"Tidak om, aku tidak mau." protes seorang gadis cantik berumur dua puluh tahun, bernama lengkap Indira Dania Kinanti.
"CK, Indira apa kamu benar-benar setidak tahu dirinya seperti ini, kamu bahkan tidak pernah melakukan apapun yang membuat om senang, kamu lupa siapa yang selama ini membiayai hidupmu dari kecil hingga sebesar ini, kamu lupa? apa perlu om ingatkan kembali agar kamu sadar?"
"Om aku bisa melakukan apapun untuk om, tapi tidak untuk yang satu ini, aku mohon om." Indira bersimpuh dikaki laki-laki yang berstatus sebagai om nya tersebut, dengan suara terisak.
"Tidak akan ada yang bisa kamu lakukan Indira, memangnya kamu bisa apa? bisamu hanyalah membuatku susah, kamu tahu itu?"
Indira menggeleng lemah, menatap sang om dengan tatapan sendunya.
"Jangan menatapku seperti itu Indira, karena hal itu tidak akan mengubah apapun."
"Apa semua ini karena uang, om?"
"Ya, sepertinya tebakan mu benar! aku tidak perlu berbohong bukan, benar! aku melakukan ini karena uang, kamu tahu bisnis om sedang berada diambang kehancuran Indira, dan menikahkan mu dengan Daniel adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan nya."
"Om, aku akan membantu om menyelesaikan semuanya, aku yakin perusahaan om bisa bangkit kembali walau tanpa bantuan ba jingan itu."
"Tidak bisa! keputusan sudah om ambil, dan pernikahan mu dengan Daniel akan dilaksanakan segera." tegas Farhat dan berlalu meninggalkan Indira seorang diri.
Diatas lantai yang dingin, Indira memeluk kedua lututnya dengan wajah menunduk, menggigit bibir untuk mengurangi perasaan sesak yang memenuhi rongga dada.
Bagaimana mungkin sang om yang sudah ia anggap sebagai ayahnya tega menyerahkannya pada seorang pria kejam seperti Daniel yang bahkan terkenal sebagai pemain wanita.
"Urus dia."
Indira mendongak, saat suara sang om kembali terdengar, dengan empat orang berpakaian serba hitam yang berdiri dibelakangnya, dan perlahan keempat orang tersebut berjalan kearahnya dan memegangi tangannya dengan kuat.
"O-om, apa-apaan ini." protes indira berusaha melepaskan cekalan tangan mereka dengan berusaha menariknya sekuat yang ia bisa.
"Untuk memastikan bahwa kamu tidak akan kabur dari rumah ini." ucap Farhat dengan senyum semirknya.
Membuat indira menganggapnya bagaikan iblis kejam yang tidak berperasaan.
Indira tertawa sumbang, "Bahkan sekarang om menganggap ku tak bedanya dari seorang tawanan."
"Terserah kamu mau berbicara apa." Farhat berlalu dari ruangan tersebut.
"Aku kecewa padamu om." ucap Indira, membuat langkah Farhat terhenti.
"Aku pikir selamanya om akan menjadi om terbaikku, yang bertempat spesial dihatikku sama seperti ayah."
Farhat terdiam, tak berniat untuk menjawabnya, dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Apa yang kalian tunggu, lakukanlah apa yang dia perintahkan." ketus Indira pada keempat pria tersebut yang hanya diam menatap kepergian Farhat.
"Maafkan kami nona, kami hanya menjalankan perintah." ucap salah satu dari mereka dan mengintruksikan yang lainnya untuk membawa Indira kekamarnya.
*
"Sudah selesai, anda terlihat sangat begitu cantik nona, priamu pasti akan sangat gila saat melihatnya." ujar seorang wanita yang ditugaskan Farhat untuk mendampinginya.
"Keluarlah sebentar Marla, saya ingin sendiri dulu."
"T-tapi nona_"
"Saya mohon Marla." ujar indira lirih, saat ini ia benar-benar ingin sendiri dulu dan tidak ingin berbicara banyak.
"Baiklah Nona, saya akan menunggu diluar."
Didepan Cermin kamarnya, Indira menatap wajah cantiknya yang baru saja selesai dirias oleh anggota MUA terkenal, yang secara khusus dipilihkan Daniel untuknya.
Namun bukan itu masalahnya, akan tetapi saat ini ia merasa masih tak percaya bahwa hari ini merupakan hari pernikahannya dengan Daniel.
Pria yang sangat ia benci.
Ada banyak doa-doa yang ia rapalkan dalam hati, agar hari ini pernikahannya berjalan tidak lancar.
Ya, jika biasanya seorang pengantin berharap sebuah kelancaran dalam pernikahannya maka berbeda dengan Indira yang justru mengharapkan sebuah ketidak lancaran yang akan membuat pernikahannya dengan Daniel batal.
Indira memekik, saat terdengar suara baritone sang om yang berasal dari pintu kamarnya.
"Dengar om! berhentilah menangis dan memasang wajah menyedihkan itu Indira, sebentar lagi Daniel akan sampai, kau dengar itu?''
"Iya, om!"
"Jangan membuat aku malu Indira."
Brakkk..
Setelah mengatakan hal tersebut, Farhat keluar dari kamar Indira sembari menutup pintunya dengan sangat keras, sementara Indira berjalan menuju jendela kamarnya menatap lalu lalang para tamu undangan yang mulai berdatangan memenuhi halaman rumah.
*
"Woyyy, turun Lo!" ujar tiga orang pemuda yang mengenakan seragam sekolah berwarna putih abu-abu, saat menghadang seorang pemuda dengan seragam yang sama yang tengah mengendarai motor besar berwarna merah mengkilap.
Terdengar decakan keras, dari pemuda yang kini tengah membuka penutup kepalanya.
"Lo bertiga lagi,?" ujarnya seraya berdecih.
"Urusan kita belum kelar, Lo belum menyelesaikan taruhan gue yang kedua." ucap salah satu dari mereka yang berdiri paling depan.
"Reno Bhakti Sanjaya, gue nggak akan lupa soal itu." menepuk pundak Reno dengan kekehan kecil.
"Gue nggak butuh janji, tapi gue butuh bukti."
"So?"
Reno menyeringai, "Lakukan sekarang!"
"Maksud lo_"
"Gala-Gala, Lo nggak bodoh kan?" Reno menyentil dahi Gala membuatnya tersulut emosi.
"Sialan!"
"Lakukan sekarang, atau_"
"Asal Lo tahu, gue nggak takut ancaman Lo Reno Bhakti Sanjaya." sentak Gala seraya mencengkram kerah baju milik Reno.
"Ok, kalau begitu sekarang Lo lihat itu?" Reno menunjuk sebuah rumah yang mulai dipenuhi deretan mobil mewah dengan berbagai merek.
"Lo pasti tahu kan itu artinya apa?" Reno beralih menunjuk sebuah janur kuning yang berdampingan dengan karangan bunga, bertuliskan The Wedding, Daniel & Indira.
"Gimana?"
"Lo gila." sentak Gala.
"Lakukan sekarang, atau_"
"Ini benar-benar tidak sesuai perjanjian, Lo main curang?"
ujar Gala seraya mendorong tubuh Reno hingga terhuyung ke belakang.
"Ren, Lo nggak apa-apa?" tanya Ervan dan Andres bersamaan memegangi bahu Reno.
"Lo berdua tenang aja, ini cuma masalah kecil." ujar Reno yang kemudian kembali mendekati Gala.
"CK, Galaksi Melvin Arsenio, curang Lo bilang?" Reno tergelak keras.
"Lo nggak lupa kan, kalau di perjanjian taruhan yang kedua itu, gue cuma bilang Lo harus menculik pengantin cewek, nggak berdasarkan waktunya kapan dan dimana."
"Lo_"
"Jadi gimana, Lo mau tetap jadi jagoan atau pengecut?"
"Lo benar-benar licik Ren, gue pasti bakal membalas kejadian hari ini, camkan itu!"
"Gue tunggu, looser!"
"Ayok, cabut!" Reno mengajak kedua sahabatnya untuk melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.
Sementara itu Gala mengepalkan kedua tangannya dan mulai memikirkan cara agar ia bisa menculik pengantin wanita yang bahkan tidak ia kenal sama sekali terutama mengenai keberadaannya saat ini.
"Sial!" umpatnya, seraya menendang motornya dengan sangat keras, kemudian mengaduh saat merasakan nyeri diujung kakinya.
"Motor sialan, bukannya minggir!" gerutunya.
*
*
Indira menggerenyit saat mendapati seseorang memasuki kamarnya lewat jendela.
"K-kamu sia_" ucapannya tenggelam saat Gala refleks membekap mulutnya dan membawanya keluar melalui jendela yang sebelumnya ia lewati, kemudian memasukannya kedalam sebuah mobil milik Ariel sahabatnya yang sudah ia hubungi untuk membantu misinya pagi ini, sementara Anson membantu mengendarai motornya untuk dibawa ketempat yang ia maksud.
"Semuanya aman kan, nggak ada yang lihat?" ujar Gala begitu mereka sampai disebuah rumah kosong milik ayahnya yang sudah lama tak ditempati.
"Aman kok, eh tapi ngomong-ngomong Lo nekat juga ya, gila sih ini." ucap Ariel seraya terkekeh geli, melirik sekilas kearah gadis cantik yang tengah memejamkan matanya diatas sofa.
"CK, harusnya Lo kagak perlu dengerin ucapan sikunyuk itu lah Gal, Lo tahu penculikan itu termasuk kriminal lho, Lo mau emangnya dimasukin ke jeruji besi." timpal Anson.
"Anjir Lo nyumpahin gue."
"Bukan, elah!"
"Lo tenang aja, gue yakin masalah ini kagak bakalan nyampe kesana."
"Serah Lo deh, tapi yang pasti sekarang gue musti ke sekolah, soalnya kalau sampai minggu ini gue ketahuan bolos lagi, habis uang jajan gue dipotong sama emak."
"Gue juga musti kesekolah Gal, kalau ada apa-apa Lo bisa hubungin gue atau si Ariel ya."
"Ok, thanks bro!"
Setelah kepergian kedua sahabatnya, Gala duduk disamping Indira yang masih tertidur, pelan punggung tangannya bergerak mengusap lembut pipi putih Indira tanpa membuatnya terbangun.
"Sorry." ucapnya lirih, kemudian beranjak mengambil sebatang rokok dan menyalakannya menggunakan korek api, dan mulai menghisap benda tersebut, hingga mengeluarkan kepulan-kepulan asap putih yang bergelombang.
Klunting!
Sebuah bunyi yang menandakan notifikasi pesan chat masuk, membuat Gala buru-buru mengambil ponselnya dan memeriksa isi pesan tersebut.
"Gimana, berhasil?"
Isi pesan yang ternyata dari Reno.
Gala berdecak, kemudian membuka aplikasi kamera dan mengambil gambar Indira yang kemudian ia kirimkan kepada Reno.
"Ok, kalau gitu kita impas."
Balasan dari Reno, membuat Gala mendengus seraya mengepalkan kedua tangannya.
"Sialan Lo Ren."
"Egghhh...''
Indira menggeliat pelan, membuat gala menoleh kearahnya, dan menggerus rokoknya kemudian menghampiri gadis yang telah diculiknya setengah jam yang lalu.
"Lo udah bangun?" ujar Gala yang kini berdiri disamping Indira dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku celananya.
"Lo- Lo siapa, k-kenapa gue bisa ada disini?" ucapnya seraya memperhatikan area sekitarnya yang tentu sangat asing bagi dirinya.
"Kenalan dulu, baru setelah itu Lo bakalan tahu siapa gue!"
"Galaksi." lanjut Gala dengan tangan terulur.
Gala berdecak, saat Indira tak menyambut uluran tangannya, dan justru malah memandangi dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kenapa Lo lihatin gue kayak gitu, gue ganteng? nggak perlu Lo perjelas, muka gue emang udah begini dari orok." Tukas Gala penuh percaya diri membuat indira mendengus.
"Lo masih SMA?"
"Hmm seperti yang Lo lihat."
"Gue tebak Lo anak paling berandal disekolah, kan?"
"Tepat sasaran."
"Lo gila ya."
"Sejauh ini sih banyak banget yang ngatain gue gila, terserah deh mau menganggap gue kek gimana."
"Lo emang gila gue rasa, kalau nggak! mana ada anak sekolah jadi penculik."
Gala terkekeh, seraya duduk disamping Indira.
"Tapi Lo nggak kelihatan marah gue culik?" ucap Gala saat menyadari jika sejak tadi Indira terlihat biasa saja tanpa memberontak dan berteriak seperti korban penculikan pada umumnya.
"Nggak."
"Hah? gue rasa elo deh yang otaknya geser, mana ada orang diculik biasa aja, oh gue tahu nih Lo kek gini karena penculik nya ganteng kek gue kan?"
"CK!"
"Gue dipaksa nikah."
"Di paksa?"
"Hmmm."
"Kok bisa?"
"Emang harus ya, gue bilang ke elo apa alasannya."
"Haruslah, kalau nggak_"
"Kalau nggak apa?"
"Gue bakal balikin lagi ke calon suami Lo, gimana?"
"Eh j-jangan_" Indira terlihat panik, dan hal tersebut membuat Gala tersenyum penuh kemenangan.
"Om gue banyak hutang."
Gala manggut-manggut, "berarti Lo harus bilang makasih dong ke gue, karena secara nggak langsung gue udah membuat pernikahan paksa Lo itu batal, nggak sih?"
"Ok, Makasih."
"Kagak ikhlas banget."
"Terimakasih Galaksi_"
"Panggil gue Gala."
"Terimakasih Gala."
"Jadi nama Lo siapa?"
"Emang penting?"
"Pentinglah, kalau gue nggak tahu nama Lo terus gue musti panggil Lo apa, Markonah?"
"CK, Indira."
"Nah gitu dong, jadi gampang kan kalau begini."
"Gal,?"
"Hmmm."
"Ini rumah siapa?"
"Bokap gue."
"Lo tinggal disini?"
"Nggaklah, Lo nggak lihat ruangan ini banyak debunya, mana mungkin lah gue tinggal disini, ini rumah bokap gue yang lama, sebelumnya sih ada pengurusnya, tapi udah seminggu ini nggak ada, balik kampung orangnya."
"Euhm_ g-gue boleh tinggal disini nggak, buat sementara waktu, karena gue nggak mungkin balik lagi kerumah om gue."
"Boleh aja sih kalau Lo mau, tapi dengan satu syarat?"
"A-apa?"
"Cium."
"Lo_"
"Wih, santai dong! gue cuma bercanda, lagi gue nggak nafsuu kali sama Lo!" ujar Gala seraya tersenyum miring, kemudian menurunkan tangan indira yang hendak memukulnya.
"Oh iya, gue kasih tahu, jadi cewek itu jangan kasar-kasar, nanti nggak ada yang mau sama Lo." Gala mencondongkan wajahnya, membuat Indira refleks mundur dengan tubuh menegang.
Gala beranjak dari sofa menuju salah satu kamar yang berada dirumah itu, dan tak lama ia kembali dengan membawa satu setel piyama.
"I-ini apa?" tanya indira, saat Gala mengulurkan baju tersebut kearahnya.
"CK, ini baju lah, emang menurut Lo apa?"
"M-maksudnya b-buat apa?"
"Buat Lo ganti lah, emangnya Lo mau pakai gaun pengantin Lo itu terus sampai besok."
"Oh i-iya."
"Itu baju adek gue Azzura, dia sengaja ninggalin beberapa bajunya disini, dan gue rasa Lo sama dia punya ukuran baju yang sama, jadi sepertinya pas ditubuh elo."
"Lo boleh pakai semuanya buat ganti."
"Semuanya ada dikamar itu." lanjut Gala seraya menunjuk sebuah kamar ber cat putih dengan hiasan bunga yang terbuat dari bahan flannel.
"T-terimakasih."
"Ok, kalau gitu gue tinggal dulu, soalnya gue ada urusan."
*
"Huhft."
Setelah memastikan pemuda yang bernama Gala itu pergi, Indira bergegas mengganti pakaiannya, dan keluar meninggalkan rumah tersebut dengan sedikit tergesa-gesa.
Ya, Indira memilih pergi karena ia bukanlah gadis yang mudah percaya kepada siapapun, terutama kepada Gala pemuda yang telah menculiknya beberapa jam yang lalu.
Hal ini tentu merupakan pengalaman pertamanya bagi Indira, diculik kemudian ditempatkan disebuah rumah kosong yang bahkan tidak memiliki banyak tetangga.
Meski ia menyadari Gala bukanlah seperti kebanyakan penculik yang sering diceritakan orang-orang pada umumnya, yang terkenal dengan kegarangan dan wajah seramnya, namun bagi Indira sebuah penculikan tetap tidak dibenarkan.
"Gue harus pergi." ucapnya dan sesekali menoleh kebelakang, untuk memastikan bahwa keadaan nya saat ini benar-benar aman.
Indira mengusap peluh di dahinya yang mengucur, kemudian beristirahat sejenak di salah satu emperan toko kosong yang terletak dipinggir jalan.
Menghela napas panjang, untuk menyetabilkan debaran jantung yang kian berpacu.
Kini ia sudah cukup jauh meninggalkan tempat tadi, dan sekarang tujuannya adalah menemui Sherina sahabatnya, karena hanya Sherina lah yang menjadi harapan satu-satunya untuk ia mintai pertolongan.
*
"Neng Sherin, ada temannya tuh didepan Kost an, sudah menunggu dari tadi siang." ujar Bu Fatma yang merupakan ibu-ibu pemilik kost-an khusus Putri yang salah satunya di sewa Sherina.
"Yang mana ya bu?" Sherina bertanya, sembari mengembalikan helm kepada tukang ojek yang telah mengantar nya sore ini.
"Itu lho, yang sering kesini."
Sherina tampak berpikir sebentar.
"Umm, Indira bukan ya."
"Ya, itu neng Indira."
"Oh yaudah Bu, kalau begitu saya permisi."
"Iya."
Sherina membuka gerbang yang menjadi pembatas antara jalan raya dan kost-kostan khusus Putri milik Bu Fatma, tersenyum saat melihat Indira yang tengah merenung disebuah kursi plastik yang berada didepan kostannya.
"Indira?"
"Sherin." Indira beranjak dan memeluk Sherina.
"Ra, gue kira Bu Fatma bercanda lho tadi, kok tumben sih kesini sore-sore." ujar Sherina dengan raut wajah yang terlihat terkejut sekaligus terlihat senang.
"Gue kesini mau minta tolong sama Lo She, gue lagi dalam masalah."
"Kayaknya serius banget, yaudah sekarang kita masuk dulu, Lo ceritain semuanya didalam aja."
"Sini, duduk disini." Sherina menepuk sofa bed yang berada didalam kostannya.
"Bentar gue bikinin minum dulu ya."
"Makasih She."
"Udah, santai aja.''
"Nih minum dulu, abis ini Lo wajib cerita." Sherina menyodorkan segelas jus jeruk ke hadapan Indira, kemudian mendudukkan dirinya disamping sahabatnya itu.
"Makasih She."
"Sama-sama, diminum dong!"
"Iya."
"Jadi apa yang terjadi sama Lo Ra?"
"Gue diculik She."
"What?! elo di culik, seriusan Ra."
Indira mengangguk.
"Kenapa bisa?"
"Gue juga nggak tahu."
"Yaampun Ra, tapi ini L-lo Lo nggak apa-apa kan?"
"Gue nggak apa-apa Sherina."
"Ihs serem banget sih, hari gini kok masih ada orang model begituan ya."
"Gue juga nggak tahu She, tapi semua ini terjadi di hari pernikahan gue tadi pagi."
"Terus?"
"Terus_"
"Eh tunggu-tunggu Ra, Lo bilang apa tadi, hari pernikahan? Lo_"
"Ya."
"Ra, Lo married? dan elo sama sekali nggak ngasih tahu gue, ngundang gue, Ra Lo_"
"Sorry banget She, gue minta maaf! gue pikir Lo nggak perlu tahu soal pernikahan gue, karena menurut gue semua itu nggak penting banget."
"Gimana bisa Lo bilang ini nggak penting sih Ra,?"
"Gue dipaksa sama om gue, karena dia punya banyak hutang."
"Om Lo?
"Iya, dan Lo tahu siapa calon suami gue?"
"S-siapa?"
"Daniel."
"CK, playboy psikopat itu, ini benar-benar gila! Terus Lo kenal sama penculik Lo itu?"
"Nggaklah She, tapi yang gue heranin dia masih muda lho, anak SMA, bahkan saat dia nyulik gue dia memakai seragam SMA She, dan lebih gue nggak ngertinya lagi dia mengiyakan candaan gue yang minta tinggal dirumah kosong itu, dan bukan hanya itu She, dia benar-benar ninggalin gue disana tanpa mengikat gue atau mengunci pintunya dari luar, aneh nggak sih menurut Lo?"
"Serius Ra?"
"CK, Sherina."
"Kok bisa ya?"
"Aduh nggak tahu deh She, dan sekarang gue bingung musti gimana, gue nggak bawa ponsel, dompet, semuanya ada dirumah om gue, tapi gue juga nggak bisa balik lagi kesana, karena gue yakin om gue pasti murka banget."
"Lo tenang aja Ra, mulai sekarang Lo tinggal sama gue, dan untuk sementara Lo pake uang tabungan gue aja ya"
"Tapi She?"
"Nggak usah banyak tapi, bilang iya aja."
"She?"
Sherina men desah, kemudian memegangi kedua bahu Indira.
"Lo sahabat gue Ra, dan gue tahu Lo nggak punya siapa-siapa lagi selain om Farhat, jadi lo terima bantuan dari gue ya."
"Tapi gue pasti bakalan ngerepotin Lo terus She."
"Nggak! gue sama sekali nggak repot."
"Gini aja She, kira-kira ditempat Lo kerja ada lowongan nggak, karena gue udah ngundurin diri dari FlorinCafe, gue pengen kerja lagi, seenggaknya gue bisa cepat-cepat balikin uang Lo yang gue pinjam nanti."
''Ditempat kerja gue sih nggak ada lowongan Ra, tapi besok gue coba cari info ke teman-teman kerja gue, siapa tahu salah satu dari mereka punya kenalan orang yang lagi membutuhkan tenaga kerja ya."
''Thanks Sherina, Lo emang benar-benar sahabat gue banget."
"Sama-sama Ra."
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!