"Semuanya sudah selesai?" wanita cantik itu bertanya.
"Sudah, kau bisa pulang sekarang," bawahannyay membaas.
"Biar aku ingatkan, di sini aku bosnya," wanita cantik itu menggerutu pelan.
suara tawa memenuhi ruangan yang sepi itu, Kim Hye-rin, CEO muda itu menatap temannya dengan jengah.
"Ah, sudahlah, aku lelah," Hye-rin bangkit dan meninggalkan temannya yang masih sibuk meredakan tawanya.
Hye-rin turun ke parkiran, ia masuk ke mobilnya lalu mulai menjalankannya perlahan, meninggalkan gedung perusahaannya yang sudah gelap. Lampu lalu lintasmenyala merah, membuat Hye-rin menghentikan mobilnya, ia mengatur musik di mobilnya sebentar sebelum mobilnya dihantam dengan keras dari belakang.
Hye-rin terrpental, airbag di mobilnya mengempang, ia bisa merasakan kaca mobilnya pecah dan beberapa serpihannya mengenai wajah dan tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit, kakinya mati rasa, beberapa saat kemudian, hanya butuh beberapa detik sampai mata Hye-rin tertutup sempurna.
"Ah, sial sepertinya aku akan mati!"
*
Hye-rin perlahan membuka matanya, membuat wanita berpakaian maid di sampingnya langsung mendekatinya.
"Yang mulia, Anda sudah sadar? Apa ada yang sakit,"
Hye-rin terdiam beberapa saat.
"Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.
"Yang mulia, ini saya, Doreen," jawab Wanita itu dengan wajah paniknya.
Hye-rin duduk perlahan, ia menoleh dan terkejut melihat pantulan wajahnya di cermin besar yang ada di samping tempat tidurnya. Ia itu langsung melompat turun dan berlari ke depan cermin, tangannya menyentuh wajah mungilnya.
Astaga, bukannya aku tadi barusan kecelakaan? Apa ini? Wajah siapa ini? Dan lagi kenapa aku sangat kecil, sepertinya ini tubuh anak berusia tujuh tahun, tapi siapa? Kenapa juga aku bisa masuk ke dalam tubuhnya? batin Hye-rin kaget.
"Yang mulia, Anda baik-baik saja? Apa perlu saya panggilkan Dokter?" tanya Doreen panik.
Pintu kamar terbuka, dan seorang lelaki berpakaian prajurit masuk dengan wajah cemas.
"Doreen, apa yang terjadi?" tanya lelaki iu.
"Hei, kalian siapa? Ada apa dengan pakaian aneh kalian itu?" Hye-rin bertanya frustrasi.
"Doreen, panggil dokter, sepertinya ada yang salah dengan Tuan putri," titah lelaki itu.
Doreen berlari keluar, ia kembali beberapa saat kemudian bersama seorang dokter dan dua orang lelaki yang memiliki wajah yang mirip dengan Hye-rin. Pakaian mewah keduanya membuat Hye-rin tertegun beberapa saat, ia kesal karena ia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini.
"Tuan putri, berbaringlah sebentar, biar saya periksa," pinta dokter sambil membungkuk.
"Astaga, sedari tadi kenapa kalian terus memanggilku Tuan putri?!" Hye-rin berseru kesal.
"Suzanne, kau ... tidak ingat apa pun?" laki-laki yang datang bersama Doreen.
Suzanne? sepertinya aku pernah mendengar nama itu, tapi di mana? batin Hye-rin kebingungan.
"Suzanne? Namaku Suzanne?" Hye-rin bertanya pelan.
"Ya, benar Tuan putri, Anda Suzanne Dawson, satu-satunya putri di kekaisaran Windfall," jawab Doreen sopan.
Hye-rin tertegun, sekarang ia ingat di mana ia pernah mendengar nama Suzanne. Ya, itu adalah nama karakter favoritnya dalam novel favoritnya dulu, dan ia merupakan tokoh antagonis yang berakhir menyedihkan.
Sial, bukannya pergi ke surga, aku malah masuk ke dalam tubuh antagonis batin Hye-rin sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.
*
Suzanne membuka matanya perlahan, ia melihat dua orang yang tidak ia kenal berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.
"Sudah sadar? Ada yang sakit?" lelaki paruh baya di sampingnya bertanya dengan cemas.
"Ah, aku baik-baik saja," jawab Suzanne pelan, "Kalian siapa?" tanya Suzanne.
Keduanya tersenyum kecut, mereka saling tatap beberapa saat lalu duduk tepat di sebelah Suzanne.
"Ini papa sayang, ini kakakmu Oliver,"
Suzanne ingat, di novel ayah Suzanne adalah kaisar Taylor Dawson, kaisar yang terkenal krena kegilaannya dalam berperang, juga sihirnya yang tak terkalahkan. Putra pertamanya Crown Prince Oliver Dawson, pewaris tahta kekaisaran, yang juga merupakan seorang sword master yang sangat hebat. Keduanya seharusnya membenci Suzanne dan membiarkannya mati terbunuh, lalu sebenarnya kenapa mereka saat ini justru terlihat sangat menyayangi Suzanne?
"Ini, tahun berapa?" tanya Suzanne pelan.
"Tahun 512 kalender kekaisaran, ada apa? Apakah kau mengingat sesuatu?" tanya Oliver balik.
Tahun 512 artinya sekitar empat tahun sebelum novel di mulai, apakah saat ini mereka belum membenci Suzanne? Tapi kalau begitu apa alasan mereka akhirnya membenci Suzanne? Ah benar juga, Suzanne dibenci karena sihirnya yang lepas kendali dan tanpa sengaja membunuh adiknya, yang artinya, saat ini adik Suzanne masih hidup kan? Di mana dia? batin Suzanne bertanya-tanya.
"Anne, kau baik-baik saja?" tanya Oliver cemas karena melihat raut frustrasi Suzanne.
Suzanne tersenyum kecil, "ah, iya aku baik-baik saja, kakak?"
Oliver tersenyum senang, "Benar, aku kakakmu,"
"Kalau begitu panggil aku Papa seperti biasanya Anne," titah Kaisar Taylor.
"Papa?" Suzanne memiringkan kepalanya.
"Bagus," Kaisar Taylor mengacak rambut Suzanne gemas.
Pintu kamar Suzanne tiba-tiba saja di buka dengan kasar, membuat ketia orang yang sedang bercengkrama itu menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang berdiri dengan raut kesal di wajahnya.
Suzanne menatap anak itu lamat-lamat sebelum mengucapkan satu nama, "Lucian?"
Oliver dan Kaisar Taylor menatap Suzanne dengan bingung, begitu juga anak yang baru saja datang itu.
"Anne, kamu ingat Lucian?" tanya Oliver dengan nada tak terima.
Sial, melihat wajah imutnya membuat aku tidak sengaja menyebut namanya, tapi ya sudahlah, sudah terlanjur juga batin Suzanne.
"Samar-samar" jawab Suzanne sembari tersenyum canggung.
"Hei, itu tidak adil," Oliver berseru kesal.
Kaisar Taylor menatap putra bungsunya dengan tatapan kesalnya, sementara Lucian langsung melompat ke pangkuan Suzanne dengan wajah riang.
"Kakak mengingat Lucian?" tanya Lucian semangat.
"Sedikit," jawab Suzanne.
Lucian tersenyum senang, ia menatap kakak dan ayahnya dengan tatapan mengejek.
Aku menang, kakak mengingatku, batin Lucian penuh kemenangan
"Saat mendengar kakak terluka aku sangat cemas, tapi para dayang melarangku bertemu kakak, ayah dan kak Oliver juga melarangku. Saat mereka bilang kakak sadar dan melupakan semuanya aku takut, kalau kakak tidak mengingatku siapa lagi yang aka bermain denganku, siapa yang akan membacakan dongeng sebelum tidur padaku nanti," Lucian berucap pelan.
"Apa aku sering melakukannya?" tanya Suzanne.
"Apa? Bermain denganku? Tentu saja sering!" jawab Lucian semangat.
"Maksudku membacakan dongeng sebelum tidur," sela Suzanne.
"Tidak setiap hari, tapi sering. Apa kakak lupa?" Lucian bertanya pelan.
Suzanne tersenyum tidak enak, "aku hanya ingat namamu,"
Iyap, dia Lucian, namanya hanya disebutkan satu kali di novel, dia adalah adik Suzanne yang meninggal dalam tragedi mengamuknya sihir Suzanne.
"Lucian, berapa umurmu?" tanya Suzanne.
"Kakak tidak ingat? Umurku lima tahun," jawab Lucian.
Di dalam novelnya, Lucian meninggal di umur enam tahun, itu berarti satu tahun lagi. Aku harus mencegahnya, aku tidak rela kalau anak manis ini meninggal karena sihirku, batin Suzanne bertekat.
"Papa, berapa umurku?" tanya Suzanne tanpa mengalihkan pandangannya dari Lucian.
"Setidaknya tataplah ayahmu ini ketika menanyakan sesuatu, apakah Lucian lebih menarik dari papa?" Kaisar Taylor menggerutu pelan.
Suzanne menatap ayahnya dengan bingung, "hah? Papa ngomong apa sih, dari segi manapun tentu aja Lucian lebih menarik, Papa kan sudah tua," ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Suzanne seakan ia sudah biasa melakukannya.
Astaga, apa itu barusan? batin Suzanne kaget.
Oliver tertawa kecil, "bahkan setelah kehilangan ingatanmu, Lucian tetap menempati posisi pertama di hati ataupun pikiranmu,"
"Ah, maaf, yang tadi terucap begitu saja," ucap Suzanne menyesal.
"Tidak apa-apa kau sudah biasa melakukannya pada kami," balas Kaisar Taylor menenangkan.
Benarkah? Kalau begitu dulunya Suzanne pasti sangat dekat dengan keluarganya, tragedi sialan itu membuat nasib Suzanne ku jadi buruk. Tenang Suzanne, karena sekarang Kin Hye-rin yang ada di tubuhmu, maka aku tidak akan membiarkan tragedi itu terjadi! batin Suzanne bertekat.
"Omong-omong, kenapa aku bisa sakit?" tanya Suzanne penasaran.
Oliver dan Kaisar Taylor saling bertatapan sejenak, keduanya kemudian menatap Lucian dengan serius.
"Lucian, kelasmu akan segera di mulai, pergilah," titah Kaisar Taylor.
Lucian terdiam sejenak lalu mengangguk pelan, ia kemudian keluar dari kamar Suzanne.
"Seseorang mencoba membunuhmu," ucap Oliver begitu pintu kamar Suzanne tertutup.
Suzanne menutup mulutnya kaget, "maksudmu ...."
"Iya Anne, kau hampir mati jika saja Doughlass tidak menyelamatkanmu," Kaisar Taylor menyambung.
"Doughlass? Dia kesatria yang bersama Doreen tadi?" tanya Suzanne.
"Ya, Doreen bilang kau tersesat di taman dan terpisah dengannya, ia meminta bantuan Doughlass untuk mencarimu, dan ketika Doughlass menemukanmu, kamu sekarat," jelas Oliver.
"Doughlass tidak sempat menangkap pelakunya, ia langsung membawamu ke istana dan langsung memanggil dokter sebelum akhirnya mengabari kami," lanjut Kaisar Taylor.
"Kami sangat takut, kami pikir kau akan meninggalkan kami karena dokter pada awalnya tidak bisa merasakan nafas dan detak jantungmu, untunglah setelah ayah menyalurkan sedikit mananya, kau langsung sadar,"
Suzanne berbaring di kasurnya, matanya menatap lurus ke langit-langit kamarnya. Ayah dan kakaknya sudah pergi sejak beberapa saat yang lalu. Mereka memberitahu Suzanne bahwa mereka sudah tau siapa pelaku yang mencelakai Suzanne dan mereka akan segera menangkapnya.
Dari cerita Kaisar dan Oliver, Suzanne tau bahwa yang menarik jiwanya kemari kemungkinan besar adalah mana dari sang Kaisar, tapi ia tidak mengerti kenapa dari banyaknya jiwa di alam semesta, dirinyalah yang tertarik masuk ke dalam tubuh ini, dia juga masih belum tau apakah jiwa Suzanne yang asli sudah meninggal atau mereka hanya bertukar tempat saja.
"Tuan putri, Anda tidak tidur?"
Suzanne bangkit, ia duduk, menatap Doreen yang baru saja masuk ke kamarnya.
"Aku tidak bisa tidur,"
"Apa Anda mau berjalan-jalan ke taman seperti biasanya?" tawar Doreen.
Suzanne terdiam sejenak lalu mengangguk pelan.
"Kalau begitu mari saya bantu berganti pakaian,"
Suzanne hanya menuruti perkataan Doreen, tapi siapa sangka butuh hampir satu jam hanya untuk berganti pakaian dan merias rambutnya. Padahal Suzanne hanya akan pergi ke taman, ia jadi tidak bisa membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berdandan sebelum mendatangi acara-acara resmi.
"Doreen, aku hanya ingin berjalan-jalan di taman, bukankah ini berlebihan?" tanya Suzanne.
"Tuan putri, ini tidak berlebihan, ini adalah pakaian yang sangat pantas untuk dipakai oleh Anda ketika Anda keluar kamar," jelas Doreen.
"Ah, terserahmu saja," ucap Suzanne kesal.
Setelah selesai dengan dandanannya, Suzanne berjalan keluar dengan Doreen dan Doughlass sebagai pendampingnya. Langkah Suzanne terhenti ketika melihat ada orang lain di taman yang seharusnya kosong, bagaimanapun juga Doreen bilang taman itu adalah miliknya, jadi seharusnya jika ada seseorang di sana itu atas izinnya, kecuali jika dia adalah penjaga kebun atau keluarga kerajaan.
"Siapa?" tanya Suzanne.
Lelaki itu menoleh, ia langsung menjatuhkan lututnya dan menundukkan kepalanya memberi salam.
"Salam kepada bintang kekaisaran, Yang mulia putri Suzanne,"
Oke itu sedikit belebihan, tapi dia tampan, ya walaupun tidak lebih tampan dari ayahku, batin Suzanne.
"Siapa?" tanya Suzanne lagi.
"Tuan putri, beliau adalah Grand Duke Kenneth Campbell, beliau merupakan panglima pasukan kesatria Windfall," jelas Doughlass.
"Selamat siang, Grand Duke, apa yang sedang Anda lakukan di taman ini?" tanya Doreen.
"Ah, saya tidak sengaja masuk ke sini saat mengejar putra saya tadi, saya pikir dia ada di sini," jawab Grand Duke.
"Ah, apa Tuan muda sudah memulai pelatihannya?" tanya Doughlass.
"Ya, seharusnya begitu, tapi dia malah melarikan diri," jawab Grand Duke dengan nada kesal.
Putra Grand Duke, kalau aku tidak salah ingat namanya Javier, dia adalah tokoh utama yang membawa Suzanne menuju kematian. Aku jadi penasaran setampan apa dia sampai bisa membuat Suzanne tergila-gila padanya, batin Suzanne.
"Mungkin dia bersembunyi di sekitar sini, tapi bagaimana dia tahu tentang taman ini?" tanya Suzanne.
"Saya memang sudah dengar tentang Tuan putri yang kehilangan ingatannya, tapi Saya tidak menyangka Anda melupakan semuanya," ucap Grand Duke.
"Hmmm, aku tidak mengerti maksudmu," balas Suzanne bingung.
"Anda yang memberitahu putra saya tentang taman ini, Yang mulia," jelas Grand Duke.
"Eh, kami saling mengenal?" tanya Suzanne sedikit kaget.
"Apa maksudnya itu, kau tidak mengingatku?"
Suzanne terlonjak, ia menatap anak laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangnya itu.
"Apa-apaan ini, siapa kau?" tanya Suzanne kesal.
Astaga, kenapa dia sangat tampan, jerit Suzanne dalam hati.
"Javier, di mana sopan santunmu!" sentak Grand Duke, "maafkan putra saya, Yang Mulia," Grand Duke membungkuk minta maaf.
"Ah, tidak masalah, aku hanya terkejut tadi," balas Suzanne cepat.
Ah, jadi dia Javier, pantas saja Suzanne tergila-gila padanya, di umur segini saja dia sudah sangat tampan, mungkin saat dewasa nanti dia bisa lebih tampan dari ayahnya, batin Suzanne
"Javier, beri salam yang benar," titah Grand Duke.
"Maafkan kelancangan saya, Yang mulia. Perkenalkan, saya Javier Campbell, senang bertemu dengan Anda lagi," Javier berlutut memberi salam, tangannya meraih tangan Suzanne dan mengecupnya.
"Ah, hallo Javier, maaf aku tidak mengingatmu," ucap Suzanne pelan.
"Tidak masalah, Tuan putri, Anda bisa mengingatnya lagi perlahan," balas Javier sembari tersenyum manis.
"Berapa lama kita berteman?" tanya Suzanne.
"Sudah dua tahun, Tuan putri," jawab Javier.
"Ah, pasti menyenangkan kalau aku bisa mengingatnya," ucap Suzanne sedih.
Aku benar-benar berpikir itu pasti menyenangkan, batin Suzanne.
"Tidak masalah, kita bisa mulai berteman lagi, kan," balas Javier santai.
"Kalau begitu mohon bantuannya kedepannya, Vier," Suzanne mengulurkan tangannya.
Javier tertawa, "panggilan yang sama, cara berteman yang sama, Anda masih tetap sama, Tuan putri," Javier menjabat tangan Suzanne.
"Ah, dulu aku juga memanggilmu begitu?" tanya Suzanne.
Aku tidak tau, karena di novel Suzanne memanggilnya tuan muda, batin Suzanne.
"Benar sekali, Anda memanggil saya Vier, dulu," jawab Javier.
"Javier, ayo kita mulai latihannya, sudah cukup dengan permainan petak umpet ini," sela Grand Duke.
"Ah, Ayah, ayolah, aku baru selesai dengan pelajaran tata kramaku, seharusnya ayah memberikan sedikit istirahat padaku!" protes Javier.
"Javier, tahun depan kau harus mulai masuk academy, jika kemampuan berpedangmu tidak juga berkembang maka kau tidak akan bisa masuk ke kelas kesatria," ucap Grand Duke.
"Ayah, kita bisa menunda waktu aku masuk ke academy kan, tidak harus buru-buru, tahun depan usiaku baru enam belas tahun," balas Javier.
Tidak bisa Javier, ayahmu sakit, itulah yang terjadi, dia takut waktunya tidak akan lama lagi karena belum ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya, batin Suzanne sembari menatap Grand Duke yang terlihat memijat pelipisnya.
Dalam novelnya bahkan dia meninggal sebelum kau lulus dari academy, dan itu membuat kau sangat menyesal karena tidak ada di sampingnya di saat-saat terakhirnya. Meskipun dalam novelnya yang kau tahu adalah bahwa ayahmu terluka dalam perang dan meninggal karena luka itu, tapi sebenarnya bukan hanya luka itu yang membunuhnya, tapi juga penyakitnya, batin Suzanne.
"Javier, ayah tidak mau mendengar alasan apa pun lagi darimu. Ayo kita latihan!" tegas Grand Duke.
"Vier, sebaiknya dengarkan ayahmu," ucap Suzanne mencoba membantu Grand Duke.
Javier terdiam sebentar lalu berucap, "oke, baiklah,"
Grand Duke tersenyum senang, "kalau begitu kami pamit undur diri, Tuan putri. Semoga hari Anda menyenangkan," ucap Grand Duke sebelum pergi bersama Javier menuju tempat latihan.
Omong-omong, di dalam novel di jelaskan bahwa ibu Suzanne meninggal saat Suzanne masih kecil, tapi tidak ada kejelasan kapan tepatnya beliau meninggal, bagaimana jika sekarang ibunya masih hidup, apakah aku bisa merasakan kasih sayang ibu lagi? Suzanne menatap Doreen lamat-lamat haruskah aku tanyakan padanya?
"Doreen, aku hanya penasaran, sedari tadi aku sudah bertemu Ayah, Kakak, dan Lucian, tapi ... di mana ibu?" tanya Suzanne pelan.
Doreen terkejut, begitu juga Doughlass yang langsung menunduk dalam.
"Doreen?"
"Tuan putri, biar Baginda Kaisar yang menjawab pertanyaan Anda, mari saya antar ke ruang kerja Kaisar," sela Doreen cepat.
Suzanne hanya diam, ia mengikuti Doreen ke ruang kerja ayahnya. Sepanjang jalan mereka bertiga hanya diam tanpa ada yang berniat memulai percakapan sampai akhirnya mereka sampai di ruang kerja Kaisar yang di jaga oleh dua orang pengawal.
"Salam kepada bintang kekaisaran, Yang mulia Putri Suzanne," kedua pengawal itu memberi salam.
"Apa Ayah di dalam?" tanya Suzanne.
"Beliau di dalam, Tuan putri," jawab salah satu pengawal.
"Aku mau bertemu ayah, buka pintunya," titah Suzanne.
Keduanya mengangguk lalu membukakan pintu untuk Suzanne, mempersilahkan Suzanne masuk sementara Doreen dan Doughlass menunggu di luar.
"Anne, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kaisar Taylor yang kebingungan melihat putrinya datang ke ruang kerjanya.
"Papa, aku hanya penasaran tentang ibuku, jadi aku bertanya pada Doreen, tapi Doreen menyuruhku bertanya langsung pada Papa, memangnya ada apa?" Suzanne berterusterang tentang tujuannya.
Kaisar Taylor terdiam, ia meletakkan penanya, bangkit dari kursinya dan langsung memeluk Suzanne erat.
"Maaf ayah harus mengatakan ini, tapi Ratu sudah meninggal satu tahun yang lalu sayang," bisik Kaisar Taylor pelan.
Kaki Suzanne melemas, "begitukah?"
Kenapa? Dia bukan ibuku, tapi kenapa rasanya sesakit ini. Apa karena aku berharap dia masih hidup? Seharusnya tidak sesakit ini, tapi ini rasanya sangat sesak, batin Suzanne.
"Maaf sayang," lirih Kaisar Taylor merasa bersalah.
"Kenapa?"
"Maaf,"
"Bukan itu, maksudku, apa penyebab kematian ibu?"
"Dia dibunuh, maaf sayang, maaf karena ayahmu ini gagal melindungi ibumu," Kaisar Taylor menunduk penuh rasa bersalah.
Suzanne menangkup wajah ayahnya, "bukan salah Ayah, ini hanya takdir yang kejam,"
Kenapa? Seharusnya aku biasa saja melihat ini karena kamu bukan ayahku, tapi kenapa rasanya sangat sakit melihat wajahmu yang terlihat menderita ini? Suzanne, sebenarnya apa yang terjadi padaku? batin Suzanne frustrasi.
"Anne, mau melihat foto ibu?" tawar Kaisar Taylor.
"Mau," jawab Suzanne semangat.
Kaisar Taylor berdiri, ia membuka tirai yang menutupi tembok di samping meja kerjanya. Tirainya terbuka dan menunjukkan lukisan seorang wanita yang sangat mirip dengan Suzanne.
"Itu ibu?" tanya Suzanne.
"Iya," jawab Kaisar Taylor.
"Cantik, bahkan sangat cantik," ucap Suzanne.
Dia sangat cantik sampai membuat aku merinding, tapi perasaan aneh apa ini? Hatiku rasanya tercubit dengan kenyataan bahwa aku tidak akan pernah melihatnya secara nyata, batin Suzanne.
"Ibumu memang cantik, secantik kamu," balas Kaisar Taylor.
"Papa, aku akan kembali ke kamar, aku rasa aku mulai lelah. Aku pamit dulu," ucap Suzanne sebelum pergi meninggalkan Kaisar Taylor tanpa menunggu balasan darinya.
Kaisar Taylor menatap pintu ruang kerjanya yang baru saja tertutup.
"Ruby ... putri kita tumbuh begitu cepat,"
Suzanne membuka matanya perlahan, ia terkejut ketika melihat Lucian tidur tepat di sebelahnya.
"Astaga, Lucian, kapan dia masuk ke sini?" Suzanne berucap dengan suara lirih, ia tak mau membangunkan adiknya yang tampak sangat lelap.
Suzanne bangkit, ia membuka pintu kamarnya sedikit dan meminta Doreen dan beberapa maid yang sudah berada di depan pintu kamarnya untuk masuk dan membantunya bersiap.
"Jangan berisik, lakukan semuanya dengan tenang, Lucian masih tidur," titah Suzanne.
Doreen dan para maid mengangguk, mereka mulai membantu Suzanne bersiap tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun.
"Hari ini Anda akan melakukan apa, Tuan putri?" tanya Doreen.
"Bukankah seharusnya aku ada kelas?" Suzanne bertanya balik.
"Ah, saya sudah membicarakannya dengan Baginda Kaisar, awalnya kami berpikir untuk mengulang kelas etiket Anda, tapi sepertinya etiket Anda masih bagus, mungkin kehilangan ingatan tidak membuat Anda melupakan pelajaran. Jadi kami memutuskan untuk memulai kelas pengetahuan umum untuk Anda, tapi kami belum mendapatkan guru yang cocok untuk Anda, jadi kami masih mempertimbangkannya," jelas Doreen.
"Ah, jadi jadwalku akan kosong kan ya?" tanya Suzanne.
"Benar, Yang mulia," jawab Doreen.
"Kalau begitu aku mau berlatih pedang," ucap Suzanne semangat.
"Baiklah, berlatih ... apa?!" Doreen berseru kaget.
Suzanne mendelik garang, "jangan berisik!"
"Tuan putri, Anda tidak boleh berlatih pedang, Anda bisa terluka," ucap salah satu maid, khawatir.
"Tidak masalah, aku tetap mau berlatih pedang," balas Suzanne kekeh.
"Kenapa harus pedang? Kamu punya kakak, ayah dan juga pengawal yang hebat, jadi kamu tidak perlu berlatih pedang,"
Suzanne menoleh, ia menatap kakaknya yang sedang berdiri bersandar di pintu kamarnya.
"Sejak kapan kakak ada di sana?" tanya Suzanne.
"Sejak kamu bilang kamu mau berlatih pedang," jawab Oliver.
"Sebelum mengomentari keinginanku, sebaiknya kakak belajar mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke kamarku," sarkas Suzanne.
Oliver tertawa, "oke, oke, maaf karena asal masuk, tapi kenapa kamu ingin belajar berpedang?
"Aku hanya ingin bisa berpedang, aku ingin menjadi sword master," jawab Suzanne santai.
"Wow, kenapa tiba-tiba mau jadi sword master?" tanya Oliver.
"Kak, aku mau jadi Sword master, itu cukup menjadi alasanku untuk mempelajari pedang," jawab Suzanne jengkel.
"Baiklah, lakukan saja."
Suzanne menatap ayahnya yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Benarkah? Boleh?" tanya Suzanne semangat.
"Ayah!" Oliver berseru protes.
"Oliver, kamu juga memutuskan untuk menjadi sword master, ayah bahkan tidak akan melarang ketika Lucian memutuskan untuk belajar sihir, jadi jangan membatasi keinginan Suzanne," ucap Kaisar Taylor bijak.
Suzanne tersenyum senang, "kalau begitu aku mau Grand Duke,"
"Hah?!" seisi ruangan berseru kaget.
"Yag mulia, apa maksud Anda, Grand Duke sudah terlalu tua untuk Anda!" seru Doreen heboh.
"Dayangmu benar, Grand Duke sudah terlalu tua untukmu, apa tidak ada pria lain yang kau inginkan? Ah, tidak, sebaiknya kamu tidak usah menikah," Oliver mengoceh sendiri.
"Kalian ini bicara apa? Aku mau Grand Duke sebagai guru berpedangku, bukan sebagai kekasih atau sebagainya," ucap Suzanne kesal.
Oliver dan Kaisar Taylor menghela nafas lega, "astaga, kamu membuat kami terkejut," ucap keduanya kompak.
"Jadi gimana? Bisa kan?" tanya Suzanne.
"Tentu saja, apa pun untuk putriku," jawab Kaisar Taylor.
Suzanne berlari memeluk Kaisar Taylor, "terima kasih, Papa,"
Kaisar Taylor membalas pelukan putrinya, "sama-sama, Sayang,"
Oliver berdehem, "kamu tidak mau memeluk kakak?"
Suzanne melepas pelukan Kaisar Taylor lalu beralih memeluk Oliver. Oliver membalas pelukan Suzanne dengan senang, sementara Kaisar Taylor melirik putranya itu dengan tatapan mematikan.
"Ah, kakak, kenapa tidak membangunkanku?"
Suzanne melepas pelukan oliver, ia langsung mendekati Lucian yang baru saja bangun.
"Apa suara kakak membangunkanmu?" tanya Suzanne.
"Tidak," jawab Lucian pelan.
"Lucian, apa yang kau lakukan di kamar Anne?" tanya Oliver.
Lucian mengucek matanya, "semalam aku mimpi buruk, jadi aku ke kamar kakak dan tidur di sebelahnya. Tadinya aku mau membangunkan kakak, tapi kakak terlihat lelah, jadi aku langsung tidur saja," jelas Lucian.
"Sudahlah, kalian berdua kembali bekerja sana, Papa juga jangan lupa beri tahu Grand Duke soal latihanku, lalu Doreen, panggil pelayan pangeran Lucian agar mereka bisa membantunya mandi," titah Suzanne.
"Baiklah, kami kembali dulu, nanti kita bertemu lagi saat makan malam," Oliver mengecup dahi Suzanne sebelum meninggalkan kamar Suzanne.
"Papa akan segera mengabari Kenneth setelah ini, sampai jumpa saat makan malam,"
*
Sebulan sudah berlalu sejak Suzanne mulai berlatih pedang, kesehariannya mulai kembali normal, ia juga sudah memulai kela pelajaran umumnya, jadi akhir-akhir ini Suzanne memang cukup sibuk.
Pagi tadi, saat sarapan, Suzanne tidak sengaja menumpahkan tehnya ke gaunnya, lalu saat ia akan mengganti gaun, ternyata gaunnya sudah banyak yang kekecilan, dan itu membuat Doreen dan para maid ribut menyuruhnya membeli gaun baru. Awalnya, Doreen mau memanggil designer langsung ke istana, tapi Suzanne menolak karena ia sendiri sedang ingin berjalan-jalan ke ibu kota.
Meski Suzanne memang ingin jalan-jalan ke ibu kota, tapi ia mau menjadikan butik sebagai tujuan terakhirnya, dan tentu saja Doreen menolak, ia mengajak Suzanne ke salah satu butik paling terkenal di ibu kota. Butik yang menjadi tujuan setiap bangsawan, Doreen memberi tahu bahwa butik itu milik Countess Sylvia Harper, nona bangsawan pertama yang mewarisi gelar dari ayahnya dan menjadi Countess tanpa harus menikah.
Walaupun malas, tapi mau tak mau Suzanne tetap masuk ke dalam butik itu, di dalam ia di sambut langsung oleh sang pemilik butik, yaitu Countess Sylvia Harper.
"Selamat datang di butik kami, Tuan putri," sambut Countess Sylvia.
"Aku tidak ingat aku mengabari Countess bahwa aku akan ke sini," Suzanne melirik Doreen tajam.
"Saya tidak tahu apa maksud Anda, Tuan putri," balas Doreen mengelak.
"Ah sudahlah, carikan saja gaun yang cocok untukku," titah Suzanne.
Untungnya aku punya banyak pengalaman sebagai nona bangsawan di kehidupanku sebelumnya, jadi setidaknya aku terbiasa dengan semua kemewahan yang gila ini, batin Suzanne lega.
Setelah cukup lama memilih dan mencoba banyak Gaun, Suzanne akhirnya keluar dari butik dan mulai berjalan-jalan di pasar mencoba berbagai kuliner jalanan.
"Doreen, kamu dulu juga nona bangsawan kan?" tanya Suzanne.
"Saya putri Baron, Tuan putri," jawab Doreen.
"Berarti kamu juga tidak pernah merasakan kesenangan ini kan? Berlarian di jalanan, makan tanpa harus memikirkan berat badan, memakai pakaian yang kita mau. Semuanya terlihat lebih menyenangkan daripada kehidupan bangsawan yang aku lihat di istana," ucap Suzanne.
Doreen hanya tersenyum kecil, beberapa hari belakangan ini memang banyak bangsawan yang mendatangi istana putri hanya untuk basa-basi dan sekedar memberikan selamat agar terlihat baik di depan keluarga kekaisaran. Meski Suzanne memang tidak pernah mau keluar dan menemui para bangsawan itu, tapi mereka cukup membuat tuan putrinya itu terganggu.
Suzanne menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja seorang anak jatuh teat di depannya.
"Astaga, kau baik-baik saja?" tanya Suzanne cemas.
Suzanne menyerahkan makanan yang ia pegang pada Doreen, ia lalu membantu anak perempuan itu berdiri.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja," ucap anak perempuan itu ketakutan.
"Memangnya siap yang salah? Kenapa minta maaf, kamu kan hanya jatuh di depanku," balas Suzanne santai, tangannya sibuk menepuk-nepuk baju anak itu untuk membersihkan debu yang menempel.
"Jangan begitu Nona, tangan Anda bisa kotor," anak perempuan itu memegang tangan Suzanne, mencegah agar Suzanne tak lagi menepuk-nepuk bajunya.
"Astaga, kotor bisa di cuci, biar aku lihat lututmu sini," ucap Suzanne sembari menyingkapkan baju anak itu.
Suzanne tertegun melihat lutut anak perempuan itu yang terluka cukup parah.
"Doreen, bawa anak ini ke klinik terdekat," titah Suzanne.
"tapi ..."
"Doreen, kalau dibiarkan seperti ini, dia bisa infeksi," sambar Suzanne cepat.
"Baiklah, Yang mulia," balas Doreen menurut juga.
"Aku akan menunggu di sini bersama Doughlass," ucap Suzanne.
"Nona, saya tidak memerlukan perawatan apa pun, lagi pula saya harus segera pulang, adik saya menunggu," kata gadis itu menolak.
"Siapa namamu?" tanya Suzanne.
"Selena," jawab Selena.
"Selena, di mana orang tuamu?" tanya Suzanne lagi.
"Ibu saya meninggal saat melahirkan adik saya, ayah saya meninggal di medan perang beberapa tahun yang lalu," jawab Selena pelan.
Suzanne tertegun sejenak, ia menatap Selena dengan seksama, dari penampilannya, usia Selena mungkin antara sepuluh, sebelas atau dua belas tahun, terlalu muda untuk mengurus semua kebutuhannya dan adiknya sendirian.
"Selena, kamu punya berapa adik?" tanya Suzanne.
"Dua, Nona," jawab Selena.
"Kalian tinggal di mana?" Suzanne kembali bertanya.
"Kami tinggal di rumah yang di sediakan bagi keluarga prajurit yang gugur di medan perang," jawab Selena.
"Doreen, mendekatlah," titah Suzanne.
Doreen mendekat, Suzanne kemudian berbisik, "menurutmu, bisa tidak jika dia menjadi dayang di istana?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!