Roda kehidupan selalu berputar. Tak selamanya nasib orang berada di bawah. Bagi mereka yang selalu berjuang dengan tekun, pasti ada hasil yang bisa diraih. Begitu pula dengan Aldi dan Nanda. Pasangan suami istri itu akhirnya bisa mencapai impiannya untuk menjadi PNS setelah bertahun-tahun berjuang.
Aldi dan Nanda, dulunya mereka adalah teman satu angkatan semasa kuliah. Keduanya jatuh cinta dan segera melangsungkan pernikahan begitu lulus. Sebagai sarjana pendidikan, keduanya mengabdikan diri menjadi guru honorer di sekolah yang berbeda. Selain itu, setiap tahun mereka juga selalu mengikuti tes CPNS (calon pegawai negeri sipil) yang diadakan. Berkali-kali gagal, tapi pastri tersebut tidak pernah berputus asa dan kembali mencoba di tahun berikutnya.
Kata orang, kehadiran anak itu bisa membuka pintu rezeki. Sepertinya itu juga yang dialami oleh pasangan Aldi dan Nanda. Setelah tiga tahun menikah dan memiliki seorang momongan, berita baik itu akhirnya datang. Tidak tanggung-tanggung, keduanya diangkat jadi PNS meski di tempat yang berbeda.
"Alahamdulillah, ya, Mas ... akhirnya mimpi kita terwujud," ucap Nanda. Dia pun segera memeluk sang suami setelah memastikan bahwa keduanya memang benar-benar lolos seleksi.
"Iya, alhamdulillah. Rezeki Rere juga, Dek ... anak kita itu bulan depan 'kan mau ulang tahun juga. Bisa buat syukuran," timpal Aldi.
"Iya, Mas ...." Nanda tersenyum sumringah.
Berita tentang pengangkatan pasangan suami istri itu menjadi pegawai negeri sipil cepat menyebar di desa. Namanya orang desa, berita begitu cepat menyebar dari mulut ke mulut, menjadi buah bibir banyak orang. Biasanya, entah itu karena iri atau apa, selalu saja ada yang berburuk sangka.
"Halah, mana ada seperti itu lolos gratis tanpa sogok? Langsung dua-duanya lagi yang diterima jadi PNS bersamaan," ucap Ijah. Tetangga yang terkenal sebagai ratu gosip.
"Iya, paling juga habis ratusan juta. Lagi pula, itu saudara orang tuanya 'kan memang pegawai di Kabupaten. Ada orang dalam begitu, ya mudah saja kalau mau lolos. Beda cerita sama anak orang-orang biasa yang ndak punya kenalan orang penting," timpal Susan. Janda muda yang hobinya bergosip bersama Ijah.
"Kalian jangan begitu! Kalau nggak ada bukti, jangan nuduh-nuduh sembarangan. Nanda itu anaknya pandai, dari dulu sekolah selalu dapat ranking. Mungkin itu ya sudah takdir, rezekinya mereka," Bu Dewi angkat suara.
Ibu-ibu yang sedang belanja sayur di tukang sayur keliling itu pun saling sahut-menyahut. Mereka sibuk membicarakan Aldi dan Nanda, pasutri yang dikabarkan diangkat jadi PNS bersamaan.
"Anak Pak Kades saja, kabarnya sudah habis 100 juta juga belum bisa lolos. Ini Aldi dan Nanda entah habis berapa bisa lolos bareng begitu," Ijah cuap-cuap. "Jaman kayak sekarang, mana ada yang gratis Bu Dewi? Hanya yang punya banyak uang yang bisa jadi pejabat!" imbuh sang Ratu Gosip.
Bu Dewi hanya terdiam sambil tersenyum kecil. Tidak mau lagi membalas omongan Ijah. Menanggapi ratu gosip itu tidak akan ada habisnya. Selalu saja ada bahan pembicaraan yang dia dapat.
Pada kenyataannya, Aldi dan Nanda memang tidak menggunakan "uang pelicin". Mereka mendaftar dan mengikuti tes sesuai prosedur. Memilih tempat terpencil yang sedikit pendaftar dan tentunya tidak satu lokasi karena mereka telah melihat formasi yang dibutuhkan. Satu unit kerja hanya butuh satu orang. Itu alasan mereka mengambil tempat yang berbeda, biar tidak 'bersaing' di lokasi yang sama. Logikanya lagi, kalau mau pakai 'sogok' seperti yang dibicarakan orang-orang, harusnya susah dilakukan dari dulu. Tidak menunggu lama dan repot-repot ikut tes tiap tahunnya.
...****************...
Hari-hari berlalu. Tuduhan tentang uang sogok yang digunakan Aldi dan Nanda pun berangsur hilang dengan sendirinya. Keduanya juga telah mulai bertugas di tempat masing-masing. Mengajar di dua tempat yang berbeda. Jarak dari rumah ke sekolah pun cukup jauh. Mereka harus mengajar di pedalaman, menempuh jarak lebih dari 50 km untuk sampai ke lokasi. Apa lagi Aldi, jarak tempat bertugasnya lebih jauh lagi dibanding sang istri. Bisa dikatakan ada di lereng gunung dengan medan jalan yang sulit dilalui.
Adapun anak mereka, untuk sementara mereka bekerja, Rere akan dijaga oleh sang nenek. Aldi dan Nanda memang masih tinggal bersama orang tua. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Apalagi Rere adalah cucu pertama, orang tua Nanda tentu tidak keberatan menjaga cucu kesayangannya tersebut.
"Mas, lokasi sekolah tempatmu mengajar 'kan jauh, jalan juga sulit. Apa lagi musim penghujan begini. Kalau misal cari rumah warga untuk disewa gimana? Nanti kalau hujan, Mas nginep di sana. Pulang tiga empat hari sekali tak apa," usul Nanda. Dia tidak tega melihat sang suami pulang sore dan basah kuyup kehujanan. Memang sudah pakai mantel, tetapi tetap saja Nanda tidak tega mengetahui Aldi harus menempuh perjalanan jauh dan diguyur hujan.
"Iya, Dek. Aku juga memikirkan hal itu. Rasanya capek juga tiap hari naik motor jarak jauh begitu. Tapi, demi masa depan kita, aku akan tetap berusaha berjuang. Besok aku coba tanya ke warga sekitar sekolah, mungkin ada rumah yang bisa disewa," tutur Aldi. "Tapi kamu sama Rere tak apa-apa, aku tidak pulang setiap hari?" Aldi ingin memastikan.
"Tak apa, Mas. Aku tak tega lihat kamu pulang sore dan kehujanan begitu. Kasihan tubuhmu, udah jalan jauh, kedinginan pula."
"Terima kasih, ya, Dek. Kamu selalu pengertian. Semoga apa yang kita cita-citakan bisa terwujud semua," ucap Aldi. Lelaki itu lalu mengecup kening sang istri.
Nanda tersenyum bahagia. Rasanya dia menjadi wanita yang begitu beruntung, punya suami yang sabar dan bertanggung jawab.
"Iya, Mas. Aamiin ...." balas Nanda sambil memeluk sang suami erat.
Bersamaan itu, azan maghrib berkumandang. Nanda pun segera mengingatkan sang suami untuk ke masjid menunaikan sholat berjamaah.
"Itu udah azan, Mas. Cepetan siap-siap ke masjid biar nggak telat sholat jamaah."
Aldi mengangguk kemudian bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Nanda sendiri menyiapkan payung untuk sang suami karena gerimis masih turun meski jarak rumah ke masjid tak begitu jauh. Hanya sekitar 100 meter. Nanda takut jika saat pulang dari masjid nanti hujan makin deras.
Begitu keluarga kecik Aldi dan Nanda. Pasutri itu dikenal masyarakat cukup baik. Tidak pernah ada masalah atau gesekan dengan tetangga. Mereka juga dikenal sebagai orang yang taat ibadah. Aldi selalu menyempatkan diri sholat berjamaah di masjid, utamanya waktu subuh, maghrib dan isyak. Dhuhur Aldi masih di tempat kerja, sementara asyar, dia sholat di rumah karena sering pulang sampai rumah sekitar jam empat. Waktu sholat asyar di masjid sudah berlalu.
Aldi sendiri sebenarnya juga cukup pendiam dan tak banyak berkomunikasi dengan orang sekitar jika tidak ada hal yang penting. Beberapa orang ada yang menilai jika dia sedikit sombong. Sementara Nanda, dia termasuk tipe orang yang ramah dan suka menyapa orang yang dijumpai. Ibu satu anak ini juga terkenal murah senyum.
Setelah berunding dengan keluarga, terutama dengan Nanda dan orang tuanya, Aldi pun segera mencari rumah kontrakan di sekitar sekolah tempatnya bekerja. Mertua Aldi juga mengizinkan jika dia ngontrak rumah dan pulang beberapa hari sekali. Sebagai orang tua yang menyayangi menantu, mereka paham akan kondisi Aldi. Terlebih akhir-akhir ini Aldi juga sering terserang batuk dan flue karena sering kehujanan.
"Masalah anakmu, tidak perlu khawatir. Kami yang akan jaga. Kamu kerja saja baik-baik. Pulang kalau hari tidak hujan," tutur Ayah Nanda.
"Iya, Pak. Terima kasih pengertiannya," balas Aldi penuh hormat pada sang mertua.
Nanda sendiri juga ikut mengecek kontrakan yang akan ditempati Aldi. Kebetulan, ini hari libur. Sekalian Nanda membantu Aldi membawa bebera barang keperluan harian sang suami tercintanya rersebut.
Aldi akan menempati sebuah rumah yang tak begitu besar, hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi di belakang. Jaraknya hanya tiga rumah dari sekolah. Rumah milik seoarang juragan kebun kelapa yang tidak ditempati. Kebetulan, sang juragan punya dua rumah, dia dan keluarganya tinggal di rumah besar yang bersebelahan dengan rumah yang akan Aldi kontrak.
Harga kontrak yang dikasih pun sangat murah. Itu cukup membuat Nanda dan Aldi merasa senang. Dapat kontrakan dekat dengan tempat kerja, tapi sewanya tidak mahal.
"Itung-itung ada yang bersihkan itu rumah dan ada yang nempati dari pada kosong. Lagi pula, Mas Aldi ini 'kan kerja untuk mencerdaskan anak-anak di desa ini. Saya ikut senang jika bisa bantu juga," ucap sang pemilik rumah yang bernama Pak Karno.
"Terima kasih, Pak. Kami sangat bersyukur Bapak membolehkan suami saya tinggal di sini," ucap Nanda. Ibu muda itu tersenyum tulus lalu menatap sang suami yang juga menyungging senyum bahagia.
"Iya, sama-sama," balas Pak Karno. "Kalian sudah ada momongan?"
"Alahamdulillah, Pak. Anak pertama kami usianya sudah setahun," kata Aldi.
"Oh, baguslah ... semoga bisa segera nambah momongan lagi," doa Pak Karno.
"Aamiin ..." sahut Nanda.
"Hamil gimana, Pak? Kalau saya sering di sini dan Nanda di rumah, ya mana bisa hamil? Nggak mungkin hamil sama cowok lain?" Aldi bercanda. "Lagi pula, biar anak kami lebih besar dulu, hehehe ... " timpal Aldi.
Pak Karno hanya manggut-manggut sambil tersenyum kecil mendengar perkataan Aldi. Sementara Nanda, mencubit pinggang suaminya sambil memanyunkan bibir.
...****************...
Nanda dan Aldi sudah beberapa minggu menjalani LDR. Jadwal pulang Aldi sungguh tak menentu. Kadang tiga hari sekali, kadang juga seminggu sekali, yang jelas pada akhir pekan dia akan pulang karena sekolah libur.
Namun, setiap hari keduanya berkomunikasi lewat video call. Meski hanya beberapa menit, Aldi selalu menyempatkan diri menghubungi sang istri tercinta. Sekadar bertanya kabar dan tentunya melihat Rere, si buah hati semata wayang pasutri tersebut.
"Mas, ingat, ya ... jangan macam-macam di sana. Jangan lirik-lirik cewek lain. Itu dekat sekolah 'kan kabarnya ada janda kembang juga. Awas kalau sampai kecantol," ucap Nanda yang mendadak jadi cemburuan.
"Iya, Dek. Kamu itu jangan curigaan begitu. Kayak nggak tahu Mas ini laki-laki macam apa? Selama kita menjalin hubungan, dari pacaran sampai nikah, pernah kamu tahu Mas selingkuh?" tanya Aldi lewat video call.
Nanda hanya nyengir sambil menggeleng pelan.
"Aku selalu setia sama kamu, Dek. Kamu percaya sama aku, kan? Kalau kamu ragu, mending aku nggak usah ngekos di sini. Pulang tiap hari saja."
"Eh, jangan, Mas! Tiap hari hujan begini, malah mau pulang. Nanti yang ada kamu jatuh sakit lagi, capek jalan jauh dan kehujanan," larang Nanda. "Aku itu selalu percaya sama kamu, Mas. Tadi aku hanya mengingatkan, apa salah jika istri mengingatkan suami?" Nanda ganti melontarkan pertanyaan.
"Mengingatkan emang nggak salah. Cuman, tadi itu kamu kayak curiga gitu, Dek. Mas tak suka kamu begitu," sangkal Aldi.
"Iya, aku minta maaf, Mas. Aku percaya sama kamu, kok."
"Iya, Mas maafkan. Mas juga percaya sama kamu. Kamu akan bisa menjaga kehormatan sebagai istriku."
Begitu sedikit debat yang terjadi antara Nanda dan Aldi lewat video call malam itu. Mereka mengakhirinya dengan saling memaafkan dan selanjutnya hubungan pasangan suami istri itu kembali berjalan harmonis seperti sedia kala.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika Aldi menyudahi sesi video call dengan sang istri. Dia lalu duduk bersantai di ruang tamu sambil membaca materi yang akan dia gunakan untuk mengajar esok hari. Di luar rumah, gerimis kecil semakin deras. Suasana menjadi agak dingin.
Tok ... tok ... tok ...
Terdengar suara pintu diketuk. Aldi segera menghentikan aktivitasnya, menutup buku yang dia baca dan meletakkannya di meja. Lelaki itu lalu menuju ke pintu dan segera membukanya.
"Eh, Dek Neti ..." ucap Aldi begitu tahu bahwa yang datang sebagai tamunya adalah Neti, anak sang pemilik rumah.
"Iya, Mas. Ini ada singkong goreng. Ibu nyuruh kasih ke Mas Aldi. Gerimis begini, enak makan yang hangat-hangat, meski cuma singkong," ucap Neti sambil memberikan piring berisi beberapa kerat singkong rebus yang masih hangat.
"Oh, terima kasih, ya, Dek. Sampaikan pada ibumu juga," sahut Aldi.
Neti tersenyum ramah. "Iya, Mas. Sama-sama. Saya pamit dulu."
"Lho, nggak mau masuk dulu?" tanya Aldi basa-basi.
"Tidak, Mas. Makasih. Ini masih mau lanjut bantu Ibu goreng singkong lagi, tadi belum selesai," jelas Neti.
"Oh?" Aldi tersenyum sambil manggut-manggut, mengerti maksud penolakan Neti.
"Permisi, Mas ...."
"Iya."
Neti kembali melayangkan senyum manisnya. Gadis yang baru lulus SMA itu memang termasuk kembang desa. Selain cantik, Neti juga seorang yang ramah. Orang tua Neti menyuruh dia untuk melanjutkan kuliah, tapi Neti masih menolak. Katanya tahun depan saja, sekarang masih ingin istirahat dulu. Ingin santai saja sambil bantu ayah ibunya di rumah. Begitu argumen Neti tiap kali ada yang tanya.
"Cantik juga anak Pak Karno ini ..." celoteh Aldi lirih tanpa sadar.
Laki-laki itu masih mematung di ambang pintu sambil memperhatikan Neti yang berjalan menuju rumahnya yang ada di samping tempat tinggal Aldi saat ini. Mata Aldi tidak berkedip menatap sosok Neti, gadis kembang desa yang cantik aduai dengan rambut tergerai sebahu. Senyum dan keramahannya memang bisa menggetarkan hati laki-laki yang dekat. Sepertinya Aldi juga mulai terpesona.
Suami Nanda itu tersenyum di sudut bibir, entah apa makna dari senyuman itu. Aldi lalu menutup pintu rumahnya dan kembali duduk di kursi ruang tamu sambil menikmati singkong goreng pemberian Neti. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu hingga dia senyum-senyum sendiri tanpa sebab yang jelas.
Musim penghujan mencapai puncaknya. Seolah tiada hari tanpa hujan. Aldi pun semakin jarang pulang ke rumah untuk menyambangi anak istrinya. Laki-laki itu tak ambil pusing. Dia santai saja, yang penting tiap hari menyempatkan diri untuk menghubungi sang istri.
Di sisi lain, Aldi juga terlihat makin akrab dengan Neti. Mereka memang sering ketemu. Entah Aldi yang nyambang ke rumah Pak Karno hanya untuk sekedar berbincang cari teman ngobrol dengan juragan itu, atau Neti yang ke tempat Aldi untuk mengantar sesuatu. Biasanya makanan yang dibuat ibunya. Intinya, Neti dan Aldi setiap hari pasti bertemu dan bertegur sapa.
Cantik juga ini anak gadis Pak Karno. Mana tubuhnya mulus, anaknya ramah dan sedikit lugu pula. Aldi membatin sembari memperhatikan lekuk tubuh Neti.
Putri tunggal Pak Karno itu memang cantik, kulitnya tidak begitu putih tapi bersih dan mulus. Kaki jenjang dan rambut lurus Neti juga menunjang pesona kembang desa tersebut. Jelas, dia bagai nektar yang mengundang kumbang untuk mendekat. Begitu juga dengan Aldi yang matanya tanpa sadar tak bisa lepas dari sosok Neti.
"Mas ... Mas Aldi, lihatin apa, sih? Ada yang salah dengan baju saya?" tanya Neti sambil mengecek pakaiannya.
Aldi terperangah. Lelaki itu terkejut dan jadi salah tingkah karena ketahuan sedang memperhatikan Neti.
"Oh ... tidak, Dek ... tidak ada yang salah. Kamu selalu terlihat sempurna," timpal Aldi. Dia berusaha mengendalikan perasaannya.
Neti yang kini jadi salah tingkah setelah mendengar pujian dari Aldi. Wajahnya jadi kemerahan seperti senja yang kini hampir terbenam.
"Cari Bapak, ya, Mas?" tanya Neti setelah bisa menguasai diri.
"Ah, iya ... mau kasihkan uang sewa. Takut nanti lupa lagi."
"Ditunggu sebentar, Mas. Saya panggilkan Bapak dulu," sahut Neti.
Gadis muda itu lalu berlalu ke dalam rumah. Aldi sendiri duduk di teras rumah Pak Karno. Matanya celingukan, mengekor gerak tubuh Neti yang tak berapa hilang di balik tembok dalam rumah.
Untung saja di tempat terpencil seperti ini banyak gadis cantik, jadi bisa betah. Aldi kembali membatin sambil senyum-senyum.
Mata Aldi keadaan beralih melihat halaman rumah, juga pekarangan rumah Pak Karno. Halamannya cukup luas. Kalau dibangun rumah, masih bisa untuk sebuah rumah berukuran besar. Aldi pun manggut-manggut, berpikir andai dia punya lahan seluas itu juga. Di rumah mertuanya, memang ada lahan yang mau diberikan, tapi tidak seluas halaman rumah Pak Karno.
Hari semakin sore. Meski tidak hujan, tetapi ada gelayut mendung tipis. Tidak menutup kemungkinan malam nanti akan turun hujan deras.
"Nak Aldi, maaf ya, nunggu lama," ucap Pak Karno yang keluar dari dalam rumah. Neti mengikuti sang ayah sambil membawa teh dan kue.
"Baru selesai mandi," imbuh Pak Karno.
"Iya, Pak. Saya baru datang, kok," sahut Aldi basa-basi.
"Silakan, Mas, diminum." Neti tersenyum kecil sambil sesaat menatap Aldi.
"Oh, terima kasih. Maaf, jadi merepotkan."
"Nggak, kok, Mas. Hanya teh anget saja," timpal Neti.
"Ayo, diminum dulu. Jangan sungkan-sungkan kalau di sini." Pak Karno ikut ambil suara.
Aldi pun tersenyum lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum menyruput teh buatan Neti.
"Nikmat sekali, rasanya pas," celetuk Aldi.
Neti yang duduk di samping Pak Karno jadi senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata Aldi.
"Wong teh saja, rasanya 'kan sama," ucap Pak Karno.
"Beda, Pak. Beda tangan yang buat, beda juga rasanya," sahut Aldi sambil mengerling pada Neti. Neti pun semakin tersipu malu.
"Masa? Dilidah Bapak kok sama saja. Apa lagi ini si Neti yang bikin. Kadang terlalu manis, bikin minuman saja sering nggak pas. Apa lagi masak, makin tak bisa. Seperti ini, Bapak makin ketar ketir saja. Suruh kuliah tak mau, mau suruh nikah, siapa juga yang mau kalau masak saja tidak bisa," cerita Pak Karno. Si Tuan Tanah itu jadi curcol, alias curhat colongan.
"Bapak itu, apa sih ... ngomong begitu ke Mas Aldi, Neti 'kan malu," protes Neti.
"Ya itu 'kan kenyataan. Makanya, kalau diajarin ibumu masak, perhatikan yang benar. Terus itu, belajar sama Nak Aldi, biar kamu kelak juga bisa sukses seperti dia."
"Ah, sudah dong, Pak. Jangan ngomong begituan terus!"
"Nati anak yang cerdas, Pak. Saya yakin, kalau kuliah ambil jurusan apa pun juga bisa masuk. Tinggal minatnya dipastikan, mau ambil jurusan apa. Kalau masalah nikah ...." Aldi menghentikan ucapannya sejenak sambil melirik Neti. "Neti masih terlalu muda, Pak. Biar menuntut ilmu dulu. Saya yakin, gadis secantik putri Bapak, yang naksir pasti banyak. Mau suami seperti apa, juga bisa. Pak Karno tidak perlu khawatir soal itu. Siapa tahu, Neti pun sekarang sudah ada cowok yang jadi tanbatan hati," lanjut Aldi.
Pada dasarnya, Aldi hanya ingin menelisik, mencari tahu apa Neti si kembang desa sudah punya pacar atau belum. Pesona gadis desa berwajah ayu itu mampu membuat Aldi semakin penasaran dengan kehidupan pribadi sang primadona.
"Apa iya begitu? Kamu memang sudah punya pacar, Net?" tanya Pak Karno blak-blakan.
"Belum, Pak," sangkal Neti. "Mas Aldi jangan begitu, Bapak nanti jadi salah paham. Saya mana ada yang suka, gadis desa kayak saya, yang melirik saja nggak ada," ujar Neti sambil menunduk.
"Kamu itu 'kan cantik, baik hati juga. Nggak mungkin tidak ada yang tertarik," Aldi makin berani mengutarakan pemikirannya.
Neti semakin tersipu malu. Sementara Pak Karno memperhatikan putrinya dengan dahi berkerut.
"Anak udik begitu, cantik dari mana," lirih Pak Karno.
"Sudah ah, kenapa jadi bahas saya. Tadi Mas Aldi ada perlu dengan Bapak, kan?" ucap Neti.
Gadis itu langsung bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan Aldi dan Pak Karno. Buru-buru Neti masuk ke rumah, menyembunyikan wajahnya yang susah merah karena menahan malu.
"Net, Neti ... mau kemana kamu?" tanya Pak Karno. Akan tetapi Neti tak menggubris panggilan bapaknya.
"Tuh, lihat anak itu ... nggak punya rasa percaya diri. Susah ngomong sama dia. Suruh kuliah tak berangkat, mau dinikahkan, juga masih terlalu muda," Pak Karno ngomel-ngomel sendiri.
"Eh, tadi Nak Aldi ke sini ada perlu apa?" tanya Pak Karno kemudian.
Aldi pun segera ingat akan tujuannya datang untuk membayar uang sewa rumah. Dia sempat lupa setelah ikut larut dalam pembicaraan tentang Neti.
"Oh, ini, Pak. Saya mau ngantar uang sewa rumah. Maaf, Pak, kemarin sore mau ke sini hujan deras."
Aldi mengutarakan maksud kedatangannya sambil menyerahkan amplop berisi uang sewa rumah.
"Tidak apa-apa, santai saja," jawab Pak Karno yang menerima amplop dari Aldi. Dia lalu meletakkannya di meja, tanpa melihat isinya.
"Nak Aldi, Bapak minta tolong sekali lagi. Kasih motivasi si Neti. Biar dia mau daftar kuliah tahun depan. Arahkan dia. Kalau tentang menikah, sebenernya saya juga tidak akan memaksanya nikah muda. Biar nanti kalau dia sudah sukses, baru berpikir tantang rumah tangga."
"Iya, Pak. Insyaallah saya bantu. Kalau soal jodoh, saya juga sedemikian dengan Bapak. Sekarang sudah bukan jamannya lagi maksa anak gadis nikah muda. Apa lagi untuk gadis yang cerdas dan secantik Neti, Bapak tidak perlu khawatir. Jika sudah saatnya, pasti Bapak tinggal seleksi saja untuk calon menantu."
Pak Karno mendengarkan ucapan Aldi dengan serius sambil manggut-manggut. Sementara itu, Neti yang menguping dari balik tembok ruang tamu jadi senyum-senyum, salah tingkah sendiri mendengar pendapat Aldi tentang dirinya yang dikatakan cerdas dan cantik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!