NovelToon NovelToon

Elora

Bab_1 Malam Pertama Yang Memilukan

Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi seorang gadis yang bernama Elora Fazia. Gadis yang berusia 23 tahun itu telah melangsungkan pernikahan dengan suskes tanpa ada suatu kendala apapun.

Sekarang ia sedang menunggu suaminya, ia duduk di pinggir kasur dengan perasaan yang tidak karuan. Senyumnya senantiasa mengembang kala pikirannya di penuhi dengan bayangan-bayangan kejadian yang akan terjadi di malam pertama ia dan suaminya, nanti.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Namun, ada sesuatu yang aneh pada suaminya, ekspresi wajah suaminya tampak muram tidak secerah tadi.

Elora pun tidak tinggal diam, ia bangun lalu menghampiri suaminya yang terdiam dengan tatapan kosong.

"Mas Gavin, kamu kenapa?" tanya Elora memegang tangan kiri Gavin.

Tatapan Gavin menjadi tertuju pada Elora yang kebingungan akan tingkahnya, lalu ia menghempaskan tangan Elora dengan kasar.

"Mas Gavin ...," lirih Elora dengan eskpresi yang seperti meminta sebuah penjelasan.

"Kamu kenapa, Mas?" sambung Elora yang membuat Gavin mengusap wajahnya dengan kasar.

Gavin merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa foto. Ia pun memberikan foto-foto itu kepada Elora, lantas ia pun memalingkan wajahnya dari Elora.

Mata Elora terbelalak kala melihat foto-foto tersebut, hanya ada satu pertanyaan dalam benaknya, siapa yang telah mengambil foto ini?

"Sekarang jawab aku, apa benar kamu yang ada di foto itu?" tanya Gavin dengan suara yang bergetar.

Elora tak menjawabnya, ia bingung harus menjawab apa.

"El, jawab aku!" bentak Gavin seraya mengguncang-guncang tubuh Elora.

"Iya, itu aku," jawab Elora membuat Gavin melepaskan cengkeramannya pada kedua bahu Elora.

Tubuh Gavin membeku, hatinya nyeri mendengar jawaban Elora. Gadis yang ia cintai ternyata mengkhianatinya, dan pengkhianatannya itu terbongkar di malam pertama pernikahan mereka.

"Tapi aku gak ada hubungan apapun sama dia, Mas. Aku cuman ngebantuin dia," tutur Elora berusaha meyakinkan Gavin.

"Apa? Membantu? Kalau benar kamu membantu dia harusnya kamu membawa di ke rumah sakit bukan ke hotel," ucap Gavin sengit.

"Dia sendiri yang ---"

"Cukup! Aku gak mau denger apapun lagi, sekarang kamu keluar dari sini!" teriak Gavin menunjuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka.

"Cepat keluar dari sini!" Gavin kembali mengusir Elora yang masih enggan untuk bergerak.

"Aku bersumpah, aku gak pernah sekalipun ngehianatin kamu. Malem itu aku benar-benar murni nolong laki-laki itu," ujar Elora berderai air mata.

"Mau kamu bersumpah atau apapun itu, aku tetep gak akan percaya. Kamu udah ngerusak kepercayaan aku, El," balas Gavin dengan nada yang meninggi.

Gavin mencengkeram lengan Elora, ia menarik Elora dengan kasar. Elora tidak tinggal diam ia berusaha lepas dari tarikan kasar Gavin, tetapi usahanya itu tak berguna lantaran tenaga Gavin jauh lebih besar daripada ia.

Gavin menarik Elora menuju ke lantai bawah, tempat di mana kedua keluarga tengah berkumpul. Sementara itu Elora yang ditarik olehnya tidak berhenti menangis sembari memohon-mohon kepada Gavin, seolah-olah tuli, Gavin tak sedikitpun menggubris setiap kata yang terlontar dari mulut Elora.

"Akh!" ringis Elora kala tubuhnya tersungkur menghantam lantai.

"Kakak gak papa?" tanya seorang wanita yang berjongkok di depan Elora.

Elora mendongakkan kepalanya menatap wanita yang tampak lugu itu, wanita itu adalah adik tirinya. Namun, meskipun mereka saudara tiri mereka berdua selalu akur, tak jauh berbeda dengan saudara kandung.

Elora pun bangun dengan di bantu oleh adik tirinya.

"Wanita tidak tahu malu," ketus seorang wanita paruh baya yang menatap benci Elora.

"Kakak gak usah dengerin ucapan Mami, mending kita duduk dulu kita bicarain semuanya baik-baik," ucap adiknya itu.

Elora mengangguk, ia dan adiknya duduk di sofa.

"Keluarga kita jadi harus menanggung malu, karena kelakuan kamu." Wanita itu kembali berbicara dengan lebih ketus dari sebelumnya.

Elora menunduk, Ibu tiri dan adik tirinya sangat jauh berbeda. Apalagi sekarang ayahnya tidak ada di sana, sifat aslinya akan keluar semuanya.

"Gavin, kamu duduk dulu. Kita harus berbicara dengan tenang agar kita bisa menyelesaikan permasalahan ini," tutur Ayah Gavin yang juga merupakan Ayah mertua Elora.

Gavin menuruti perkataan sang Ayah, ia duduk dengan pandangan yang tak lepas dari wanita yang dianggapnya telah mengkhianati dirinya, yaitu Elora.

"Aku mau menikahi Cantika, adik tiri Elora," ucap Gavin yang membuat semua orang tersentak dengan mata mereka yang tampak membulat.

Elora kembali menitikkan air matanya, hatinya seperti teriris sembilu mendengar ucapan sang suami. Mereka baru saja resmi menjadi sepasang suami istri, tapi Gavin ingin menikahi lagi, apalagi wanita yang ingin Gavin nikahi tidak lain adalah adik tirinya.

"Gavin! Kamu jangan asal bicara!" bentak sang Ayah.

Gavin tersenyum kecut ketika mendapat bentakan dari sang Ayah.

"Wanita itu telah menduakan aku, maka aku pun akan membalas menduakannya," ucap Gavin tajam.

Wanita itu? Gavin bahkan menyebutnya degan wanita itu, semudah itukah Gavin menyingkirkan ia dari hatinya?

Demi apapun, Elora sangat sakit hati mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Gavin.

"Gavin!" Ayahnya kembali membentaknya.

"Gavin, jika dengan menikahi Cantika bisa membuat kamu memaafkan Elora. Maka Tante akan menyetujuinya," tutur Ibu tiri Elora tiba-tiba.

Elora menoleh ke arah sang Ibu tiri, bagaimana bisa ia membiarkan anaknya menjadi istri kedua? Pikir Elora.

"Cantika, kamu mau 'kan? Ini demi Kakak kamu," ujar sang Ibu menggenggam erat tangan Cantika dengan tatapan penuh harap.

Cantika menatap satu persatu orang yang ada di sana, ada rasa keraguan pada dirinya untuk menjawab pertanyaan sang Ibu. Namun, setelah termenung cukup lama Cantika pun angkat suara.

"Demi kebaikan Kakak, aku mau menikah dengan Mas Gavin dan menjadi istri kedua Mas Gavin," ujar Cantika mantap.

Boom!

Hancur sudah hati Elora, ia harus rela berbagi suami dengan adiknya. Sungguh, ini semua jauh di luar dugaannya.

"Acara pernikahan akan dilaksanakan minggu depan, acaranya akan jauh lebih megah daripada hari ini," ucap Gavin dengan entengnya tanpa mempedulikan perasaan Elora.

Elora pun tidak mempedulikan perasaannya ketika selingkuh, maka jangan salahkan ia yang tak peduli akan perasaan Elora.

Merasa urusannya sudah selesai, Gavin melenggang pergi meninggalkan Elora yang masih menangis tersedu-sedu.

"Karena semuanya sudah selesai, saya dan Cantika pamit pulang," pamit Ibu tiri Elora yang bernama Dewi.

Sebelum pergi dari sana, Cantika menyempatkan diri untuk memeluk Elora, menyalurkan rasa sayangnya kepada sang Kakak tiri.

"Berhati-hatilah, Kak ...," bisik Cantika kemudian berjalan menyusul sang Ibu yang sudah berada jauh di depan.

Tubuh Elora menegang saat mendengar bisikan sang adik, apa semua yang terjadi hari ini ada campur tangan adiknya?

Bab_2 (Ayah Adalah Yang Terbaik)

Pagi hari yang mendung, bahkan buliran-buliran air hujan mulai turun. Juga hari yang suram, sesuram wajah Elora yang masih meringkuk di atas kasur.

Pagi yang seharusnya menjadi pagi indah di antara ia dan Gavin berubah menjadi kelam nan menyedihkan. Andai, andai saja dulu ia tak menolong pria yang tidak dikenalnya itu, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti sekarang ini.

Namun, semuanya telah terjadi, tak ada gunanya lagi ia menyesali perbuatannya itu.

Elora bangun dari posisinya, ia menyenderkan tubuhnya ke kepala ranjang. Mata sembabnya menunjukkan sorot kesedihan yang begitu dalam.

Minggu depan, adiknya akan masuk ke rumah yang kini ia tempati dengan menggunakan status istri kedua. Meskipun begitu, ia akan tetap tegar menghadapinya, demi rasa cintanya kepada Gavin.

Tak mau pusing memikirkan hal-hal itu, Elora memutuskan untuk pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah selesai membersihkan diri Elora bersiap-siap untuk pergi ke rumah ayahnya yang semalam harus pulang terlebih dahulu karena kesehatannya menurun. Elora juga ingin membicarakan apa yang terjadi semalam, walaupun Elora yakin ayahnya telah mengetahui semuanya dari Ibu dan adiknya.

"Pagi, Ayah, Bunda," sapa Elora menghampiri ayah dan ibu mertuanya yang sedang sarapan.

Ayah mertuanya menjawab sapaan Elora dengan senyuman, sedangkan Bunda mertuanya hanya diam tanpa ekspresi, memang bundanya ini mengalami penyakit stroke yang membuatnya tidak dapat berbicara maupun berjalan.

"Kamu mau ke mana?" tanya sang Ayah lembut.

"El mau ke rumah Papah," jawab Elora.

"Yasudah, hati-hati."

Elora tak bergeming dari tempatnya, tanpa diperintah air matanya luruh. Kening ayahnya pun berkerut melihat menantunya kembali menangis.

Tiba-tiba saja Elora berlutut di hadapan Ayah mertuanya dengan tangis yang makin menjadi.

"Berdiri, El!" perintahnya, akan tetapi El enggan untuk menuruti perintahnya itu.

"Makasih karena Ayah masih baik sama El ...," lirih Elora.

"El, Ayah percaya kalau kamu tidak mungkin melakukan hal itu. Kamu itu anak yang baik, El," tutur sang Ayah membantu Elora untuk berdiri.

"Sudah, jangan menangis! Sekarang lebih baik kamu segera temui Ayah kamu untuk menjelaskan masalah yang menimpa kamu," lanjutnya lagi.

Elora menghapus air matanya, dan dengan sebisa mungkin ia berusaha untuk tersenyum di tengah situasi pahit ini.

Elora mengalihkan pandangannya kepada Ibu mertuanya, tapi saat Elora akan mendekatinya ... Ibu mertuanya itu malah memejamkan matanya, mungkin saat ini ia tidak ingin berdekatan dengan Elora.

Dengan perasaan tak karuan Elora meninggalkan rumah mertuanya, yang mana tidak lama lagi adiknya akan tinggal di rumah itu sebagai istri kedua Gavin.

"Dia mau ke mana?" tanya Gavin kepada ayahnya.

Rupanya, sedari tadi Gavin memperhatikan interaksi Elora dengan orang tuanya. Namun ia tidak terlalu jelas mendengar apa yang mereka obrolkan, maka dari itu ia memilih bertanya kepada ayahnya.

"Elora pergi ke rumah orangtuanya," jawab sang Ayah apa adanya.

"Bagaimana bisa dia pergi tanpa meminta izin, apa dia udah nggak nganggep aku sebagai suaminya?" ucap Gavin kesal.

"Gavin, semalam kamu sendiri yang bilang kepada Elora untuk tidak berbicara apapun kepada kamu," sahut ayahnya sinis.

Gavin terdiam membisu, bagaimana bisa ia lupa dengan apa yang ia ucapkan?

"Gavin! Ayah harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu untuk menduakan Elora," ujar sang Ayah seraya berdiri dan mendirikan kursi roda sang istri untuk pergi ke luar, mencari udara segar.

Gavin kembali dirundung dilema, di satu sisi ia sangat menyayangi Elora dan tak sanggup jika harus melepaskan Elora. Namun, di sisi lain ia merasa sakit hati atas pengkhianatan Elora.

Maka dari itu Gavin akan mempertahankan Elora, dan membawa adik Elora untuk dijadikan istri kedua. Ia ingin memberikan pelajaran kepada Elora dengan cara membagi cintanya untuk Elora dan Cantika.

***

Setelah menempuh perjalanan yang memerlukan beberapa waktu, akhirnya Elora tiba di rumahnya. Matanya menangkap sosok ayahnya yang tengah berdiri di ambang pintu, rupanya sang Ayah sudah menduga kalau putrinya akan pulang, maka dari itu ia sengaja menunggunya.

Elora berlari menghampiri sang Ayah, ia memeluk ayahnya dengan amat erat, begitu pula dengan ayahnya yang juga memeluk balik Elora.

"Ayah ...," lirih Elora dengan air mata yang kembali tumpah.

Mata sang Ayah tampak berkaca-kaca, ia tak kuasa melihat putri kesayangannya menangis.

"Sudah, El," lirihnya.

Sang Ayah pun membawa Elora untuk masuk ke dalam rumah, karena akan ada banyak sekali hal yang akan dibicarakan.

***

"Hm, bagaimana? Apa wanita itu sudah ditemukan?" tanya seorang pria pada seseorang.

"Maaf, Pak. Saya belum menemukannya," jawabnya menunduk.

Jawaban itu membuat si pria menjadi lesu, pasalnya sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari keberadaan seorang wanita. Namun, hasilnya selalu saja seperti ini. Nihil, tanpa ada hasil.

"Terus cari dia!" perintah pria itu tegas.

"Baik, Pak," sahutnya kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan luas bos-nya.

Pria itu bangun dari kursinya, ia berjalan menuju mengitari ruangannya. Tak tau apa alasannya, ia hanya ingin berjalan sekejap. Lalu, setelah merasa cukup, ia kembali duduk di kursi kebesarannya itu.

"Jika bukan karena wanita itu mungkin aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ah ... jika bertemu dengannya aku akan melakukan apapun untuk membalas perbuatan baiknya itu," tutur pria itu dengan tatapan yang tertuju pada laptop yang terdapat foto seorang wanita.

***

Saat ini Elora dan ayahnya baru saja menghabiskan sarapannya, mereka berdua juga masih belum beranjak dari meja makan.

"El, lebih baik kamu bercerai saja dengan Gavin," ujar sang Ayah memberikan saran kepada putrinya.

Elora diam tanpa ada niatan untuk menyahuti saran ayahnya.

"Masih banyak pria di luaran sana yang jauh lebih baik daripada Gavin," lanjutnya lagi karena tak mendapat sahutan dari Elora.

"El gak bisa," lirih Elora.

Sang Ayah menghela nafas panjang, entah bagaimana cara ia membuat Elora dan Gavin bercerai?

"Tapi El ... memangnya kamu rela diduakan begitu saja?" tanyanya.

"El gak tau." Elora menundukkan kepalanya dengan air mata yang kembali menetes.

Melihat Elora menangis, ayahnya langsung menghampiri Elora. Ia mengusap rambut Elora dengan lembut, berusaha menghibur Elora.

Tubuh Elora semakin bergetar karena tangisnya yang kian menjadi, sang Ayah pun menjadi kalang kabut dengan kondisi itu. Ayahnya berlutut, menyamakan posisi tubuhnya dengan Elora.

"El, kamu jangan nangis lagi. Ayah ada di sini, Ayah akan selalu ada untuk kamu, El ...," ujarnya mengusap air mata yang membasahi pipi Elora.

"Ayah ...." Elora memeluk sang Ayah erat, sangat erat.

'El, Ayah selalu berdoa akan kebahagian kamu. Ayah rela mempertaruhkan segalanya untuk kebahagiaan kamu, baik harta ... maupun nyawa,' batin sang Ayah.

*****

Bab_3 (Kenangan Indah Bersama Gavin)

"Eungh ...," lenguh Elora sembari menggeliat.

Elora menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, meskipun sekarang sudah jam 11.30 siang tapi suhunya masih terasa dingin karena air hujan masih senantiasa turun membasahi permukaan bumi.

Tadi, setelah merasa cukup berbincang dengan ayahnya. Elora memutuskan untuk tidur, pasalnya semalam ia tidur saat larut malam, ditambah lagi ia lelah setelah acara pernikahannya dengan Gavin.

Pernikahan yang hanya memberikan sekejap kebahagiaan, dan kesedihan yang akan berkepanjangan.

Elora bangun dari posisi tidurnya, lantas ia pun berjalan gontai menuju kamar mandi untuk sekadar mencuci wajahnya.

Tak berapa lama kemudian, Elora keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih basah dengan air, ia sama sekali tidak ada niatan untuk menyeka air di wajahnya itu.

Pandangan Elora tertuju pada balkon kamarnya yang terhalang oleh jendela kaca. Pada akhirnya, ia pun memutuskan untuk pergi ke balkon kamarnya.

Tubuh Elora bergetar kala mendapat terpaan angin yang berhembus kencang membawa hawa dingin.

'Dingin ...,' batin Elora.

"Gavin ...." Tanpa sadar Elora mengatakan nama itu, ia tiba-tiba saja teringat saat-saat kebersamaannya dengan Gavin di bawah rintik hujan.

***

"El, kita berteduh dulu, yah," ucap Gavin sedikit berteriak karena kita sedang mengendarai sepeda motor.

"Ia, Vin," sahutku dengan suara yang sama kencangnya dengan Gavin.

Akhirnya Gavin pun menghentikan motornya di tepi jalan, dengan tergesa-gesa kami menuruni motor dan berlari menuju halte bus yang sepi tanpa ada seorang pun yang berada di sana, bisa jadi karena waktu itu sudah jam 9 malam.

"Vin, bukain!" Aku mengetuk-ngetuk helm yang masih terpasang di kepalaku.

Aku melihat Gavin terkekeh saat aku memintanya tolong untuk membukakan helmku.

"Gak mau, ah!" tolaknya seraya memalingkan wajah.

"Ih, Gavin ... tolong lepasin dong ...," rengekku.

"Plis ...," sambungku.

Gavin pun membalikkan wajahnya, ia menatapku dengan tatapan yang mampu membuat jantungku berdetak kencang.

"Aku bakalan bantu kamu lepasin helm, tapi aku mau kamu menjawab dulu pertanyaanku," tuturnya yang membuatku mengerutkan kening.

"Hm, okay," sahutku.

Aku lihat Gavin menghela nafasnya dengan berat, sebegitu sulitnya 'kah untuk bertanya?

Lalu, tiba-tiba saja Gavin meraih kedua tanganku, ia menggenggamnya dengan lembut. Ah, perlakuannya itu benar-benar membuatku salah tingkah.

"El, kamu mau gak jadi pacar aku?" tanyanya dengan ekspresi penuh harap.

Boom!

Rasanya jantungku akan meledak detik itu juga, aku ditembak oleh pria yang sedari dulu aku sukai. Sungguh luar biasa, mimpiku ditembak Gavin menjadi kenyataan.

"El, aku cinta sama kamu, aku harap kamu mau menerima cintaku," ucapnya.

Aku bingung harus apa, wajahku terasa panas dan kakiku menjadi lemas. Apa semua darah yang berada di kakiku merangsek naik ke wajah? Pikirku.

"A -- aku ...." Argh, sial! Kenapa sangat susah untuk mengatakan jawabannya.

Aku mengumpulkan nyaliku, lalu aku menghela nafas panjang.

"Aku mau!" jawabku dengan suara yang lantang.

Gavin menjadi speechless, tetapi tak lama kemudian ia memelukku dengan sangat erat. Aku yang kaget pun langsung berusaha melepaskan diri dari pelukan Gavin yang tiba-tiba itu.

"El, aku sangat bahagia," teriaknya lagi dan kembali memelukku dengan erat. Kali ini aku membalas pelukan hangat Gavin, tak mungkin aku mendorongnya lagi, sebab pelukan kali ini teramat nyaman.

Beberapa saat kami terlarut dengan pelukan yang mengusir jauh dinginnya hawa malam.

Sampai akhirnya aku teringat kalau helm-ku masih terpasang apik di kepalaku.

"Vin!" aku menepuk-nepuk pelan punggung Gavin, memberikan isyarat padanya untuk segera melepaskan pelukan. Gavin yang peka pun langsung melepaskan pelukan itu.

"Kenapa, El?" tanyanya dengan wajah yang berbinar-binar.

Pertanyaan Gavin itu kujawab dengan cara mengetuk-ngetuk helm-ku.

"Gak usah dibuka, El!" larang Gavin sehingga membuatku bingung.

"Kita pulang sekarang, kita hujan-hujanan." lanjutnya.

"Emang gak akan sakit?" tanyaku ragu.

"Udah gak usah ragu! Kalau sakit pun pasti barengan 'kan ujan-ujanannya juga barengan," ujar Gavin menarik tanganku, membawaku pergi dari tempat teduh yang tak terjangkau air hujan menuju motor yang sudah basah oleh guyuran air hujan.

Kami berdua pun pulang mengendarai motor di bawah guyuran air hujan, dengan aku yang memeluk Gavin dari belakang.

Ternyata benar, pada hari berikutnya kami berdua sakit secara bersamaan. Kami di rawat di ruangan yang sama di sebuah rumah sakit

***

Tanpa sadar Elora tersenyum karena terhanyut dalam bayangan kenangan indahnya bersama Gavin. Kekecewaannya terhadap Gavin mendadak sirna karena ingatan manis itu.

"Kamu bisa aja, Mas," ucap seorang wanita yang menarik atensi Elora.

Senyuman Elora pudar seketika saat melihat suaminya berada di bawah payung yang sama dengan Cantika. Suami dan adiknya itu sedang bersenda gurau, tanpa mempedulikan sekelilingnya, padahal saat ini ia dan Cantika masih belum resmi menjadi sepasang suami istri.

Bisa Elora lihat, di belakang pasangan yang tampak serasi itu ada seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan meremehkan. Elora sudah terbiasa dengan sikap ibu tirinya, maka dari itu ia hanya mengacuhkannya.

Merasa tak kuat dengan hawa dingin yang semakin menusuk kulitnya, Elora memutuskan untuk meninggalkan balkon kamarnya, kali ini ia tidak kembali berbaring di ranjangnya, melainkan pergi menghampiri orang-orang yang baru saja datang di rumahnya.

Sebelum menghampiri mereka, Elora berusaha menguatkan hatinya untuk tidak menangis. Ia memilih untuk bersikap tegar menghadapi segala sesuatunya, ia juga akan berusaha mengikhlaskan Gavin membagi cintanya untuk ia dan adik tirinya.

"Elora, sini sayang!" teriak si Ibu tiri ketika melihat keberadaan Elora di anak tangga.

Ibu tirinya ini sangat munafik, di belakang ayahnya si Ibu tiri itu bak menjelma menjadi ibu Cinderella yang jahat. Namun di depan ayahnya, seketika ibu tiri itu menjelma menjadi seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya.

Perlahan-lahan Elora menuruni anak tangga, tanpa sengaja pandangannya dan Gavin bertemu, akan tetapi dengan cepat Elora memutus pandangan itu. Elora duduk di samping ayahnya dengan pandangan Gavin yang senantiasa tertuju padanya.

"Mas ...?!" panggil Cantika membuat Gavin memutus pandangannya dari Elora.

"Kak! Liat, deh, undangan pernikahan aku sama Mas Gavin," ujar Cantika bersemangat.

Elora mengambil undangan pernikahan suaminya itu dari tangan Cantika. Undangan berwarna pink itu terlihat sangat cantik, Elora yakin kalau harga undangan itu jauh lebih mahal daripada harga undangannya. Sebegitu inginnya-kah Gavin melihat Elora sengsara?

"Gimana, Kak? Undangannya cantik 'kan?" tanya Cantika tanpa sedikitpun mempedulikan perasaan Elora, Kakak tiri yang selalu baik kepadanya.

"Cantik, cantik, kok," jawab Elora berusaha tersenyum sembari menahan air matanya yang sudah hampir menetes.

"Elora, kamu ucapin selamat dong sama calon suami istri ini," ujar sang Ibu tiri membuat Gavin, Elora, dan ayahnya tertohok.

Memberikan selamat pada suami dan madunya? Sangat gila!

"Diana!" Ayah Elora membentak istrinya.

"Apa mas? Aku ---"

"Selamat buat kalian berdua, semoga kalian bahagia ...," potong Elora.

'Elora ...,' batin Gavin dengan dada yang mendadak terasa sesak karena perkataan Elora.

Seusai mengatakan itu, Elora berlari pergi meninggalkan rumah itu.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!