"Rasanya kita baru aja nikah ya, Mas? Kurang lebih enam tahun sudah berlalu." Mila berkata sembari bersandar di dada suaminya, dan memakan kacang almond yang sedari dulu setia bersama mereka.
Kevin mencium pucuk kepala Mila penuh sayang. "Ha-ha-ha iya Ayang. Rasanya aku semester lima, kamu mahasiswi baru. Kok berani ngajak kawin anak orang."
"Nikah kali," koreksi Mila. "Lah kamunya aja yang ngebet, aku sih maunya kuliah dulu."
"Kalo kita gak cepat-cepat nikah nanti kamu nyesal lagi," goda Kevin. Sadar akan keterdiaman Mila membuat Kevin salah tingkah. "Eh ... maksudnya bukan gitu Ayang."
"Aku gak suka ya, kamu ngomong gitu."
"Maaf Ayangku, janji gak lagi-lagi deh." Kevin mengankat dua jarinya sambil cengegesan.
“Kita kan udah sering bicarain ini.”
“Iya Ayang, maaf. Emang ini mulut nggak bisa dikontrol.”
"Tapi, ini bukan yang pertama kalinya lho."
"Iya Ayang, namanya juga manusia terlalu tampan. Suka bikin kesel, he-he-he. Kalo sehari aja gak bikin kamu kesel itu nggak puas."
"Terus aja bikin aku kesel."
Langkah kaki terdengar dari arah belakang, sesekali suara tawa khas anak kecil ikut menggema.
"Moma! Popa!"
Melupakan sedikit kesalahan Kevin, dengan beralih ke sumber kebahagiaan. Kebahagiaan Kevin—Mila semakin bertambah dengan hadirnya dua malaikatnya kecilnya. Sepasang anak kembar berusia lima tahun.
"Bikin Uncle pusing lagi hari ini, hm?" Kevin mencubit kedua pipi anak kembarnya.
"Uncle gak pusing, kok Popa!" jawab si cantik dengan polosnya.
"Apaan, gue dibikin malu sama mereka!" seru seorang pria membuat anak kembar itu bersembunyi dalam pelukan Momanya.
"Hitung-hitung latihan kalo lo punya anak nanti," jawab Mila asal.
"Semoga anak gue gak se-aktif mereka berdua, deh!"
"Hati-hati ketula," pesan Kevin dan Mila bersama.
"Sok romantis pake acara bicara barengan."
Kevin terkekeh. "Emang romantis kali, lo nya aja yang baperan gak pernah berubah dari dulu. Masih suka sama bini gue?"
"Boro-boro! Sorry gue udah ada kali."
Kevin berdecih tak percaya, "Sebelum dibawa ke rumah, masih dianggap hoax"
"Liat aja entar," sahut pria itu dengan nada tak bersahabat.
"Uncle, diem dulu dong," tegur si abang.
"Enak aja nyuruh Uncle diem, bayar loh."
Si cantik menhentakkan kakinya. "Dede aduin Oma nih!"
Tahu ancaman itu bukan isapan jempol semata, pria itu lantas memilih diam.
"Moma, Popa celitakan kami waktu Moma dan Popa ketemu dong...." Giliran si Abang yang berkata.
Kevin sedikit bingung, lalu bertanya. "Kok kalian pengen tau cerita itu?"
"Kita disuluh mencelitakan soal olang tua, jadi Dede sama Abang mau celitain Moma sama Popa." Si cantik yang menjawab.
"Bohong tuh, tadi gue denger gurunya gak ada nyuruh begitu."
"UNCLE!!!" Teriak keduanya secara bersama membuat sang paman pergi meninggalkan mereka sebelum sang ratu bersuara.
Mila tersenyum. "Oke, Moma ceritakan. Waktu itu kami ketemunya drama banget, kalo diingat-ingat bikin malu sendiri."
"Kok bikin malu Ma? Kan kita masih pakai baju?" tanya Kendrick.
Kamea memprotes."Tapi kata Popa, pakai baju masih bisa malu Bang."
"Iya Abang tahu, makanya ini nanya sama Moma."
Kevin tertawa, kedua kurcacinya ini benar-benar mengokuti gen anehnya. Sudah tahu kalau istri cantiknya itu akan mengamuk, Kevin menyanggah. "Ada kalanya kita malu disaat pakai baju dan nggak pake baju, intinya kalian dengerin aja ceritanya Moma. Nggak boleh dipotong, sambil makan kacang almond. Setuju?"
"Setujuuu!" Keduanya bersorak.
Kemarahan Mila menguap, sambil tersenyum ia berkata. "Di sini kisah kami bermula."
ENAM TAHUN YANG LALU.
"******!"
Gadis itu berlari sambil menepuk jidatnya begitu melihat sejumlah mahasiswa baru sudah berbaris bersama kelompoknya masing-masing di lapangan. Berhenti di pos satpam, meneliti jam, hanya terlambat satu menit.
Terlambat bukan hal biasa yang ia lakukan. Pagi ini selain kesiangan Mila harus membantu bundanya mengolah dan membagikan kue dagangannya.
Tahu akan dihukum, Mila pasrah seraya begerutu dalam hati. Namanya juga anak baru, iya aja, apa kata kakak tingkat.
"Thom, ada yang telat nih, cantik. Enaknya diapain nih?" Lapor salah satu panitia ospek.
Cowok bernama Thomas menatapnya dengan seksama. "Sebutin nama, tanggal lahir sama nama kelompok."
"Kamila Milea Angelia. 17 Agustus, kelompok kanker."
Thomas kembali meneliti gadis dihadapannya, sambil mengecek seluruh perlengkapan ospek yang dipakainya. "Alasan telat? Gue gak terima alasan klise."
Mila memutar mata malas. "Percaya gak percaya, gue telat karena bantu Bunda buat bagiin jualannya."
Mila anak kedua dari Adi Nugroho dan Cantika Bunga. Ayahnya bekerja sebagai supir di bank Asia, sedangkan bundanya penjual kue pasar.
Alvin—kakak laki-laki Mila sekarang sudah menikah dengan anak seorang pengusaha terkaya di Indonesia.
Namun, kenyataanya kebahagiaan kakaknya hanya sebatas ikatan pernikahan. Yang mana pernikahannya itu, ia harus terpisah dengan keluarganya. Hanya karena keegoisan suatu pihak.
"Alasan yang bagus, bawa orang tua demi kebebasan," kata Thomas sedikit mengejek.
Hal biasa bagi Mila menerima ejekan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Tapi bagi Mila: yang menentukan hidup adalah kita. Tapi, untuk perjalanan hidup adalah takdir yang sudah Tuhan tentukan. Tidak ada yang ingin hidup dengan kekurangan kan? Tapi, kita hanya bisa menerima dan menjalankannya.
"Terima kasih pujianya, Kak. Masih ada yang harus gue lakuin?"
"Jadi lo pengen tugas," kata Thomas tersenyum sinting. "Tugas lo gampang." Thomas memberi jeda, "cari satu mahasiswa yang tangal lahirnya sama kayak lo, bawa dia kehadapan gue." Thomas meninggalkan Mila.
"Itu orang korban film kali, dikira ini film Pupus cari mahasiswa yang ulang tahunnya sama kayak gue," gerutu Mila kesal.
Tak jauh dari Mila berada, ada seseorang yang memperhatikannya. Menatapnya seperti ada yang berbeda dari kebanyakan gadis lainnya. Gadis pemberani, manis dan lucu. Batin cowok tampan itu.
▫️▪️▫️▪️
Berapa kali Mila menyapu keringat dengan punggung tangannya, lelah menyusuri gedung fakultas kedokteran. Setiap kali bertanya tentang keberadaan ruangan ke mahasiswa yang berlalu lalang, mereka menjawab tidak tahu. Entah kebetulan atau memang benar tidak tahu.
"Tuh kan, gue udah kayak kambing ****." Mila menggerutu.
Mila sendirian di sini. Teman-teman SMAnya lebih memilih kuliah di fakultas-fakultas seperti; .sastra, ekonomi, akutansi, arsitek, perawat, bidan.
Alasannya simple: tidak mau masuk kedokteran takut tidak sanggup dengan pembelajarannya, padahal belum mencobanya.
Mila gadis yang pintar. Dikelulusan, ia dinobatkan sebagai peraih nilai Ujian Nasional tertinggi untuk daerah Jakarta. Sebagai hadiahnya, Mila mendapatkan tawaran beasiswa kuliah di dua universitas tenama, di Malaysia dan Indonesia.
Mila diambang kebimbangan saat itu, di satu sisi sahabat Mila melanjutkan pendidikannya di fakultas kedokteran di Malaysia tempat ia mendapatkan beasiswa. Namun disisi lain ia berat meninggalkan keluarganya.
Pada akhirnya, Mila memilih untuk tetap berada di Jakarta, karena ingin tetap bersama kedua orang tuanya.
"Dari tadi cuman muter-muter disini, gimana bisa masuk kelompok kalo gue gak jalan maju?" Mila mengeluh, sampai-sampai kurang memperhatikan jalannya dan menabrak seseorang.
Mila mengaduh, "Aduh!" Akibat kecerobohannya ponsel dan buku orang tersebut jatuh berserakan.
"Ma-maaf gue ... gue gak sengaja." Mila cepat meminta maaf sambil membantu mengambil buku yang berserakkan. Tidak sengaja Mila melihat ponsel orang itu tergeletak tak jauh dari kakinya, layarnya pecah.
"Lain kali, perhatikan jalan. Jangan sampai ceroboh," pesan cowok itu, lalu mengambil ponselnya kemudian membuangnya ke bak sampah.
Mata Mila sukses membulat, melihat dengan gampangnya cowok itu membuang ponselnya. "Eh, tunggu deh. Ini ponsel lo kenapa dibuang?" Mila berusaha mengiringi langkah cowok—pemilik ponsel hanya menatapnya sekilas. "Cuman gara-gara ponsel lo gini, dibuang? Gak menghargai hidup banget sih. Lo mau minta ganti rugi?".
Cowok itu berhenti berjalan, lalu membalik tubuhnya menghadap Mila.
"Pertama, saya terima maafnya. Kedua, saya buang ponselnya karena emang rusak. Ketiga, ruangan yang kamu cari ada di lantai dua." Cowok tampan itu langsung meninggalkan Mila.
"Eh, tunggu!"
Cowok itu berjalan meninggalkan Mila yang berteriak-teriak memanggilnya, tanpa diketahui orang, dibalik sana ia mengulaskan sebuah senyum.
Tanpa memikir dua kali, Mila menuju tempat yang dicarinya secepat mungkin. "Duh! Gara-gara itu cowok, gue jadi kayak orang kurang waras gara-gara teriak sendiri."
Tanpa disadarinya, cowok tadi mengikutinya sampai Mila berhasil menemukan ruangan yang dicarinya. "Jangan kaget, ya."
•••
Mila menatap ragu ruangan yang di depannya, "Permisi," sapa Mila.
Di dalam ada seorang ibu-ibu bertubuh tambun dengan garis muka masam. "Ada perlu, apa?" tanyanya cuek matanya tak lepas dari layar komputer di depannya.
"Saya mau mencari data mahasiswa, yang tanggal lahirannya 17 Agustus. Buat keperluan OSPEK," jelas Mila tenang.
"Gak bisa! itu privacy kampus," jawabnya cuek.
"Tolong dong Bu, ini kebutuhan ospek." Mila sengaja menegaskan kata ospek.
"Itu bukan urusan saya."
Mila kembali memelas. "Please Bu, ini penting banget buat saya. Kalo gak dapet saya gak bisa masuk kelompok."
"Kenapa kamu dapat tugas ini? Terlambat?" Mila mengangguk.
"Cuman telat satu menit Bu...."
"Itu risiko kamu, dan itu bukan urusan saya. Mendingan kamu keluar, saya sibuk." Bertepatan wanita itu selesai bicara, ponselnya berdering.
Mila memutar otak, bagaimanapun ia harus mendapatkan data tersebut. Bukan Mila namanya kalau tidak keras kepala, ia bersikeras menunggu wanita tersebut selesai menelepon.
Wanita tersebut nampaknyaa bicara serius, sesekali melirik ke arah Mila yang masih setia menunggunya.
Ponsel wanita tersebut diletakkan kembali ke meja lalu ia berkata, "Baiklah, saya bantu. Ulangi apa yang kamu cari?"
"Beneran, Bu? Ehm, oke saya mau mencari mahasiswa yang ulang tahunnya tanggal 17 Agustus," kata Mila penuh semangat.
"Tunggu sebentar. Saya cari datanya, duduk dulu." Beliau mengetikan kode untuk membuka akses data kampus, berselang waktu beberapa menit file berbentuk print ada di tangan Mila.
Dengan senang hati Mila menerima file. "Terima kasih banyak, Ibu cantik deh kayak Anjasmara."
"Hei! Kurang ajar kamu ya!" Terdengar sumpah serapah dari wanita tersebut, yang ada di pikiran Mila hanya ingin pergi sejauh-jauhnya.
"Ternyata kamu jail juga," kata cowok yang tadi menunjukkan tempat yang dia cari.
Mila terlalu bahagia sampai lupa membaca dan melihat siapa yang ada di file tersebut, tujuannya hanya ingin melemparkan kertas ke muka cowok songgong tadi.
"Gue udah bawa data nih," kata Mila sambil menyodorkan kertas tepat di wajahnya.
"Ngapain lo ngasih gue kertas gak guna gini? Gue minta lo bawa orangnya, bukan kertas. Paham?" Thomas menunduk mensejajarkan tinggi Mila yang hanya sedagunya.
"Ini aja udah susah, lo malah bikin tambah susah!" Mila kesal langsung melempar kertas ke wajah Thomas.
"Kurang ajar nih cewek! Bawa orang itu ke sini, sampai lo gak bisa ngajak dia ke sini siap-siap lo dikeluarin dari kampus!" ancaman Thomas membuat Mila sedikit takut, namun Mila tidak menunjukkan ketakutannya.
"Kenapa gue harus takut sama ancaman lo?" jawab Mila sarkastis.
Thomas yang geram Mila langsung menyalurkan ide gilanya lagi. "Bawa orang itu ke hadapan gue, cium dia di depan gue. Atau beasiswa lo, gue cabut?"
"Lo, gila? Jangan sok ngacem deh. Gue emang kuliah karena beasiswa. Tapi, gue bukan anak yang bisanya cuman merintah, merengek dan memaksa kayak lo," kata Mila dengan lantang lalu kemudian berlalu pergi meninggalkan Thomas yang kembali mengejeknya.
Mila berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya kesal, tangannya mengepalkan hingga kuku-kukunya memutih.
"Demi masa depan. Mila ... lo harus semangat!" Mila memberi semangat untuk dirinya sendiri, jika Mila kehilangan beasiswanya maka ia tidak bisa meneruskan sekolahnya. "Emang siapa sih orangnya?" Mila membaca setengah hati, dongkol karena sudah capek-capek mencari tapi malah dipermainkan.
Data mahasiswa Univ. Kedokteran.
Nama mahasiswa : Balder Kevin Mahesa.
Nama panggilan : Kevin.
Ttl : 17 Agustus 1996
Umur : 20 tahun
"Jadi ini orangnya. What! Orang ini yang tadi nunjukin ruangan tadi kan?" Mila histeris. "Astaga gue malu banget kalo ketemu dia, terus gue cari dia ke mana dong?"
Mau tak mau Mila kembali menyusuri kampus dengan langkah pasti, demi masa depannya lebih baik. "Kok gak ada ya, apa mungkin di kantin ya?" Mila sebegitu yakinnya langsung ke kantin, dan ternyata nihil tidak ada siapa-siapa. "Mendingan, gue makan dulu deh. Siapa tau aja dia ada di sini."
Mila memilih kursi di paling pojok, jauh dari keramaian nantinya karena ia sedang ingin sendiri.
Mila memesan soto dan es jeruk. Mila makan dengan lahapnya, jujur ia belum sempat sarapan
karena terlambat bangun dan harus membantu bundanya membagi jualannya.
Gimana nasib gue? Ini udah jam berapa gue belum ketemu dia.
Mila menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menenggelamkan kepalanya di sana. Ia membuang napasnya perlahan, mencoba mensugesti diri untuk tetap semangat. Demi bunda, dan ayahnya. "Bunda, Mila capek," keluhnya dalam hati.
"Saya selalu duduk di sini, bisa pindah dari sini?" Mila terkejut langsung membuka tangannya, dan betapa terkejutnya ia saat tahu pemilik suara.
Mila senang bukan main, tanpa harus capek-capek atau keliling lagi ia sudah mendapatkan apa yang dimau.
Senyum ala iklan pasta gigi tak berhenti ia tunjukkan sampai-sampai tidak menyadari ada suatu hal yang menjadi daya tarik cowok di depannya, yang melihatnya sambil manahan senyum.
"Maaf, di gigi kamu ada cabe!"
Saat itu juga, wajah Mila berubah menjadi merah dan ia tidak bisa berkata kata lagi, selain MALU!
Mila benar-benar sial hari ini, karena ia dipermalukan oleh semangkok soto ayam kantin. Rasanya Mila ingin menghilang dari bumi saat ini juga.
Dihadapannya ada cowok yang sedari tadi dicari-carinya, tengah asik membaca bukunya sambil memakan kacang almond tanpa memperdulikan keberadaan Mila.
"Ehm, gue boleh min—"
Kevin langsung memotong perkataan Mila. "Gak boleh, saya sibuk."
Mila mencibir kesal, "Aish! Gue belum ngomong juga."
Cowok dihadapannya sama sekali tidak merespon, hanya menampilkan wajah tidak peduli.
"Please, bantu gue. Lo lahir tujuh belas agustu—"
"Gak perlu tanya lagi. Kamu punya data diri saya kan?" Matanya tetap fokus ke buku tapi, satu jarinya menunjuk ke lembaran kertas yang Mila pegang.
Mila kesal, setiap perkataannya selalu saja dipotong, "Bisa gak sih jangan potong ucapan gue?"
Cowok itu terkekeh. Anehnya tatapan kesal Mila malah berubah menjadi tatapan kagum.
Tampan, keren, perfect dan manis."Bantu gue ya, please," pinta Mila lagi.
"Gak bisa, saya sibuk. Lain kali aja," kata cowok itu sambil membereskan barang-barangnya.
"Eitss, lo mau ke mana? Please bantu gue, sekali ini aja. Apa pun yang lo mau bakal gue turutin," Mila memelas. Sedangkan cowok itu hanya menatapnya tanpa ekspresi.
Mila berpikir keras, memutar cara agar bisa mendapatkan keinginannya. "Gue janji. Asal lo mau bantu gue."
"Maaf, saya gak bisa." Cowok tampan itu berjalan menjauhi Mila, namun Mila tidak kekurangan akal. Ia mengejar Kevin, tanpa sengaja kedua kakinya saling bersenggolan satu sama lain sehingga membuat tubuhnya melayang dan siap terjun bebas ke dinginnya lantai kantin.
"Aaaaaaaa!" teriakan Mila menggema membuat Kevin berbalik, melihat Mila hendak terjatuh ia berlari cepat menangkap tubuh Mila.
"Loh, kenapa gak sakit?" kata Mila, lalu ia meraba-raba apa yang ada di bawah badannya. "Kok empuk sih?"
Tangan Mila tak tinggal diam, terus meraba-raba bagian empuk yang ada di bawahnya. Karena bingung Mila membuka matanya, betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berada di bawahnya.
"Ups! Ma-maaf gue gak sengaja.” Mila menunduk malu, lalu ia juga berinisiatif membantu Kevin untuk berdiri.
Mila mengulurkan tangannya, saat tangannya mereka menyatu sengatan listrik beribu-ribu volt datang, "Ma-maaf sini gue bantu." Kevin memberikan tangannya namun karena badan Kevin lebih besar membuat tubuh Mila limbung kembali.
Keduanya mengaduh kesakitan. "Aduhh!"
Kantin mulai ramai, kedua masih pada posisinya. Bahkan tangan Kevin masih bertengger pada tubuh mungil Mila. Begitu pula sebaliknya Mila enggan juga untuk melepaskan dirinya.
"Omg! Kevinku...," suara cempreng membuat kesadaran Kevin-Mila kembali.
Dia—Michelle, terkenal dengan suara yang cempreng dan juga terkenal sebagai ketua genk yang sangat tidak penting. Kerjaannya hanya membully, menjudge mahasiswa-mahasiswa baru.
Kevin mengeratkan pelukannya, kalau Mila berusaha yang keras melepaskan pelukan Kevin. "Lepasin dong, malu diliatin orang banyak."
Kevin semakin mengeratkan pelukannya, "Biarin gini aja, gak ada yang melarang kita mau ngapain, di sini bebas. Gak perlu takut."
Tubuh Mila terguncang karena dari sisi belakang ada yang menarik tubuhnya keras, tapipelukan Kevin kuat tidak membuat Mila menjauh.
"Eh, anak baru pergi jauh-jauh dari Kevinku!"
Kevin berdiri dibantu oleh beberapa pria berjas hitam. "Kalian boleh pergi."
"Ihh! Kevin ngapain sih peluk-peluk dia, lepasin mendingan kamu peluk aku." Michelle bergelanyut pada di lengan Kevin sambil berusaha mendorong Mila.
"Lepasin gue dong, meluknya kekencengan jadi susah napasnya."
Kevin mendengar Mila kesulitan bernapas sedikit melonggarkan pelukannya, "Maaf saya peluknya terlalu kuat."
Michelle mencibir menatap kesal keduanya, "Udah sama aku kamu gak pernah lembut gitu, giliran sama ini orang lembut banget."
"Pergi gih. Pergi secara baik-baik atau gue paksa?"
Michelle menghentakkan kakinya kesal. "Ish, Kevin."
"Pergi atau curut yang bertindak?"
"Ini semua gara-gara lo! Awas lo!" Michelle menatap Mila penuh amarah.
"Salah lo sendiri, wlee."
"Awas lo, tunggu pembalasan gue!"
Kevin berdehem, para curut langsung muncul. "Bawa ini cewek jauh-jauh dari gue, kalo bisa buang ke laut."
"Ish Kevin jahat banget sih...," rengek Michelle membuat Mila geli sendiri.
"Curut, cepetan bawa jauh-jauh dari gue!" perintah Kevin tak terbantahkan.
Para curut langsung menggiring Michelle menjauh, "Lepasin, ih gue bisa jalan sendiri!"
Suara Michell sudah tidak terdengar lagi, Mila kembali menjalankan misinya. "Bantu gue buat nyelesain tugasnya, Please." Mila memelas tepat di depan wajah Kevin, bahkan Kevin bisa merasakan hembusan napasnya.
Kevin tersenyum manis tepat satu inchi di depan bibir Mila. "Oke, tapi ada syaratnya: makan malam bareng saya." Kevin mengecup kening Mila dengan santai. Kontan Mila menutup matanya.
Teriakan godaan dari para mahasiswa yang melintas membuat Mila kembali sadar dengan apa yang telah terjadi.
Ciuman lo, pelukan lo , dekapan lo buat gue nyaman. Sama kayak gue lagi di pelukan Ayah dan Kak Alvin. Mila membatin.
••
Suasana lapangan masih ramai, para mahasiswa baru masing-masing sibuk bersama
kelompoknya. Hanya Mila yang bingung, tidak tahu mana kelompoknya.
"Jangan bilang, kamu gak tau kelompoknya?" Kevin memicingkan mata hazelnya.
Mila tersenyum kikuk. "Gimana gue bisa tau, kan baru mau cari kelompok dikasih beginian cuman gara-gara telat."
Kevin menaruh tangannya ke bahu Mila, lalu mengelusnya. "Mendingan kamu cari ketua kelompok kamu. Saya tunggu di sana."
"Oh oke, jangan jauh-jauh susah gue carinya." Kevin mengangguk kemudian menjauh.
Tak berapa lama Kevin menjauh, datang seseorang menghampiri Mila. "Hai, lo Mila kan? Lo pasti bingung cari kelompok?" Seorang gadis cantik berkacamata, tubuhnya tinggi, putih, dengan rambut sebahu menyapanya.
"Kok lo tau nama gue? Ehm, iya nih gue gak tau yang mana kelompok gue," jawab Mila dengan cengiran khasnya.
Gadis di depannya mengulurkan tangannya ke Mila." Gue, Pammy. Gimana gak kenal? Semua orang ngomongin lo dari ujung sana sampai ke ujung sini."
"Emang gue artis? Segala di omongin di mana-mana," kata Mila sambil tertawa lepas, Pammy menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mila.
"Karena keberanian lo itu. "Pammy menyentil hidung mancung Mila.
"Keberanian gue?" tanya Mila bingung.
"Kok lo lemot gitu sih? Anak kedokteran gak boleh lemot tau!" seru Pammy membuat Mila memajukan bibirnya.
"Emang apaan sih? Oh iya lo anak kelompok kanker juga ya?" Mila mulai merasa nyaman berteman dengan Pammy.
"Iya gue juga anak kelompok kanker, lo terkenal gara-gara keberanian lo ngelawan Thomas. Itu yang buat lo jadi topik pembicaraan."
"Ya ampun, cuman gara-gara itu gue jadi bahan pembicaraan?" Mila tertawa jenaka. "Bisa antar gue ke kelompok kita?" lanjutnya.
“Tentu.”
Mila dan Pammy berjalan beriringan menuju kelompok mereka berkumpul. Pammy menunjuk ke satu arah. "Itu, cowok yang duduk di sebelah tiang, ketua kelompok kita. Namanya Rico, yuk gue anter."
Rico tersenyum menyambut kedatangan keduanya, ia berdiri sambil merapikan pakaiannya. "Kak, ini anggota kelompok kita. Namanya Mila, dia baru gabung soalnya dapat tugas dari Kak Thomas." Panjang lebar Pammy menjelaskan.
"Gue, Rico. Selamat bergabung di kelompok kanker. Sebentar ada tes, siap-siap. Gue mau ke sana dulu," kata Rico kemudian berlalu pergi meninggalkan keduanya.
"Dia baik banget ya, beda sama Tomat itu!" kata Mila menggebu-gebu.
"Hati-hati, benci sama cinta itu bedanya tipis banget. Siapa tau lo bakalan jadi orang spesial bagi Thomas," kata Pammy membuat Mila membulatkan matanya saat mendengar ucapan teman barunya itu.
"Aish! Udah lupain si Tomat, gue baru tau kalo kita bakal ngadain kuis?"
"Kuisnya juga mendadak, baru dapat pengumuman dari Rektor. Kuisnya cuman hal-hal dasar aja, pasti bisa kok ngerjainnya apalagi lo terkenal karena kepintarannya."
"Ish bisa aja sih. Kita semua sama, jangan melebih-lebih kan gitu dong."
"Siapa yang izinin lo, gabung ke kelompok lo?" Interupsi seseorang dari arah belakang sontak Mila mendegus kesal.
"Bisa gak sih, gak usah ngeganggu hidup gue?" tanya Mila gusar.
"Gak bisa. Bawa cowok itu dulu, baru boleh gabung sama kelompok lo. Beasiswa lo ada di tangan gue."
Gigi Mila berkatup saling menyatu, matanya menatap lurus ke arah Thomas. "Gue, bakalan bawa apa yang lo mau!" desis Mila tajam.
Thomas mendecik, "Ck, gak usah banyak omong. Buktiin aja ucapan lo itu."
Pammy menatap teman barunya itu dengan tatapan bingung. Mila menatap Pammy lalu tersenyum dengan mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.
"Mila mau ke mana, Pam?" Rico baru datang, menatap bingung Mila.
"Mau cari seseorang, By. Ups, salah Kak maksudnya." Pammy langsung menutup mulutnya, merutuki kesalahannya.
Mila berjalan menuju di mana tempat Kevin berada, yang membuatnya kesal adalah sekarang Kevin menghilang dari tempat perjanjian mereka.
"Hossh! Kevin ke mana, sih? Cowok emang gak bisa di pegang jan—" tubuh Mila terhuyung saat ada yang menarik tangannya.
"Waw, kita lihat siapa yang datang." Thomas menepukan tangannya.
Mila mengerjap-ngerjapkan matanya menatap siapa yang ada dibalik badannya. "Kevin!" seru Mila, membuat sang pria tampan di depannya tersenyum.
"Maaf, tadi saya ada urusan. Sekarang saya sudah ada di sini," kata Kevin membuat para wanita lain menatap heran, bagaimana bisa seorang Kevin bisa bersikap baik, bahkan terkesan lembut dengan orang yang baru ia kenal. Padahal hanya oran-orang terdekatnya yang dapat sikapnya tersebut.
"Ini kan orang yang lo cari?" Mila kesal melihat tampang Thomas yang makin mengejeknya.
"Bacain dong, bukti file lo itu. Bener gak itu orang yang gue maksud, hm?"
Mila dengan lantang menyebutkan biodata Kevin, mahasiswa lain ikut berkumpul di sekitaran tiga orang pembuat masalah berada semua orang menatap kagum keberanian Mila.
"Udah puas, denger suara merdu gue?"
"Sesuai perkataan gue tadi, lo harus cium orang yang tanggal lahirnya sama kayak lo 'kan?"
Banyak mata yang melotot mendengar ucapan Thomas, bahkan ada yang berteriak shock melihat tingkah ketua panitianya itu.
"Lo gila? Asal suruh ciu—"
Sebuah tangan memeluk pinggang ramping Mila, membuat mulutnya terkantup dan terdengar sebuah suara. "Tenang aja, saya siap cium kamu."
••
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!