CEKLEK!
Pintu ruangan di buka.
Rio masuk tanpa ragu-ragu. kini Pandangan matanya langsung mengarah ke atas tempat tidur, di mana, dia melihat gadis yang baru saja di nikahnya tertidur dengan lelap, hingga dia tak menyadari kehadiran Rio. Rio melangkah sangat pelan, masih memperhatikan gadis itu, sedikit terkejut. Karena melihat sesuatu yang berbeda. Baju seksi, tipis, transparan dan tentu saja lelaki manapun akan bergairah jika melihatnya, Rio menelan ludahnya sendiri. Lalu tersenyum mesum.
"Apa dia sedang menguji keimananku?" Lirihnya.
Bukan persoalan Rio tak pernah melihat pemandangan wanita seksi di sekelilingnya, akan tetapi dia merasa tidak begitu tertarik. Entahlah mengapa kali ini terasa lain, aliran darahnya terpacu begitu cepat serta berdesir amat panas. Rio duduk di tepi ranjang. Kemudian menepuk-nepuk pipi gadis itu, berharap agar gadis itu segera bangun.
"Bangun, berani sekali kamu mengabaikan suamimu." Ucap Rio lirih.
Bunga tersadar karena tepukan kecil itu dan suara lirih yang keluar dari bibir seksi Rio.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" Bunga terperanjat kaget.
"Aku mau tidur." Jawabnya.
Bunga terdiam, beranjak bangun dari ranjang berukuran king size itu. Dia baru ingat bahwa pria asing di hadapannya adalah suaminya.
"Baiklah, Aku akan pindah!"
Bunga langsung bangkit dari tidurnya, dan segera turun dari ranjang itu.
Namun, Rio tak begitu saja ingin melepaskannya. "Siapa yang menyuruhmu turun? Naik!"
"Kamu." Celetuk bunga melototinya.
Lagi-lagi pria tampan itu tersenyum, sehingga semakin membuat pesona dalam dirinya terlihat. Rio buru-buru menarik pergelangan tangan milik Bunga. Langkah bungapun mendadak terhenti.
"Bukankah sekarang kamu adalah milikku, duduklah di sampingku sekarang!" Jelas Rio panjang lebar.
"A--aku tak bisa!" Bunga membantah.
"Kenapa?"
Mereka saling beradu mulut. Karena tak ingin memperpanjangan perdebatan itu, Rio langsung menariknya dengan sedikit kasar. Sehingga membuat bunga terjatuh tepat di pangkuannya. Tentu saja bunga terkejut bukan main, perasaannya menjadi tak menentu.
Deg
Terasa jantungnya berhenti untuk bernafas.
"Mau kemana?" Tanya Rio pelan.
Pandangannya tak lepas dari wajah cantik dan bibir merah yang di miliki bunga.
"Lepaskan Aku!" Bunga memberontak.
"Tidak!"
"Dasar gila kamu!" Maki bunga datar.
Namun Rio tak begitu memperdulikan makian itu, sejenak mereka saling bertatapan. Jantung keduannya pun berpacu sangat kencang.
'Tuhan, wajah ini tampan sekali bahkan Aku tak bisa berhenti untuk terus memperhatikannya.' Lirih bunga dalam batinnya.
"Apa yang kamu lihat?" Rio seperti berbisik.
Bunga pun berpura-pura menampakan kesinisan wajahnya. Karena sudah lelah dengan keadaan seperti ini, Rio terpaksa mendorong tubuh bunga ke atas ranjang. Lelaki tampan itu tersenyum dan secara tiba-tiba mencium bibir Bunga. Bunga ingin memberontak akan tetapi dia tak bisa, kukungan tangan Rio menguncinya.
"Sepertinya kamu sangat menikmati ciuman dariku, tapi sayangnya harus ku hentikan, Aku tidak ingin kesan pertama ini seolah membuatmu tertekan dan semacam pemerkosaan."
Bunga diam saja, menikmati aroma parfum maskulin dari tubuh Rio. Lelaki itu akhirnya bangun dan duduk pada posisinya.
Dia menghela nafasnya dengan panjang, berdiri, lalu membuka jas serta baju yang ia kenakan. Bunga memperhatikannya dan sekarang Rio hanya memakai kaos dalam saja. Dia berjalan menuju toilet.
"Lelaki yang menyebalkan!" Bunga bersunggut.
Dia sangat malu atas sentuhan tadi. Tapi jujur saja prilaku Rio sangat manis. Hanya beberapa menit Rio kembali, bungapun segera menarik selimutnya, berpura-pura memejamkan mata. Rio sudah selesai pada aktifitasnya di toilet dengan langkah pelan mendekati kembali ranjang itu dan membaringkan tubuhnya di samping bunga.
Namun kenapa di malam ini dia sangat sulit sekali memejamkan matanya dia menjadi teringat kejadian spontan tadi, jujur saja diapun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Rio membalikkan tubuhnya, menghadap bunga, rasanya ingin sekali dia memeluk guling barunya itu. Tentu saja sekarang dia memiliki permainan baru.
Rio berusaha mengendalikan suasana, tangan kekarnya, tiba-tiba saja memeluk gadis di hadapannya. Bunga sontak terkaget.
Apakah ini akan menjadi pengalamannya yang sangat buruk? Bunga terus memaki dirinya sendiri entah mengapa dekapan itu terasa menghangatkan dirinya. Dia seperti ada di dalam pelukan Satrianya yang telah pergi, Riopun semakin mempererat dekapannya. Pelan-pelan Bunga mencelekan kedua matanya dan memperhatikan sesosok pria sejati di sampingnya.
"Rio! Apa yang kamu lakukan? Kita baru saja kenal, singkirkan tangan jelekmu itu!"
"Kenapa gadis ini bodoh sekali, Aku tidak akan mengganggumu, Aku memelukmu hanya karena kamu masih kecil dan Aku sama sekali tidak tertarik padamu, Kamu tahu itu!"
"Apa! Kamu bilang Aku masih kecil? Hei jika Aku masih kecil, kenapa kamu tertarik untuk menjadikan Aku sebagai isterimu!" Bunga melototinya sambil terus meminggirkan tangan itu.
Lelaki itu tersenyum. "Itu, karena ibumu baik sekali, andai saja malam itu Aku di biarkan saja, mungkin malam itu juga Aku sudah mati, Kamu mengerti itu kan gadis kecil." Sebelum meminggirkan tangannya dia mengelus rambut hitam Bunga.
"Hentikan sentuhan kurang ajarmu itu Rio, Aku tidak sudi!"
"Dasar gadis nakal! Hanya kamu yang berani membantahku, tapi jika keras kepalamu itu terus kamu pertahanankan, Aku tidak akan segan untuk menghukummu."
"Tentu saja, Kamu hanya manusia biasakan? Kamu pikir kamu siapa?"
"Ssssttt, diamlah gadis keras kepala, Aku ingin tidur."
Rio langsung berbalik arah membelakangi Bunga dan tentu saja Bunga merasa tak enak hati.
'Apa dia marah padaku?' Batin Bunga pelan. Karena melihat perubahan Rio yang secara tiba-tiba.
Malam itu berlalu dengan sebuah perasaan yang masih belum mereka pahami sepenuhnya. Tak terasa waktu terus bergulir tanpa lelah, sekarang jam sudah menunjukkan pukul 03:00 pagi. Bunga tersadar dari tidurnya yang terasa ingin sekali buang air kecil ke toilet. Dengan malasnya dia pun bangun. Tiba-tiba saja tangan Rio mencekalnya, dan dia berujar sangat lirih.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya.
"Ke toilet!" Jawab bunga ketus.
"Aku juga ikut."
Bungapun terkejut mendengar permintaan Rio.
"Yang benar saja kamu ingin ikut, terlalu lebay."
Bunga segera menyentak tangannya, namun tenaga Rio lagi-lagi lebih kuat darinya.
"Rio! Aku sudah tidak tahan ingin buang air kecil." Teriaknya kesal.
"Apa salahnya jika Aku ingin ikut."
"Ya, cepatlah bangun jika begitu."
Akhirnya bunga mengalah juga. Rio tak menjawab, dengan malasnya Rio berusaha bangun dari tidurnya dan merekapun bersama-sama masuk ke toilet.
"Sekarang apa tujuanmu ke toilet?" Tanya bunga datar, setelah mereka sudah sampai.
"Ya, tentu saja sama denganmu."
"Kalau begitu duluan."
Bunga langsung membalikkan badan. Sementara Rio sedikit tersenyum menatapnya.
'Dasar lelaki aneh, apa menurutnya itu lucu!' Batin Bunga kesal
Setelah beberapa detik Rio telah menyelesaikan kegiatannya. Lelaki itu mendekati Bunga. "Sekarang giliranmu." Dia berbisik di telinga isterinya.
Bunga tak begitu meresponnya, agar Rio segera melangkah keluar meninggalkannya, namun pria itu malah berdiri di depan washtafel, membasuh wajahnya.
"Hei, tolong tinggalkan Aku sendiri."
Bunga bernada mulai kesal. Rio spontan menatapnya.
"Apa yang ingin kamu lakukan, lakukan saja sesuka hatimu dan pastinya Aku tidak akan mengusikmu." Rio menjawab.
"Siapa yang bilang bahwa kehadiranmu tidak mengusikku? Tinggalkan Aku sendiri Rio."
Bunga terus memohon. Namun Pria itu tidak memperdulikannya sama sekali. Dia malah asyik menikmati kegiatannya.
Beberapa detik kemudian karena di lihatnya wajah Bunga sudah nampak manyun sekali, akhirnya Rio meninggalkannya juga. Rio berjalan dengan perlahan, duduk sejenak di atas sprimbet empuk itu. Dinginya suasana subuh ini membuat Rio menggigil, di tambah lagi di luar sana sedang hujan gerimis. Diapun segera menarik selimut tebal yang masih tergeletak di sampingnya itu.
Dia hendak membaringkan tubuhnya lagi. Bungapun datang dia tatap Rio yang tengah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Bunga mendengus kesal, Bunga tak ingin ambil pusing, diapun ikut masuk kedalam selimut itu. Suasana menjadi terasa hangat, merasakan hal itu, Rio segera menyingkap selimutnya sedikit memperhatikan isterinya.
"Kamu juga kedinginan?" Tanyanya pelan.
"Ya tentu saja, pertanyaanmu itu terlalu konyol." Bantah bunga masih kesal. "Memangnya kamu pikir tubuhku memiliki lemak yang cukup untuk melindungi diriku sendiri," lanjut Bunga masih merasa kesal.
"Jika begitu Aku bersedia memberimu kehangatan."
"Apa? Kau sudah gila!" Maki Bunga datar.
Melihat reaksi Bunga, Rio semakin senang mengganggunya.
"Kamu tidak boleh membantah, Aku adalah seorang pria yang telah sah menikahimu, jadi apapun kebutuhanku kamu harus melayani dengan senang hati."
Rio masih memperhatikannya. Bunga jadi berpikir dalam hati, 'Apakah jika sudah menjadi isteri harus begini?' Hatinya terus saja bertanya-tanya. Dia teringat akan pesan Mamanya. Menjadi seorang isteri itu memang harus melayani suami dengan baik.
"Kenapa kamu terdiam? Bukankah ucapanku ini benar?"
"Ya." Jawab bunga singkat.
Rio tersenyum, senyum itu sangat manis,semanis gula di toples. Rio benar-benar seorang lelaki yang memiliki wajah tampan.
Tiba-tiba saja tangan itu bergerak menyentuh wajah Bunga, dia juga membelainya sangat lembut, merasakan tangan Rio menyentuh pipinya, wajah Bunga memerah seketika, serta jantungnya berdetak-detak sangat kencang. Tapi sialnya sentuhan itu dia nikmati saja.
"Singkirkan tanganmu, sebelum tangan itu masuk rumah sakit!" Sentak Bunga tegas.
"Galak sekali! sudah ku bilang Aku tidak tertarik denganmu, kenapa kamu percaya diri sekali." Rio tersenyum sinis.
"Lalu?"
"Ada nyamuk di pipimu!"
"Bohong."
"Kamu tidak percaya?"
"Tentu saja."
Riopun terkekeh. "Sepertinya Aku harus mengirimmu kesuatu tempat, Aku ingin sekali menghukummu."
Bunga terdiam dia merasa bahwa saat ini Rio telah menjadi Satria, tentu saja dia sangat merindukan sosok itu. Bunga berusaha untuk tidak akan membantah. Apapun yang di perintahkan Rio kepada dirinya, dia akan menuruti, tapi itu sulit baginya. Ya dia merasakan aneh yang luar biasa, sebab dia belum mengenal seorang Rio sepenuhnya sehingga diapun menjadi canggung.
Pagi itu masih dingin, gerimispun seakan betah untuk tinggal di bumi, mengiringi sepasang suami isteri itu.
Kringg... Kringg...
Sebuah telpon genggam milik Rio, tiba-tiba saja berbunyi sangat nyaring, sepertinya tadi malam ia benar-benar lupa untuk mematikan telpon genggam nya. Untungnya saja tidak ada yang berani mengganggunya, Rio ataupun Bunga terbangun.
"Ooh, sialnya, siapa yang menelpon pagi-pagi begini! Apakah dia tidak tahu, bahwa ini adalah hari pertamaku menikah."
Maki Rio kesal, akan tetapi tetap dia raih juga ponsel yang berada di atas meja lampu itu. Rio mengangkatnya.
"Selamat pagi tuan. Maaf jika telpon dariku menganggu tidur lelap Anda." Sapa Benikno Asisten pribadinya, di sebrang sana.
"Itulah kebiasaa mu, apa yang membuatmu harus menelponku? Bukankah kau tahu bahwa ini adalah hari pertamaku tidur dengan seorang wanita! Kenapa kau syirik sekali." Omel Rio kesal.
"Maaf Tuan, Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tapi ini penting! Ayahmu Tuan--" Suara Benikno terputus sejenak.
"Apa yang terjadi pada Ayahku?" Rio baru terlihat serius.
"Tuan Kenshin masuk rumah sakit Tuan, dan Tuan harus segera datang."
"Kirimkan saja alamat rumah sakitnya."
"Baik Tuan."
Telpon pun terputus.
Rio bangkit dari posisinya saat itu. Dia kembali menatap Bunga di sampingnya. Dan tentu saja wanita yang telah resmi menjadi teman tidurnya, ikut menatap.
"Kamu di sini saja, Aku akan pergi ke rumah sakit sebentar. Jangan kemana-mana tanpa seizinku." Ucapnya pada Bunga.
Bunga tak menjawab dia hanya mengangguk pelan, Rio berdiri menuju toilet untuk membersihkan diri.
Sepuluh menit kemudian.
Rio rapi dengan pakaiannya. Dia akan segera pergi kerumah sakit, sepertinya penyakit Ayahnya kambuh lagi. Karena memang akhir-akhir ini kesehatan sang Ayah tidaklah sepenuhnya stabil. Padahal berbagai macam obat dan terapi sudah di berikan dengan pelayanan yang terbaik dari dokter pribadi keluarga Kenshin, namun lagi-lagi takdir itu ada yang mengaturnya, manusia hanya berusaha.
"Apa kamu akan pergi meninggalkan Aku seorang diri?" Bunga masih memperhatikan lelaki bertubuh tinggi itu.
"Maksudmu apa?"
"Aku lapar." Bunga menjawab dengan jujur.
Rio tersenyum. "Bagaimana bisa Aku akan tega meninggalkanmu dalam keadaan kelaparan begini, Aku akan menelpon resepsionis untuk mengantarkanmu makanan, kau ingin makan apa?"
"Aku ingin makan diluar saja."
"Baiklah jika itu inginmu, setelah mandi pergilah ke restoran yang ada di hotel ini, pesanlah makanan sesuka hatimu, mereka semuapun tahu bahwa kamu adalah Nona dari pemilik hotel ini dan tentu nya saja kamu tidak akan di mintai bayaran sepeser pun."
Rio menjelaskan, sambil mendekati isteri mudanya itu dan meninggalkan kecupan singkat pada bibirnya.
"Apakah Kamu sudah paham dengan penjelasanku?" Tanya Rio lagi.
"Ya." Jawab Bunga singkat.
"Ya sudah Aku pergi."
Lelaki itupun, segera berjalan membuka pintu lalu menghilang dari pandangan Bunga.
Satu jam kemudian.
Bunga sudah menyelesaikan aktifitasnya seperti biasa, karena dari tadi perutnya sudah lapar sekali dia segera mencari restoran yang berada di hotel ini, sesuai dengan penjelasan Rio tadi.
Tak butuh waktu lama Bunga menemukannya, sebuah restoran yang berada di lantai dua, dengan posisi strategis, restoran itu memiliki desain unik, berjendelakan kaca, di luar sana langsung menampakan suasana pegunungan yang sangat menyejukan mata bila melihatnya.
Tentu saja ini adalah hasil kerja keras Rio sebagai pembisnis yang terbilang gigih. Bunga memandang kesekeliling restoran, masih sedikit pengunjung. Tanpa ia duga, tiba-tiba saja mata beningnya menangkap seorang lelaki berbaju hijau.
Dan ia sangat mengenalnya, Reza Pratama lengkapnya. Teman Bunga sewaktu SMA dulu. Ketika pelayan restoran menyadari kehadiran nona muda Rio, pelayanpun buru-buru memberinya hormat dan menanyakan apa yang ingin di pesan Nona mudanya itu. Bunga menanggapi hormat mereka dengan senyum manis di bibirnya dan segera memberitahu makanan kesukaannya.
Lelaki itu tengah duduk dengan wajah menunduk, sambil mengaduk-ngaduk minuman dengan pipet di depannya. Tanpa perasaan ragu Bunga langsung mendekatinya dan menyapanya. Mereka berbincang layaknya teman lama.
Bunga tersenyum di hadapan lelaki itu, perasaannya masih sedikit tertinggal. Walaupun mungkin mereka telah berpisah untuk beberapa tahun lamanya. Tak lama kemudian pelayan datang membawakan makanan yang telah di pesan.
"Maaf Nona, ini adalah makanan yang sudah kami siapkan." Ujar resepsionis.
Bunga menoleh serta memberikan senyuman hangat dan anggukan kecil sebagai isyarat bahwa ia menerimanya dengan senang hati. Resepsionis menunduk, setelah itu mengambil langkah untuk pergi.
"Ayo Re, sarapan dulu."
Bunga segera mempersilahkan lelaki dihadapannya. Reza ikut mengangguk lalu tersenyum, merekapun menikmati hidangan yang tampak berjejer di meja, tanpa ada yang berbicara. Setelah beberapa menit, mereka menyelesaikan makanan itu. Tiba-tiba saja Reza beranjak dari tempat duduknya.
"Bunga, Aku permisi dulu, jangan lupa jaga kesehatan kamu dengan baik." Pesan nya lembut.
"Seharusnya Aku yang bilang terimakasih."
"Sama-sama." Jawabnya lagi dan Reza sudah bersiap akan melangkahkan kakinya.
Tapi, Bunga tiba-tiba saja menarik tangannya. Reza yang tadinya sudah melangkah sedikit, langsung berhenti.
"Apa ada yang ingin kamu katakan?" Tanya Reza pelan.
Bunga malah tersenyum. Tanpa mereka berdua sadari seseorang tengah menatap mereka. Siapa lagi jika bukan sang suami, lelaki dengan segala ketampanan serta kemewahan harta yang berlimpah. Rio, menatap tajam kearah mereka berdua.
'Apa yang sedang mereka lakukan?' Pikirnya dalam hati. Rio hanya berdiri mematung sementara di sampingnya ada benikno selaku asisten pribadinya.
"Tuan." Ujar Benikno pelan.
"Siapa nama Lelaki itu?" Tanya Rio kemudian.
"Maaf Tuan, dia adalah Reza salah satu staff manajemen di perusahaan kita." Jawab Benikno sambil menunduk.
Rio tersenyum dingin, dari sekian banyak staff karyawannya Rio hanya mengetahui beberapa nama mereka saja, namun dia cukup teliti untuk mengenali wajah mereka.
"Apa ada yang bisa saya bantu Tuan?" Tanyanya lagi. Rio menggeleng, namun dia sendiri yang akan mendekati mereka. Dia pun berjalan.
"Ehem."
Rio berdehem keras, ketika langkahnya sudah dekat. Bunga yang mendengar suara itu, spontan menurunkan tangannya dari pergelangan tangan Reza. Lelaki itu kini menghela nafasnya sejenak.
"Apa kamu menikmati free workmu Reza?"
Tanyanya pada Reza yang waktu itu tengah terpaku menatap kehadiran atasannya.
Reza menunduk, memberinya hormat.
"Ya, Pak!" Jawabnya tegas.
Rio cuma tersenyum. "Oke, nikmatilah masa free mu."
Rio langsung menarik tangan Bunga dan membawanya pergi menjauh dari eza yang masih berdiri tanpan ekspresi itu. Hati Reza terasa sakit. Dia bersumpah akan merebut Bunga kembali, dia tidak perduli dengan siapa dia berhadapan.
Langkah Rio terlalu terburu-buru, sehingga membuat Bunga sulit mengimbanginya.
"Rio apa yang kamu lakukan, tanganku sakit Rio!" Bunga memberontak.
Namun sepertinya lelaki itu mulai beringas, dia hanya tidak akan rela, siapapun mendekati orang yang telah menjadi miliknya. Rio masih tak memperdulikan renggekan dari isterinya itu.
"Benikno Kamu tunggu di sini. Aku akan segera kembali!" Ujar Rio pada asistennya.
"Baik Tuan." Benikno menjawab.
Rio melangkah lagi di ikuti Bunga, mereka hanya mengambil waktu 1 menit saja untuk sampai di kamar hotel.
Braakk!
Terdengar pintu di banting. Emosi Rio memuncak.
"Siapa Lelaki itu Bunga, apakah dia memiliki hubungan denganmu?" Tanyanya kasar.
Suara Rio terdengar bergetar sembari mendorong tubuh Bunga ke atas tempat tidur. Bunga tersentak, sebegitu kasarnya Rio.
"Dia hanya teman sewaktu SMA."
Bunga menjawab dengan nada yang pelan.
Dia menduga bahwa Rio sepertinya marah, pelan-pelan dia tarik nafasnya dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang dengan reaksi lelaki di hadapannya. Walaupun sebenarnya tubuhnya bergetar karena ketakutan.
"Hanya teman? Tapi bisa semesra itu. Kamu jangan coba membodohiku!" Bantah Rio kesal.
"Kok kayaknya kamu kelihatan khawatir banget ya." Bunga memberanikan diri untuk membela.
"Tentu saja, karena kamu adalah isteriku dan Aku tidak mau ada gosip apapun tentang kita."
Rio menjawab sambil memegangi dagu Bunga dengan jari-jarinya yang kekar, untuk ia perhatikan dengan teliti.
Tentu saja perasaan Bunga menjadi semakin ketakutan, jantungnya sejak tadi berdegup sangat kencang dan tak beraturan. Dadanya sesak, lelaki itu semakin membuat tubuh Bunga menggigil, wajah Rio kini semakin dekat. Bunga bisa merasakan hangatan hembusan nafas Rio.
Rio masih menatap wajah Bunga. Dan kemudian dia berkata. "Apa Aku perlu memberimu hukuman?"
"Apa maksudmu Ri--"
Belum sempat Bunga meneruskan kata-katanya, Rio sudah membungkamnya dengan ******* kasar. Itu bukan ciuman melainkan gigitan kesal. Rio melepaskannya dan melihat ada setetes darah di bibir Bunga.
"Apa kau mau Aku melakukannya lebih dari itu? Sudah ku bilang jangan bermain di belakangku! Sekarang Aku memberimu waktu lima menit untuk mengemasi semua barang-barang kita."
Bunga tak menjawab, tak juga menatap wajah Rio yang berada tepat dihadapannya. Dia tak begitu perduli akan lelaki itu. Dengan wajah yang masih sedikit kesal, Bunga bangkit dari tempat tidur mengambil semua barang miliknya serta Rio.
Sementara Rio hanya memperhatikan gerak-geriknya saja.
Sejujurnya perasaan Rio gugup, selama bertahun-tahun dia hidup di muka bumi, akan tetapi Rio belum pernah merasakan sesuatu yang berbeda. Apakah dia mulai jatuh cinta. Kenapa begitu cepat? Bisakah perasaan aneh ini di namakan cinta? Entahlah, biarkan waktu yang menjawab.
"Aku sudah menyelesaikannya." Ucap Bunga datar, ketika dia rasa apa yang di perintah Rio telah ia kerjakan tepat waktu.
"Tunggu di sini, Aku akan memanggil Benikno."
Rio langsung memutar langkahnya dan keluar dari kamar hotel. Bunga bisa sedikit bernafas lega sekarang. Ia memegangi bibirnya pelan merasakan perihnya sedikit.
Ceklek!
Terdengar pintu dibuka, muncullah wajah Rio berserta Asisten pribadinya, buru-buru lelaki setengah baya itu, membawa barang yang sudah Bunga rapikan. Kini tangan Rio beralih menggandeng pergelangan tangan Bunga. Hati Bunga berdesir hebat. Ada perasaan bahagia, meski Bunga sadar Rio bukanlah Satria miliknya, tapi sekali lagi, Bunga merasakan ketenangan yang tak bisa di ungkap lewat kata-kata.
"Bukankah kamu rindu rumahmu?" Tanya Rio tiba-tiba. Bunga kini menatapnya.
"Tentu saja Aku merindukan rumah dan yang paling sangat Aku rindui adalah Mamaku."
"Aku akan membawamu ke jepang jadi untuk 2 hari ini, puaskan kerinduanmu pada Mamamu itu, bila perlu tidurlah di dalam pelukan Mamamu, Aku akan merelakanmu. Tapi ingat setelah kita di jepang, tugasmu adalah memelukku sepanjang malam." Jelas Rio panjang lebar wajahnya masih tanpa ekspresi.
'Dasar kau lelaki mesum, kita baru saja kenal, tapi dia sudah meminta yang menurutku terlalu berlebihan, Cintakan belum datang. Kenapa permintaannya seperti bayi yang baru lahir saja sih.' Bunga masih disibukan dengan pemikirannya.
"Kenapa diam, Apa yang sedang kamu pikirkan?" Ucap Rio datar, menyadarkan lamunan singkat Bunga.
"Tidak! A-Aku tidak memikirkan apapun." Jawab Bunga tergugup.
"Lalu? Kenapa kau terlihat gugup. Kau setuju sajakan dengan apa yang kuperintahkan. Ya tentu saja kau harus patuh terhadapku, kau tak boleh membantahku." Tutur Rio menegas.
"Aku akan berusaha untuk tidak keras kepala dan membantahmu."
"Itulah yang ku mau."
Mereka sekarang ada di halaman hotel, Benikno segera membukakan pintu mobil untuk tuan muda dan nona barunya itu. Kini, mobil melaju di jalanan aspal, suasananya lebih segar, angin berhembus sangat pelan, lembut.
Pandangan Bunga menatap keluar jendela, sehingga menampakan jejeran-jejeran gedung pencakar langit. Kota ini sudah begitu berkembang pesat.
Bayangan tentang Papanya yang telah lama meninggal seolah datang menyapa.
'Pa, Bunga sudah menikah sekarang, bagaimana keadaan papa di sana, Bunga selalu berdoa buat papa, biar papa tenang di sana, salam sayang dari bunga untuk papa, jangan lupa sampaikan rindu Bunga pada Satria.' Batinnya dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!