NovelToon NovelToon

Pesona Janda Muda

Kesan Pertama

"Berhenti di depan aja, Mbak." Ucapku sedikit berteriak agar si pengemudi bisa mendengarnya.

Seorang wanita memakai celana abu-abu dengan jaket hijau di hiasi logo ojek online mengangguk mengiyakan.

Udara dingin pagi menemani perjalanan kami menempuh waktu lebih dari 20 menit lamanya. Arus lalu lintas sedang padat-padatnya, itulah alasan aku memesan ojek online ketimbang naik taksi. Motor bisa menyelip melintasi jalanan yang padat, menghemat sedikit waktu untuk sampai di tujuan.

Laju motor perlahan berhenti di depan gerbang perusahaan.

"Aku bayar pakai Gopay ya, Mbak." Ucapku memperlihatkan layar ponsel kepadanya. Dia mengangguk mengucap terimakasih, hampir tidak terdengar karena wajahnya ditutupi masker dan helm.

Setelah berpamitan, dia melajukan kembali sepeda motor metik warna merah, menjauh, lalu hilang dari pandangan, membaur dengan kendaraan yang penuh sesak di sana, di jalanan ibu kota.

"Kamu terlambat lima menit Arsen," suara berat menyambut ketika aku memasuki ruangan utama.

Seorang pria setengah baya duduk di kursi kebesaran yang dibalut kulit asli berwarna hitam, dibawahnya terdapat enam roda kecil, memudahkan penggunanya bergerak.

Pria itu menatap tajam ke arahku, menyilangkan kaki kanannya ke atas, duduk bersender dengan posisi tangan melipat di dada.

Di atas meja kantor, papan nama Arsenio Werner sudah terpasang dengan awalan CEO di depannya, sebuah jabatan yang tidak kuinginkan namun terpaksa dijalani karena tidak ingin mengecewakan orang yang sedang menatapku dengan tajam ini, mengunci pandangan, seperti meminta penjelasan mengapa aku datang terlambat.

"Maaf, Pah. Aku sudah berusaha secepat mungkin untuk tiba di sini, sampai naik ojek. Lagian kan cuma telat lima menit toh." Aku melepas jas hitam, menggantungnya ke stand hanger yang terletak di pojok ruangan.

"Bagi pembisnis, time is money! Terlambat lima menit sama dengan membuang banyak uang."

Aku membuang nafas kasar, perdebatan ini tidak akan selesai kalau aku terus membela diri, karena kenyataannya aku memang salah.

"Maaf, Pah." lirihku tidak ingin memperumit perkara terlambat lima menit.

"Sudahlah, makanya kamu pindah saja ke rumah, tinggalkan apartemen itu. Rumah kita sangat besar, tapi di dalamnya sepi. Untuk apa kamu terus-terusan tinggal di apartemen? Kuliahmu sudah selesai, tidak ada lagi alasan menetap di sana."

Pria itu bangkit dari kursi, mengelus rambutnya yang rapi, mendekat ke arahku, dia menoleh ke arah jam dinding yang berputar tanpa suara.

"Ayo, rapat pergantian CEO akan segera dimulai. Persiapkan dirimu, jangan mengecewakan Papa."

Kini beban itu ada di pundakku, memimpin perusahaan tekstil yang memiliki 5000 karyawan di sini, dan 3000 karyawan di cabang lainnya.

Aku menghela nafas, merapikan dasi merah yang melingkar di leher. Sudah bukan saatnya lagi bagiku bermain-main, kini ada ribuan orang yang bergantung hidup kepadaku.

Beginilah rasanya menjadi anak semata wayang, dituntut tumbuh sempurna, sedari kecil sudah menjadi harapan orang tua. Diminta untuk meneruskan bisnis mereka yang sudah dibangun susah payah, tanpa perduli cita-cita si anak itu sendiri.

Sudah bukan waktunya lagi bagiku menikmati hobby mendaki gunung berkeliling negara, berpetualang dari gunung satu ke gunung lainnya, menikmati suasana puncak yang sunyi dan indah.

Bangun Arsenio! Kini waktunya untuk serius menjalani hidup.

"Baik, Pah." Aku mengekor di belakang Papa. Berjalan menuju podium untuk menguarkan pengumuman penting, yakni pergantian CEO.

Papa memilih pensiun, kini jabatan itu adalah tanggung jawabku, tapi masih tetap diawasi olehnya.

Seluruh tamu undangan, karyawan, dan orang-orang dengan jabatan penting sudah berjejer rapi duduk di kursi masing-masing, beberapa diantara mereka berbisik-bisik penasaran dengan CEO baru, beberapa lagi seolah tidak perduli, yang penting mereka bisa tetap bekerja dan mendapat gaji.

Acara di mulai, MC menaiki podium, membaca rangkaian acara, memanggil orang-orang penting untuk memberi sambutan, hingga tiba waktu dimana Papa maju memberikan pidato pergantian CEO.

"Kepada yang terhormat Bapak Tony Werner Buana, selaku Direktur utama, kami persilahkan untuk menaiki podium." Ucap MC wanita berkacamata itu, wanita yang wajahnya sudah tidak asing, karena dia adalah MC terkenal yang sering wara-wiri di televisi.

Papa menaiki podium, meraih microfon, berdiri dengan gagah meski usianya tidak lagi muda. Dia mulai bercakap-cakap mencairkan suasana, lalu beranjak membicarakan alasan mengapa dirinya pensiun, terakhir dia memanggil namaku yang menggema ke seluruh ruangan.

"Berikan tepuk tangan kepada CEO baru kita agar dia bersemangat melaksanakan tugas di hari pertamanya, inilah putra kesayangan saya, kebanggaan saya, dan harapan saya satu-satunya, Arsenio Werner."

Riuh tepuk tangan meramaikan suasana yang sejak tadi datar, ribuan mata menatap serius, memperhatikan langkahku yang berjalan menaiki podium. Sedikit gugup, tapi berhasil ditepis dengan menarik nafas dalam, dan menghembuskannya pelan.

Aku melambaikan tangan, jepretan kamera dengan lampu flash membuat silau penglihatan, para wartawan antusias mengambil gambar dari berbagai angle.

Besok, wajahku pasti memenuhi kabar berita di mana-mana. Namaku akan dikenal banyak orang, wajahku akan menjadi familiar, kini tidak hanya menjadi CEO, tapi juga seleb dadakan.

Bagaimana tidak? Perusahaan Papa adalah perusahaan besar, banyak dikenal masyarakat dari penjuru negeri, wajah Papa banyak wari-wiri di televisi, koran, situs berita online, media sosial, bahkan papan iklan yang berdiri kokoh di tepi jalan, karena dikenal sebagai pengusaha sukses, dia sering menjadi motivator yang membagikan kiat-kiat meraih kesuksesan.

Berita Papa pensiun secara mendadak tentu menjadi perbincangan panas di media, yang lebih menarik bagi mereka adalah diriku, sosok penggantinya.

"Halo, kalian sudah dengar nama saya dari Papa tadi. Tapi saya ingin secara resmi memperkenalkan diri. Nama saya Arsenio Werner, jabatan ini merupakan tanggung jawab besar bagi saya. Saya tidak menjamin bisa sehebat Papa, tapi saya akan berusaha yang terbaik dan membuat Papa bangga kepada saya." Aku membungkukkan badan ke kanan, tengah, dan kiri podium, menelungkupkan tangan, mengucap terimakasih atas antusias mereka menyambutku di perusahaan ini.

Sebenarnya, ini bukan perusahaan satu-satunya. Kami memiliki beberapa perusahan lain di bidang usaha yang berbeda. Tapi tidak sebesar perusahaan ini. Perusahaan itu di handle oleh kaki tangan dan kerabat Papa.

Kalau aku menyanggupi, dia menyuruhku menghandle semuanya, tapi aku tidak sehebat yang dibayangkan. Aku memilih fokus mengembangkan perusahaan ini.

Setelah acara selesai, seluruh karyawan beranjak ke tempat kerjanya masing-masing. Aku mengagumi Papa, dia pekerja keras sampai memiliki karyawan sebanyak ini. Dari sini, aku melihat mereka seperti perkumpulan semut yang membubarkan diri.

Warna seragam yang dipakai menandakan identitas jabatannya di perusahaan. Ada yang memakai seragam merah, golongan seragam ini adalah operator produksi.

Ada pula seragam biru muda sebagai staff. Yang terakhir ada kumpulan orang-orang dengan jas dan kemeja rapih, mereka adalah orang yang menjabat posisi penting di perusahaan.

Papa menepuk pundakku, mengelusnya dengan lembut, memberi semangat, meyakinkan diriku bahwa aku bisa menjalankan tugas ini dengan baik.

"Papa percaya kamu bisa lebih lebih hebat dari Papa."

Kalimat sederhana itu seperti cambuk yang memukul keras ulu hati.

Kini tidak hanya tanggung jawab CEO saja yang dipikul, tapi juga kepercayaan Papa yang harus berhasil diwujudkan.

Sesampainya di ruang kerja, aku bersender di kursi, mendongakkan kepala menatap langit-langit.

Aku mengingat wanita tadi, yang menjemputku di apartemen dan mengantarku ke sini, perjalanan 20 menit yang memberi energi positif.

Saat menjemput, dia membuka helm dan maskernya sebagai syarat dari pihak keamanan untuk memasuki area apartemen.

Dari lobby, aku memperhatikannya semakin mendekat, mata menolak berkedip kala wajahnya yang cantik menyihir penglihatan. Rambutnya yang panjang menari-nari mengikuti semilir angin. Dengan wajah cantiknya, dia tidak gengsi mencari uang menjadi ojek online. Istimewa bukan? Ditengah gempuran gaya, masih ada wanita sederhana yang mengesampingkan gengsi.

Untuk mencairkan suasana, aku mengajaknya ngobrol. Tapi sepertinya dia tidak suka, atau mungkin karena dia sedang fokus berkendara.

"Kenapa Mbak ngojek?" Tanyaku saat kami berada di lampu merah pusat kota. Ini lampu merah terlama, nyalanya bisa lima sampai sepuluh menit. Kupikir tidak ada salahnya mengajak dia ngobrol, itung-itung menghilangkan jenuh menunggu lampu merah berganti warna.

"Terdesak, Mas." jawabnya singkat.

Aku tidak puas mendengar jawabannya. Pasti ada alasan lebih spesifik bukan? Sampai dia terdesak menjalani pekerjaan yang tidak cocok untuk perempuan. Apalagi dia sangat cantik, bagaimana kalau dia bertemu customer nakal? Lebih menakutkan lagi kalau bertemu customer nekat, bisa saja dia diculik, diperkosa, atau bahkan dibunuh. Mengerikan!

Ini tidak berlebihan. Kenyataannya dunia ini memang kejam, apalagi dia bekerja menjual jasa, bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda.

"Kan ada profesi lain yang lebih aman untuk seorang wanita." tuturku memberi pencerahan.

"Nyatanya menemukan profesi itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Setelah kematian suamiku, tidak mungkin aku terus-terusan diam menunggu keajaiban datangnya profesi yang menurut anda aman. Sementara ada anak yang harus kuurus."

Skakmat!

Dia membungkam mulutku dengan jawabannya. Apakah dia tahu kalau dirinya sangat keren. Pertemuan singkat ini membuatku terkesan.

Ya, informasinya hanya sebatas itu. Hanya setakat itu yang dijawab olehnya, tapi menciptakan kesan yang dalam di sini___

Di hatiku.

Bersambung...

Kartu Nama

Sejak hari itu, aku lebih suka berangkat kerja menggunakan ojek online, berharap bertemu wanita itu untuk kedua kalinya.

Aku juga berharap dia akan menghubungiku melalui kartu nama yang diselipkan di tas punggung miliknya.

Saat membayar jasa ojek tempo hari, aku memberi tip cukup banyak, kupikir dia butuh uang untuk kebutuhan anaknya. Anggap saja penghargaan atas kerja keras mengantarku pagi-pagi sekali.

Rupanya, selang satu jam dia mengembalikan uang itu. Kau tahu? Itu membuatku semakin tertarik kepadanya.

Kemana lagi aku bisa menemukan dia? Wanita berkulit putih, yang memiliki hidung mancung, bibir tipis, alis tebal, rapi meski tanpa pensil alis, bulu matanya lentik alami seperti menggunakan eyelash.

Sekilas aku menatap matanya yang berbentuk almond dengan pupil warna coklat. Cantik sekali.

Wajah itu selalu terbayang mengganggu konsentrasi, terkadang membuat tidak nafsu makan. Yang lebih menjengkelkan saat di rumah, wajah itu seperti menghiasi setiap sudut ruangan, rasanya aku akan gila karena melihat wajahnya dimana-mana.

Aku mengacak rambut kesal, mengenyahkan wajah itu dari bayangan. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar, tenang sebentar, lalu bayangan itu muncul kembali, astaga.. Aku benar-benar sudah gila.

Drrtt.. Drrttt..drrttt

Ponsel bergetar menandakan panggilan masuk.

"Halo, kenapa Dit?"

Aku menyapa Aditya Pradana, sahabat sejak kami SMA. Orang paling setia kawan dari yang lainnya, orang paling tulus berteman denganku tanpa melihat siapa aku dan harta kekayaan orang tuaku.

Sedikit flashback, sejak SD hingga masuk SMP aku sering di hianati teman-teman. Aku mengira mereka tulus berteman denganku, ternyata tidak. Mereka hanya memanfaatkan harta dan nama besar Papaku untuk kepentingannya sendiri.

Masuk ke SMA, aku memutuskan menyembunyikan identitas asli sebagai anak pengusaha ternama. Aku mengaku sebagai anak biasa-biasa saja, lebih nyaman seperti itu, bisa bergaul dengan siapa saja tanpa disegani. Lalu akhirnya bertemu dengan Aditya dan bersahabat baik dengannya sampai saat ini.

"Sibuk nggak?" Aditya bertanya, sambil sesekali menyesap rokok.

"Nggak, kenapa emangnya?"

"Ngopi yuk, bete nih." Ajaknya mengepulkan asap nikotin ke udara.

"Nggak jaga emangnya?" Tanyaku, biasanya jam segini dia sibuk di rumah sakit melayani pasien yang datang silih berganti.

Aditya seorang dokter jaga IGD sebuah rumah sakit swasta cukup ternama di kota ini, biasanya dia selalu sibuk.

"Lagi kebagian cuti, seminggu kemarin gue kerja full, lembur sampai nggak tidur. Hari ini, giliran istirahat, tapi malah bete nggak ada kegiatan." Keluhnya.

"Mau ngopi dimana?" Tanyaku mengiyakan, kebetulan aku juga memang sedang kalut, bayangan wajah wanita itu muncul di mana-mana, membuat frustasi.

"Cafe biasa, gue on the way sekarang."

"Oke, gue juga."

Klik.. Sambungan telepon diputus. Aku mengambil hoodie, bercermin untuk merapikan rambut, mengambil weistbag, pergi menuju parkiran.

Akhirnya ferrari merah ini keluar, sudah lama dia terongok menjadi penghuni besment. Dia menemaniku melewati gelapnya malam menembus jalanan yang cukup lengang.

Gas diinjak, jarum spedometer berada diangka 80. Aku menikmati semilir angin dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka. Kepulan asap dari rokok elektrik menguar wangi pisang dari mulutku, sedikit menghangatkan badan dari cuaca malam ini.

Aditya sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, aku memberi tahu dia saat kami melanjutkan ke Universitas. Tidak ada perubahan, dia masih memperlakukanku seperti biasanya. Jadi, Adit tidak akan kaget melihatku membawa Ferrari.

Lima belas menit menyusuri jalan, tibalah di cafe tempat kami biasa ngopi. Ah, tapi kenapa malam ini ramai sekali pengunjungnya? Padahal sudah jam sepuluh, ini akan sangat tidak nyaman kalau mereka mengenaliku. Akhirnya aku menggunakan topi hitam, masker dan kacamata, menyamarkan penampilan agar tidak ada orang yang mengenaliku.

Sejak acara pergantian CEO banyak orang meminta foto bersama, itu cukup menggangu.

Di sini tidak tersedia ruangan VIP, semua yang datang sama rata, tidak ada pilihan selain menyamarkan penampilan agar aku bisa nyaman berlama-lama di sini.

Cafe ini sudah lama berdiri, kopinya enak. Mereka memiliki menu yang beragam, setiap bulan mereka berinovasi membuat menu baru, agaknya itulah yang membuat cafe ini tidak pernah sepi pengunjung.

"Arsen," Aditya memanggil dengan mengangkat satu tangannya. Dia duduk di meja dekat dengan pantry, lalu mengajakku pindah ke smoking area.

Kami duduk menghadap pintu kaca yang tembus pandang ke jalanan kota, hilir mudik kendaraan masih terlihat ramai meski waktu sudah semakin malam. Gemerlap lampu kota menambah indah pemandangan, langit gelap terlihat cantik dengan hamparan bintang dan cahaya bulan yang hampir membulat sempurna.

Adit memanggil waiters, seorang wanita menghampiri dengan dua buku menu ditangan, ada nota kecil dan balpoint yang menggantung di leher untuk menuliskan pesanan. Dia memakai topi warna merah bergambar logo cafe.

"Silahkan, Kak." Wanita itu menyodorkan satu buku menu kepada Adit, lalu satu lagi kepadaku.

Aditya membolak-balik halaman, mencari santapan yang pas untuk suasana hatinya malam ini, begitu juga denganku. Setelah menentukan pilihan, kami menyebutkan pesanan. Waiters itu mencatatnya di nota kecil. Dia membacakan ulang pesanan kami, memastikan tidak ada yang kurang atau salah, setelah itu berlalu menuju pantry.

Lima belas menit berlalu, pesanan datang di tangan waiters lain. Dia membawa nampan berisi makanan yang kami pesan.

"Eh, Aruna. Kamu kerja di sini?" Aditya menyapa setelah mengalihkan pandangannya dari jalanan kota ke waiters di hadapan kami.

Ada nametag yang terpasang di baju seragamnya, di sana tertulis 'Aruna Rinjani'

Nama yang cantik bukan?

Sapaan Aditya membuatku refleks memandang wanita itu. Dahiku mengernyit, mataku menyipit, memperhatikannya, hingga aku yakin wanita itu yang sudah mengganggu pikiranku beberapa hari ini, wanita si ojek online.

Ada debar yang sulit dijelaskan, ada rasa gembira yang tidak bisa digambarkan, akhirnya aku bertemu kembali dengannya. Wanita cantik si pemberi kesan dalam di hatiku sejak pertama bertemu.

Dilihat dari raut wajahnya, dia sedang kelelahan.

Sejak tadi pengunjung tidak pernah sepi, dia sibuk mengantarkan pesanan, membereskan meja, menyapu lantai yang berserakan sampah. Kasihan sekali. Tenaganya pasti terkuras habis. Tapi wajahnya tetap terlihat cantik, teduh dan manis.

"Iya, Kak. Baru seminggu." Ucapnya tersenyum kepada Aditya. Senyum yang membuatnya terlihat tambah cantik.

"Pantes sekarang jarang kelihatan," Adit membalas senyum.

Dalam hati, aku juga ingin menyapa seperti Adit, dan berharap dia akan menjawabnya dengan ramah. Tapi di urungkan, nyaliku tidak sebesar itu. Harus dengan alasan apa aku menyapa dia? Bilang terus terang kalau aku ingin kenalan? Tidak, tidak, aku tidak seberani itu. Harus diakui kalau aku payah soal perempuan.

Sepertinya dia sama sekali tidak mengingatku. Wajar sih, setiap hari dia banyak bertemu customer baru. Mana mungkin dia mengingatnya.

"Yaudah, permisi dulu ya." Aruna pamit setelah selesai menata pesanan kami di atas meja. Dia pergi sebelum aku berhasil menyapanya.

Aku belum puas memandang wajahnya. Tidak bisakah dia berlama-lama di sini? Tidak masalah dia tidak mengenaliku, melihat wajahnya saja sudah cukup menyenangkan.

Tapi setidaknya aku sudah tahu namanya, sudah tahu harus mencarinya di mana. Pesona wanita itu sungguh membuat gila, pesona janda muda yang berhasil menyentuh hatiku sejak pertemuan pertama.

Bersambung...

Tentang Aruna

"Lo kenal dia, Dit?" Pertanyaan yang sejak tadi membuat penasaran akhirnya terucap. Adit mengangguk.

Dia mengambil kopi favoritnya lalu menyeruput perlahan, menghirup asap yang masih mengepul dari cangkir warna putih, menikmati aroma kopi yang memanjakan hidung.

"Kenal dimana?" tanyaku lagi membuat Adit heran.

"Emang lo kenal dia?" Adit balik bertanya.

"Enggak, hehe." jawabku canggung.

"Lah, terus kenapa lo penasaran? Jangan bilang lo naksir dia?" celoteh Adit menggoda, dia meletakkan cangkir kopi di posisi sebelumnya.

Adit merogoh saku, mengeluarkan sebatang rokok filter mint, menyalakan, menyesap hingga kepulan asap menyeruak dari mulutnya. Begitu santai, tanpa berpikir ucapannya tadi membuatku salah tingkah.

"Nggak salah kalau lo naksir dia, karena emang dia cantik banget." ucap Adit menyusul ucapannya tadi.

Aku diam mematung, mataku mengikuti setiap gerak-gerik Aruna yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Kenapa Adit diam? Dia tidak menjawab rasa penasaranku. Dia malah asyik merokok sambil memainkan gawai.

"Lo kenal dia di mana?" ku ulangi dengan santai pertanyaan yang belum dia jawab.

"Dia tetangga gue, tapi dulu. Suaminya teman masa kecil gue. Sayangnya belum lama ini dia meninggal. Dia didiagnosis tumor mediastinum stadium akhir. Kondisinya sudah kronis, mustahil untuk diselamatkan. Gue lebih kasihan saat dia di usir oleh keluarga suaminya, padahal dia masih berduka. Lo bayangin aja, suaminya baru meninggal tiga hari, dia udah disuruh keluar dari rumahnya sendiri." Aku mendengarkan dengan jeli ceritanya.

"Kenapa keluarganya bersikap begitu?" tanyaku penasaran,

"Karena sejak awal keluarga Bastian tidak merestui hubungan mereka."

"Kenapa nggak direstui?" Aku menatap Adit, berharap dia akan menceritakan semua yang diketahuinya.

Aku menyesap asap aroma pisang dari rokok eletrik yang sejak tadi di genggam, dengan antusias menggali informasi tentang Aruna dari Adit. Jelas saja, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk mengenalnya lebih jauh.

"Karena tidak sekufu. Suami Aruna itu lahir dari keluarga kaya, terpandang, dan cukup disegani di daerah gue. Sedangkan Aruna adalah anak dari keluarga serba kekurangan, katakanlah miskin. Dia diasuh oleh nenek dan kakeknya, orang tuanya cerai, yang gue dengar masing-masing dari mereka sudah menikah lagi dan hidup bahagia dengan keluarga barunya tanpa memperdulikan Aruna"

Adit menjeda cerita, menyesap kembali asap nikotin dari rokok yang tinggal setengah, sesekali menyeruput kopi, menciptakan perpaduan serasi antara nikotin dan cafein.

"Terus?" tanyaku semakin penasaran.

"Bastian minggat dari rumah, dia memilih Aruna dan melepas keluarganya. Terus Ibunya jatuh sakit, tapi dia tetap tidak mau pulang sampai mendapat restu. Mereka akhirnya mengizinkan Bastian dan Aruna menikah, tapi dengan restu yang terpaksa."

Aku tersentuh mendengar perjuangan Bastian mempertahankan Aruna. Ada desir yang tidak biasa di sini, di dalam hati yang tiba-tiba cemburu.

"Dari tadi lo nyebut Bastian, apa itu nama suami Aruna?" Kini tidak hanya satu pertanyaan yang membuat penasaran. Ada banyak, membuatku bingung harus mendahulukan yang mana.

"Iya, namanya Bastian Wardhani." jawab Adit.

"Terus, lo tau alasan kenapa Aruna di usir oleh keluarga Bastian?"

"Sebenarnya tidak diusir paksa. Yang gue dengar sih keluarga Bastian mengusir dia secara halus. Mungkin mereka takut Aruna akan menguasai rumahnya."

"Maksud lo, rumah yang ditinggali Bastian dan Aruna?" tanyaku heran.

"Iya,"

"Loh, kan itu rumah mereka."

"Salah bro, rumah itu dibangun pakai duit orang tuanya Bastian."

"Kan ada anaknya?"

"Ya, itulah yang membuat orang-orang ngga habis pikir."

Aku membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Aruna. Itu pasti menyakitkan. Dia masih berduka kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Harusnya, jika mereka tidak bisa meringankan beban, setidaknya jangan menambah masalah lain yang bisa membuat luka baru di hatinya.

Ini pasti tidak mudah untuk Aruna, tapi dia bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya terlihat baik, entah bagaimana di dalam lubuk hatinya, hanya Aruna yang tahu.

Mendengar lebih banyak tentang Aruna membuatku bertambah kagum pun terpikat dengan kekuatan dan kerja kerasnya.

Aku tidak bertanya lagi, kurasa sudah cukup. Aku bisa mengetahui karakter Aruna dari cerita Adit.

Andai bisa, aku ingin memeluk semua kesedihannya. Menjadi pundak untuk dia bersandar. Menjadi pendengar yang baik dari setiap keluh kesahnya.

Andai bisa, aku ingin menjadi orang pertama yang dia cari saat merasa senang atau sedih. Membuat dia tertawa hingga lupa dengan sakit yang dirasakannya.

Bukankah manusia membutuhkan itu saat mereka terpuruk?

Bisa saja memendam segalanya sendiri, tapi itu akan membuat depresi. Seperti yang sedang dilakukan Aruna saat ini. Dia memamerkan senyum di hadapan banyak orang, tapi di dalamnya ada hati yang hancur, ada luka yang menganga.

"Woy, lo ngelamun Arsen?" Adit menepuk bahu, membuyarkan semua lamunanku, aku melihat dia yang tersenyum simpul, menghabiskan hisapan terakhir dari puntung rokok di jarinya.

"Lo ngomong apa barusan? Sorry, gue nggak denger."

Terlalu larut dalam lamunan, membuatku tidak mendengar apa yang ditanyakan oleh Adit barusan. M

"Kenapa lo penasaran tentang Aruna?" Adit bertanya serius, menelisik, mencari jawaban jujur dari mulutku.

"Tidak ada, hanya penasaran aja."

"Hey, ayolah. Gue sahabatan sama lo udah lama, gue yakin ini tidak biasa."

Adit memang pandai membaca hatiku, atau mungkin aku saja yang tidak pandai menyembunyikan perasaan.

Aku menceritakan kepadanya tentang pertemuan singkat dengan Aruna. Tentang bagaimana aku terpesona kepadanya. Adit mengangguk-angguk mendengarkan dengan seksama, sesekali menyeruput kopi yang hampir habis.

Aku mengagumi kecantikan Aruna, setelah mendengar kisah hidupnya, aku lebih tertarik kepada kepribadiannya.

Wanita baik hati yang dipaksa oleh takdir menjadi janda di usia muda. Pekerja keras dan mandiri, wanita kuat yang menyimpan luka di hatinya. Namun tetap berdiri tegar melawan semua kesedihan.

Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar kemampuannya, begitulah yang sering kudengar dari ceramah. Aruna salah satu manusia terpilih yang berkali-kali dihantam cobaan, menandakan bahwa dia manusia kuat.

Lalu apa kabarnya denganku? Sering mengeluhkan banyak hal saat aku masih bisa tidur di kamar mewah, di atas ranjang yang empuk.

Aku memiliki keluarga utuh, aku pun mendapat limpahan kasih sayang dari mereka.

Tuhan memberikan harta berlimpah tanpa kekurangan. Tapi aku masih tidak pandai bersyukur.

Sungguh aku malu!

'Aruna Rinjani', si pemilik nama itu sangat cekatan mengantarkan pesanan ke sana, ke mari.

Tidak jarang dia digoda oleh pengunjung yang genit. Memang susah bekerja di tempat seperti ini dengan wajah secantik itu.

Aruna tidak menanggapi satupun dari mereka. Dia terlihat dingin dan cuek, sikap yang sama saat aku memakai jasanya waktu itu.

"Sejak di usir oleh keluarga suaminya, dia tinggal di mana?"

Adit menggelengkan kepala, dia menyantap satu potongan kue ke dalam mulutnya.

"Katanya sih tinggal dengan kakaknya. Tapi gue nggak tau pasti rumah kakaknya dimana. Kabar Aruna mulai lenyap setelah dia pindah rumah." Jawab Adit dengan mulut penuh kue.

Sekarang giliranku yang mengangguk-angguk mendengarkan ceritanya.

Untunglah Aruna masih memiliki seseorang yang bisa diandalkan. Tidak bisa dibayangkan kalau dia tidak punya siapa-siapa. Bagaimana nasib dia dan anaknya?

Kenapa keluarga suaminya tidak memikirkan hal ini? Apakah mereka tidak perduli? Apakah mereka tidak memikirkan anaknya? Bagaimana mungkin mereka bisa setega itu mengusir Aruna tanpa belas kasihan.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!