NovelToon NovelToon

Selepas Kata Akad

BAB 01. Awal Kisah Agnes

Agnes kini tengah berlari di jalan trotoar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh yang dimana tiga puluh menit lagi sebelum sidang skripsinya.

Dia sudah menanti-nantikan hal ini, perjuangannya selama kuliah dan doa orang tuanya menjadi penyemangat tersendiri, terutama ayahnya yang kini sudah terbaring stroke di rumah.

Harusnya Agnes tidak telat sekarang, tapi karena harus mengurus ayahnya dulu, jadi dia memilih telat sedikit, Agnes adalah anak tunggal, dia sudah ditinggal ibunya yang memilih menikah dengan pria lain disaat ayahnya menderita stroke.

Ayah Agnes terkena stroke di saat Agnes baru duduk di bangku kelas dua SMA dimana saat itu Agnes harus bekerja sendiri untuk biaya sekolah dan berobat ayahnya.

Dan sebentar lagi, impian Agnes menjadi seorang dokter setelah sidang ini akan tercapai, karena Agnes sudah yakin betul dengan hasil yang akan dia dapat.

Agnes memilih berlari menuju kampusnya yang hanya berjarak dua jalan dari rumahnya, dia tidak memiliki uang lagi untuk menyewa ojek atau sekedar naik angkutan umum.

Uang terakhirnya hanya tersisa dua belas ribu rupiah saja, dan itu untuk makan siang ayahnya nanti.

BRUK!

Agnes terdiam terpaku, sesaat di hadapannya dia melihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja hilang kendali dan menabrak pembatas jalan.

"Astagfirullah," Gadis berjilbab merah muda ini segera berlari ke mobil tersebut.

Agnes membuka pintu mobil dan mendapati seorang pria berusia cukup matang diatasnya, kisaran tiga puluh tahunan tapi masih awet muda di hadapannya.

Pria tersebut bersimbah darah, Agnes menjadi dilema, kalau dia membantu pria itu maka dia akan telat melakukan sidang skripsinya.

Pada dasarnya Agnes di didik menjadi orang baik oleh ayahnya, Agnes malah memilih menolong pria itu, sebenarnya hati nurani dan sisi lain hati Agnes sedang berdebat, pada siapa dia harus menurut, dan Agnes memilih mendengar hati nuraninya untuk menolong pria itu.

Agnes menggotong keluar pria itu dan mencari taksi untuk naik, sebuah taksi berhenti di depan Agnes.

Agnes segera membuka pintu mobil tersebut yang ternyata ada seorang penumpang wanita di dalam sana.

"M-Maaf Mbak, boleh numpang ke rumah sakit, Mas ini kecelakaan," ujar Agnes yang membuat penumpang wanita itu terdiam sesaat.

Ternyata mobil yang Agnes kira taksi merupakan mobil pribadi milik wanita tersebut.

"Bagaimana, Mbak Glenda?" tanya sopir pribadi wanita tersebut yang bernama Glenda.

Wanita yang disinyalir bernama Glenda itu terdiam, dia menatap wajah korban, dimana Glenda malah teringat dan mengenalnya.

"Dia kan, Halim Hartawan, pengusaha coklat itu, dia seorang pria lajang yang tengah mencari istri bukan, ini kesempatan yang bagus," pikir Glenda.

"Mbak?" Agnes memecah lamunan Glenda.

"Y-yaudah Mbak, bawa naik aja, Pak ke rumah sakit sekarang," jawab Glenda kemudian memerintahkan sopirnya menuju rumah sakit.

Agnes juga naik ke sana, walaupun bajunya sudah berantakan bersimbah darah, tak butuh waktu lama akhirnya, mobil yang di tumpangi Agnes dan pria bernama Halim tersebut sampai di rumah sakit.

Dengan dibantu sopir Glenda, Halim di bopong masuk ke dalam rumah sakit dan langsung di masukkan ke instalasi gawat darurat.

Hening sesaat, setelah kejadian itu membuat Agnes mengingat skripsinya.

"Mbak, boleh saya minta tolong, saya titip Mas itu yah, soalnya saya mau skripsi sudah telat," jawab Agnes yang membuat Glenda mengangguk.

"Gimana kalau di antar sama sopir saya aja, biar kamu lebih cepat," jawab Glenda yang membuat Agnes tersenyum.

"Terimakasih Mbak, kalau boleh saya berterima kasih banget," jawab Agnes tersenyum penuh keramahan.

Sopir Glenda kemudian berjalan keluar, Agnes hendak menyusul sebelum dokter yang menangani Halim berlari keluar.

"Mbak dua ini ada golongan darah A, kebetulan persediaan darah di rumah sakit ini sedang habis," ujar Dokter tersebut. "Pasien membutuhkan transfusi darah sekarang."

Agnes terdiam mendengar itu, dia harus segera pergi karena dia sudah sangat telat untuk skripsinya.

"Saya bukan A, Dok, jadi pasiennya gimana?" jawab Glenda.

Tapi lagi-lagi hati nurani Agnes memenangkan ronde ini, Agnes kemudian kembali dan berkata. "Saya A, Dok, kalau mau sekarang ayok."

Dokter itu mengangguk kemudian membawa Agnes untuk di ambil darahnya, Agnes benar-benar sudah pasrah, setidaknya nanti semoga dosen pembimbingnya bisa memberikan kompensasi atas keterlambatannya.

Setelah urusan darah itu, Agnes kembali pamit kepada Glenda kemudian berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil Glenda, karena sopir Glenda yang akan mengantar Agnes ke kampus.

Kalaupun telat, setidaknya Agnes sudah melakukan yang terbaik kepada pria bernama Halim itu, satu nyawa sudah dia tolong.

"Kamu telat, kamu pikir kamu siapa bisa datang kapan saja," ujar dosen tersebut pada Agnes.

"T-tapi Pak-"

Ucapan Agnes mengantung tiga dosen di depannya tampak marah besar.

"Saudari Agnes, tidak ada lagi kompensasi kalau hanya telat setengah jam tidak apa-apa, tapi ini sudah dua jam." ujar Dosen satunya lagi.

"Tapi saya boleh minta keringanan gak, Pak, Bu untuk mengatur ulang jadwal sidang saya."

"Kamu pikir, kamu pemilik kampus ini, sudah! Keluar Agnes, kamu harus mengulang semester tahun depan," jawab dosen yang pertama kali tadi bicara.

"Tapi-" ucapan Agnes menggantung. "Baik, Pak, terimakasih sebelumnya."

Agnes berjalan keluar dari ruang sidang itu, hancur sudah harapannya, sudah terlalu banyak yang dikorbankan semester ini dan harus mengulang lagi rasanya Agnes tidak sanggup.

Gadis berjilbab merah muda ini hanya bisa menangis sambil istighfar meratapi nasibnya, dia bingung harus berkata apa kepada ayahnya nanti.

Agnes berjalan melewati trotoar jalan, menuju rumahnya, siap tidak siap dia harus menjelaskan ini kepada ayahnya.

Agnes berjalan dengan tangisan menghujan, dia kehilangan begitu banyak kesempatan yang ada, impiannya menjadi seorang dokter pupus sudah, setidaknya dia sudah melakukan kebaikan dengan menolong Halim tadi.

Belum habis disana kehancuran Agnes, sesampainya di rumah, dia dibuat bingung lagi dengan ramainya orang disana, tampak mereka menatap Agnes sendu saat Agnes datang.

"Assalamualaikum, ada apa yah Pak, Bu," Agnes masih belum tahu sampai ekor matanya menatap sebuah bendera kuning di depan pintu rumahnya.

"Yang sabar yah, neng," ujar seorang ibu-ibu tetangga Agnes.

"AYAH!" Agnes berteriak histeris.

Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah dan mendapati di ruang tamu ayahnya tengah terbaring kaku tak bernyawa, Agnes menangis histeris.

Takdir begitu jahat padanya dan semuanya terjadi disaat bersamaan, Agnes tidak tahu harus bagaimana lagi.

Satu-satunya tujuan Agnes untuk tetap hidup malah meninggalkannya, Agnes menangis memeluk jenazah sang ayah yang mulai dingin itu, Agnes perlahan tidak mengingat apa-apa lagi, pingsan dengan deraian air mata mempertanyakan pada takdir kenapa dia digariskan begini.

Haru banget :)

Assalamualaikum

Jangan Lupa Like.

BAB 02. Tempat Mengadu Terbaik

Setahun sudah berlalu semenjak kematian Ayah dari Agnes, Agnes yang sebatang kara pun harus menerima nasibnya menjadi seorang diri, karena ibunya sendiri sudah pergi entah kemana.

Agnes yang gagal menjadi dokter kini bekerja di sebuah rumah makan sebagai pelayan, karena dia harus mengulang kembali semesternya dan menyiapkan kembali program untuk mencapai cita-citanya yang tertunda.

Jam makan siang sudah tiba, Agnes kini berada di belakang rumah makan, dimana di belakang rumah makan itu ada sebuah meja dan kursi yang menghadap ke gang kecil untuk mengakses rumah warga yang berada di belakang rumah makan itu.

Disaat Agnes sedang duduk melamun, tiba-tiba saja ada seorang nenek tua menghampirinya dan meminta makan.

"Nak, minta tolong Nak, saya belum makan," ujar nenek tersebut yang membuat Agnes tidak tega.

Agnes terdiam sesaat, dia masuk ke dalam rumah makan menuju ruangan karyawan, mengambil tasnya dan merogohnya.

Isi Tasnya hanya ada uang seratus ribu rupiah, itu adalah uang terakhirnya, dan akhir bulan masih lama, Agnes yang pada dasarnya terlalu baik memilih memberikan uang tersebut dan membungkus makanan untuk nenek itu.

"Ini Nek, makanan sama ada sedikit uang buat Nenek," Agnes memberikan bungkusan makanan dan uang itu kepada nenek pengemis tadi dengan harapan Allah akan membalas kebaikan Agnes hari ini.

"Makasih," Nenek itu beranjak pergi meninggalkan Agnes yang masih terdiam berdiri disana.

Disaat Agnes menatap nenek pengemis itu pergi, ia kembali terhenyak dalam lamunan, padahal uang seratus ribu itu untuk fotokopi tugas kuliahnya yang harus di kumpul besok, sekarang Agnes harus berusaha keras mendapatkan uang gantinya.

"AGNES!"

Suara teriakan kencang membuat Agnes membalikkan badannya dan ternyata ada Bossnya, Bossnya merupakan seorang pria berusia tua yang terkenal pelit.

"Kamu ngasih makanan ke pengemis lagi yah!"

Mendengar itu membuat Agnes mengangguk dengan keadaan menunduk, Bossnya tampak murka, karena Agnes selalu begitu.

"Maaf-"

"Sudah! Lepas seragam kamu kemudian pergi dari sini! KAMU SAYA PECAT!"

Agnes terdiam mematung, dia menganggukkan kepalanya, berjalan masuk ke ruangan karyawan melepas seragam kemudian mengambil tasnya.

Agnes berjalan meninggalkan rumah makan itu, padahal dia sudah nyaman dan sesuai dengan bayaran disana yang bisa memenuhi kebutuhan kuliahnya.

"Apa aku berhenti kuliah aja yah? Tapi ini kan cita-citanya Ayah, kalau aku berhenti sekarang, berarti cita-cita ayah gak kesampean dong," ujar Agnes dalam hati.

Agnes berjalan melangkahkan kakinya meninggalkan area rumah makan itu sebelum sebuah mobil menghadang dirinya.

Agnes kebingungan karena dia tidak tahu menahu apa yang akan terjadi sekarang, dari dalam mobil turunlah seorang Ibu Paruhbaya yang sangat dia kenali bersama wanita yang Agnes juga kenal beserta beberapa bodyguard mereka.

"Mama!" Agnes berteriak dan berlari memeluk Ibunya itu yang sudah beberapa tahun ini tidak bertemu dengannya.

Namun sayang, bukannya sambutan baik yang dia terima, Agnes malah enggan dipeluk dan di dorong agar menjauh sedikit.

"Mama gamau peluk Agnes, Agnes kangen sama Mama, Ma, Ayah udah meninggal, Mama kemana aja?"

"Bu Sinta, bawa sekarang?" tanya Bodyguard yang ada disana.

Wanita bernama Bu Sinta yang merupakan ibu Agnes tersebut lalu mengangguk dan membuat beberapa bodyguard langsung membekuk Agnes dan membawanya masuk ke mobil.

"Ini ada apaan!" ujar Agnes merasa heran.

"Diam! Kalau kamu masih nganggap saya Ibu kamu, kamu harus nurut sebentar lagi kamu akan nikah!" ujar Bu Sinta yang membuat Agnes mendelik tajam.

"Hah!"

"Bisa Diam, Gak!" ujar wanita satunya lagi yang Agnes kenal itu adalah Glenda.

"Mbaknya, Mbak yang dulu kan?" tanya Agnes pada Glenda.

"Iya! Dan aku kakak tiri kamu, hari ini kamu harus nikah dengan pacar aku, dan kamu tahu siapa, dia adalah Halim, orang yang kamu tolong dulu, tapi kamu jangan sampai berbicara apapun tentang masa lalu kepada Halim," jawab Glenda.

"T-tapi, Mama jelasin ini kenapa!"

"Sudah Agnes! Mending kamu nurut dan jangan banyak bicara, sebentar lagi kita akan menemui Halim!" bentak Bu Sinta yang membuat Agnes terdiam.

Tak lama kemudian mobil Bu Sinta dan Glenda sampai di depan sebuah rumah, mereka berdua kemudian membawa Agnes tanpa bodyguard masuk ke dalam sana.

Dimana ada Halim, sosok pria yang Agnss tolong dulu sampai akhirnya Agnes harus kehilangan kesempatan sidang skripsi waktu itu.

"Mas, ini yang akan menikah dengan kamu," ujar Glenda berjalan ke arah Halim kemudian memeluknya.

"Dia siapa, Tan?" tanya Halim pada Bu Sinta.

"Anak Tante, udahlah dia adik tirinya Glenda," jawab Bu Sinta.

"Anak kandung Tante, dong?" tanya Halim.

"Sangat disayangkan, Faktanya begitu."

Bertapa hancurnya hati Agnes mendengar semua perkataan ibu kandungnya itu, yang sudah Agnes rindukan selama beberapa tahun ini.

"Nama kamu siapa?" tanya Halim kepada Agnes.

"A-agnes, Mas," jawab Agnes diam tidak berani menatap.

Halim berjalan ke arah Agnes kemudian menarik dagunya. "Kita akan menikah besok, didepan keluarga saya, sah secara agama dan hukum tapi ini agar saya memenuhi syarat harta warisan keluarga saya, jadi kita hanya menikah kontrak selama tiga bulan saja."

"T-tapi-"

"AGNES! NURUT! KAMU MAU DURHAKA SAMA MAMA!" ancam Bu Sinta yang membuat Agnes terdiam.

"I-iya, Mas."

"Dan selama kalian menikah, kalian cuma formalitas yah, karena Mas Halim itu cintanya cuma sama aku yang nyelamatin nyawanya dulu, jadi kamu jangan berlagak seperti istri sebenar nantinya, oke?" Glenda menggandeng tangan Halim.

Penyelamat nyawa? Glenda? Semua pertanyaan itu berkembang dikepala Agnes, padahal faktanya dialah yang harus merelakan sidang skripsinya demi menyelamatkan Halim dan mendonorkan darahnya waktu itu, jadi ini alasan Glenda menyuruhnya diam.

"Hari ini, kamu nginap disini, memastikan kamu gak kabur nanti! Bodyguard bawa dia ke kamar dan kurung dia!"

Bodyguard tersebut mengangguk mendengar perintah Bu Sinta yang langsung membawa Agnes ke sebuah kamar di dalam rumah, sesampainya didalam sana Agnes langsung dimasukkan dan di ambil ponselnya serta dikunci dari luar.

Agnes terdiam sekarang, dia memilih duduk di ranjang dengan tangisan tiada henti. "Ayah! Tolongin Agnes Yah!"

Agnes sekarang merindukan ayahnya, satu-satunya sosok yang selalu menguatkannya, karena ibu yang dia anggap bisa menguatkannya malah ikut menghancurkan dirinya, berasa dijual dan diperlakukan tidak semestinya, Agnes benar-benar ibarat sampah yang bisa dimainkan dan ibarat boneka yang bisa di setting apapun.

Agnes menangis dalam ringkuh membasahi bantal dikamar itu, salah apa dia selama ini, Agnes menghapus air matanya dan meraih tasnya didalam sana ada mukena.

Agnes kemudian berjalan ke kamar mandi didalam kamar itu mengambil wudhu, karena dia tahu sebaik-baiknya tempat untuk mengadu adalah Allah, karena tidak ada yang lebih dekat darimu kecuali Allah.

Jangan Lupa Like

Assalamualaikum

BAB 03. Agnes Yang Berkorban

Agnes kini tengah terduduk di ruang tamu rumah yang menjadi tempat tujuan saat Agnes dibawa oleh Ibunya tadi.

Disini Agnes mendapat sebuah fakta baru dalam hidupnya bahwa sebenarnya Ibu Agnes ~Bu Sinta sudah menikah dengan almarhum Ayah Glenda itulah sebabnya Glenda adalah kakak tiri Agnes.

Dan kini Agnes yang dulu dibuang malah diambil kembali bukan untuk diperlakukan dengan baik melainkan untuk dijadikan boneka dalam kehidupan mereka.

"Kamu harus tahu yah, kamu dan Mas Halim nikahnya cuma settingan walaupun sah secara agama dan hukum sih, tapi jangan harap kamu bakal dicintai, maunya sih aku yang jadi istrinya Mas Halim, tapi aku gamau nikah sekarang, aku masih mau jadi wanita karir," tegas Glenda pada Agnes yang membuat Agnes menatapnya dalam.

"Terus, kenapa harus aku yang dijadikan kambing hitam?"

"Yah, demi harta warisan, guna kamu apasih, lagipula kamu bisa apa di saat-saat seperti ini, jadi lebih baik kamu pasrah aja yah," jawab Glenda yang membuat Agnes terdiam kaku.

Tak lama setelah ucapan Glenda, pintu rumah dibuka yang memperhatikan Halim di ambang pintu sudah rapih dengan jasnya, yang membuat Agnes bingung.

"Kamu udah nyiapin dia?" tanya Halim pada Glenda dan menunjuk Agnes dengan dagunya.

"Belumlah Mas, kan bajunya ada di kamu, gimana sih?" ujar Glenda yang membuat Halim menghela napas panjang. "Kenapa gak pakai baju kamu dulu sih?"

"Mas, baju aku tuh seksi semua, dia kan liat aja tuh auratnya cuma muka, mau pakai baju yang mana?"

Halim mendecih. "Tunggu, ada di mobil kayaknya."

Halim kemudian kembali keluar dari rumah bermaksud menuju mobilnya, sedangkan Agnes masih diam bersama Glenda.

"Mbak, ini maksudnya apa sih, aku mau dibawa kemana lagi?" tanya Agnes pada Glenda.

"Bisa diam gak sih? Nurut aja deh, Mas Halim bakal bawa kamu ketemu orang tuanya," jawab Glenda yang mengambil ponselnya kemudian duduk di sofa.

Tak lama kemudian, Halim kembali datang dengan membawa totebag berisi baju, ia kemudian memberikan totebag itu kepada Agnes. "Pakai ini, kamu akan ketemu orang tua saya."

Agnes terdiam, dia masih menatap totebag tersebut tanpa seucap katapun yang keluar dari mulutnya.

"Ayok, Pake!" Halim menaikkan nada bicaranya yang membuat Agnes langsung mengambil totebag itu.

Agnes mengambil totebag itu kemudian masuk ke dalam kamar yang diperuntukkan untuknya, di dalam kamar Agnes sempat terdiam perlahan, apakah harus begini nasibnya.

Gagal menjadi seorang dokter dan berakhir menjadi istri kontrak, Agnes hanya bisa mengeluh dalam hati, karena memang keadaan membuatnya sesakit ini.

Tok!

"Nes! Cepet! Kamu ngapain aja sih, kok lama banget?" Suara teriakan dari Glenda membuat Agnes menghapus air matanya yang sempat jatuh tadi.

Agnes kemudian mulai mengganti bajunya, ada sebuah dress syar'ii berwarna blush sepadan dengan hijabnya yang juga berwarna blush.

Setelah mengganti bajunya, Agnes kemudian keluar dari kamar yang langsung disambut oleh Glenda dengan tatapan sinis.

"Nanti kamu jangan sok caper yah, di depan Orang Tuanya Mas Halim!" ancam Glenda.

Agnes menganggukkan kepalanya sebentar. "I-iya, Mbak."

Agnes kemudian berjalan menuju ruang tamu di dampingi Glenda dimana di ruang tamu sudah ada Halim yang sedari tadi menunggunya.

"Sudah siap?"

"I-iya, Pak."

"Panggil saya, Mas Halim!"

Agnes kembali mengangguk, ia kemudian berjalan mengikuti Halim keluar dari rumah Glenda dan masuk ke mobil.

Di dalam mobil mereka tidak langsung berangkat, melainkan melakukan Briefing terlebih dahulu.

"Kalau orang tua saya nanya, berapa lama kita pacaran, kamu jawab aja tiga bulan, kalau orang tua saya nanya dimana keluarga kamu, kamu ga mungkinkan nunjukin Glenda sebagai keluarga kamu, kamu punya keluarga dari pihak Ayah kandungnya kamu Gak?" jelas Halim yang membuat Agnes menatapnya.

"Tidak punya, Mas."

"Yasudah jawab aja, kamu yatim piatu," jawab Halim yang membuat Agnes mendelik.

"Kan saya punya Ibu Kandung, Mas, masih hidup," sela Agnes yang membuat Halim tersenyum getir.

"Kamu pikir Tante Sinta, mau ngakuin kamu sebagai anak kandung? Terlepas dari faktanya begitu kan."

Agnes menunduk, faktanya memang benar begitu, dia adalah anak yang tidak diakui oleh ibu kandungnya sendiri, malahan ibu kandungnya lebih menyayangi Glenda yang merupakan anak tiri.

"Selagi kamu menurut, semuanya akan berjalan dengan baik, hanya tiga bulan dan setelah itu kamu bebas ingin melakukan apapun," Halim menatap Agnes kemudian mengambil sebuah map. "Ini kontrak pernikahan kita, isi dan baca dengan baik."

"Apa harus ada kontrak?" tanya Agnes yang membuat Halim menghela napas kasar.

"Selain saya, siapa yang ingin menikahi wanita sampah sepertimu, kamu itu hanya sampah yang dipungut dan harusnya kamu bersyukur karena kamu bisa menjadi istri saya, walaupun istri kontrak, tidak ada yang mau mengutip sampah untuk dijadikan ratu, Agnes, ingat siapa kamu!"

Agnes berusaha sadar diri sekarang, dia hanya sampah yang dipermainkan, dijadikan boneka dan bodohnya dia hanya pasrah begitu saja.

"Tapi aku juga punya syarat, Mas."

"Kamu, gaada di posisi pihak yang mengajukan syarat, Agnes," jawab Halim.

"Aku ingin melanjutkan kuliah, walaupun sebatas menjadi istri Mas Halim."

"Oke, saya bisa biayain, kamu."

"Gak perlu Mas," jawab Agnes yang membuat Halim mendelik. "Saya bisa kerja sendiri untuk kuliah saya, menjadi istri Mas, anggap saja saya berbuat sebuah kebaikan."

"Sombong sekali kamu, Nes!"

"Tidak mungkin kan, saya menerima nafkah dari suami yang hatinya ada pada orang lain?" jelas Agnes yang membuat Halim kali ini yang diam.

Halim tidak menjawab lagi, ia kemudian menyalakan mesin mobilnya dan membawa mobil tersebut meninggalkan kediaman Glenda menuju rumahnya dimana kedua orang tuanya sudah menunggunya.

Sepanjang perjalanan, Agnes terdiam, dia ingat mobil ini, mobil yang dipakai Halim ketika kecelakaan waktu itu, andaikan Halim tahu bahwasanya Agnes yang berkorban mungkin Halim tidak akan bersikap seperti ini kepada Agnes.

Sesampainya di rumah Halim, Halim langsung turun bersama Agnes, mereka diam dulu sebelum masuk ke dalam rumah, Halim mengangkat tangannya dengan maksud menggandeng tangan Agnes.

"Gak Mas, seenggaknya aku masih ada harga diri untuk menjaga sentuhan dari yang bukan mahram," jawab Agnes yang membuat Halim mendelik.

"Nanti orang tua saya, gak percaya kalau kamu pacar saya dengan keadaan tidak Romantis begini."

"Bukannya kita berada disini sekarang, di dasari dengan kepura-puraan? Kenapa Mas harus takut gagal dan menjalankannya?"

"Dasar! Keras kepala!"

Halim kemudian berjalan masuk ke rumah di susul Agnes disampingnya, sesampainya di pintu rumah Halim segera membukanya dan mengucap salam.

"Assalamualaikum."

"Waalakumsalam."

Haruskah Agnes turut andil dalam kebohongan Halim sekarang, setelah Agnes melihat wajah kedua orang Halim, yang tulus saat melihat Halim membawa pasangan.

Assalamualaikum

Jangan Lupa Like

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!