NovelToon NovelToon

Bukan Anak Pelakor

Maafkan Aku, Mutia ...

[Jangan main-main, Mas, pernikahan kita akan diadakan besok pagi, bagaimana mungkin kamu membatalkannya begitu saja!] ucap Mutia dengan suara menggebu-gebu. Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu tak habis pikir, kenapa Yusuf–calon suaminya tiba-tiba mengabari jika rencana pernikahan mereka tidak bisa di lanjutkan lagi. Dan yang lebih mengherankan lagi Yusuf tidak mengatakan alasannya apa, laki-laki itu hanya mengucapkan maaf yang semakin membuat Mutia penasaran.

[Maafkan aku Mutia, sekali lagi maaf.] Detik itu juga sambungan telepon terputus. Suara Yusuf sudah tidak terdengar lagi dari seberang sana.

Mutia panik bukan main, gadis itu sampai melompat dari tempat tidurnya dan menyambar tas coklat yang tergeletak begitu saja di atas meja.

Mutia berlari keluar rumah untuk mencari taksi yang akan mengantarkannya ke rumah kediaman Yusuf. Padahal sudah sejak seminggu yang lalu orang tuanya melarangnya untuk pergi ke manapun, di pingit itu kata sang mama. Tapi larangan itu harus ia langgar sehari menjelang pernikahannya sendiri.

Taksi melaju cepat membelah jalanan kota yang terlihat ramai. Mutia tidak sabar lagi untuk segera sampai di rumah Yusuf hingga beberapa kali ia harus berteriak pada sang supir agar menambah kecepatannya.

"Lebih cepat lagi, Pak!"

"Iya, Nona."

Saat taksi yang ia tumpangi tiba di depan gerbang besar itu, Mutia lantas turun dengan tergesa. Gadis itu menerobos masuk begitu saja tanpa menghiraukan teriakan satpam yang mencoba menghalanginya.

"Mas, Mas Yusuf!" teriak Mutia seraya mengayun langkah semakin mendekat ke arah pintu. Gadis itu tidak lagi mempedulikan penampilannya yang hanya mengenakan baju tidur dan rambut yang masih acak-acakan.

Pintu rumah itu terbuka dan keluarlah sosok laki-laki yang beberapa menit lalu mampu memporak-porandakan hatinya.

Yusuf Atmaja, laki-laki berusia 25 tahun yang saat ini menjabat sebagai pemimpin perusahaan milik keluarga besarnya. Lima bulan yang lalu mereka saling mengenal. Saat itu Mutia tak sengaja menumpahkan minuman yang harusnya di antarkan untuk pelanggan cafe pada jas milik laki-laki itu. Yusuf langsung terpesona akan kecantikan Mutia meskipun gadis itu berpenampilan sederhana. Hingga akhirnya hubungan mereka semakin serius saat Yusuf mendatangi rumah Mutia dan melamarnya secara resmi.

Namun, entah kenapa hubungan itu akhirnya kandas tanpa alasan yang jelas. Mutia tidak tahu apa alasan Yusuf tiba-tiba membatalkan acara pernikahannya secara sepihak.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Mama Seli dengan wajah sangat dingin. Mutia mundur beberapa langkah menyadari sikap calon mertuanya yang tiba-tiba saja berubah. Padahal biasanya wanita paruh baya itu selalu berbicara lembut setiap kali ia datang ke rumah itu.

"Ma ..."

"Stop! Jangan panggil aku mama lagi!" cegah wanita paruh baya itu di barengi dengan sikap dingin juga dari calon papa mertuanya.

"Mas ada ini? Kenapa kamu berbicara seperti itu?" Kini pandangan Mutia beralih pada Yusuf. Laki-laki yang sejak kedatangannya tadi malah menunduk. Seolah ada sesuatu yang tengah ia sembunyikan.

"Tolong bicara, Mas? Kenapa kamu diam aja?" tangis Mutia sudah hampir pecah saat tidak mendapatkan jawaban apapun dari Yusuf. Laki-laki itu masih saja menunduk dan mengunci mulutnya rapat.

"Bicara apalagi? Yusuf 'kan sudah bilang jika pernikahan kalian tidak bisa di lanjutkan lagi!" Suara Mama Seli terdengar semakin meluluhlantakkan hati Mutia. Gadis itu menggeleng cepat, ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut calon mertuanya itu.

"Bohong! Mama udah bohongin aku kan, Mas? Kalian pasti hanya becanda, kan?"

"Mama benar, Mutia. Pernikahan kita memang tidak bisa di lanjutkan lagi. Maaf, sekali lagi maafkan aku."

Persis seperti yang laki-laki itu katakan di sambungan telepon tadi. Ternyata Yusuf benar-benar membatalkan pernikahannya yang hanya tinggal menghitung jam lagi.

"Tapi kenapa, Mas?" Suara Mutia melemah. Gadis itu tidak bisa lagi menahan kristal bening yang terjun bebas dari kedua sudut matanya.

"Aku tidak sudi memiliki menantu dari anak seorang pelakor!"

Deg!

Hati Mutia remuk seketika. Ia mengeja lagi apa yang baru saja Mama Seli ucapkan tadi. Apa, anak dari seorang pelakor? Maksudnya?

"Mama kamu itu pelakor, Mutia. Dia itu pelakor!" tunjuk Mama Seli tepat di depan wajah gadis itu. Mutia mendongak dengan mata yang memerah. Sungguh, apa yang baru saja ia dengar sangatlah menyakitkan. Tubuh Mutia hampir ambruk, malangnya lagi Yusuf–laki-laki yang dulunya sangat ia cintai malah acuh dan tidak mempedulikannya sama sekali.

"Nggak mungkin. Mama pasti hanya salah paham, kan? Mama–ku bukan pelakor. Mas!" Beralih pada Yusuf. Mutia berharap laki-laki mau mendengarnya. Tapi lagi-lagi ia harus kecewa karena Yusuf malah menutup mulutnya rapat.

"Pergi kamu! Aku jijik melihatmu lama-lama di sini!" teriak wanita paruh baya itu lagi yang terdengar semakin melukai hati Mutia. Pak Satpam yang tadi berjaga di depan pun ikut menyeretnya, memaksa gadis itu untuk cepat keluar dari rumah mewah calon suaminya sendiri.

"Lepasin aku, Pak! Lepas!" berontak gadis itu. Saat cekalan tangan satpam tadi terlepas Mutia cepat-cepat berlari kearah Yusuf. Gadis itu mencoba meminta perlindungan pada sosok laki-laki yang selama ini selalu ada di sampingnya.

"Mas, tolong aku ...." Tapi Yusuf malah menepisnya dengan kasar. Sikap laki-laki itu juga berubah seratus delapan puluh derajat hingga membuat Mutia tak mengenalinya lagi.

"Pergi kamu, Mutia! Pergi! Aku juga tak sudi memiliki istri dari anak seorang pelakor!" Yusuf mendorong Mutia hingga tubuh gadis itu tersungkur ke atas tanah.

"Nggak Mas, kamu nggak boleh ngomong kaya gitu! Besok pagi kita akan menikah. Kamu udah janji 'kan mau bahagiain aku?" Gadis itu menggeleng cepat. Ia juga mencoba mendekat lagi dan memegang kedua kaki Yusuf yang berdiri di depannya.

"Apa-apaan kamu! Pergi dari sini, Mutia! Jika sejak awal aku tahu kamu anak dari wanita itu, tidak akan pernah aku sampai menjalin hubungan sampai sejauh ini! Sungguh, aku menyesal, Mutia! Aku Menyesal!"

Brakkk!

Pintu di tertutup dengan sangat cepat meninggalkan Mutia yang masih bersimpuh dengan suara tangis yang semakin pilu.

Amarah Naila

Dunia Mutia seolah runtuh, impiannya menikah dengan Yusuf–lelaki yang sangat ia cintai musnah sudah. Gadis itu tidak tahu lagi harus melakukan apa. Seharusnya besok adalah hari yang paling bahagia untuknya. Hari yang paling bersejarah saat ia dan Yusuf mengucap janji suci dan bersanding di pelaminan. Namun, semua hanya tinggal angan saja karena sang calon suami telah membatalkannya secara tiba-tiba.

Melangkah gontai, Mutia meninggalkan kediaman Yusuf dengan hati yang tercabik-cabik. Bukan hanya soal pernikahannya yang gagal. Tapi, hinaan serta cacian yang mereka tujukan untuk sang mama sungguh membuat Mutia hancur.

"Kau anak seorang pelakor, Mutia. Mama–mu itu pelakor! Aku juga tak sudi punya menantu sepertimu!" Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Seolah apa yang mereka tuduhkan benar-benar kenyataan.

Bagaimana mungkin mereka menuduh sang mama seorang pelakor? Apa karena status mamanya yang hanya sebagai single parent? Padahal yang ia tahu jika selama ini mamanya adalah perempuan baik, perempuan hebat yang selalu berjuang agar bisa menghidupi keluarganya.

"Maaf, Nona, tadi Anda belum membayar ongkos taksi." Suara supir taksi yang mengantarnya tadi membuyarkan lamunan Mutia. Gadis itu menyeka air matanya segera dan berusaha menyembunyikan kesedihannya tadi.

"Maaf, Pak, tadi saya buru-buru." Mutia memaksakan tersenyum. Ia meminta taksi tersebut untuk mengantarnya kembali rumah.

Sepanjang perjalanan Mutia hanya bisa melamun, membayangkan kisah cintanya dengan Yusuf yang sudah terjalin hampir setengah tahun. Tapi, semua kandas tanpa sisa. Yusuf yang dulu pernah berjanji akan menjaganya, melindunginya, malah menghinanya dengan terang-terangan.

Mutia mendesah berat. Gadis itu memijit pelipisnya sendiri yang tiba-tiba berdenyut. Seolah enggan memikirkannya lagi, gadis itu merebahkan kepalanya sejenak, menunggu sampai taksi tersebut sampai di depan pekarangan rumahnya yang sederhana.

"Mutia, dari mana saja kamu!" Baru saja Mutia menapakkan kakinya turun dari taksi, sang mama sudah lebih dulu menyambutnya di dengan tatapan tajam. Wanita berumur empat puluh tahunan lebih itu berdiri tepat di depan pintu yang akan gadis itu lewati.

"Mama kan udah bilang jangan ke mana-mana! Kenapa malah keluyuran?" ungkap Naila dengan wajah cemas. Karena terlalu sibuk mengurus persiapan pernikahan, wanita itu jadi tidak bisa selalu mengontrol kegiatan putrinya.

"Ingat, Mutia, kamu itu sedang di pingit karena besok pagi acara pernikahanmu!" Wanita itu sepertinya panik sekali, atau takut sesuatu menimpa putrinya.

Mutia mematung mendengar ungkapan sang mama. Ia bingung sendiri harus menjelaskannya bagaimana.

"Mas Yusuf baru aja membatalkan pernikahan ini, Ma," ucap Mutia dengan wajah sendu. Gadis itu menunduk tidak berani menatap wajah sang mama yang tengah berdiri menatapnya.

"Jangan main-main, Mutia! Kamu ...." Rasanya Naila tak percaya mendengarnya dengan ungkapan putrinya itu. Bagaimana mungkin Yusuf membatalkannya begitu saja. Sedangkan gedung dan semua perlengkapan pesta sudah siap, undangan pun sudah tersebar dari sejak jauh-jauh hari.

"Aku nggak main-main, Ma. Mas Yusuf sendiri yang sengaja membatalkan pernikahan ini."

Naila sontak lemas. Tubuhnya tiba-tiba merosot ke lantai seiring dengan ucapannya yang terbata. "Ba ... Bagaimana bisa?" bisiknya lirih. Sudah banyak yang Naila keluarkan agar acara itu berlangsung meriah. Uang tabungan yang ia kumpulkan selama dua tahun pun habis tak tersisa untuk membayar gedung serta perlengkapan lainnya. Sedangkan dari pihak Yusuf, entahlah ... katanya mereka dari keluarga kaya raya, nyatanya untuk biaya resepsipun mereka hanya sanggup membayar make up pengantinnya saja.

"Mama mau ke mana?" Kini gantian Mutia panik saat melihat sang mama yang tiba-tiba bangkit dan melangkah menuju pintu depan.

"Tentu saja ke rumah Yusuf. Mama ingin tahu kenapa tiba-tiba mereka membatalkan acara pernikahan kalian!" ucap Naila dengan penuh semangat. Wanita itu sudah melangkah keluar rumah dan bersiap memanggil taksi.

"Ma, tunggu!" Mutia kebingungan sendiri. Tidak mungkin ia mengatakan alasan mereka membatalkan acara pernikahannya sekarang. Tapi, jika ia biarkan sang mama pergi, itu artinya ia membiarkan wanita yang telah melahirkannya itu terluka. Mutia tidak ingin sang mama juga mendapatkan hinaan dari keluarga Yusuf.

"Udah kamu tunggu aja di rumah, Mama nggak akan biarin pernikahan ini batal begitu saja. Enak sekali mereka memperlakukan–mu seperti itu!"

Naila tidak lagi menghiraukan panggilan Mutia. Setelah mendapatkan taksi, Naila segera meluncur ke kediaman calon menantunya itu.

Tidak butuh waktu lama Naila tiba di depan gerbang mewah rumah calon besannya. Sejenak ia menatap takjub dengan bangunan di depannya itu. Hingga beberapa detik berlalu Naila baru tersadar saat seorang satpam menegurnya dari balik gerbang.

"Maaf, Ibu cari siapa ya?"

Naila tersentak dan buru-buru menguasai diri lagi. Ia kembali teringat akan rencananya tadi saat datang ke rumah itu.

"Bapak tidak mengenal saya?"

Pak Satpam mengernyit dengan tatapan bingung. "Memangnya Anda siapa?"

Naila menghembuskan napas panjang. "Saya ini calon mertuanya Yusuf. Apa dia ada di rumah?"

Satpam itu baru paham jika wanita di depannya ini adalah mantan calon mertua majikannya, yang tak lain ibu dari gadis yang menangis tadi.

"Jadi, Ibu mantan calon mertuanya Tuan Yusuf, begitu?" Ungkapan satpam tadi sontak membuat wanita di depan sana melebarkan kedua matanya.

"Apa! Bapak bilang apa tadi, mantan calon mertua!" balas Naila dengan tatapan setajam pisau. "Bapak jangan main-main ya! Cepat, buka gerbangnya, aku ingin menemui calon menantuku!" Naila masih berusaha menyembunyikan fakta itu meski tadi ia sudah mendengar sendiri dari putrinya bahwa pernikahan mereka telah di batalkan.

"Memang kenyataannya seperti itu, Bu. Bahkan saya mendengar sendiri saat Tuan Yusuf mengusir putri Ibu dari sini." Satpam tadi tersenyum sinis.

Wajah Naila langsung memerah. Wanita itu tidak menyangka jika putrinya telah mendapatkan perlakuan buruk dari laki-laki yang selama ini ia anggap baik.

"Bapak bilang apa tadi?" Dada wanita itu bergemuruh hebat mendengar pengakuan dari satpam tadi. Siapa sih yang rela putrinya di perlakukan seperti itu?

"Memangnya putri Ibu belum menceritakan apa yang terjadi di sini? Atau, memang sengaja menyembunyikannya karena tidak ingin sampai ibunya kecewa?" Satpam itu malah semakin menyulut amarah Naila, hingga rasanya wanita itu ingin marah dan menghancurkan apapun yang ada di depannya.

Sedangkan dari dalam sana terlihat dua orang pria yang berpakaian rapi tengah berjalan menuju kearah gerbang. Yusuf nampak terkejut sekali melihat kedatangan mantan calon mertuanya itu.

"Kau!!" Geram Naila saat kedua matanya menatap kearah pria yang tengah berdiri di belakang Yusuf. Begitupun dengan sang papa yang berjalan di belakangnya, Broto tidak menyangka akan di pertemukan lagi dengan sesosok wanita angkuh yang pernah menolaknya mentah-mentah.

"Kau rupanya Ibu dari gadis itu." Broto tersenyum sinis memandang kearah Naila.

"Yusuf, dia ...."

Korban Perceraian

"Dia papaku," ucap Yusuf membuat Naila mundur beberapa langkah kebelakang. Wanita itu tidak menyangka jika Yusuf adalah putra dari Broto, laki-laki yang pernah ...

"Kalian keterlaluan!!" maki Naila pada keduanya. Dulu kariernya pernah hancur oleh fitnah keji dari pria itu hingga membuatnya harus terusir dari pekerjaannya. Dan kini Mutia pun harus mengalami nasib yang buruk karena ulah dari Yusuf yang tak lain putra dari seorang Broto.

"Kenapa? Apa kau masih mengingatku?" Broto menyunggingkan senyuman. Yusuf melirik sang papa yang terlihat mengenali mantan calon mertuanya itu.

"Papa kenal sama mamanya Mutia?" tanya Yusuf. Kini pandangannya beralih kearah pria paruh baya itu.

"Bukan lagi kenal, Yusuf. Tapi, Papa juga pernah satu kantor dengannya. Dan kau tahu siapa wanita ini .... dia hanya seorang wanita penggoda!" Broto terang-terangan menghina Naila di depan putranya sendiri. Mengingatkan kembali luka wanita itu yang telah lama ia kubur.

Darah Naila menggelegak hebat. Andai saja ia bisa, ingin rasanya Naila menghancurkan wajah pria itu. ********** habis hingga tak tersisa.

"Jangan membual! Kaulah yang memfitnahku, karena aku menolak menjadi selingkuhanmu, kan?" ucap Naila dengan tegas. Wanita itu ingat sekali saat keduanya bekerja di perusahaan yang sama. Mungkin saat itu Broto belum sekaya sekarang, dia hanya manager di bagian keuangan, sedangkan Naila sebagai sekretaris yang baru dua bulan bekerja di tempat itu.

Kejadian bermula saat Broto terus mendekati Naila karena tahu status wanita itu sebagai single parent. Broto meminta Naila untuk bersedia menjadi selingkuhannya dengan iming-iming uang serta fasilitas yang akan dirinya berikan. Namun Naila menolaknya mentah-mentah.

Bukan apa, Naila tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain. Lagipula Naila juga tak mungkin tertarik dengan penampilan Broto yang berbadan gempal dan sudah berumur. Hingga pria itu hilang akal dan hendak memperkosa Naila. Tapi, alih-alih mendapat pembelaan dari karyawan kantor serta sang bos, Naila justru di cap sebagai pelakor hanya karena ia masih pegawai baru.

"Omong kosong! Kau pikir aku sudi dengan wanita sepertimu!" balas Broto dengan wajah merah padam. Pria itu mencoba mengelak di depan Yusuf–sang putra. Padahal sejak tadi ia juga takut jika Yusuf sampai terpengaruh dengan ucapan wanita itu.

"Pak, usir dia dari sini aja!" Beberapa kali Broto melirik kearah putranya yang terlihat kebingungan. Hingga ia memutuskan untuk segera mengakhiri pertengkaran ini.

"Dasar pengecut!" maki Naila beberapa kali. Wanita itu akhirnya di usir paksa karena permintaan dari Broto baru saja.

Tertinggal Yusuf yang masih menatap kepergian Naila dengan wajah sendu. Sejujurnya setelah memutuskan hubungan dengan Mutia, ada sedikit bimbang di hati Yusuf. Ia berpikir kenapa bisa sampai setega itu pada Mutia hanya karena permintaan kedua orangtuanya untuk membatalkan acara pernikahannya.

"Pa ..."

"Sudah Yusuf, kamu tak perlu memikirkan ucapan wanita itu." Broto buru-buru melangkah meninggalkan Yusuf yang masih berdiri mematung di depan gerbang.

Naila tak pernah menyangka jika calon besannya adalah Broto, pria yang sangat ia benci. Jika tahu Yusuf adalah putra dari pria itu, mungkin Naila tidak akan pernah memberikan restu untuk keduanya. Malangnya saat acara lamaran kemarin Naila tengah ada pekerjaan di luar kota, hingga ia menyerahkan semua urusannya pada sang ibu yang merupakan nenek dari Mutia.

Kini semua sudah terlanjur. Sakit hati Naila kembali menganga. Naila pikir saat mendatangi kediaman Yusuf tadi ia bisa membujuk agar Yusuf tidak jadi membatalkan acara pernikahannya. Tapi sungguh, semua di luar dugaan.

Naila mendesah berat. Ia jadi tahu kenapa tadi Mutia berusaha keras melarangnya untuk menemui Yusuf. Jadi, ini alasannya? Mutia hanya berusaha melindunginya agar tidak kecewa oleh kata-kata yang keluarganya Yusuf ucapkan.

"Kurang ajar! Mereka pikir aku tidak bisa mendapatkan menantu yang lebih baik dari Yusuf! Lihat saja nanti!"Sepanjang perjalanan menuju rumah Naila terus menggerutu, ia berjanji pada dirinya sendiri jika ia akan berusaha keras mencari calon pendamping yang lebih baik dari laki-laki itu.

Kabar batalnya pernikahan Mutia sudah tersebar luas hingga ke telingan sang ayah. Yudi marah karena merasa di permalukan di depan keluarga barunya. Apalagi ia telah mendengar sendiri jika pernikahan itu gagal sebab permasalahan dari mantan istrinya di masa lalu.

[Aku tidak menyangka jika kau wanita murahan, Naila! Jika bukan karena Ibu, mungkin aku sudah membawa Mutia untuk ikut bersamaku!] maki Yudi dari seberang telepon. Naila hanya mendengus mendengar ucapan mantan suaminya itu. Ia tidak peduli, apalagi memikirkan anggapan orang lain yang menyebutnya sebagai pelakor.

[Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Mas! Lagipula Mutia sudah dewasa, dia lebih bisa memilih dengan siapa harus tinggal!]

[Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa kau tega merusak kebahagiaan putrimu sendiri? Kau tega, Naila! Apa kau sungguh tidak punya hati?]

[Cukup, Mas! Aku tidak pernah punya niat merusak kebahagiaan Mutia. Kejadian itu sudah lama sekali! Dan kau perlu tahu, itu hanya salah paham! Semua itu tidak benar!]

[Harusnya Mutia mendapatkan kebahagiaan, bukan malah penderita seperti ini!] Ungkapan Yudi sontak membakar amarah Naila yang sudah sejam lama ia pendam.

[Kau bilang apa, Mas! Bukankah kamu sendiri yang telah memberikan penderitaan pada Mutia selama ini. Kamu yang sudah melukainya demi wanita itu!] Sesak rasanya jika memikirkan kisah pahit masa lalunya. Ketika ia harus berjuang seorang diri menghidupi sang anak hanya karena Yudi telah terpikat oleh perempuan lain. [Papa macam apa kamu, Mas, yang tega mengorbankan kebahagiaan putrinya demi orang asing yang baru saja hadir dalam hidupmu?]

Andai ia bisa memilih, Naila tidak ingin kejadian ini menimpanya. Sudah cukup ia sendiri yang menelan kisah pahit ini, Naila berharap sekali kehidupan Mutia nanti akan lebih baik.

[Lalu, kenapa dari dulu kau tidak menikah lagi? Apa kau masih mengharapkan bisa kembali padaku? Jangan mimpi, Naila!]

Pertengkaran itu terus berlangsung. Hingga tidak sadar dari balik pintu kayu itu seorang gadis tengah mendengarnya dengan deru napas yang naik turun. Ia benci pada nasibnya sendiri. Ia membenci pertengkaran-pertengkaran yang selalu ia dengan dari kedua orang tuanya.

Tubuh gadis itu tertunduk ke lantai dengan isak tangis yang memilukan.

"Kenapa hidup ini sungguh tidak adil, Tuhan! Kenapa ....!" Mutia memekik dalam hatinya sendiri. Memprotes takdir Tuhan yang terasa tidak adil baginya. Sebelah tangannya meremat kain pada ujung pakaiannya sendiri.

Pada akhirnya anak–lah yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Mutia yang belum mengerti apapun saat itu harus tumbuh dan menjalani kehidupannya yang keras tanpa kehadiran sosok seorang ayah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!