
Disya telah pergi. Sella pun sudah dalam perjalanan menuju kampusnya dengan di antar Bagas. Sella tampak senang memperhatikan gedung-gedung bertingkat dan hiruk pikuk kehidupan di Jakarta. Inilah cita-citanya selama ini. Bisa kuliah di Jakarta.
"Oh ya, kamu ambil jurusan apa di kampus itu?" tanya Bagas membuyarkan lamunan Sella. Membuka obrolan.
"Jurusan Akuntansi kak. Jika lulus nanti, aku ingin sekali bisa bekerja di perusahaan besar di Jakarta," jelas Sella.
"Nanti, kalau kamu tugas akhir. Kamu bisa magang di perusahaan Kakak," ucap Bagas.
Perjalanan yang awalnya terasa sunyi, dan canggung. Kini berubah menjadi akrab. Sella adalah wanita yang ceria, dan ramah. Tak sulit, untuk dirinya cepat akrab. Disya dan Sella adalah dua orang yang sangat berbeda, meskipun mereka seorang adik kakak.
Tak terasa, mobil yang membawa mereka sudah sampai di halaman parkir Universitas tempat Sella akan menuntut ilmu.
"Terima kasih ya Kak sudah mau mengantarkan aku," ucap Sella sambil mencium tangan sang kakak ipar. Sebagai rasa hormatnya kepada sang kakak ipar, orang yang lebih tua. Saat ini Bagas berusia 27 tahun dan Disya berusia 25 tahun, sedangkan Sella berusia 18 tahun.
Meskipun usia Sella lebih muda, Sella memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Disya. Bentuk tubuhnya pun padat dan berisi. Wajah Sella pun lebih cantik dari sang kakak, meskipun tak memakai riasan apapun. Gaya berpakaian Sella lebih sederhana dan tertutup, berbeda dengan Disya yang kerap berpakaian terbuka.
Setelah menurunkan Sella di kampusnya, Bagas melanjutkan perjalanannya menuju kantornya. Sebenarnya, selama ini Bagas sudah meminta Disya untuk berhenti bekerja. Dia ingin, Disya bisa fokus untuk hamil.
Kecewa? Tentu saja. Bagas merasa kecewa, terlebih sang Mama sudah menginginkan cucu dari mereka. Karena Bagas adalah anak tinggal. Tentu saja kedua orang tuanya menginginkan sang anak memiliki keturunan.
Tetapi sayangnya Disya selalu saja bilang, dia belum siap untuk memiliki anak. Dia masih ingin fokus dengan kariernya. Bagas pun, tak pernah tahu mengapa Disya tak juga hamil meskipun dirinya selalu menumpahkan sper*manya ke ahim istrinya.
Saat di kantor, keduanya selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Disya jarang sekali mengangkat telepon dari sang suami, dengan alasan sibuk.
"Sesibuk itukah kamu, Dis? Sampai-sampai kamu tak bisa mengangkat telepon dari aku? Meskipun hanya sebentar saja," ucap Bagas lirih.
Setelah meeting selesai, Bagas berniat menghubungi istrinya. Dia ingin mengajak sang istri makan siang bersama. Sudah cukup lama mereka tak melakukannya, padahal sebelum mereka menikah. Disya selalu perhatian kepadanya, tetapi setelah menikah Disya justru perlahan berubah.
"Sebenarnya, ada apa dengan kamu Dis? Mengapa aku merasa, kamu sudah berubah? Apa kamu mulai bosan sama aku, Dis?" Ucapan Bagas terdengar lirih. Sungguh menyakitkan, jika memiliki pasangan yang berubah. Padahal selama ini, Bagas tak pernah sedikit pun berubah. Dia sangat mencintai Disya sang istri, sejak awal bertemu hingga sekarang.
Bagas tampak menyenderkan kepalanya di kursi kebesarannya. Permasalahan rumah tangganya, begitu menguras pikirannya. Selama ini dia sudah berusaha untuk membicarakannya dengan Disya.
Namun, lagi-lagi mereka justru bertengkar. Hingga akhirnya Bagas memilih untuk memendamnya dalam hati. Tak ada satu pun orang yang tahu, persoalan rumah tangga mereka. Termasuk kedua orang tua mereka. Mereka selalu terlihat mesra, menutupi permasalahan yang ada di rumah tangganya.
"Yang, aku pengen. Sudah lama 'kan kita tidak berhubungan suami istri. Mas pusing di kantor, semoga saja bisa mengurangi tingkat stres. Mama juga selalu saja menanyakan, kapan kamu kasih keturunan untuk aku," ungkap Bagas selembut mungkin.
Bagas sangat tahu sifat istrinya yang tempramental. Oleh karena itu, dia selalu berusaha untuk berbicara selembut mungkin. Jika tidak, bisa berakibat fatal. Istrinya bisa marah besar dan mendiamkan dirinya berhari-hari. Padahal dulu, Disya selalu bersikap romantis dan bergairah di ranjang.
"Aku capek! Besok-besok saja. Sudah berkali-kali aku bilang, aku tak ingin memiliki anak dalam waktu dekat ini," sahut Disya ketus. Dia langsung membalikkan badannya, memunggungi suaminya.
Hal itu membuat Bagas bertambah tak karuan. Namun, dia memilih untuk memendamnya. Hingga akhirnya memilih untuk keluar dari kamar. Bagas tampak duduk di ruangan TV. Namun, sayangnya bukan dia yang menonton TV. Justru TV yang menontonnya, dirinya hanya duduk termenung dengan tatapan kosong.
"Kak Bagas? Kok belum tidur?" gumam Sella dalam hati.
Sella berjalan menghampiri kakak iparnya, tetapi Bagas tak juga terusik. Membuat Sella merasa bingung. Padahal yang tayang saat itu hanya siaran iklan indomie, tetapi kakak iparnya menatap layar TV begitu serius.
"Kak, Kak Bagas," panggil Sella sambil menepuk bahu kakak iparnya. Membuat Bagas terperanjat kaget.
"Eh, iya Sel. Ada apa?" tanya Bagas, seakan dirinya tak ada apa-apa.
"Kakak kenapa? Kakak sakit?" tanya Sella lembut. Dirinya sedikit merasa khawatir dengan kakak iparnya itu.
Bagas menggelengkan kepalanya. Karena dirinya memang tidak sakit. Hanya saja pikirannya saat ini sedang kacau. Sang istri seakan tak peduli dengan dirinya, dan ucapan sang Mama mengusik pikirannya.
"Orang yang sudah menikah, pastinya akan menginginkan seorang anak di dalam rumah tangga. Jika Disya terus menolak memberikan anak untuk kamu, berarti dia tak mencintai kamu! Lebih baik kamu ceraikan dia, dan cari wanita lain yang ingin mengandung benih kamu!"
Ucapan sang Mama terus terngiang. Namun, Bagas tak mungkin melakukannya. Dia sangat mencinta istrinya. Dia tak ingin hanya karena sang istri belum siap memberikan keturunan, lantas dia akan meninggalkan istrinya. Egois sekali dia, terlebih pernikahan mereka baru berjalan dua tahun. Banyak di luaran sana, yang sudah bertahun-tahun belum juga mendapatkan keturunan.
"Kakak mau kopi? Kalau mau, Sella akan buatkan," ucap Sella dan Bagas mengiyakan. Mungkin saja secangkir kopi mampu menenangkan pikirannya.
Sella langsung berlalu, pergi meninggalkan sang kakak ipar. Untuk membuatkan kopi untuk sang kakak ipar.
"Ini kopinya Kak! Kak aku pamit masuk lagi ya ke kamar," ucap Sella dan Bagas tampak menganggukkan kepalanya. Sella keluar dari kamar, karena hendak ke dapur mengambil minum. Setelah tujuannya selesai, dia langsung masuk kembali ke kamar.
Sebisa mungkin Sella berusaha untuk berpakaian sopan. Seperti saat ini, dia memakai stelan celana panjang. Bagaimanapun Bagas adalah kakak iparnya, dia harus menjaga perasaan sang kakak.
Bagas hanya bisa menghela napas panjang, saat melihat sang istri sudah tertidur pulas. Dia berjalan menghampiri ranjang tempat sang istri tertidur pulas. Bagas duduk di tepi ranjang dan memandang wajah sang istri.
"Mungkinkah ada laki-laki lain yang telah menggantikan posisi aku di hati kamu, Dis?" ucap Bagas lirih. Hatinya terasa sakit, untuk mengucapkannya.
Bagas mengelus rambut istrinya dengan lembut, dan bahkan sampai meneteskan air matanya. Membuat Disya terusik, dan langsung membuka matanya.
"Mas, aku 'kan sudah bilang. Aku ini capek, kenapa sih Mas masih saja menggangu aku? Memangnya Mas tidak mengantuk, sudah tidur sana!" ucap Disya kasar. Padahal dia melihat kalau mata sang suami berkaca-kaca. Namun, tak ada sedikit pun perasaan dirinya untuk merasa iba kepada suaminya.
Hingga akhirnya Bagas memiliki keluar kembali, dan berbaring di sofa depan TV. Perlahan mata dia meredup hingga akhirnya dia tertidur pulas.
Ponsel Disya berdering berkali-kali, membuat wanita itu terpaksa membuka matanya. Kemudian langsung mencari keberadaan ponselnya.
"Iya Pak, eh Mas. Ada apa telepon aku pagi-pagi?" tanya Disya dengan pelan. Dia takut suaminya akan mendengar percakapan dirinya dengan Adit sang bos di tempat dirinya bekerja.
"Cepat kamu siap-siap! Jam 06.00 WIB kita bertemu di Bandara Soekarno-Hatta. Kamu temani aku ke Yogyakarta ya," ucap Adit. Tentu saja Disya tak akan menolak, selain ini adalah tugas untuknya. Ini juga adalah waktu yang pas untuk bersama kekasih sekaligus bosnya. Diam-diam Disya selingkuh dengan bosnya di kantor. Bahkan hubungan mereka sangat dekat.
Disya langsung bangkit dari ranjang, untuk segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Terpaksa dia harus meninggalkan suaminya lagi, untuk bersama Adit.
"Kamu mau kemana?" tanya Bagas dengan suara khas bangun tidur.
"Mas, aku harus segera berangkat menemani Pak Adit ke Yogyakarta. Barusan Pak Adit telepon aku, dia meminta aku untuk menemaninya," ungkap Disya sambil dirinya sibuk memasukkan pakaian ganti dan juga kosmetiknya ke dalam koper.
"Bisa tidak sih bos kamu itu tak mengajak kamu untuk pergi ke luar kota? Harusnya dia mikir, kamu itu sudah berkeluarga. Sudah memiliki suami. Suami kamu ini juga seorang pemimpin perusahaan, tetapi aku sebisa mungkin tidak mengajak sekretaris aku untuk perjalanan dinas. Kecuali benar-benar mendesak," protes Bagas.
"Apa perlu aku yang bicara langsung sama bos kamu? Makanya, kamu itu berhenti saja! Bahkan aku bisa membayar gaji kamu 2 atau bahkan 3 kali lipat dari gaji kamu," ucap Bagas. Bagas mulai merasa lelah dengan sikap sang istri yang keras kepala. Hingga akhirnya pagi ini dia bersikap keras kepada istrinya.
"Mas, aku sedang tidak ingin bertengkar ya sama kamu! Sudah berkali-kali aku katakan sama kamu, aku menyukai profesi ini. Kamu 'kan yang pernah bilang sama aku, kalau kamu tak akan membatasi aku untuk berkarier. Meskipun aku sudah sudah menikah. Sudah Mas, aku harus berangkat sekarang. Aku tak ingin Pak Adit marah sama aku, karena aku datang terlambat. Tenang saja, aku tak lama kok perginya, kemungkinan besok aku juga sudah pulang," sahut Disya.
Disya meraih tangan suaminya, untuk mencium tangannya. Kemudian langsung pergi meninggalkan suaminya begitu saja.
"Aaahhhh, Disya! Kau selalu saja membuat aku kesal!" umpat Bagas.
Bagas terlihat sangat marah dan kecewa. Dia langsung menarik sprei dan melempar semua bantal dan guling yang berada di ranjangnya. Bahkan dirinya tidur di sofa luar saja, istrinya tidak peduli. Untungnya Sella membangunkan dirinya. Jika tidak, dia pasti akan bangun kesiangan dan terlambat ke kantor. Wangi masakan yang dibuat Sella, membuat perut Bagas terasa lapar.
"Mas Adit," teriak Disya sambil berjalan menghampiri kekasih sekaligus bosnya.
"Kok kamu lama banget sih?" protes Adit.
"Iya maaf, tadi Bagas sempat protes melihat aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Seperti biasa dia meminta aku berhenti bekerja," jelas Disya.
"Terus kamu akan menuruti permintaannya?" Adit menghentikan langkahnya membuat Disya pun terhenti. Adit menatap Disya dengan serius, menunggu jawaban wanita yang masih dia cintai.
Disya langsung memeluk tubuh kekasih sekaligus bosnya, dan mengatakan kalau dirinya tak akan mau berpisah dengannya. Sekuat tenaga dia akan tetap mempertahankan bekerja di perusahaan Adit.
"Tidak. Memangnya kamu pikir, aku mampu melakukannya? Aku tak mau jauh dari kamu," ucap Disya yang sudah mulai meneteskan air matanya.
"Iya aku percaya," jawab Adit sambil menghapus air mata di pipi kekasihnya.
Kini mereka sudah berada di penerbangan menuju Yogyakarta. Mereka terlihat mesra seperti biasa. Aditya tampak menggenggam tangan kekasihnya erat.
Oh, cinta sesakit 'kah ini? Demi untuk bersama, mereka rela melakukan hal ini.
Aditya Anugrah, seorang CEO di perusahaan Disya bekerja. Usianya lebih tua tiga tahun dari Disya. Sejak Disya bekerja di perusahaannya, Adit sudah jatuh cinta kepada sosok Disya sang sekretaris. Ternyata, diam-diam Disya pun memendam perasaan kepada sang bos.
Lambat laun akhirnya mereka sepakat menjalin hubungan sebagai seorang kekasih. Namun, takdir begitu kejam. Orang tua Adit tak merestui hubungan mereka. Mereka ingin Adit menikah dengan wanita yang sepadan dengan mereka.
#Flashback On
"Pa, aku tak bisa menerima perjodohan ini! Aku mencintai Disya, dan aku tak mungkin melukai hatinya," protes Adit kepada sang papa.
"Disya ... Disya ... Disya lagi alasan kamu! Pokoknya Papa tidak akan pernah setuju sampai kapanpun! Jika kamu menolak perjodohan ini, Papa akan menarik semua fasilitas yang kamu miliki saat ini. Biar kamu menjadi gembel," ucap Papa Aska dengan suara yang keras.
Disya yang saat itu ingin mengantarkan berkas, justru dirinya langsung berlari masuk ke toilet menumpahkan kesedihannya. Dia mendengar percakapan kekasih sekaligus bosnya dengan papanya.
"Hanya karena aku orang biasa, aku tak bisa hidup bersamanya?"
Status sosial membuat mereka tak bisa bersama, padahal Adit berniat menikahi dirinya. Setelah dirinya selesai menumpahkan kesedihannya, Disya menghapus air matanya dan keluar dari toilet. Karena dia teringat akan berkas yang harus di tanda tangani Adit.
"Kamu harus kuat, Dis!" Disya menguatkan dirinya sendiri.
Dengan berjalan gontai, dia kini sudah berada di depan pintu ruangan Adit. Disya langsung mengetuk pintu ruangan Adit,kemudian membukanya.
"Permisi Pak, maaf mengganggu waktunya sebentar. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani sekarang juga," ucap Disya sambil memberikan satu map meras berisi lima lembar berkas. Adit sempat melirik ke arah Disya sebelum dia menandatangani berkas itu. Namun Disya memilih untuk menunduk.
Hatinya begitu sakit, kala mengingat ucapan Papa Aska tadi. Dadanya terasa sesak, menahan tangisnya. Disya berusaha untuk bersikap profesional.
"Mulai sekarang akhiri hubungan kalian! Jangan pernah bermimpi menikah dengan anakku! Karena sebentar lagi, Adit akan menikah dengan wanita yang sepadan dengannya," suara Papa Aska menggema di ruangan itu. Disya tampak terdiam, rasanya dia tak pantas untuk protes.
"Pa, aku belum mengiyakan ucapan papa. Itu berarti, aku belum mengiyakan perjodohan ini. Aku dan Disya butuh waktu untuk semua ini, kami saling mencintai," tegur Adit.
Disya memilih untuk diam, dan mengambil berkas yang sudah Adit tanda tangani. Dia sudah tak mampu menahan perasaannya lagi. Air matanya menetes kembali, dan Disya bahkan saat itu nangis sesenggukan.
Setelah menyelesaikan tugas yang tadi Adit tanda tangani, Disya izin pulang kepada HRD dengan alasan sakit. Selama ini mereka memilih menutupi hubungan mereka dari publik, hanya kedua orang tua Adit yang mengetahui hubungan mereka.
Setelah mendapatkan izin dari sang HRD, Disya bergegas untuk pulang ke kosannya. Saat sampai kosan, dia langsung menumpahkan kesedihannya.
"Apa orang tak punya seperti aku, tak pantas mendapatkan cinta dari Mas Adit?"
Disya memegangi dadanya yang terasa sakit. Hatinya begitu terluka, karena mencintai Adit. Sang papa baru saja pulang, Adit bergegas untuk menghampiri kekasihnya. Namun, tak menemukannya.
"Kemana Disya? Aku yakin dia pasti kecewa dengan ucapan papa tadi," gumam Adit saat melihat meja kerja Disya yang sudah terlihat rapi.
"Cari Disya, Pak?" tanya Emi. Pertanyaan Emi menyadarkan Adit yang saat itu terlihat diam dan hanya menatap meja kerja Disya.
"Em, I-iya. Disya kemana? Saya ada urusan sama dia," ucap Adit.
Emi menceritakan kalau Disya tadi pamit pulang, karena tiba-tiba sakit.
"Aku tahu Dis, itu pasti cuma alasan kamu saja," Adit bermonolog dengan hatinya.
"Oh gitu, ya sudah. Saya ada urusan, kemungkinan saya tidak kembali lagi ke kantor. Jika ada urusan penting, tolong hubungi saya ke ponsel ya!" titah Adit kepada Emi.
Adit langsung masuk ke ruangannya, dan mengambil ponsel dan kunci mobilnya. Dia memutuskan untuk pergi menemui kekasihnya.
Adit tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kosan Disya, karena kosan Disya letaknya tak jauh dari perusahaan. Kini dirinya sudah berada di kosan Disya. Dirinya bergegas untuk segera menemui Disya.
"Dis, ini aku!" panggil Adit lembut.
Mendengar suara kekasihnya, Disya cepat-cepat menghapus air matanya dan segera membuka pinta kamarnya. Agar Adit bisa segera masuk ke dalam.
"Dis, maafkan aku! Aku yakin ucapan papa begitu menyakiti hati kamu," ucap Adit membuat Disya menangis kembali. Menumpahkan perasaan yang dia rasakan saat itu. Pelukan mereka semakin erat, seakan mereka tak ingin terpisah.
Adit mencoba menenangkan kekasihnya, meskipun semua itu hanya untuk sementara. Keduanya tampak duduk di sebuah karpet di dekat kasur. Sebuah kosan yang sangat sederhana.
Adit mulai menceritakan apa yang papanya ucapkan kepada dia. Tangannya masih terus menggenggam tangan kekasihnya.
"Saat ini Aku terpaksa harus menerima perjodohan ini, Dis! Meskipun aku sangat mencintai kamu. Suatu saat nanti aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu," ungkap Adit saat itu.
Seiringnya jalan, akhirnya Adit menikah dengan Hana. Wanita pilihan papanya, dia berusaha untuk menjalani pernikahannya. Bahkan akhirnya mereka memiliki seorang anak. Lantas bagaimana dengan Disya? Selama ini dia masih dengan setia menunggu pangerannya akan melamar dirinya, tetapi Adit justru semakin terikat dengan pernikahannya. Karena kedua orang tua mereka menginginkan seorang cucu dari mereka.
Hingga akhirnya Disya memutuskan untuk membuka hatinya untuk laki-laki lain. Sampai akhirnya dia dipertemukan Bagas. Pernikahan mereka tampak bahagia, Disya sudah mulai mencintai Bagas. Mereka tampak mesra. Namun, hal itu justru membuat Adit merasa gelisah. Terlebih saat melihat Bagas kerap mengantar dan menjemput Disya.
Hingga suatu hari, Adit mengatakan kalau dirinya ingin menjalin hubungan dengan Disya lagi. Karena dia tak bisa melupakan Disya dan masih mencintai Disya. Ternyata Disya pun merasakan hal yang sama. Meskipun dirinya mencintai suaminya, perasaan cintanya kepada Adit tidak berubah.
Keduanya sama-sama cemburu, jika keduanya bersikap mesra terhadap pasangannya. Mereka akhirnya sepakat selingkuh dari pasangannya. Mereka tetap menjalani perannya sebagai istri dan suami yang baik untuk keluarganya.
Namun, hubungan yang sekarang bukan hanya sekadar berpacaran. Mereka kerap bercinta saat bersama, menumpahkan gairah bercintanya. Sama halnya dengan Disya, Adit pun jarang sekali menyentuh istrinya. Jika dia sangat menginginkan, Adit justru menganggap sedang bercinta dengan Disya. Hal ini yang membuat Disya selalu menolak untuk hamil, Disya selalu mengkonsumsi Pil KB.
#Flashback Off
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!