Belakangan ini aku sibuk mengemasi barang dan baju. Memasukkan baju-baju ke dalam koper dan memasukkan barang-barang pribadi kami ke dalam box.
3 hari lagi aku dan Mas Dirga akan pindah ke kota Bandung. Mas Dirga di pindah tugaskan ke kantor cabang dengan jabatan baru yang lebih tinggi.
Sebenarnya berat untuk meninggalkan rumah mungil yang sudah hampir 3 tahun ini kami tempati sejak menjadi pengantin baru.
Aku juga sudah berbaur dan akrab dengan ibu-ibu komplek disini. Lingkungan dan tetangga-tetangga di sini membuatku betah dan nyaman.
Aku sedikit cemas untuk menempati rumah yang sudah di beli oleh Mas Dirga 2 minggu lalu.
Entah bagaimana lingkungan dan penghuni komplek disana, aku harap para tetangga bisa menerima kami dengan baik.
Ku lirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore. 2 jam lagi biasanya Mas Dirga sampai di rumah. Semenejak di pindah tugaskan di Bandung, Mas Dirga selalu pulang malam.
Hal itu yang membuat ku akhirnya menyetujui usulan Mas Dirga untuk membeli rumah dan pindah ke Bandung. Aku tidak tega kalau setiap hari Mas Dirga harus bolak-balik Jakarta - Bandung. Karna sudah pasti tenaganya akan terkuras dijalan. Apalagi harus membelah kemacetan di kedua kota tersebut untuk berangkat dan pulang kerja.
Menyambut kepulangan Mas Dirga adalah hal yang menyenangkan. Aku selalu berbadan cantik dan seksi serta wangi untuk menyambut suami tercintaku.
Ibu-ibu disini bahkan sering memuji ku lantaran beberapa kali melihatku berdandan seksi saat akan menyambut kepulangan pak suami.
Karna semua tetanggaku sudah memiliki lebih dari 1 anak, jadi mereka bercerita kalau tidak sempat berdandan seperti itu untuk menyambut suami-suami mereka.
Suara deru mobil yang terparkir di garasi, membuatku setengah berlari untuk membukakan pintu. Sudah 3 tahun pernikahan kami, tapi rasanya masih seperti pengantin baru. Aku akan menghambur ke pelukan Mas Dirga setiap kali menyambutnya pulang.
Berdiri di ambang pintu. Senyum di bibirku merekah kala melihat sosok pria gagah turun dari mobil dengan memakai celana panjang dan kemeja lengan panjang yang lengannya sudah di gulung sampai siku.
Mas Dirga juga mengembangkan senyum manisnya. Dengan membawa paperbag berisi makanan yang dia tawarkan padaku beberapa jam sebelum Mas Dirga meninggalkan kantor.
Ku raih tangan Mas Dirga untuk mencium punggung tangannya, sebelum aku menghambur kepelukan pria berusia 32 tahun itu. Ku hirup dalam-dalam parfum maskulin yang bercampur dengan kringat itu. Rasanya sangat menangkan. Harum keringat seorang suami yang mencari nafkah untuk menghidupi dan menyenangkan hati sang istri.
"Lingerie baru ya Dek.?" Tanya Mas Dirga. Tatapan matanya fokus pada lingerie warna maroon yang ku padukan dengan cardigan hitam.
Takut ada tetangga yang melihat, jadi aku menutupinya dengan cardigan sebatas lutut.
Meski sudah di tutup dan hanya terlihat di bagian depan saja, tapi Mas Dirga bisa menebak kalau lingerie yang aku pakai masih baru.
"Iya Mas,," Aku menjawab dengan senyum simpul.
"3 hari lalu Mbak Sita nunjukkin lingerie yang dia beli di aplikasi soppo, eh malah aku jadi kepincut dan langsung beli 4. Tadi siang baru nyampe paketnya." Kali ini aku menyengir kuda. Menebar senyum manja seraya bergelayut di lengannya.
Mas Dirga hanya terkekeh geli.
"Ternyata Mbak Sita masih koleksi lingerie." Komentar Mas Dirga. Mungkin karna usia Mba Sita sudah lebih dari 40 tahun, jadi Mas Dirga merasa geli mendengar Mbak Sita masih memakai lingerie.
"Masih dong Mas. Malah tiap hari Mbak Sita update lingerie. Katanya biar Mas Indra nggak kepincut wanita lain. Soalnya lagi puber kedua." Jawabku yang tak sengaja membicarakan rumah tangga tetangga sebelah.
"Mas Indra kan orangnya kalem begitu, nggak mungkinlah kalau sampai kepincut wanita lain. Apalagi udah punya anak 3." Ucap Mas Dirga sembari menutup pintu dan merangkulku masuk ke dalam.
"Kepincut wanita lain tuh nggak mandang kalem atau nggakna Mas. Kalau ada yang menggoda dan lempar umpan, siapa yang mau nolak." Jawabku menggebu. Tiba-tiba saja aku jadi ingat cerita Mbak Gina yang beberapa bulan lalu memergoki suaminya jalan sama wanita muda. Padahal suami Mbak Gina terkenal agamis karna rajin ke mesjid di banding Bapak-Bapak di cluster ini.
"Mas yang nolak, soalnya di rumah sudah punya yang cantik dan pinter goyang,," Mas Dirga menanggapi dengan candaan. Dia kemudian terkekeh seraya mencubit hidungku.
Aku tersenyum menanggapi candaannya. Kesetiaan Mas Dirga memang tak perlu di ragukan lagi, jadi aku tidak harus mewanti-wanti Mas Dirga agar tidak macam-macam di luar sana. Aku percaya Mas Dirga bisa menjaga keutuhan rumah tangga kami.
...*****...
Pagi ini waktunya aku meninggalkan rumah mungil yang dulu di beli dari hasil jerih payah kami. Sangat berat meninggalkan rumah ini, terutama karna harus jauh dari para tetangga yang selama ini menganggapku dan Mas Dirga sebagai adik lantaran kami paling muda disini.
"Ya ampun Dek, Mbak jadi sedih begini." Mbak Sita tampak meneteskan air mata dan langsung memelukku. Tak terasa buliran bening ikut luruh membasahi pipi. Bagaimanapun kebersamaan kami membekas di hati.
"Jangan lama-lama peluk Dek Bianca nya, aku juga mau peluk,," Dengan suara sendu, Mbak Weny menarik bahu Mbak Sita hingga melepaskan pelukannya. Kini giliran Mbak Bianca yang memelukku. Suasana haru semakin menjadi kala Mbak Nilam dan Mbak Monik datang ke rumahku dengan tergesa-gesa dan langsung memeluk kami. Akhirnya kami berlima saling berpelukan dan menangis untuk melepas kepindahanku ke kota Bandung.
"Nanti sering-sering berkunjung ya Dek. Jangan lupa sama kita kalau udah dapet keluarga baru." Ucap Mbak Nilam. Aku semakin terisak saja mendengarnya.
Meski kami masih bisa berkomunikasi, tapi rasanya tak akan sama dengan bertatap muka dan berinteraksi langsung.
Sementara itu, Mas Dirga juga tampak pamit pada Bapak-Bapak di sini.
Nyatanya kepindahan kami juga membuat Mas Dirga merasakan kesedihan yang sama. Apalagi Mas Dirga ikut tim futsal di cluster ini. Jadi kebersamaan Mas Dirga dan para suami-suami di sini cukup dekat.
2 mobil box sudah berangkat 1 jam yang lalu. Aku memang membawa hampir semua perabotan dan segala perintilan rumah. Tidak heran kalau harus menggunakan 2 mobil box untuk mengangkut barang dari rumah minimalis berlantai 2 dengan luas 120 m² itu.
Setelah pamit, aku dan Mas Dirga masuk ke dalam mobil. Kami meninggalkan rumah yang telah memberikan banyak kenangan indah dan tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri.
"Udah Dek,, jangan nangis lagi." Sembari menyetir, Mas Dirga mengusap pundakku.
"Aku takut tetangga di sana nggak sebaik ibu-ibu disini Mas. Apalagi di rumah baru itu penghuni clusternya kebanyakan seumuran sama kita. Pasti nggak mengayomi kayak mereka." Tuturku sendu.
2 kali datang untuk melihat rumah baru di Bandung, aku jadi melihat kalau kebanyakan rumah di sana di huni oleh pasangan muda seperti kami. Rata-rata baru memiliki 1 anak.
"Mereka baik dan sayang sama kamu karna kamu itu baik Dek. Di mana-mana orang baik pasti akan di pertemukan sama orang baik juga. Iya kan,?"
Aku mengangguk. Kata-kata Mas Dirga sedikit membuatku tentang.
Semoga kehidupan kami di rumah baru selalu dilimpahi kebahagiaan.
Suasana terasa asing begitu sampai di rumah baru dan melihat barang-barangku di turunkan dari mobil box. Meski lingkungannya sangat bersih dan rapi, tak lantas langsung menimbulkan rasa nyaman. Tapi aku berharap setelah menempati rumah ini, akan timbul kenyamanan agar aku betah tinggal di sini.
Menurut penuturan Mas Dirga, komplek perumahan ini baru mulai di huni sejak 4 tahun yang lalu. Itu sebabnya hampir 80 persen pemilik rumah disini kebanyakan pasangan muda. Bahkan belum banyak rumah yang di huni. Seperti di cluster yang akan aku tempati saat ini. Dari 8 rumah yang berjejer, hanya 4 rumah saja yang di huni oleh pemiliknya.
Rumah yang akan kami tempati terletak paling ujung dengan akses jalan buntu. Itu menjadi poin lebih dan mungkin yang akan membuatku merasa nyaman karna nantinya tidak akan ada kendaraan yang lalu lalang di depan rumah.
Tepat di samping rumah, sudah di huni oleh pasangan muda seusia ku dan Mas Dirga. Dan 4 rumah sebelumnya dalam keadaan kosong tanpa penghuni namun terlihat sangat terawat.
Pernah satu kali saat aku datang untuk survei rumah, aku melihat 2 orang datang untuk membersihkan ke empat umah tersebut. Jadi keempat rumah kosong itu tidak terbengkalai begitu saja karna pemiliknya menyuruh orang untuk rutin membersihkan rumah-rumah mereka.
"Beres-beresnya nanti saja Dek,, kamu istirahat dulu saja. Biar Mas yang kasih tau mereka tata letak sofa dan furniture lainnya." Ucap Mas Dirga seraya menggandeng tanganku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.
Sementara itu karyawan dari jasa pindah rumah yang tadi mengangkut barang-barang kami dari Jakarta, masih sibuk menurunkan barang dan memasukkannya ke dalam rumah.
"Bisa minta turunin lemari sama kopernya dulu nggak Mas.?" Tanyaku.
"Kalau lemarinya udah masuk kamar, aku bisa cicil bebenah. Mai pindahin baju-baju ke lemari." Tak mau menumpuk pekerjaan terlalu banyak karna perintilan rumah yang aku koleksi sangat banyak, jadi harus mulai mencicil untuk bebenah. Kalau tidak, pasti akan butuh waktu lama untuk merapikan semua barang-barang di rumah ini.
"Sebentar, Mas bilang dulu sama orangnya." Melepaskan genggaman tangannya, Mas Dirga kembali keluar dan berbicara pada salah satu dari mereka untuk menurunkan koper serta lemari agar di bawa ke kamar utama. Aku bisa melihat Mas Dirga dari kaca jendela yang belum di pasang tirai.
Hanya dengan memakai celana pendek dan kaos polos berwarna putih, penampilan Mas Dirga yang santai justru terlihat sangat keren dan menarik. Meskipun jauh lebih menarik saat Mas Dirga memakai celana panjang dan kemaja. Baju dinas yang dia gunakan setiap kali pergi ke kantor.
...*****...
Sudah hampir satu jam berada di dalam kamar untuk memindahkan baju dari koper dan menatanya di lemari, tapi pekerjaan itu tak kunjung selesai. Mengingat baju-baju ku dan Mas Dirga sangat banyak, belum lagi harus menatanya sesuai tempat agar tata letaknya sama seperti sebelumnya.
"Udah sayang, nanti saja di lanjut lagi. Jangan terlalu cape." Tiba-tiba Mas Dirga masuk dan menegurku penuh perhatian. Dia berjalan mendekat, berdiri di belakangku dan tiba-tiba memijat lembut kedua pundakku.
"Masih banyak waktu, nanti sore atau besok bisa di lanjut lagi." Ucapnya masih dengan memberikan pijatan rileksasi di pundakku. Rasa pegal seketika lenyap.
"Pengennya sih begitu Mas, tapi nggak tenang kalau belum di kelarin." Jawabku sembari meregangkan badan.
"Orangnya udah pada pulang ya Mas.? Soalnya nggak kedengaran suara berisik lagi." Aku memutar badan dan membuat Mas Dirga berhenti memijat pundakku.
"Iya, barusan mereka pulang."
"Barang-barang untuk di lantai atas udah di naikin semua. Sekalian aku nyuruh mereka buat menata."
"Nanti kamu cek lagi ya, kalau ada yang nggak sesuai sama selera kamu, biar Mas ubah lagi tata letaknya." Mas Dirga bicara panjang lebar. Aku menyimaknya dengan baik. Begitu pengertiannya Mas Dirga dan sangat menghargaiku sebagai istri karna Mas Dirga menyerahkannya penataan rumah padaku. Dia sama sekali tidak pernah ikut campur, apalagi melarangku.
Mas Dirga memberikan kebebasan padaku untuk menata dan mempercantik rumah sesuai seleraku. Mas Dirga selalu bilang, aku yang paling banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, jadi rumah itu harus sesuai dengan seleraku agar memberikan kenyamanan.
"Sebentar lagi jam makan siang." Kataku sembari menatap arloji di pergelangan tangan.
"Biar aku pesan makanan dulu ya." Ujarku. Karna tidak mungkin aku memasak, tidak ada stok makanan sehat selain mie instan dan beberapa makanan instan lainnya yang hanya kami makan disaat menginginkannya saja.
"Nggak usah, kita makan di luar saja." Ajak Mas Dirga.
"Kita cobain lagi makanan Sunda di restoran yang pernah kita datangi waktu itu."
Aku mengangguk setuju. Jujur saja makanan khas Sunda langsung menyatu dengan lidahku saat aku memakannya untuk pertama kali.
Selama ini kami biasa makan makanan western ataupun makanan lain yang banyak di jumpai di ibu kota. Dan tentunya di selengi dengan makanan khas Manado karna aku dan Mas Dirga berasal dari sana.
Setelah bersiap, kami bergegas keluar rumah. Memastikan pintu sudah terkunci sebelum beranjak ke mobil yang di parkir di depan rumah.
Saat akan membuka pintu mobil, kami di kejutkan dengan kegaduhan di rumah sebelah.
Suara yang mirip seperti orang sedang bertengkar.
Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karna bicaranya terlalu cepat dan penuh emosi.
"Kamu yang egois.!! Bukan aku.!!"
Aku sampai tersentak mendengar teriakan keras seorang wanita.
Ada perasaan kasihan mendengar pertengkaran itu, namun apa yang baru saja aku dengar juga membuatku merasa bersyukur karna selama 3 tahun pernikahan, aku dan Mas Dirga tidak pernah bertengkar.
"Sstttt,,, Jangan kepo." Mas Dirga menegurku dengan mengayunkan tangannya tepat di depan wajahku. Mas Dirga pasti melihat ku yang sedang fokus menayap ke arah rumah sebelah.
Aku lantas menyengir kuda.
"Aku penasaran mereka tuh berantem karna apa." Ucapku sembari masuk ke dalam mobil yang sudah di bukakan pintunya oleh Mas Dirga.
Karna tidak pernah bertengkar, aku sampai heran dengan pasangan suami istri yang sedang bertengkar itu. Entah apa yang menyebabkan pertengkaran itu terjadi.
"Mungkin suaminya minta jatah, tapi istrinya nolak karna cape." Jawab Mas Dirga yang telihat asal-asalan. Apalagi dia terkekeh setelah itu.
Memang dasar, suamiku itu susah untuk di ajak bicara serius. Untung saja baik dan tampan.
Kami pulang ke rumah selesai makan siang di restoran Sunda dekat komplek perumahan. Sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu di luar bersama Mas Dirga, mengingat kami selalu pergi setiap weekend seperti ini. Tapi karna di rumah masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikan agar nanti malam kami bisa tidur dengan nyenyak dan tenang, jadi terpaksa hanya makan siang saja dan langsung pulang.
Saat mobil memasuki cluster rumah kami, aku jadi ingat dengan tetangga sebelah yang baru saja bertengkar hebat. Jiwa kepo ku bergejolak, tak bermaksud ingin mengurusi rumah tangga orang lain, tapi penasaran saja kenapa pasangan yang terlihat sangat serasi itu bisa sampai bertengkar.
Padahal terakhir kali aku mengunjungi rumah ini, mereka berdua kedapatan sedang duduk di teras rumah dan sedang bercanda. Kami juga sempat bertegur sapa, meski mereka berdua tak banyak bicara. Suaminya hanya basa-basi saja pada Mas Dirga, sekedar bertanya kapan akan menempati rumah.
"Ngeliatin apaan sih Dek.? Jangan kepo, anggap aja tadi nggak dengar apa-apa." Teguran Mas Dirga membuatku tak lagi menatap ke rumah tetangga.
"Tapi kalau tiap hari bertengkar terus, bisa-bisa aku makin kepo Mas." Jawabku.
"Tapi semoga aja mereka nggak sering berantem. Lumayan juga teriakan mereka sampai kedengeran ke luar. Untung saja cuma ada kita, rumah yang lain masih kosong. Jadi aman dari pergosipan para tetangga." Celoteh ku yang panjang lebar hanya di tanggapi gelengan kepala oleh Mas Dirga.
"Kamu jangan sampai jadi penyebar gosip Dek, nggak baik. Urusan orang lain biar jadi urusan mereka. Kalaupun kita tau, cukup diam dan simpan untuk diri sendiri saja." Mas Dirga menasehati sembari mengusap pucuk kepalaku.
"Iya Mas, aku tau kok. Lagipula mana tega aku menyebarkan aib orang lain, paling juga cuma cerita sama Mas aja." Jawabku yang kemudian menyengir kuda. Aku memang selalu menceritakan apapun pada Mas Dirga, cuma dia satu-satunya orang yang menjadi tempat keluh kesah dan berbagi cerita. Lagipula menceritakan sesuatu pada Mas Dirga pasti aman, karna tak akan bocor kemana-mana. Beda lagi kalau menceritakannya pada orang lain, apa lagi perempuan, pasti akan langsung menyebar dengan cepat. Secepat jalannya kereta ekspres.
Beberapa saat berada di dalam mobil yang sudah terparkir di carport rumah, kami kemudian bergegas keluar mobil dan masuk ke dalam rumah.
...****...
Saat ini sudah pukul 9 malam, aku dan Mas Dirga masih masih sibuk bebenah rumah. Barang-barang di kamar utama sudah seluruhnya masuk dan tertata di tempat yang semestinya. Tirai dan seprei juga sudah terpasang rapi. Kami memang memprioritaskan kamar yang di benahi lebih dulu agar bisa digunakan untuk istirahat dengan nyaman. Dan sekarang kami sedang fokus menata ruang tamu. Menata perintilan dekorasi ruang tamu.
"Foto yang ini mau di pasang di mana Dek.?" Mas Dirga bertanya seraya menunjukan bingkai foto berukuran 20R di tangannya. Itu adalah foto saat resepsi pernikahan kami 3 tahun lalu. Resepi yang di gelar di salah satu gedung besar di kota Jakarta. Karna kami merantau sejak masih kuliah, jadi kebanyakan teman-temanku dan Mas Dirga berada di Jakarta. Itu sebabnya kami menggelar resepsi di Jakarta setelah sebelumnya melakukan prosesi pernikahan di Manado.
"Di dinding sebelah sana saja Mas." Aku menunjuk salah satu sudut ruang tamu, meminta Mas Dirga untuk memasang figura itu di sana.
Mas Dirga langsung sigap dan mulai mengarahkan alat bor untuk di pasangkan baut agar foto kami bisa terpasang di dinding ruang tamu.
Suara dering ponsel milik Mas Dirga membuatku menoleh ke meja. Aku buru-buru meletakkan lampu hias di sudut ruang tamu yang tadi sedang aku pegang, lalu bergegas mengambil ponsel untuk di berikan pada suamiku itu. Karna aku sudah tau kalau panggilan telfon di ponsel Mas Dirga selalu penting, mengingat jabatan baru Mas Dirga sebagai manajer.
"Siapa Dek.?" Mas Dirga spontan bertanya, tapi dia masih melanjutkan pekerjaannya.
"Marissa Mas,," Jawabku setelah membaca nama kontak yang tertera di layar ponsel.
"Kamu saja yang angkat, bilangin Mas lagi sibuk, nanti di telfon balik." Perintah dari Mas Dirga langsung segera aku laksanakan.
Ku geser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan dari patner kerja Mas Dirga di kantornya.
"Hallo Mas Dirga,,," Suara lembut nan hangat itu menyapa di seberang sana. Mbak Marissa memang seramah dan sehumble itu pada siapapun. Aku sering bertemu dan mengobrol dengannya setiap kali ada event yang di adakan oleh kantor tempat Mas Dirga bekerja.
"Maaf Mbak Icha, ini Bia,," Kataku yang memanggil sapaan akrab Mbak Marissa.
"Ohh,,, Bianca." Suara Mbak Marissa tak bersemangat lagi seperti sebelumnya.
"Mas Dirganya lagi sibuk, katanya nanti di telfon balik kalau sudah selesai." Aku bicara sembari menatap Mas Dirga yang sedang fokus mengebor dinding.
"Ya sudah, tolong sampaiin ke Mas Dirga jangan lama-lama telfon baliknya. Urgent, ada yang harus di bahas untuk meeting hari senin nanti." Ucap Mbak Marissa panjang lebar. Aku mengiyakan kemudian memutuskan panggilan telfonnya.
Mbak Marissa juga di pindah tugaskan di Bandung. Bukan hanya Mas Dirga dan Mbak Marissa saja, tapi beberapa rekan kerja mereka juga sebagian di mutasi ke kantor cabang agar bisa mengembangkan perusahaan baru itu.
Kebanyakan dari mereka yang sudah lama bekerja di kantor pusat, jadi di beri kepercayaan untuk menghandle kantor cabang agar lebih maju.
"Marissa bilang apa Dek.?" Tanya Mas Dirga. Dia turun dari tangga selesai memasang foto.
"Katanya jangan lama-lama telfon baliknya, ada hal penting yang mau di bahas." Jawabku seraya meletakkan ponsel itu kembali di atas meja.
"Kebiasaan si Marissa kalau telfon pas udah malem." Mas Dirga menggerutu.
"Besok aja aku telfon balik. Udah cape bahas kerjaan malem-malem." Mas Dirga menyambar ponselnya. Aku melihat dia menonaktifkan mode datanya. Kalau sudah seperti itu, artinya Mas Dirga memang tidak mau di ganggu dan tidak mau membahas masalah pekerjaan.
"Mbak Marissa beneran batal nikah ya Mas.?" Tanyaku penasaran. Lama bergaul dengan ibu-ibu komplek, aku jadi mudah kepo dengan urusan orang lain. Hanya sekedar penasaran saja, tanpa berniat untuk ikut campur.
"Jiwa keponya mulai lagi ya kamu,," Kata Mas Dirga sambil mencubit gemas hidungku.
"Daripada bahas yang nggak penting, mendingan adu bakat aja." Katanya seraya mengedipkan sebelah mata. Mas Dirga langsung mengangkat ku tanpa aba-aba dan membawaku ke kamar.
Ah,, urusan yang satu ini memang lebih penting dari segalanya. Bukan hanya dalam rumah tangga kami saja, tapi pasti untuk semua pasangan suami istri di luar sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!