Alifah Zea Faeqa merupakan seorang gadis yatim piatu dari kecil dan hidup hanya dengan peninggalan harta dari orang tuanya saja lalu mengembangkan kemampuannya dengan mengelola harta tersebut untuk menyambung hidupnya.
Alifah beserta pegawai kebunnya langsung menyebar untuk mencari tahu apa yang membuat kebunnya sampai rusak sedemikian rupa.
Dari kejauhan, tepatnya di dekat pohon-pohon singkong, ada sepasang kaki tergeletak disana. Alifah yang sangat penasaran langsung mendekatinya.
"Astaghfirullah !." Pekik Alifah membekap mulutnya sendiri.
Alifah berjongkok di samping sosok yang tak berdaya dengan keadaan yang sangat mengenaskan itu.
"Mang Maman...!, Mang Asep...!." Teriakan Alifah membuat dua pria paruh baya itu segera mendekat.
Seorang pria dengan pakaian mewah tapi robek di beberapa bagian telah tergeletak di tanah perkebunan milik Alifah.
"Eh ada orang ?!." Pekik mang Asep.
"Dia hanya pingsan, Neng." Ucap kang Maman setelah mengecek denyut nadi pria tak berdaya itu.
"Kalau begitu bawa ke rumah saya aja mang !."
"Baik, Neng."
Pria itu dibawa oleh mang Asep dan mang Maman ke rumah tuan pemilik tanah. Dia diletakkan di kursi rotan yang berada di ruang tamu di dalam rumah Alifah.
Alifah segera mengambil baskom dan handuk kecil untuk membersihkan luka-luka yang hampir memenuhi tubuh pria tersebut.
"Mang, Alifah tidak bisa melakukannya." Alifah menyerahkan baskom itu pada mang Asep.
"Oh, iya neng. Biar mang Asep saja yang membersihkannya. Ayo mang Maman bantu lepaskan pakaiannya !."
"Iya."
Alifah hanya berdiri tak jauh sambil memperhatikan kedua pegawai kebunnya itu membersihkan tubuh pria tersebut.
Setelah lima belas menit, tubuh pria itu sudah bersih dan diobati. Pakaiannya pun sudah diganti dengan pakaian milik peninggalan ayahnya Alifah yang sudah dimuseumkan di salah satu ruangan di rumah Alifah.
"Neng, kami ke kebun dulu, ya?, Ini sudah siang."
"Iya, mang. Makasih ya ?."
"Iya, Neng. Assalamualaikum."
Mang Asep dan mang Maman keluar dari rumah Alifah dan hanya meninggalkan Alifah yang kini berdua saja dengan pria yang masih belum juga sadarkan diri.
Alifah ingin ikut ke kebun lagi tapi dia tidak mungkin meninggalkan pria itu sendirian di rumahnya.
Alifah memperhatikan wajah itu yang terlihat sangat tampan, warna kulit tubuhnya putih dan bersih.
"Sepertinya dia orang kota." Gumamnya lirih.
Alifah pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan siapa tau pria itu akan kelaparan setelah sadarnya nanti dan dia juga harus meminum obat untuk menyembuhkan lukanya tersebut.
Dua puluh menit cukup untuk menyiapkan semuanya. Alifah kembali dengan kedua tangannya membawa nampan dengan isi semangkuk bubur buatannya, segelas air putih dan obat.
Saat tiba di ruang tamu lagi, ternyata disana sudah tidak ada siapa-siapa.
"Loh kok, kemana dia ?. Apa dia sudah sadar ?." Alifah mencari-cari keberadaan pria yang pastinya sudah sadar ke seluruh penjuru ruangan.
Alifah meletakkan nampannya ke atas meja kemudian dia membuka setiap pintu ruangan dan tidak mendapatkan hasil. Alifah keluar, melihat keadaan di sekitar rumahnya tapi tetap saja tidak menemukan pria yang ditolongnya tadi.
Ada rasa bingung dengan kejadian barusan. Apakah dia sedang mimpi telah menolong orang lain ?, Karena jika iya, seharusnya orang itu masih ada di atas kursinya setelah dia sadar karena lukanya yang sangat parah menurut Alifah.
Alifah masuk lagi ke dalam rumah dan melihat ke arah kursi dimana tadi dia meletakkan pakaian pria itu. Dan dia baru sadar jika disana juga sudah tidak ada pakaiannya. Tapi...
Sebuah dompet rupanya tidak terbawa pergi.
Dengan ragu-ragu, Alifah membuka dompet tersebut untuk melihat isinya karena dia berpikir jika dia akan mengembalikan pada pemiliknya setelah tau identitasnya.
"Kaya pernah dengar nama marganya, tapi siapa ya ?." Alifah mencoba mencari-cari bayangan tentang pemilik nama tersebut.
Setelah berusaha keras, ternyata dia tidak bisa menemukannya. Alifah memutuskan untuk menyimpan dompet tersebut karena dia mungkin bisa mengingatnya di lain waktu.
Jam sudah menunjukkan waktu setengah sembilan. Alifah segera bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampusnya yang akan dimulai pada jam sepuluh.
Setelah rapi dia segera berangkat dengan menggunakan motor matic nya menuju ke kampus yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumah.
"Alifah !."
Alifah yang baru saja memarkirkan motornya segera berjalan menghampiri sahabatnya yang ternyata baru juga memarkirkan mobilnya.
"Hai Key ?." Alifah menyapanya.
"Hallo, langsung masuk yuk ?."
"Iya."
Keyya Mumtazah adalah nama sahabatnya. Keyya merupakan salah satu orang tersohor di negara ini. Orang tua Keyya adalah pebisnis terbaik di ibukota, ayahnya adalah seorang CEO perusahaan properti dan ibunya adalah seorang pemilik restoran dan kafe terbaik di beberapa kota. Termasuk di Kuningan ini, yaitu kafe yang kini diambil alih tanggung jawabnya sebagai kepemilikan Keyya.
Keduanya menjalin persahabatan setelah perkenalan di dalam kelas yang satu jurusan yaitu hukum keluarga.
"Kamu dari tadi kaya lagi mikirin sesuatu, Aku ?." Keyya bertanya setelah mereka sudah duduk di bangku di dalam kelas.
"Tidak apa-apa, hanya masalah kecil." Alifah tersenyum menyembunyikan kegundahan di hatinya.
Tadi, sepanjang perjalanan menuju kampus, Alifah teringat akan pembayaran semester yang harus dibayar di bulan ini. Seharusnya, jika tadi kebunnya tidak rusak, Alifah bisa memanennya seperti biasanya yang akan menggunakan uangnya untuk pembayaran semester.
"Kamu sudah bayar semesteran ?." Keyya bertanya seolah dia mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Alifah.
Terkadang, Alifah sedikit bingung dengan sikap Keyya yang dirasa sedikit aneh. Keyya seperti memiliki keistimewaan tersendiri.
"Kamu bisa menceritakannya padaku, Al. Siapa tau aku bisa membantu, kan ?."
Alifah kembali tersenyum. Persahabatan mereka memang sudah sangat dekat tapi sejauh ini Alifah tidak pernah memanfaatkan kebaikan Keyya untuk kepentingan pribadinya meski dia tau jika Keyya adalah berasal dari keluarga kaya.
"Tadi malam ayahku baru saja mentransfer uang bulanan ku. Kalau kamu mau, kamu bisa memakainya untuk bayar semesteran kamu."
"Ehh, tidak Key. Jangan, aku masih bisa membayarnya kok." Alifah kembali tersenyum. "Lagian itu uang jajan kamu, masa mau dikasih ke aku, nanti kamunya bagaimana ?." Alifah terkekeh kecil di akhir katanya.
Tapi Keyya malah terlihat kesal. "Aku masih memiliki tabungan, dan uang dari kafe juga aku pakai sendiri." Ucapan Keyya seperti memaksa.
Alifah menghela nafasnya perlahan. Dia tidak enak jika harus merepotkan sahabatnya.
Selama ini dia hidup dengan harus menggunakan kaki sendiri semenjak usianya masih sepuluh tahun. Dan kini setelah sebelas tahun perjuangannya, baru kali ini dia mendapatkan musibah yang sangat merugikannya.
Bagaimana tidak ?, Entah seperti apa kejadian malam itu sehingga tanah yang telah ditanami hampir setiap jenis sayuran di atas tanah berukuran setengah hektar harus rusak tak terkecuali.
Tanah miliknya terdiri dari tiga hektar dan itu adalah tanah peninggalan ayahnya yang berada di belakang rumah. Dan dari setiap beberapa meter dari tanah itu ditanam berbagai macam sayuran, buah-buahan, juga sawah.
Dan kebetulan di bulan ini adalah saatnya panen ladang sawi putih, sawi hijau, brokoli, kol, wortel, juga selada.
Jika biasanya saat memanen semua itu, maka setiap jenisnya bisa mendapatkan hampir dua kwintal lebih. Dan saat dijumlah untuk penghasilannya bisa mendapatkan uang cukup untuk membayar biaya semesteran, upah pemanen, juga uang jajannya selama dua bulanan.
Tapi sekarang semuanya rusak, dan mungkin hanya bisa mendapat uang beberapa ratus ribu saja.
Keyya semakin cemberut masam. "Kamu ini seperti dengan siapa saja, Al ?, Aku ini sahabat kamu bukan sih ?."
Alifah mengangguk mengiyakan. "Tentu saja kamu sahabat aku, Key. Tapi, aku memang tidak mau merepotkanmu, aku mohon... Kamu mengerti kan maksud aku ?." Alifah memasang wajah memohonnya.
Alifah tau jika sahabatnya itu pasti mengerti maksudnya.
Keyya mendengus kesal lalu mengangguk. "Baiklah,"
Di sisi lain, seorang pria sedang menyandarkan tubuhnya yang masih sangat kelelahan di sandaran jok mobil yang sedang dijalankan oleh asistennya. Pria itu tak lain adalah orang yang tadi pagi ditolong oleh Alifah.
Bab 2
Di sisi lain, seorang pria sedang menyandarkan tubuhnya yang masih sangat kelelahan di sandaran jok mobil yang sedang dijalankan oleh asistennya. Pria itu tak lain adalah orang yang tadi pagi ditolong oleh Alifah.
Bayangan saat dia memperhatikan seorang gadis sedang fokus memasak di dapur terus melintas di pikirannya. Senyum gadis itu sangat manis hingga langsung menawan hatinya. Padahal, selama bertahun-tahun dia tidak pernah tertarik lagi pada wanita manapun selain istrinya.
Tanpa sadar, pria itu tersenyum manis membuat asisten yang sedang duduk di sampingnya mengernyitkan alisnya heran.
"Bagaimana dengan ladangnya, tuan ?. Kejadian tadi malam merusak hampir setengah dari satu hektar ladang kebun sayuran."
Mendengar suara asistennya membuat bayangan tentang gadis itu lenyap seketika. Pria dengan perawakan gagah dan wajah sangat tampan itu kembali menegakkan posisi duduknya dan kembali menatap jalanan beraspal di depannya dengan tatapan matanya yang tajam.
"Berikan ganti rugi pada pemilik tanahnya." Ucapnya dengan suara yang sangat dingin.
"Baik, tuan."
"Hem."
Melvin Parvez adalah pria duda ditinggal istrinya meninggal delapan tahun lalu. Pada saat ini, usia Melvin telah genap 43 tahun. Umur yang sudah matang tapi tidak dengan wajahnya yang masih terlihat sangat muda, seperti pria umur dua puluh lima tahunan.
Selama ini Melvin hidup di luar negeri dari sebelum dia menikah bahkan hingga saat ini. Melvin hanya sesekali datang ke Indonesia jika ada acara keluarga ataupun hanya sekedar berkunjung ke rumah saudara-saudaranya.
Dan untuk sekarang, Melvin datang ke Indonesia karena sedang mengurus cabang perusahaannya yang baru saja didirikan di salah satu kota asri di Indonesia. Kuningan.
Tapi siapa sangka, ternyata saat kunjungannya ke tempat tersebut dia malah dikepung oleh salah satu musuh terbesarnya dan berakhir dengan keadaan tergeletak mengenaskan di salah satu ladang milik petani di sebuah desa kecil.
Melvin pulang ke rumah yang telah beberapa hari ditempatinya selama di Indonesia. Rumah minimalis menurutnya, tapi terbesar bagi penduduk setempat. Rumah dengan cat warna putih berpadu abu-abu yang memiliki dua lantai.
Itu bukanlah rumah Melvin, melainkan rumah milik anak dari saudaranya yang memang tinggal disini.
Seorang wanita paruh baya langsung menghampiri Melvin saat tau kedatangannya. "Ya Gusti... Tuan Melvin kenapa ?." Seru wanita itu sangat kaget melihat keadaan Melvin yang masuk ke dalam rumah dengan dipapah oleh asistennya.
Melvin tersenyum." Tidak apa-apa, Bi Jum. Saya hanya kecelakaan sedikit tadi malam." Ucapnya ramah.
Melvin memang memiliki sikap ramah dan juga baik hati. Tapi, itu semua ditunjukkan hanya untuk orang-orang tertentu saja dan salah satunya adalah pegawai di rumah keponakannya ini.
Bi Jum ikut memapah tubuh Melvin menuju kamarnya.
"Bi, Keyya belum datang ?." Tanya Melvin sebelum kepergian pelayannya itu.
"Belum, Tuan. Mungkin non Keyya pulangnya agak telat."
"Ya sudah, Bi."
Bu Jum kembali melanjutkan langkahnya keluar dari kamar Melvin. Melvin kembali melihat layar ponselnya untuk melihat waktu. "Tidak biasanya ?. Rel, coba kamu cari tau dimana keponakanku ."
"Baik, tuan." Farel, sang asisten pribadi Melvin langsung keluar melaksanakan perintah bosnya.
Melvin kembali tidur setelah kepergian Farel.
Tadi malam, merupakan kejadian yang sama seperti biasanya. Seseorang melakukan penyerangan di saat dia lengah karena sedang fokus mengecek pembangunan sebuah vila di lereng bukit di desa.
Melvin yang merupakan seorang pria yang sukses di bidang bisnis, membuatnya harus memiliki banyak musuh dari berbagai macam penjuru. Di setiap tanah yang diinjaknya, selalu ada saja bahaya yang senantiasa mengintai.
Melvin meringis menyentuh lukanya sendiri. Tubuhnya masih sangat sakit karena luka goresan hampir menutupi seluruh tubuhnya. Padahal biasanya dia tidak pernah sampai mengalami luka parah seperti yang terjadi sekarang setelah kematian istrinya. Terakhir terjadi saat kecelakaan maut yang menimpa dirinya dan sang istri saat di luar negeri.
Mengingat sang istri, Melvin langsung mencari bingkai foto yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi.
"Hai, sayang ?. Bagaimana kamu disana ?. Apa kamu sedang bahagia bermain bersama anak kita ?,." Melvin mengusapkan jarinya di gambar tersebut.
Istrinya meninggal dunia bersama sang buah hati yang saat itu sedang dikandungnya.
"Apa kamu tahu ?, Lihatlah, mereka mulai mencariku lagi, sepertinya mereka akan kembali mengusik ketenanganku." Seperti orang bodoh, Melvin menunjukkan lukanya pada gambar istrinya itu.
Melvin bercerita tentang hidupnya pada sebuah bingkai yang sudah jelas-jelas adalah benda mati dan tak mungkin bisa melayani curhatannya.
Melvin mulai menguap. Dia merebahkan tubuhnya kembali sambil memeluk erat bingkai foto istrinya dan matanya terpejam karena ngantuk.
Di kampus tempat keponakannya kuliah, para bawahan yang telah diperintahkan oleh Melvin sedang kelimpungan mencari keberadaan Keyya.
Farel bahkan masuk ke dalam bangunan itu untuk mencari Keyya ke kelasnya dan ternyata menurut penuturan teman-teman sekelasnya mengatakan bahwa Keyya sudah pulang dari sebelum ashar bersama sahabatnya yang bernama Alifah.
Tanpa meminta persetujuan dari bosnya, Farel segera menghubungi salah satu bawahan Melvin di bidang IT untuk melacak keberadaan Keyya. Dan hanya menunggu kurang dari sepuluh menit, data tentang keberadaan keponakan Melvin sudah diterima.
Farel beserta beberapa bodyguard Melvin segera meluncur ke alamat rumah yang telah dikirimkan. Ternyata jarak alamat itu dengan kampus Keyya mencapai satu jam perjalanan untuk kecepatan normal.
"Ini rumah yang tadi pagi, tuan." Ucap salah satu bodyguard saat mereka sudah sampai di depan rumah yang telah dilacak.
Farel tidak menjawab tapi dia mengiyakan ucapan bodyguard itu di dalam hatinya. "Perhatikan lokasi !." Titah Farel lalu dia turun dari mobil dan melangkah menuju rumah tersebut.
Saat masuk ke dalam gerbang dengan nuansa alami dari bahan kayu jati, Farel memang melihat keberadaan mobil keponakan bosnya terparkir di halaman rumah tersebut.
Kebetulan sekali. Belum sampai ke depan pintu rumah itu, pintunya dibuka dari dalam dan memunculkan sosok dua gadis dari sana.
"Assalamualaikum." Farel membungkuk sopan.
"Waalaikumsalam,."
"Om Farel ?." Pekik Keyya terlihat sangat kaget.
Farel mengangguk mengiyakan. "Iya, nona. Saya datang menjemput nona pulang." Ucapnya.
Alifah hanya terdiam memperhatikan sahabatnya berbicara dengan seorang pria yang dia tak mengenalnya sama sekali. Tapi melihat interaksi antar keduanya, Alifah bisa mengerti sebab sahabatnya itu bukanlah orang biasa. Jadi, hal seperti ini pasti akan terus terjadi.
"Eee, Alifah. Aku pulang dulu ya ?, Maaf merepotkanmu."
"Tidak sama sekali, aku malah sangat senang kamu mau mengunjungi rumahku. Tapi aku tidak suka jika kamu pergi tanpa meminta izin dulu pada pamanmu." Alifah menatap tajam wajah sahabatnya.
Keyya nyengir kuda merasa bersalah. "Hehe, iya aku lupa. Lain kali tidak akan terulang lagi."
Keduanya berpelukan sebentar sebelum Keyya pamit pulang bersama orang suruhan pamannya.
Baru saja mengantar kepergian sahabatnya pulang, Alifah harus kembali mengecek keluar karena ada tamu.
"Ada apa ya pak ?." Alifah menatap heran wajah pria tua yang ada di depannya.
"Alifah, akhirnya saya bisa menemukanmu, nak. Ini saya, paman Syam, Alifah." Wajah pria tua itu terlihat senang juga bersedih.
Alifah tidak berbohong jika dia tidak mengenali sosok pria tua di depannya saat ini. Tapi mendengar nama yang disebutkan, Alifah merasa sangat familiar.
"Paman Syam ?,." Tanyanya masih belum mengingatnya sama sekali.
"Iya, nak. Saya adalah adik dari ayah kamu,." Pria itu menatap dengan pandangan meyakinkan.
Alifah tak bisa mengatakan apapun. Dia masih sibuk dengan pikirannya untuk menemukan bayangan tentang pemilik nama tersebut.
"Astaghfirullah !, Paman ?!. Iya, Alifah ingat, paman Syam yang dulu suka menarik-narik kuncir rambut Alifah, kan ?!." Pekik Alifah setelah bisa mengingatnya.
Pria yang mengaku sebagai Paman Syam itu mengangguk antusias dan tersenyum cerah. "Iya, nak."
Alifah tak bisa membendung kebahagiaannya. Dia langsung berlari menubruk tubuh pamannya itu yang sudah sangat lama tidak pernah ditemui. "Paman kenapa tidak pernah menjenguk Alifah ?, Selama ini Alifah hidup sendirian semenjak ayah dan ibu meninggal." Alifah menangis di pelukan pamannya.
Paman Syam membalas pelukannya dan mengusap-usap punggungnya penuh kasih sayang. "Maafkan paman. Paman janji, paman akan selalu ada untuk kamu mulai saat ini juga."
Alifah semakin tak percaya. "Benarkah ?!, Paman janji akan menemani Alifah mulai sekarang ?."
"Paman janji."
Dengan hati yang sangat gembira Alifah kembali memeluk tubuh pamannya. "Ayo masuk, paman ?!." Alifah menggandeng tangan pamannya untuk dibawa masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuanya.
Sekian lama hidup hanya sendiri membuat Alifah sangat senang saat tau ada salah satu keluarganya yang masih hidup. Dia kira selama ini dia tidak memiliki siapapun lagi setelah kepergian kedua orang tuanya karena ayahnya hanya dua bersaudara dan ibunya adalah anak tunggal dari kedua kakek dan neneknya.
"Paman, selama ini paman ada dimana ?, Kenapa Alifah tidak pernah tau keberadaan paman ?." Alifah menghidangkan makanan dan minuman untuk pamannya.
"Sebenarnya sudah lama paman ingin menemui kalian, tapi paman masih takut dengan ayah kamu. Dan setelah sekian lama paman baru tau kalau ternyata kedua orang tua kamu sudah meninggal jadi paman langsung mencarimu."
"Memangnya takut kenapa, paman ?."
Paman Syam tidak segera bersuara lagi dan malah melamun.
"Paman."
"Kami pernah bertengkar hebat dan dari situlah paman tidak pernah lagi terlihat."
Alifah sebenarnya masih penasaran tapi dia tidak mungkin juga memaksa pamannya untuk bercerita. "Baiklah, paman. Tidak apa-apa, lagian itu adalah masa lalu paman sama ayah, dan sekarang ayah juga sudah tidak ada jadi paman tidak perlu khawatir lagi."
Paman Syam mengangguk. "Iya, nak."
"Eee ini sudah malam, paman. Alifah akan istirahat dan paman juga bisa menempati kamar itu." Alifah menunjuk salah satu kamar tamu. "Tenang aja, Alifah selalu rajin membersihkannya, jadi paman bisa langsung menempatinya."
Paman Syam kembali mengangguk. "Iya, nak. Makasih."
Keduanya berpisah ke kamar sendiri-sendiri.
Sekarang hati Alifah sedikit lebih tenang karena rindunya pada sang ayah sedikit terobati dengan kehadiran pamannya. Alifah mengingat semuanya dimana dulu dia sangat dekat dengan pamannya itu. Bahkan jika bisa dikatakan, Alifah lebih dekat dengan pamannya sendiri daripada ayahnya, karena yang dia tahu ayahnya hanyalah sibuk mencari uang yang pada akhirnya ditinggalkan juga saat dia meninggal.
🪵🪵🪵
Mendengar suara deru mesin mobil, Melvin segera keluar dari kamarnya dan menemui Farel yang datang bersama keponakannya.
"Assalamualaikum, Om." Keyya menyalami tangan pamannya.
"Waalaikumsalam, kamu dari mana ?, Kenapa tidak izin dulu pada om kalau kamu main ke rumah teman ?." Melvin menatap lekat wajah keponakannya yang sedang menunduk penuh karena memang merasa bersalah.
"Maaf, Om, key lupa."
"Lain kali jangan diulangi lagi." Melvin tidak marah pada keponakannya, dia hanya khawatir.
"Iya, Om."
"Ya sudah, kamu istirahat gih."
"Iya, Om. Eee, Om Vin kenapa?, Banyak luka-luka di tubuhnya ?."
"Tidak apa-apa, tadi malam hanya musibah kecil." Melvin mengelak sebab tidak mungkin dia memberitahu alasannya kepada Keyya.
Keyya mengangguk mengerti. "Ya sudah, Key ke kamar dulu, om."
"Iya."
Setelah melihat keponakannya sudah masuk ke dalam kamarnya, Melvin segera mengajak Farel untuk ke ruang kerjanya.
Farel yang paham segera menyerahkan sesuatu yang telah diminta oleh Melvin sebelum kepergiannya mencari Keyya.
Alis Melvin langsung bertautan setelah membaca berkas yang baru saja diberikan oleh Farel. Di dalam berkas itu terdapat sebuah kenyataan yang terlalu besar.
Melvin melirik ke arah Farel tanpa mengatakan apapun.
Farel langsung memahami tatapan mata bosnya. "Nona Keyya baru saja dari sana, Tuan." Jawabnya.
Rahang Melvin langsung mengeras karena tak senang. Farel beringsut melihat wajah bosnya yang kini tengah dipenuhi amarah.
Di dalam ketegangan itu, tiba-tiba iPad yang selalu dibawa oleh Farel berbunyi menandakan ada notifikasi email masuk. Farel segera mengeceknya lalu setelah terbuka dia perlihatkan pada Melvin.
Kemarahan Melvin semakin menjadi-jadi. Dia sudah tidak sabar untuk segera mengakhiri ketenangannya selama ini. Sudah sekian lama dia mencari sosok yang telah menghancurkan hidupnya hingga membuatnya harus memendam perasaan dendam yang begitu mendalam.
"Apa yang harus kami lakukan, tuan ?." Tanya Farel segera siap siaga dalam setiap perkara.
Melvin terdiam sejenak. Dia masih berfikir keras untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. Dan tidak sampai lima menit akhirnya Melvin mulai memutuskan.
"Siapkan jet pribadi !, Besok sore kita akan pulang dan biarkan dia menikmati sisa waktunya."
Farel mengangguk patuh. "Baik, tuan. Akan saya persiapkan semuanya." Ucapnya mantap.
Melvin mengangguk lalu berjalan keluar dari ruangannya untuk kembali ke kamarnya.
Sampai di kamar, Melvin segera menghubungi orang tua Keyya karena dia akan segera meninggalkan keponakannya itu sehingga nanti tidak ada yang bisa menjaganya lagi.
" Kapan kamu berangkat ?." Tanya seorang wanita di seberang telepon.
"Sore."
"Baiklah, kami akan memberikan penjaga lagi untuk Keyya. Terimakasih sudah menjaganya dan semoga perjalananmu lancar."
"Hem."
"Ya sudah, aku tutup dulu, jangan lupa beritahu Keyya sebelum kepergianmu nanti dia pasti akan mencarimu !."
"Iya." Melvin segera memutuskan sambungannya karena ada telepon masuk dari seseorang kepercayaannya.
"Berlindung dibalik seorang gadis muda yang merupakan keponakannya. Tepat setelah kepergian asistenmu dia datang." Ucap suara di seberang sana.
Melvin menyeringai lebar.
"Dasar bodoh, tidak adakah tempat lain yang lebih tepat untuk bersembunyi ?." Ucapnya mengejek seseorang yang jauh di sana.
"Nikmatilah waktu tenangmu yang hanya beberapa jam lagi !," Melvin menggeram dengan seringaian yang semakin menakutkan.
Melvin menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan mulai terlelap untuk menunggu hari esok yang akan penuh dengan kejutan besar.
🪵🪵🪵🪵🪵
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!