"Pradha, bisa pulang sekarang? Adikmu ditemukan meninggal dengan keadaan yang tidak wajar."
Kalimat yang baru saja Pradha dengar, langsung membuatnya membatu. Pikiran perempuan itu kosong seketika. Otaknya mendadak beku. Dia masih berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh sang ayah.
"Apa maksud Bapak?" Pradha kembali bertanya kepada sang ayah untuk memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.
"Pulanglah, Nak. Praba meninggal," ucap Artha dengan suara gemetar.
"Bapak jangan bercanda. Enggak mungkin!" teriak Pradha histeris.
Abi yang sedari tadi duduk di samping Pradha pun ikut menoleh. Dia mengerutkan dahi. Terlebih ketika perempuan cantik itu mulai menitikkan air mata.
"Bapak jemput kamu sekarang, ya?"
Pradha sudah tidak mendengar lagi ucapan sang ayah. Jemarinya gemetar hingga ponsel yang awalnya dia genggam, kini jatuh ke atas pasir. Dadanya terasa begitu sesak. Adik kesayangannya dikabarkan meninggal dalam kondisi tidak wajar. Hati kakak mana yang tidak hancur?
"Pradha, kamu masih di sana?" Sayup masih terdengar suara Arta.
Abi dan teman yang lain mengikuti acara reuni pun segera menghampiri Pradha yang duduk di bibir pantai sambil menangis sesenggukan. Pradha menceritakan bahwa sang adik meninggal sambil terbata-bata. Akhirnya dia diantar pulang oleh Reya (sahabatnya) dan juga Abi.
***
Usai upacara Ngaben dilaksanakan, Pradha, Laksmi, serta Artha berkumpul di ruang keluarga. Mereka terlihat masih berkabung. Kesedihan mendalam jelas masih mereka rasakan. Namun, kesedihan Pradha bercampur dengan rasa marah karena permintaan konyol sang ayah.
"Pradha, kamu harus menggantikan Praba untuk menikah dengan Abipraya."
"Maksud Bapak?" Pradha terbelalak.
"Pak, sudahlah. Lupakan masalah pernikahan itu," ucap Laksmi di antara sisa tangis.
Sehari sebelumnya, Artha memang sudah mengungkapkan niat tersebut kepada Laksmi. Akan tetapi, ditolak mentah-mentah oleh sang istri. Perempuan itu tidak setuju dengan ide gila sang suami. Dia tak menyangka, bahwa Artha justru mengungkapkan keinginan hatinya hanya berselang beberapa jam setelah pemakaman Praba.
"Bapak enggak mau kena malapetaka sampai tujuh turunan kalau sampai membatalkan pernikahan!" seru Artha.
"Pak, ini jaman modern! Bapak masih percaya dengan takhayul yang tidak berdasar itu?" protes Pradha dengan dada kembang kempis penuh amarah.
"Tidak berdasar? Sudah banyak buktinya! Kamu ingat Bibi Artika? Dulu ibunya menolak lamaran! Dan sampai generasi ketiga setelahnya, salah satu perempuan yang ada di garis keturunannya akan menjadi janda! Jika tidak, maka akan menjadi perawan tua!"
"Kolot sekali pemikiran Bapak!" Pradha beranjak dari kursi kemudian masuk ke kamarnya.
Laksmi pun segera menyusul sang putri. Dia ingin menenangkan hati putri pertamanya itu. Laksmi perlahan membuka pintu kamar dan mendekati Pradha yang kini tengkurap di atas ranjang.
"Pradha, maafkan bapak. Mari kita bicarakan semua dengan kepala dingin."
"Bapak aneh, Bu! Bisa-bisanya meminta Pradha untuk menggantikan Praba! Lagi pula aku tidak mengenal lelaki yang akan menjadi pasanganku! Aku enggak mau, Bu!"
Laksmi terbelalak ketika mendengar pengakuan Pradha. "Bukankah kamu mengenalnya? Dia teman sekolahmu."
"Praba nggak pernah cerita tentang siapa yang akan menjadi suaminya. Dia bahkan merahasiakan nama calon suaminya. Dia bilang, aku akan terkejut jika mengetahui siapa calon suaminya."
"Abipraya, teman SMA-mu dulu. Masih ingat?"
"Kenapa dengan lelaki menyebalkan itu, Bu?"
"Dia adalah calon suami Praba."
"Apa!"
Apa yang diucapkan oleh Praba pun terjadi. Pradha terkejut bukan main. Dia tak menyangka jika calon adik iparnya adalah Abi, musuh bebuyutan perempuan itu ketika SMA. Kini dia harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menikah, karena pemikiran kolot sang ayah.
Akan tetapi, Pradha tidak sudi menikah dengan Abi. Keputusannya untuk menentang sang ayah pun semakin kuat. Pradha langsung mengambil nomor Abi yang ada di grup Whatsapp, dan mengajak lelaki itu bertemu untuk membicarakan pernikahan itu.
Jam menunjukkan pukul 16:00 ketika Pradha memasuki sebuah kafe yang ada di sekitar Pantai Sanur. Alunan musik akustik menyapa pendengaran Pradha, begitu dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan bernuansa vintage itu.
Dari kejauhan, dia melihat Abi tengah duduk di teras kafe yang menghadap pantai. Pradha membuang napas kasar dan mulai mendekati lelaki yang sebenarnya berparas tampan itu.
"Sudah lama? Maaf, tadi sedikit macet." Pradha menarik kursi di depannya kemudian mendaratkan bokong ke atas benda itu.
"Baru aja. Ada keperluan apa mau bertemu lelaki rendahan sepertiku?"
Abi tersenyum kecut teringat hinaan Pradha kepadanya setelah mengetahui pekerjaannya saat ini. Pradha menghina Abi karena berakhir dengan pekerjaan sebagai Pemandu Wisata, padahal dia memiliki nilai yang sangat bagus di sekolah.
Tatapan Abi kembali fokus pada Pradha yang kini sedang menatapnya intens dan terlihat sangat serius. “Sejujurnya aku baru tahu kalau ternyata kamu calon adik iparku. Sialnya bapak memintaku untuk menjadi pengantin penggantimu."
"Maksudmu?"
"Bapak memintaku untuk menggantikan Praba menikah denganmu."
"Oh," jawab Abi singkat kemudian menyesap kopi yang ada di hadapannya.
"Oh? Hanya kata itu yang kamu ucapkan?" Pradha terbelalak dengan respons mencengangkan dari Abi.
Pradha tidak menyangka kalau Abi akan bersikap sangat santai, ketika mendengar kabar yang dibawa olehnya. Perempuan itu pun melipat lengan di depan dada, sembari memicingkan mata.
"Bukankah seharusnya kita menolak pernikahan ini?"
"Menurutmu? Sejujurnya aku takut membuat ibuku kecewa. Kasihan beliau sudah terpukul karena kehilangan calon menantunya. Ibu sudah lama menantikan pernikahanku. Jadi, aku rasa ide bapak tidak buruk juga."
"Jadi, kamu akan menyetujui pernikahan ini tanpa ada rasa cinta yang menjadi fondasinya?" Mata Pradha membulat sempurna.
"Iya," jawab Abi singkat namun penuh keyakinan. Lelaki itu menatap Pradha tanpa ada rasa ragu di dalamnya.
"Gila! Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran para laki-laki!" Pradha menggebrak meja di depannya, sehingga kini mereka menjadi pusat perhatian seisi kafe.
"Tenanglah. Kita sekarang menjadi pusat perhatian."
Pradha langsung mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kafe. Akhirnya Pradha menekan amarahnya, lalu kembali duduk di atas kursi. Perempuan itu menatap tajam ke arah Abi dengan lengan dilipat di depan dada.
"Aku juga terpaksa menyetujui pernikahan ini berlanjut. Setelah ini, terserah kamu mau bagaimana. Yang jelas, kita tidak boleh membatalkan pernikahan ini."
Pradha menatap Abi penuh amarah. Rahang perempuan itu semakin mengeras. Jemarinya mengepal erat di bawah meja. Dia tak menyangka bahwa lelaki di hadapannya ini menolak keinginannya untuk menentang pernikahan mereka.
"Selain karena tidak ingin mengecewakan ibuku, aku rasa Pak Artha akan marah besar jika keinginan beliau tidak dipenuhi. Bukankah kamu lebih tahu bagaimana sikap ayahmu daripada siapa pun?"
Pradha bungkam. Apa yang dikatakan Abi memang benar. Ayahnya adalah salah satu orang paling kolot dan konyol di dunia. Keegoisan sang ayah melebihi batas ambang kewajaran manusia normal pada umumnya.
Akhirnya Pradha terpaksa mengikuti kemauan sang ayah. Pradha beranjak dari kursi, kemudian berjalan keluar kafe tanpa berpamitan kepada Abi. Dia melangkah kesal menuju mobilnya.
"Lihat saja, aku akan membuatmu menyesal karena sudah mengikuti keinginan bapak!" gerutu Pradha kemudian masuk ke mobil dan membanting pintu kasar.
Hari pernikahan pun tiba. Rumah keluarga Pradha sudah dipadati tamu sejak pagi. Beberapa teman SMA silih berganti menemui Pradha yang sudah duduk di pelaminan setelah rangkaian upacara adat yang begitu panjang.
Rahang Pradha terasa ngilu karena terus memaksakan senyum. Begitu juga dengan Abi. Keduanya terpaksa memasang senyum manis untuk mengelabuhi para tamu undangan.
"Selamat, ya? Semoga jadi jodoh sampai ajal menjemput."
"Pasangan yang serasi."
"Kurasa kalian memang ditakdirkan untuk berjodoh, kalian sangat mirip."
"Tenang, cinta akan datang seiring berjalannya waktu."
Ucapan-ucapan itu terdengar sangat memuakkan di telinga Pradha. Dia hanya bisa menanggapi perkataan itu dengan sebuah senyum palsu. Ketika tatapan Pradha bertemu dengan Abi, maka keduanya akan saling menyipitkan mata.
Rasa tidak suka jelas terpancar dari sorot mata keduanya. Akan tetapi, Abi masih bisa mengontrol emosi ketika berada di hadapan orang lain. Dia sesekali berdiri mendekati Pradha sambil berbisik untuk mengingatkan Pradha agar tetap tersenyum.
Tak terasa pesta pun usai. Pradha dan Abi berpamitan. Suasana duka kembali menyelimuti hati Laksmi serta Pradha. Setelah pernikahan ini, maka Pradha tidak diperbolehkan berkunjung ke rumah orang tuanya lagi.
Pradha memiliki kasta lebih tinggi daripada Abi. Jadi, sesuai adat yang berlaku, dia akan mengikuti nama dari sang suami. Pradha juga tidak diperkenankan mengunjungi orang tuanya, bahkan dilarang melihat jenazah mereka ketika meninggal nanti.
"Bu, baik-baik, ya? Jangan lupa makan tepat waktu, dan jaga kesehatan."
"Kamu juga. Sekarang kamu menjadi milik suamimu seutuhnya. Lakukan apa yang menjadi tanggung jawabmu sebagai seorang istri."
"Baik, Bu. Kami pergi," pamit Pradha sembari mencium punggung tangan sang ibu.
Setelah itu, Pradha juga berpamitan dengan sang ayah. Abi dan Pradha akhirnya keluar dari rumah itu. Tidak ada perbincangan berarti di dalam perjalanan.
Tiga puluh menit berlalu, Abi dan Pradha akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana milik Artha. Keduanya mendapatkan rumah itu sebagai hadiah pernikahan. Pradha langsung turun dari mobil dan masuk ke rumah.
Perempuan cantik itu duduk di atas sofa, kemudian mengeluarkan map berwarna biru dari dalam tasnya. Begitu Abi menyusulnya masuk, Pradha langsung memanggil lelaki itu. Abi pun segera menghampiri Pradha dan duduk berseberangan dengan sang istri.
"Ada apa?"
"Baca, dan tandatangani!" Pradha menyodorkan map berisi surat perjanjian itu.
Tanpa Pradha duga, Abi langsung menggoreskan pena di atas lembaran kertas itu. Setelah selesai membubuhkan tandatangan, Abi langsung mengembalikannya pada Pradha. Perempuan itu pun terbelalak. Dia tak menyangka Abi seceroboh itu.
Sang suami tidak membaca isi surat perjanjian yang sebenarnya lebih menguntungkan Pradha daripada Abi. Pradha pun mengemas lagi lembaran kertas yang ada dan memasukkannya ke dalam map.
"Dasar, astek!" seru Pradha.
"Memangnya kenapa kalau aku asal teken?"
"Ceroboh! Bisa saja ada isi perjanjian yang bisa merugikanmu! Kenapa menandatanganinya tanpa membaca dengan teliti terlebih dahulu?" Pradha tersenyum miring, seakan menertawakan kecerobohan sang suami.
"Aku hanya ingin menepati janji. Bukankah aku sudah bilang, setelah menikah kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau?" ucap Abi dengan suara dingin dan penuh keyakinan.
"Baiklah. Semoga kamu tidak menyesal. Surat ini tidak bisa dibatalkan tanpa persetujuan kedua belah pihak."
"Aku tidak peduli!" Abi beranjak dari sofa kemudian berjalan ke arah dapur.
Hasna tersenyum miring. Sebenarnya dia sangat menyesali pernikahan ini. Dia harus kehilangan pekerjaannya sebagai model brand fashion ternama di Paris, karena pernikahan konyol ini. Namun, dia tidak bisa menolaknya demi kepentingan ayahnya.
"Anggap saja ini bakti terakhirku buat bapak." Pradha tersenyum kecut kemudian masuk ke kamarnya.
***
Sebuah panggilan telepon dari sang ibu mertua, membuat Pradha sedikit terganggu. Dia baru saja hendak memejamkan mata setelah semalaman tidak bisa tidur. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Namun, Pradha juga tidak tahu apa itu. Dia merasa hatinya terasa begitu gusar tanpa tahu penyebabnya. Pradha pun menggeliat kemudian meraih ponselnya dan mengangkat telepon dari sang mertua. Ternyata kakak iparnya hari ini pulang dari Jepang.
Setelah sambungan telepon terputus, Pradha mengirimkan pesan kepada Abi. Dia memberitahu sang suami bahwa ibunya mengundang makan malam untuk menyambut kedatangan sang kakak ipar. Setelah Abi membalas pesan yang dikirim oleh Pradha, perempuan itu pun beranjak dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Jam menunjukkan pukul 18:00 WITA saat Abi memarkirkan motornya di depan rumah. Lelaki itu langsung masuk ke rumah, dan disambut oleh sosok Pradha yang terlihat sangat memesona.
"Kamu buruan mandi!" seru Pradha sambil terus memainkan ponselnya.
Abi tetap bergeming sembari menelan ludah. Matanya masih tertuju pada dress pendek yang dipakai sang istri. Gaun kasual bermotif bunga daisy itu hanya mampu menutup setengah paha Pradha.
"Bi, kamu dengar enggak, sih!" teriak Pradha kesal.
Barulah saat itu Abi tersadar. Lelaki itu berdeham, kemudian membuang pandangan. Dia langsung melangkah menuju kamar untuk bersiap.
"Dasar!" umpat Pradha sambil menatap sinis suaminya.
Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya Abi keluar dari kamar, dan sudah berpakaian rapi. Keduanya langsung membelah jalanan Kota Denpasar menuju rumah sang ibu.
Ini adalah kunjungan pertama Pradha setelah menikah. Dia tidak banyak tahu mengenai sifat sang ibu mertua. Jadi, ada sedikit rasa gugup yang menyelinap di hati perempuan cantik itu.
Pradha terus menatap jalanan, dan bergelung dalam pikirannya sendiri. Apa yang harus dia lakukan nanti? Apakah sang ibu mertua adalah orang yang baik? Apakah dia nantinya akan diterima sebagai menantu?
Sikap Pradha jauh berbeda dengan Praba yang lembut dan sopan. Pradha tidak suka merendahkan diri demi mendapat simpati orang lain. Pradha lebih senang bersikap semaunya sendiri.
"Kita sudah sampai."
Pradha mengerjap beberapa kali kemudian menatap sekelilingnya. Kini dia sudah sampai di sebuah rumah sederhana yang terlihat tidak asing. Ada sebuah dugaan yang tiba-tiba muncul di kepala perempuan itu. Namun, Pradha menepis dugaan itu.
Enggak mungkin kalau mereka satu keluarga dengannya.
Pradha pun mengekor di belakang Abi. Dia mengamati rumah yang pernah dikunjunginya beberapa tahun silam. Pradha berpikir mungkin saja rumah ini sudah berpindah tangan, karena saat terakhir ke sini, bangunan ini sudah tak berpenghuni.
"Ayo, masuk!" Abi membuka lebar pintu di depannya, dan menggerakkan kepala untuk mengisyaratkan agar Pradha masuk lebih dulu.
Saat memasuki ruang tamu, sang ibu mertua langsung berdiri tegap. Senyum lebar terukir jelas di wajahnya yang mulai menua. Di depan sang mertua sudah duduk seorang pria yang membelakangi pintu.
Jantung Pradha berdegup semakin kencang. Dia hafal betul postur tubuh lelaki di hadapannya itu. Pradha sangat mengenal aroma parfum yang pria itu gunakan. Jantungnya pun berdegup semakin kencang.
Lelaki berambut coklat terang itu pun beranjak dari sofa, lalu balik badan. Kini tatapan Pradha dan pria tersebut bertemu. Ia melemparkan senyum kepada Pradha, tetapi tidak dengan perempuan itu. Pradha mematung dengan mata terbelalak setelah mengetahui siapa lelaki yang menjadi kakak iparnya ini.
"Apa kabar?" tanya pria tersebut.
Lidah Pradha seakan kelu. Dia tidak menyangka bahwa ternyata Abipraya dan juga Abirama adalah kakak beradik. Dia seperti tertampar keadaan.
Lelaki di depannya ini, ternyata adalah mantan kekasih yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Berbagai perasaan kini bercampur menjadi satu. Pradha senang, bisa bertemu lagi dengan Rama setelah belasan tahun.
Namun, di sisi lain, Pradha merasa begitu frustrasi dan kecewa. Kenapa lelaki ini baru pulang sekarang? Jika saja Rama pulang lebih cepat, maka dia akan meminta sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Rama.
"Apa kabar?" tanya Rama sembari tersenyum lebar.
"Ba-baik, Kak."
"Loh, kalian saling mengenal?" tanya Chandra.
"Kami teman dekat, Bu?" sahut Rama.
Teman? Pradha tersenyum kecut mendengar ucapan Rama.
Ada perasaan kecewa menyelusup di hati perempuan yang kini menyandang status sebagai istri Abi itu. Namun, jika Rama mengatakan dengan jujur, bisa-bisa kisah lamanya terbongkar. Dia hampir saja melupakan Rama, jika saja tidak melihat pria itu lagi.
Rama tiba-tiba pergi tanpa pesan. Seluruh media komunikasi dengannya pun terputus saat itu. Rumahnya mendadak sepi. Dia menghilang begitu saja tanpa pamit.
Setelah belasan tahun berusaha melupakannya mati-matian, kini dia kembali datang. Di saat Pradha mulai melupakannya, dan memiliki ikatan pernikahan dengan Abi.
"Wah, ternyata dunia memang enggak selebar daun petai cina!" seru Chandra, lalu terkekeh.
Abi merasakan suasana canggung menyelimuti. Dia melirik Pradha dan Rama secara bergantian. Lelaki itu berpikir bahwa keduanya memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Terlihat dari bahasa tubuh keduanya.
"Ibu masak apa?" Abi berusaha mencairkan suasana.
"Ah, ayam betutu sama rujak bulung. Ayo kita makan!" ajak Chandra.
Mereka berempat pun menuju meja makan dan mulai menyantap masakan buatan Chandra. Sesekali Chandra bercerita tentang Praba untuk mengenangnya. Di mata perempuan itu, Praba adalah gadis yang sopan dan ceria.
Pradha mulai merasa tidak nyaman, karena merasa dia bukanlah menantu idaman sang ibu mertua. Begitu selesai makan, Pradha memilih untuk langsung keluar ke taman belakang.
"Hah ... kenapa takdir-Mu seakan mempermainkanku, Tuhan?" Pradha menghela napas kasar kemudian merebahkan tubuh pada lantai gazebo.
Pradha memejamkan mata, kemudian menikmati semilir angin malam yang membawa aroma bunga cempaka. Pradha menghirup dalam aroma bunga berwarna kekuningan itu, sehingga membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Dha," panggil Rama.
Sontak Pradha membuka mata. Dia terperanjat dan langsung terduduk. Perempuan itu enggan menatap Rama. Dia membuang wajah, dan memilih menatap dedaunan yang bergoyang karena tiupan lembut sang bayu.
"Dha," panggil Rama lagi kemudian duduk di samping Pradha.
"Hem," jawab Pradha singkat tanpa mau menatap Rama.
"Kamu ternyata sudah bisa move-on dari aku, ya? Padahal aku susah banget ngelupain kamu. Aku ...." Ucapan Rama menggantung di udara.
Hening, hanya terdengar suara embusan angin dan dedaunan yang saling bergesek Pradha masih bungkam, malas membahas masalah ini.
"Ke mana aja kamu selama ini, Kak?"
"Aku ...."
"Kenapa tiba-tiba pergi tanpa pamit? Kenapa kakak menghilang begitu saja tanpa mengucapkan perpisahan?" tanya Pradha dengan suara bergetar.
"Dha, aku ...."
"Kakak nggak tahu bagaimana menderitanya aku selama ini! Aku mati-matian berusaha untuk tetap baik-baik saja tanpa kamu, Kak! Dan ketika aku mulai terbiasa tanpa kehadiranmu, kenapa malah datang lagi! Kenapa?" Mata Pradha mulai memerah, bahunya gemetar, dengan dada naik turun menahan emosi yang campur aduk.
"Maaf ...." Rama tertunduk lesu menatap ujung jari kakinya.
"Maaf? Kenapa baru meminta maaf sekarang? Coba katakan apa salahku, sampai Kak Rama ninggalin aku begitu saja!" teriak Pradha frustrasi.
"Semua gara-gara bapakmu!"
Pradha terbelalak. Dia seketika bungkam. Perempuan itu berusaha memahami apa yang diucapkan Rama.
"Kenapa Kak Rama bawa-bawa bapak? Bilang saja sudah bosan menjalin hubungan denganku yang sama sekali tidak mau disentuh!" Pradha tersenyum kecut menatap tajam lelaki yang ada di sampingnya itu.
Pradha memang salah satu perempuan modern yang masih menjaga keperawanan. Bahkan sampai saat ini, dia masih suci dan tersegel. Dia hanya ingin melepaskan semua untuk lelaki yang benar-benar mencintainya.
"Bapakmu melarangku untuk menjalin hubungan denganmu, Dha." Suara Rama terdengar lirih.
"Mana mungkin? Bapak bukan orang seperti itu! Memangnya kenapa beliau menginginkan kita untuk berpisah? Kamu enggak usah banyak alasan!"
"Apa kamu yakin Pak Artha sebaik itu?" Rama tersenyum miring sambil menatap lautan bintang yang sedang berkerlip di langit.
Pradha pun mengerutkan dahi. Dia paling benci jika penyakit lama Rama kambuh. Lelaki itu sering mengungkapkan sesuatu dengan sebuah teka-teki, dan hal itu berhasil membuatnya pusing serta kesal.
"Kak, tolong jangan mulai begini lagi!"
"Aku ini keturunan sudra, beda sama kamu yang masih memiliki darah seorang raja. Pak Artha melarangku mendekatimu karena kasta kita yang jauh berbeda." Rama tersenyum kecut seraya menatap nanar perempuan yang masih sangat dia cintai itu.
"Kamu bohong, 'kan, Kak? Buktinya Praba boleh menikahi Abi? Kenapa dulu bapak melarang hubungan kita?"
"Entahlah. Yang jelas aku tahu, ternyata cintamu semudah itu hilang. Dan sialnya kamu malah menikah dengan adikku sendiri. Apa kamu sengaja melakukan ini?" Rama tersenyum getir seraya mengacak rambut frustrasi.
"Aku terpaksa! Aku terpaksa karena Praba tiba-tiba meninggal! Toh, aku tidak tahu kalau kalian kakak beradik!" teriak Pradha penuh emosi.
Rama terdiam. Dia terbelalak mendengar kabar duka dari sang pujaan hati. Adik kesayangan perempuan itu meninggal? Akan tetapi, banyak pertanyaan berputar dalam kepala Rama. Kenapa Pradha harus menggantikan Praba dan menikahi Abi?
"Lalu kenapa kamu malah menikah dengan Abi? Bukankah jika mempelai wanita sudah meninggal, maka pernikahan bisa dibatalkan?"
"Aku terpaksa, karena bapak menganut kepercayaan kolot itu!" teriak Pradha frustrasi.
"Kenapa kamu nggak datang lebih awal, Kak. Kalau saja kamu datang lebih awal mungkin saja kamu yang akan menikah denganku!"
Pradha menenggelamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Hati Rama seakan diremas mendengar tangisan Pradha yang menyayat. Sepanjang menjalin kasih dengan Pradha dulu, dia tidak pernah melihatnya menangis seperti ini.
Rama selalu mengusahakan apa pun agar bisa melihat senyum Pradha. Kali ini dia merasa sangat bersalah. Lelaki itu berniat ingin kembali mengukirkan senyum di bibir Pradha.
Rama mulai mengangkat lengannya, dan perlahan menyentuh Pradha. Dia pun segera membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Dikecupnya puncak kepala Pradha berulang kali.
"Maaf, lalu sekarang apa yang harus aku lakukan?" tanya Rama dengan suara lirih.
"A-aku tidak tahu, Kak. Semuanya semakin terasa sangat rumit."
Rama melepaskan pelukannya kemudian merangkum wajah Pradha dengan kedua telapak tangan. Ibu jarinya bergerak lembut di atas pipi merah Pradha, sehingga air mata perempuan itu pun terhapus.
"Dha, sejujurnya aku masih sangat mencintaimu. Aku tidak bisa untuk tidak merindukanmu. Aku hampir gila menahan rasa sesak karena jeratan rindu ini."
"Kenapa dulu Kak Rama tidak memperjuangkan hubungan kita? Seharusnya Kakak membicarakan semuanya denganku," ucap Pradha di tengah isak tangis.
"Maaf, Dha. Aku memang bodoh." Rama tertunduk lesu, dan menautkan jemarinya satu sama lain. Namun, sedetik kemudian, Rama kembali mengangkat wajahnya.
"Dha, jika kita berjuang sekarang ... apakah masih bisa?"
Pradha terbelalak. Dia sangat terkejut dengan pertanyaan Rama barusan. Berjuang di saat dia sudah menjadi milik orang lain? Bukankah ini akan menjadi sesuatu yang sangat berat?
"Kak, aku ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!