Inilah kali pertama ia bertemu dengan anaknya sejak melahirkan. Kikan Finix telah menunggu seumur hidup untuk momen ini. Ia menghitung setiap helaan napas selama enam belas tahun terakhir untuk dapat melabuhkan tatapan pada Jason lagi.
Tetapi meskipun teramat gelisah, ia sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan menangis, berusaha memeluk, atau melakukan apapun yang mungkin akan membuat remaja itu merasa tidak nyaman. Kikan sama sekali orang asing bagi putra nya. Meskipun Kikan kini berharap setelah ia kembali ke Kota nya, ia tidak boleh terlalu mendesak, atau anak itu tidak akan membiarkannya mendekat, bahkan seandainya ayah Jason tidak memastikan agar anak itu menjaga jarak dengannya. Kikan pasti membuat mereka berdua malu. Ketiganya berasal dari Kota kecil yang sama, mustahil untuk bersikap seakan mereka dapat menyembunyikan fakta bahwa Kikan menghabiskan seumur hidup Jason didalam penjara.
Gumpalan menyangkut di tenggorokan saat ia menyaksikan Jason dan ayahnya. Rey Stinson, turun dari pikap Ford besar dan berjalan dengan langkah langkah panjang menuju pintu masuk kafe.
Ya tuhan, putraku tinggi, pikir Kikan, dengan rakus melahap pemandangan di depannya. Jason telah tumbuh menjadi begitu besar, dan Kikan sama sekali tidak tahu. Bahkan pada usia 35 tahun, ia masih sering di sangka sebagai wanita yang jauh lebih muda ketika tidak memakai riasan dan rambutnya ditarik ke belakang. Tetapi Jason bentuk dan ukuran badan ayahnya, bahu bidang, panggul sempit, dan kaki panjang yang sama.
"Maaf. Meja untuk anda sudah siap kapanpun anda menghendaki."
Kikan tidak akan mendengar perkataan tersebut jika penyambut tamu kafe itu tidak menyentuh lengannya selagi bicara.
Dibutuhkan usaha keras, tetapi ia berhasil mengalihkan tatapan dari jendela untuk menjawab. " terima kasih. Teman makan Saya akan tiba sebentar lagi."
"Baik. Silahkan beritahu saja saat Anda siap." dengan senyuman sopan, wanita muda itu menyilakan sang tamu.
Sekali lagi, mata Kikan terpakai pada anaknya. Hanya saja, kali ini ia merasa kan desakan emosi yang sedemikian rupa hingga nyaris melesat ke kamar kecil. Ia tidak boleh menangis.
Ya Tuhan, tolonglah, jangan biarkan aku menangis. Dia tidak akan mau mendekat padaku kalau aku menangis.
Tetapi semakin keras berusaha menahan air mata, semakin kewalahan dirinya. Dalam keadaan panik, Kikan menyelinap ke ruang kecil diantara dua kamar mandi, dan menyandarkan kepala ke dinding.
Tarik napas. Jangan mengacaukan pertemuan ini.
Bel di pintu berbunyi, menyandarkan Kikan bahwa Rey dan Jason telah memasuki kafe. Kikan membayangkan mereka berdua melihat sekeliling, barangkali jengkel ketika tidak menemukan dirinya. Tetapi Kikan membeku di tempat. Ia benar - benar, tidak sanggup bergerak.
"Hallo." Kikan mendengar penyambut tamu berkata dengan sikap lebih akrab yang tidak ditunjukkannya ketika menyapa Kikan tadi. "Kami penuh pagi ini seperti biasanya saat sabtu. Tapi jika anda mau menunggu, Saya akan mencarikan meja."
"Sebenarnya kami punya janji dengan seseorang yang seharusnya sudah ada sisini."
Itu pasti Rey, tapi Kikan tidak yakin mengenali suara itu. Kenangan ya dan Rey masih teramat jelas, namun waktu itu mereka masih begitu muda, dan Rey kini telah sangat berubah. Dia bukan lagi pemuda ceking yang di kenal Kikan sewaktu SMA, dia kini pria berotot dengan tubuh tegap, pria yang sedang dalam masa jayanya. Dan itu tampak makin jelas ketika Kikan melihat nya berjalan bersisian dengan anak mereka beberapa saat sebelumnya.
"Siapa yang akan anda temui disini?" Tanya penyambut tamu.
"Namanya Kikan" jawab Rey.
"seperti apa penampilan nya?"
"Saya tidak yakin belakangan ini seperti apa," kata Rey, dan Kikan berjengit. Rambut gelap yang sepanjang bahu cukup Lumayan tebal, dan mungkin aset terbaiknya, matanya pun bukan nya tidak menarik, Kikan tidak merasa dirinya jelek, tapi bekas Luka diwajahnya merupakan sesuatu yang belum pernah dilihat Rey. Ketika dia masuk penjara luka itu belum ada.
"Dia tidak terlalu tinggi," kata Rey menambahkan, seakan itu satu- satunya hal detail yang diingat Rey, untuk diungkapkan.
"tadi ada wanita yang mengatakan sedang menunggu dua orang untuk bergabung dengan ya," kata penyambut tamu. "Tapi Saya tidak tahu kemana dia pergi...."
Dengan tekad untuk tidak melewatkan kesempatan ini setelah menunggu sekian lama, Kikan mengepalkan tangan sehingga kukunya menekan telapak tangan, menarik napas dalam dalam, kemudian melangkah keluar. "Maaf aku... Aku tadi mencuci tangan."
Kerutan yang muncul di wajah Rey membuat pipi Kikan menghangat. Rey tidak senang bertemu dengannya. Tak pelak lagi, Rey menghabiskan waktu tujuh belas tahun dengan harapan tidak bertemu Kikan lagi, terutama sejak tanggal pembebasan Kikan di undur diluar tanggal yang sebenarnya.
Namun Kikan sudah menduga pertemuan pertama ini akan sulit. Sambil menegakkan bahu, ia mengabaikan sikap negatif Rey dan berpaling pada jason. "Hai Jason, ini ibu."
Kikan telah berulang kali berlatih mengucapkan kata - kata itu, tetap saja ia nyaris tersedak. Hanya dengan tekad kuat ia berhasil mempertahankan kendali diri. "Tapi kau boleh memanggilku apapun yang membuatmu merasa nyaman. Aku tidak berharap...." lidahnya terasa kelu dan Kaku sehingga ia hampir tidak bisa bicara. "Aku Tidak berharap kau melakukan sesuatu yang tidak kauinginkan, tidak jika ada kaitannya denganku."
Jason tampak kaget mendengar Kikan langsung mengucapkan kata - kata yang begitu lugas. Tetapi Kikan juga melihat ketegangan remaja itu sedikit mengendur. Kikan mengulurkan tangan. " Senang sekali bertemu denganmu. Terima kasih sudah mau datang, kuharap kafe ini cukup nyaman, Just Come dulu tempat favorite ku ketika aku tinggal disini, jadi semoga saja... Semoga saja ini masih populer."
Jason melirik ayahnya sebelum menjabat tangan Kikan." Hallo, " gumamnya. Tetapi tidak mau menatap langsung Kikan.
Sambil berkata pada diri sendiri bahwa itu normal, bahwa sedikit keengganan hal yang wajar, Kikan mengenyahkan segala beban pikiran dan perasaan saat bertemu dan bersentuhan dengan anaknya, Ia tidak Ingin Jason mengetahui betapa gemetaran dirinya.
"Apakah anda sudah siap untuk duduk?" penyambut tamu itu yang perhatiannya tadi teralihkan untuk mengucapkan Selamat jalan ke pada beberapa pelanggan yang pulang, kini mengamati mereka dengan rasa Ingin tahu yang tidak ditutup - tutupi. Dia mungkin sudah menerka ini Kikan Finnix yang menjadi pembicaraan orang - orang, wanita yang dulu dinyatakan bersalah karena menabrak pesaing cinta nya dengan mobil bobrok tua ibunya sebelum lulus SMA.
"Ya, tentu." sangat sadar akan kehadiran dua orang yang mengekor di belakangnya, Kikan mengikuti penyambut tamu itu melintasi kafe menuju meja di sudut.
Begitu mereka duduk, Kikan bersandar dikursi saat wanita lain datang membawakan air minum.
"Pilihlah apapun yang kauinginkan," kata Kikan kepada Jason ketika remaja itu membuka menu.
Sebenarnya terlalu cepat mengatakan itu, tapi Kikan gugup. Dan ia telah bekerja begitu keras beberapa minggu sebelum dibebaskan agar bisa membayar makanan ini. Ia sangat ingin anaknya menikmati makanan disini.
"Aku Ingin wafle strawberry dan es krim"
Bersyukur karena Jason sudah memilih hidangan yang ia sukai, Kikan tersenyum "kalau begitu pesan lah".
Walau agak terlambat, Kikan menyadari seharusnya meminta pendapat ayah Jason dalam hal ini, pilihan Jason bukan lah makanan sehat dan ia sama sekali tak punya kuasa atas kehidupan Jason. Oleh karena itu ia menambahkan, "Kalau ayahmu tidak keberatan."
Begitu Rey menyatakan persetujuan, Kikan menundukkan pandangan. Lebih mudah baginya untuk tidak menatap pria itu. Seandainya dapat mengundang Jason saja, ia akan lebih senang. Emosi Emosi yang dirasakan nya jika menyangkut Jason sudah cukup mengiris hati. Menambahkan Rey didalamnya hanya akan memperumit apa yang sebenarnya sudah rumit.
"Tentu saja, kau juga boleh memesan apapun yang kau suka," katanya pada Rey. "Aku yang traktir."
Sesaat mengatakan itu, Kikan merasa wajahnya terbakar lebih panas. Sungguh ucapan bodoh! Rey kontraktor sukses. Dia tidak membutuhkan mantan narapida untuk membayarkan sarapan nya. Dan Kikan tahu, meskipun ia mengirimkan setiap sen yang dapat ditabungnya untuk Jason. Barangkali Rey juga menganggap tawaran untuk membayarkan sarapan sangat menggelikan. Namun Kikan bermaksud baik selama ini ia berjuang begitu keras, sehingga uang yang mungkin menurut orang tak se berapa, sudah punya nilai yang sangat tinggi untuknya.
"Telur dadar udang boleh juga," kata Rey, lalu mengesampingkan menu tanpa benar- benar mempelajarinya.
Dengan cepat Kikan menghitung berapa sisa uang yang dimiliki dan mulai mencari makan dengan harga yang sesuai.
"Aku tidak terlalu lapar," ujarnya dengan agak melamun sehingga mereka tidak akan menganggap aneh ketika ia memesan. "Aku pesan kopi saja."
Kikan nyaris menggunakan menu untuk dijadikan sebagai tameng. Rey dan Jason sedang memandang nya dengan seksama dan menibang - nimbang. Meskipun telah menduga akan diamati dengan cermat, masih sulit rasanya untuk diperhatikan seolah orang asing aneh dan jelas tak diharapkan. Bukan hanya itu, Kikan terlalu sadar diri dengan bekas luka didahinya. Dan tak Ingin cacat itu menarik perhatian.
"sudah berapa lama kau pulang?" Tanya Rey, memecah kesunyian yang mulai terasa canggung.
Kikan mendorong menu ke samping dan melipat kedua tangan di pangkuan. "Tiga hari" ia Ingin segera menghubungi Rey, tapi butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian. Rey dengan jelas telah menyiratkan bahwa dia berharap Kikan memutuskan tinggal dimana saja kecuali Kota kecil mereka.
Rey menggenggam gelas air. "siapa yang menjemputmu?".
Kikan naik kendaraan umum waktu itu, tapi enggan mengatakannya. "Kenalan yang... bisa disebut teman."
Itu jawaban samar-samar, tapi tampaknya rey tidak mempermasalahkannya. "Kukira mungkin ibumu..."
"Tidak. Dia tidak bisa... Tidak mau... Kemana2 mana belakangan ini" Ibu Kikan adalah orang yang mengasingkan diri, Ibunya bu Lis punya gangguan depresi dan menimbun barang. Dia tak punya kendaraan atau hal lainnya. Kalau bukan bantuan dari kakek tua pengurus surau kecil yang membawa kan bahan makanan dan sesekali uang bantuan, sementara Kikan mendekam di penjara, bu Lis mungkin tak kan mampu bertahan. Bukan berarti ayah Kikan peduli pada mereka berdua. Begitu juga kakak laki - laki Kikan. Sang ayah pergi tak lama setelah Kikan lahir, tak ada yang tahu dimana dia berada sekarang. Dan kakaknya yang begitu hancur ketika ayah mereka minggat, telah patah arang dengan Kota kecil ini dan segala sesuatu di dalamnya ketika Kikan masih di bangku sekolah.
Rey pasti tahu tentang keadaan Ibunya. Jadi apakah dia hanya berusaha untuk menekankan dalam surat yang telah ditulisnya, bahwa dia yakin Jason akan lebih baik tanpa keterlibatan Ibunya? Rey menyebutkan bahwa ibu Kikan bukan aspek positif dalam proses hubungan kembali Jason dan Kikan. Banyak nya masalah sang ibu menyebabkan Jason tak diizinkan mengunjungi nenek ya lebih dari empat atau lima kali selama ini. Dan tentu saja ibu Kikan itu tidak pernah berusaha menghubungi mereka. Meskipun bu Lis sering menganggap itu sebagai penolakan kasar, ia merasa dirinya tak layak, terutama ketika berhadapan dengan keluarga yang sangat mapan dan terhormat seperti keluarga Stinson.
Rey meneguk air sekali lagi. "Bagaimana kabar nya?"
Kikan tak mau terseret dalam percakapan mengenai Ibunya. Ia tak mau terpancing kedalam pembicaraan apa pun yang dapat membuat Rey berkesempatan untuk tidak mengizinkannya bertemu Jason. "Baik."
"Baik?" ulang Rey. "Benarkah" sudah bertahun tahun aku tak pernah melihatnya di Kota ini".
Jason memberenggut ke arah ayah nya. "Pa...tahu seperti apa keadaan nya."
Kikan bedehem. "Dia akan lebih baik sekarang, setelah aku pulang. Akan kupastikan itu. Dan dia takkan mengganggu mu Jason. Aku juga akan memastikan itu."
"Bagaimana dia akan mengganggu kami kalau dia tak bisa meninggal kan rumah?" kata Jason menatap gusar ayah nya. "Apakah selama ini dia mengganggu kita?"
"Aku akan menangani masalah ini," kata Rey. Tapi Kikan merasa perlu menyela. Rey memegang kartu As, karena dia bisa mengendalikan yang paling Kikan inginkan, hubungan baik dengan Jason. Jadi, pertama tama Kikan harus melindungi dulu hubungan nya dengan Rey.
" Ayahmu benar. Dia bisa... Memalukan. Aku ingat seperti apa rasanya ketika... Aku masih SMA. Tapi dia tidak, hmm, yah, seperti kau bilang. Dia tak pergi kemana mana, jadi aku sangat ragu dia bisa menjadi gangguan". Kecuali ketika Jason berkunjung ke rumah, tapi Kikan sudah mempersiapkan cara untuk mengatasi hal itu, jika dan ketika hal tersebut terjadi.
Karena jengkel melihat ayahnya bersikap terlalu protektif, Jason bersungut sungut, "Aku tidak khawatir soal itu."
Kikan berharap itu benar. Jason sudah menghadapi cukup banyak kesulitan hanya dengan menjadi anaknya. Tak banyak anak yang hidup dengan stigma mempunyai ibu yang dicap sebagai pembunuh. "kudengar kau pemain basket yang berbakat" katanya, ingin segera mengganti topik pembicaraan.
Komentar itu membuat Jason tersenyum malu malu, senyuman yang menunjukkan betapa tampan Dan kharismatiknya anak itu. Dia makin mirip ayahnya daripada yang Kikan kira sebelumnya. Matanya coklat kekuningan dan rambut nya nyaris hitam.
"Aku suka main," jawab remaja itu
" Benar benar hebat dapat menjadi andalan Tim basket SMA" sahut Kikan. "Basket sangat di sukai disini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!