Semua remaja tanggung pasti pernah melakukan hal konyol. Aku jarang sekali berpikir panjang, jadi mana bisa aku menghindari hal semacam itu? Meskipun aku seusia dengan kebanyakan di antara kalian, aku punya satu nasihat yang harus kalian ingat baik-baik.
Jangan pernah ikut ke pesta ulang tahun pacar sahabatmu.
Kalian mungkin akan menyanggupinya dengan alasan kesopanan. Tapi percayalah, senyum ramah adalah cara terbaik untuk menolak. Kalian tidak pernah tahu ada apa yang menanti di ujung lorong yang gelap. Itu adalah awal dari bencana. Larilah menjauh selagi bisa.
Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Masalahnya, Erika sahabat baikmu dan dia butuh teman perempuan ke apartemen pacarnya yang kelewat kaya. Aku yakin tiap kali berbelanja pacarnya itu tak perlu mengecek label harga. Semua bajunya bermerek dan bolak-balik ke luar negri layaknya pergi ke warung depan rumahmu. Tapi bukan berapa besar kekayaan pacarnya yang ingin kubicarakan. Ini soal aku yang terjebak di pesta ulang tahunnya.
Awalnya aku memang tidak berniat sedikitpun menghadiri pesta pacarnya. Tapi atas nama sahabat, aku rela pergi dan berdandan sekenanya agar penampilanku nggak terlalu kebanting dengan Erika. Acaranya jauh di luar dugaanku. Nando, pacarnya Erika menggelar pesta yang bisa dibilang hedon meski ia hanya mengundang 20 orang. Pestanya dipenuhi orang-orang modis, tentu. Namun mereka terlalu keras dan berisik. Detik itu aku sadar aku seharusnya tidak menginjakkan kaki ke apartemennya.
Musik dan kilau lampu membuatku muak. Sementara aku makin tersiksa karena Erika meninggalkanku sendiri di sudut ruangan. Nando menggandeng lengan Erika sepanjang malam, dan kulihat Erika dengan mudah bergaul dengan semua teman lelaki Nando. Huh, Erika lupa siapa yang pertama kali minta ingin ditemani.
Acara potong kue berlalu. Jangan berasumsi aku iri melihat kedekatan mereka saling menyuap kue. Aku ingin segera kabur dari sini kalau bisa. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu, selain memindai sekeliling ruangan. Kumpulan yang hedon, rupawan, dan kaya. Semuanya suka berpesta dan tertawa nyaring. Aku tidak akan pernah menjadi seperti mereka yang selalu mengutamakan penampilan dan barang merek ternama. Diam-diam aku membandingkan penampilanku dengan mereka. Tuksedo, berdasi hingga dress mengkilap. Sedangkan aku? Aku tidak dilahirkan dengan selera fashion yang bagus. Aku datang dengan jaket jeans oversized dan rambut yang berantakan. Berbanding terbalik dengan Erika. Ia, berpenampilan manis dan feminim memakai dress yang senada dengan pacarnya. Entah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menata rambutnya malam ini. Ah, tapi ini kan acara mereka. Aku semata-mata hanya tambahan personil yang tidak mereka harapkan.
Aku mendekat ke meja minuman soda. Aku telah mengambilnya beberapa kali, tapi aku tak peduli. Aku benci tempat seperti ini. Aku tak bisa berbaur, ataupun berpura-pura meniru gaya bicara mereka dan ikut berbincang tentang kafe kekinian terbaru yang instagramable. Sampai kapanpun aku bukan salah satu dari mereka.
Aku menatap tajam ke arah Erika. Nando di sampingnya menyulut sebatang rokok, dan aku dibuat heran mengapa Erika bisa tahan. Kalau aku punya keberanian, aku akan menentang Nando untuk tidak menyalakan rokok di dalam ruangan. Namun, aku cuma tamu yang sebenarnya tidak diharapkan. Samar-samar aku bisa mendengar bisikan Nando pada Erika saat kedatangan kami tadi petang.
"Kok kamu ngajak Andrea?"
"Dia kan temen aku. Lagian nanti aku sama siapa kalau kamu sibuk sama temen kamu?"
"Kenapa kamu nggak bilang dulu? Aku kan mau ngerayain ini sama kamu."
Dan seterusnya. Telingaku panas, kuputuskan untuk pura-pura meneliti dekorasi ruangan. Di sini aku sadar posisiku. Aku cuma dibutuhkan saat dia pulang nanti, karena ayahnya akan marah besar kalau ia kepergok pulang dengan cowok tak dikenal.
"Sendirian?"
Aku menemukan cowok tinggi dengan baju setelan serba hitam di sebelahku. Aku menoleh ke sekeliling, tak ada siapapun. Tampaknya pertanyaan itu memang ditujukan buatku.
"Hmm? Lo ngomong sama gue?"
"Memangnya siapa lagi cewek cantik di sekitar sini?"
Gila. Aku tak bisa menerima pujian dari orang asing tanpa menaruh curiga.
"Ada apa?"
"Gue belum pernah liat lo sebelumnya."
"Ya, gue balikkan lagi kata-kata lo. Gue juga belum pernah liat lo sebelumnya," aku harap ini bisa menjadi senjata untuk mengusirnya supaya tidak mengobrol denganku.
"Kebetulan. Berarti kita harus kenalan, dong? Gue Adrian. Lo juga temennya Nando?"
"Gue temen pacarnya Nando," ujarku singkat dan padat.
Ekspresinya berubah jenaka. "Gokil. Lo temennya pacar si Nando? Tapi lo bisa diundang ke party-nya?"
Aku ikut terbawa ke dalam nada bicaranya yang antusias. Ini pertanyaan lucu bagiku. "Aslinya nggak diundang, tapi gue dipaksa ikut. Gue yakin Nando sama sekali nggak mengharapkan gue di sini."
"Tapi Erika pacarnya. Dan Erika sahabat lo. Jadi, lo punya hak istimewa di sini."
Aku yang awalnya ingin memasang ekspresi sedingin mungkin tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Cowok di sebelahku ini bingung. Tapi toh, dia ikut tertawa juga denganku. "Kita lagi ngetawain apa?"
"Asal lo tau, Nando keberatan. Pas gue dateng tadi, mereka sempat debat kenapa gue tiba-tiba ikut," ucapku bernada hambar. Aslinya, sakit sekali mengaku seperti itu. Setidaknya dengan berbagi dengan entah-siapa-tadi-namanya rasa kesalku ikut berkurang.
"Nando nggak tau aja, kedatangan lo itu anugerah."
"Sama sekali bukan. Jujur, gue nggak suka aca--"
"Buat gue. Lo ikut, gue jadi bisa kenalan sama lo." ujarnya cepat memotong pembicaraanku.
Adrian meraih gelas sodanya dan matanya tak lepas menatapku dari balik bibir gelasnya. Aku tidak tau, udara terasa sedikit panas di sekitarku. Ketika aku mendongakkan kepala, aku melihat Erika sedang memindai ke arahku dan Adrian. Dengan sedikit kesal aku memutuskan kontak mata lebih dulu. Aku ingin menunjukkan padanya aku kesal ditinggal sendirian. Aku juga membiarkan ia penasaran pada cowok yang tiba-tiba memulai obrolan denganku. Maka, aku kembali memberikan senyumku dan mengganti topik.
"Jadi, lo temennya Nando juga?"
"Sejak SD. Lama, ya? Dia kayaknya nggak bisa hidup tanpa gue."
"Sama kayak Erika nggak bisa dateng ke party ini tanpa ngajak gue."
"Biar gue tebak. Lo nggak suka acara kayak gini?"
Aku menjawab sarkas, "Apa muka gue keliatan happy ada di ruangan ini?"
Adrian buru-buru meletakkan gelasnya ke meja. Tanpa permisi, ia menyambar pergelangan tanganku. Aku tidak banyak merespon begitu ia menerobos kerumunan menuju pintu. Aku tidak bisa melirik sekilas ke Erika yang entah sedang apa, tapi semoga ia melihatku ditarik seorang cowok asing keluar ruangan. Aku muak berpesta.
Adrian tanpa bicara sepatah pun terus menarikku masuk ke lift. Ia menekan lantai paling atap. Bagus. Aku tidak mengerti situasi dan diam saja dibawa pergi oleh seseorang yang bahkan belum kukenal selama satu jam. Mungkin dari tatapanku, Adrian menemukan rasa takut. Tapi ia hanya tersenyum meyakinkan.
Dan, sebenarnya aku butuh seorang heroik sepertinya yang membawaku menyelinap keluar pesta.
Pintu lift terbuka. Adrian membiarkanku keluar lebih dulu. Aku suka gestur tangannya yang menyila dan senyumnya ramah seperti pelayan yang melayani keluarga bangsawan. Anehnya aku menurut. Angin malam berembus menerbangkan helai rambutku yang bergelombang. Rooftop apartemen malam ini sepi, lampunya tidak benderang seperti gedung di sekelilingnya. Yang bisa kulihat adalah samar tanaman rambat dan barisan kursi malas di sudut. Melihat ke bawah, ribuan kunang-kunang menyambut atau biasa disebut lampu neon gedung pencakar langit bagi orang kota.
Pemandangan biasa yang selalu ditampilkan Jakarta malam harinya. Tapi aku tidak punya alasan untuk tidak terpesona. Memang benar, aku butuh keluar dari pesta sialan itu. Aku butuh udara segar dari orang-orang hedon yang jelas bukan tempatku.
Yang jadi soal, aku di sini dengan seorang cowok. Dan kalau fakta itu belum cukup membuatmu terkejut, cowok itu bahkan tidak mengenalku. Begitu juga sebaliknya. Perasaanku gembira juga was-was tentang hal apa yang mungkin ia tanyakan padaku. Aku harap bukan jenis pertanyaan yang membuatku menilainya cowok yang kurang ajar.
Tapi kalau aku melihat ke belakang, dengan fakta dia mengajakku keluar dari kamar apartemen Nando dan berlaku sopan saat di lift, aku menaruh percaya padanya kalau ia cowok baik-baik.
"Jadi, gue belum tahu siapa nama lo," ucapnya membuka obrolan. Sudah kuduga dia akan menanyakan namaku lebih dulu.
"Andrea. By the way, gue harus tanya kenapa kita harus ke sini," aku melipatkan kedua tangan di dada. Terkadang, kita hanya harus tegas sebagai upaya melindungi diri. Meski cowok ini tampak tidak membahayakan, aku harus mampu menjaga diri untuk tidak terlalu dekat dengannya.
"Pertama, gue suka nama lo, Drea. What a cool name, truly. Kedua, bukannya lo sendiri yang bilang lo nggak suka party kayak gitu?"
Sejenak aku tenggelam karena pujiannya. Tapi aku tidak mudah ditaklukkan pria cuma dengan omongan gombal. Setidaknya aku harus berhati-hati dengan cowok yang tidak sengaja kutemui ini.
"Kenapa lo harus ngajak gue keluar?"
"Karena gue nggak mau orang lain punya kesempatan ngobrol sama lo, Drea. Kalau di sini, nggak bakal ada yang nyoba nyari topik obrolan sama lo selain gue."
Oke, itu sedikit menjelaskan. Aku merasa baikan dibanding saat di ruangan tadi, sudah kubilang aku butuh udara segar. Tapi mengapa setibanya di sini aku jadi tercekat? Jangan bilang aku terhipnotis dengan kata-katanya.
"Lo yakin selalu punya topik untuk ngobrol sama gue?" Aku bertanya dengan nada menantang. Tidak ada salahnya menaikkan harga diri.
Adrian menaikkan sebelah alisnya, "Ada yang pernah bilang ke lo kalau lo itu sinis pas ngomong?"
Mendadak aku tertawa. Sepertinya aku tak perlu lagi terlalu curiga padanya. Sudah pasti dia tidak akan bertingkah macam-macam. Dan selera humornya--
"Ada yang lucu?"
"Lo sadar kalo lo itu lucu, Adrian? Cara lo ngomong yang lucu," kataku di sela-sela tawa. Jujur, rasanya aneh menyebut namanya seolah aku ini sudah sangat akrab.
"Berarti gue harus ngomong terus, nggak boleh berhenti?"
Aku bingung menangkap maksudnya, "Biar apa?"
"Biar gue bisa jadi alasan lo senyum begini," balasnya enteng tanpa beban. Seandainya dia tahu apa akibatnya kalimat itu pada pipiku. Beruntung rooftop ini minim penerangan. Aku harap dia tidak menangkap gelagat salah tingkahku di saat aku tengah memerhatikan lampu kota.
Kita benar-benar harus membahas nasihatku yang selanjutnya. Nasihat kedua, jangan mudah terpikat pada perangkap dari orang yang baru saja kau temui. Kuatkan hatimu. Anggap saja semua yang dia katakan hanya kebohongan.
Aku mengalihkan kecanggungan di antara kami. Perhatianku kualihkan ke objek lain. Di atas, langit memayungi kami dan menghiasi malamnya dengan bintang. Mungkin sebab polusi-lah yang membuat bintang 'minor' enggan muncul ke hadapan penduduk bumi. Tapi yang kulihat sudah cukup membuatku terkesima, walau jumlahnya pun bisa dihitung jari.
"Andrea lo bisa berhenti? Lo gemesin kalau lagi serius." ucapnya pelan, namun mampu membuyarkan konsentrasi. Lagi-lagi aku merasa tercekat. Namun, aku sengaja tidak menanggapinya, karena jika iya aku mungkin saja kalah.
Kalah karena sudah jatuh pada rasa senang atas caranya berbicara, misalnya.
"Lo harus lihat mereka," kali ini aku memberanikan diri menoleh padanya. Mamaku pernah bilang itu cara yang bagus untuk menarik perhatian lawan bicaramu agar dia melakukan yang kau mau. Kontak mata adalah kunci.
"Mereka sedikit, tapi tetap kalah pamor sama lampu-lampu jalan, ya kan?"
"Lo suka mandangin bintang?" ucap Adrian dipenuhi tanda tanya. Aku sadar saat itu dia merapatkan tubuh ke arahku.
Aku bukan jenis orang yang suka membaca bahasa tubuh. Tapi kenapa aku menangkap sinyal kalau dia tertarik mengobrol denganku?
Aku melayangkan tatapan aneh. Apa dia lupa semua anak kecil suka melihat bintang, bahkan kebiasaan itu terbawa sampai dewasa? Justru aku yang merasa aneh kalau menemukan seseorang tidak suka mengagumi benda langit.
"Emangnya lo nggak suka? Holy ****, are you for real?"
Adrian seperti siap beradu argumen denganku. "Oke, oke, jangan sembarang judge gue kayak gitu. Gue liat, bintangnya nggak banyak. Asal lo tau, Drea. Justru pemandangan di bawah lo jauh lebih terang."
"Lo lebih kagum sama buatan manusia?" aku menyerangnya balik.
"Maafin gue Andrea. Lo cantik, tapi omongan lo bikin gue takut."
"Kalau gitu lo harus hilang dari pandangan gue," aku menatapnya dengan senyum kemenangan. Tapi tentu saja, aku tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu. Aku senang dengan keberadaan Adrian, setidaknya malam itu. Kalau aku punya keberanian, aku bisa saja berkata: terima kasih sudah membawaku keluar pesta, tapi tolong jangan sering berkata manis.
"Gue tau cara yang lebih bagus untuk stargazing," ucapnya tiba-tiba membawakan ide cemerlang. "Lo nggak perlu bikin pegel badan lo sendiri."
Adrian melepaskan tuksedonya. Aku tidak tau apakah ia sanggup bertahan di cuaca malam hanya dengan selapis kaos polosnya itu. Kalung rantai yang dipakainya serasi dengan tuksedo hitamnya. Buatku itu memberi kesan cool plus badass. Namun kini aku tidak bisa melihat setelan lengkapnya karena ia menanggalkan tuksedonya, lalu menghamparkan ke tanah.
"Buat apa?"
Adrian duduk di lantai rooftop dan menangkap tanganku. Aku terheran, namun tetap mengikuti ajakannya. Dengan tangan yang masih mengait satu sama lain, ia membawaku ikut berbaring beralaskan tuksedonya. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, dan rasanya mendebarkan berada sedekat ini dengannya. Tidak ada jalan keluar, aku terjebak bersamanya menatap langit keunguan, hanya bertemankan bintang dan dinginnya malam.
Masih dengan sisa keterkejutanku, rupanya ia tidak juga melepaskan genggaman kami. Malah, ia turut membawa jemariku untuk menunjuk bintang yang menurutnya paling terang. Sungguh, aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Adakah cara yang sopan untuk memintanya memberi jarak padaku?
Supaya dia tidak melihat pipiku yang makin merah dan memanas.
Adrian tidak bisa bertingkah seenaknya. Ia merasa wajar-wajar saja dengan semua sikap ini, padahal ini sukses membuat napasku tercekat. Begitu dekat, aku bisa mendengar embusan napasnya yang tenang. Ya ampun, aku aku bisa menahan diriku agar tidak diperdaya dengan pesonanya?
Sebelumnya aku mulai, aku yakin aku hanya menghabiskan paling lama satu jam di rooftop ini.
Topik yang dibicarakan Adrian denganku bukan topik yang berat, kebanyakan cuma kata-kata manis dan aku seolah menolak terbuai padanya. Tidak ada satupun bahasan tentang keluarga, atau teman, atau sesuatu yang paling kita benci dalam hidup. Cuma sekadar percakapan basa-basi. Tanpa bobot. Kadang aku hanya menanggapinya dengan tawa canggung. Bukan salahku kalau menilainya terlalu agresif karena tiap bicara dia menyelipkan pujian.
Bagiku itu tidak perlu. Karena sikapnya itu membingungkan. Adrian sepenuhnya bersalah karena dialah penyebab pipiku memanas. Aku curiga dia punya kesenangan tersendiri jika berhasil membuat cewek terdiam menanggapi kata-katanya yang beracun itu.
Seandainya aku bisa mengetahui motif alasannya mengajakku ke rooftop malam itu, aku pasti akan menolak berbaring dengan dialasi tuksedonya. Jarak kami terlalu dekat. Malam itu angin berembus cukup kencang untuk membuatku kedinginan, tetapi keberadaan Adrian di sampingku mampu menawarkan rasa hangat.
Bodohnya aku karena sama sekali tidak membaca situasi. Adrian menjebakku di tempat yang tidak bisa ditemukan orang lain, dan jawaban apa yang lebih pantas selain dia mau mencari tahu lebih banyak tentangku?
Dengan kata lain, dia melihatku sebagai mangsa yang menarik.
Adrian terlalu pintar mengarang kata-kata. Padahal, kalau dilihat dari auranya dia hanya salah satu dari sekian cowok badung yang biasa aku lihat di kantin sekolah. Salahku aku menilainya terlalu tinggi. Salahku menilainya sebagai pangeran yang membawaku keluar dari musibah.
Sepertinya aku harus cerita lebih banyak kejadian di malam itu.
Adrian belum juga melepaskan tanganku. Jemari kami saling bertaut dalam waktu yang lama. Hangat dan tenang, tidak seperti ruangan apartemen Nando yang terlalu menyilaukan dan pengap.
Aku tidak bisa berbasa-basi dengan borjuis seperti mereka. Di sini, aku ditemani seorang penyelamat menghitung bintang yang dikoleksi langit Jakarta. Dalam hati aku bertanya kepada salah satu dari mereka di atas sana, apakah aku menghabiskan waktu bersama orang yang tepat? Adrian tau persis cara mendekatiku selangkah demi selangkah dan membuatku terbiasa mendengarnya bicara. Masalahnya datang dari bisikan hatiku yang masih terus curiga pada gerak-geriknya, padahal aku berhasil dibuat berdebar.
"Lo suka?" Adrian memecah keheningan. Ketika dia mulai obrolan, aku harus siap dengan kata-kata yang mungkin tidak pernah aku sangka.
"Kita ngomongin apa?"
"Bintangnya, langitnya, suasananya, apa aja. Di mata lo bagus nggak?" Adrian menolehkan kepalanya ke arahku. Aku, yang sadar dihujani tatapan matanya tak berani membalas. Butuh beberapa saat sebelum aku berhasil menormalkan ritme napasku. Sialan. Aku takut, sekaligus dibuat salah tingkah.
Adrian masih sabar menatapku, dia nampak benar-benar menantikan jawaban. "Gue kan udah bilang gue suka. Nggak perlu ditanya malah. Gue suka di sini."
"Berarti nggak sia-sia dong gue ngajak lo ke sini?"
Aku tertawa. Rupanya dia mulai sombong dengan prestasinya membawaku ke atas sini. "Seratus persen seneng," jawabku seadanya. "Lo sering ke sini, ya?"
"Gue temennya Nando, kalo lo lupa."
"Hm, itu bukan jawaban."
"Tapi itu menjawab pertanyaan lo tadi," Adrian terkekeh. Astaga, aku mendengar suaranya dari jarak seberapa senti ini. Aku tidak bisa bohong aku senang dengan tawanya.
"Emang, lo biasanya ngapain tiap ke rooftop?"
"Tau sendiri lah. Kadang kabur ke sini cuma buat nungguin Nando balik ke apartemennya terus gue nginep di tempatnya sampe jam dua."
Entah kenapa aku puas dengan jawaban itu. Rasanya lega karena aku tidak mendengar jawaban ia datang ke sini membawa teman perempuannya. Bayangan seorang Adrian pergi ke tempat seperti ini dengan seorang cewek aku tepis jauh-jauh. Sedikit rasa senang menggenapi hatiku. Di balik semua rasa curiga itu, tumbuh juga rasa gembira karena kedekatan ini.
Seperti sedang berpesta dengan seseorang yang kau kenal, padahal sebenarnya orang itu baru saja mengajakku berkenalan.
Diam-diam kepalaku membentuk pertanyaan yang kuharap bisa kucari jawabannya mendatang. Apa aku cewek pertama yang diajak Adrian ke atas sini?
Adrian berhasil menjelma jadi orang yang aku percaya. Walaupun kata-katanya tidak baik untuk kondisi debaran jantungku. Tetapi, aku nggak harus merasa punya koneksi instan dengan orang yang baru dikenal, kan? Bisa saja aku hanya merasa kelewat senang karena pesta yang sesungguhnya malam ini adalah memandang langit bersama Adrian.
"Andrea."
"Ya?"
"Kasih tau gue yang mana bintang paling terang."
"Gue yakin yang di sebelah sana."
Adrian meneliti bintang yang aku maksud.
"Yakin?"
"Emangnya lo punya pendapat lain?"
"Lo nerima pendapat gue kalo lo itu bintang yang paling terang yang gue liat, Drea?"
Kali ini aku bisa mengendalikan diri. Suatu kalimat yang memang sukses membuatku tersipu, tetapi aku berhasil merespon dengan lebih baik, "Dari seruangan tadi?"
Adrian menggeleng pelan. Pandangannya lurus tepat ke mataku, "Dari dunia yang gue tempati."
Mendengarnya, aku tersenyum. Dan yang lebih mengejutkan, aku juga balas menatapnya. Ternyata aku lebih berani dari yang pernah kuduga. Adrian mengeratkan tautan jemarinya, mencari celah agar lebih erat dan pas pada jemari tanganku. Aku membalas. Genggaman kami lebih hangat dari yang sudah-sudah, dan aku sama sekali tidak keberatan. Mungkin sudah tidak ada lagi yang namanya tembok yang kubuat karena kecurigaan. Aku bisa jatuh dalam waktu yang sesingkat ini. Sesuatu yang menurutku mustahil terjadi.
Dalam tujuh belas tahun terakhir, aku merasa bodoh. Dan sekarang jauh lebih bodoh setelah aku percaya ada sesuatu yang lebih indah setelah pertemuan ini. Ada petualangan yang aku nantikan, hanya saja aku ingin bersama Adrian. Gila. Entah aku jatuh hati pada personanya atau jatuh pada kemungkinan kami bisa bersama?
Aku sudah tidak peduli dengan menit-menit yang terlewati di tempat terbuka ini. Di tengah pesta, aku merasa sesak. Beda cerita saat berada aku di sini, bersama seseorang yang baru kukenal malam ini. Udara dingin dan lembab. Baru kali ini aku menyadari bernapas bisa sebegitu menyenangkan jika bernapas dengan udara yang sama dengannya. Sesekali aku tercekat, dan tak lama aku temukan akal sehatku lagi. Aku melihat Adrian sebagai bab cerita yang menarik untuk dimasuki.
Ini benar-benar gila. Adrian, this is all your fault. Your words drive me nearly crazy. The sky watching us as if we were the actual stars.
Di antara semua debaran, rona merah dan sengatan itu, ada lagi yang lebih hebat. Saat akhirnya Adrian menarikku kembali ke dalam begitu langit semakin gelap. Aku tidak perlu mengucapkan terima kasih karena mataku sudah menyiratkan itu semua. Kami bicara lewat tatapan mata. Mungkin dalam pikirannya, dia bertanya kapan ia punya kesempatan lain untuk menjemputku bertemu bintang-bintang?
Aku menebak saat ini sudah tepat pukul dua belas. Kemana perginya semua waktu dan tidak menyisakan apa-apa? Kenapa yang seperti ini menyimpan ending yang tiba-tiba?
Aku kehilangan kata. Aku tidak mau jadi orang pertama yang mengucap kata sebelum berpisah. Adrian juga seolah tidak mau mengajakku kembali lagi ke pesta yang sesak itu. Cukup lama kami berdiri berhadapan sampai akhirnya Adrian menyampirkan tuksedonya bagai selimut tambahan buatku.
"Kita harus balik lagi. Di sini udaranya makin dingin."
Aku mengangguk pelan. Apakah besok saat terbangun aku akan mengingat semua detail yang terjadi malam ini?
Situasi seperti makin canggung saja. Masing-masing dari kami seakan tidak mau berpisah. Akhirnya aku melangkah lebih dulu melewati pundaknya. Namun, Adrian berhasil menghentikan gerakku begitu tangannya menghampiri pipiku. Mengelusnya lembut seperti menyiratkan selamat tinggal, terima kasih, dan 'pertanyaan kapan aku bisa bertemu lagi'?
Aku tidak bisa menjawab, aku benar-benar tersengat dengan aksinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!