NovelToon NovelToon

SUAMI UNTUK MATAHARI

01

Sore itu seorang gadis bertubuh mungil memasuki perkarangan rumahnya. Keningnya tampak berkerut karena melihat jejeran mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya. Bahkan satpam yang biasanya menjaga di pintu masukpun tak nampak sedikit pun batang hidung mereka.

Sinar Matahari yang bisa dipanggil Matahari atau Ata itu celingak-celinguk kesana kemari melihat apakah ada orang di halaman rumahnya. Tapi semakin ia lihat semakin tak ada seorang pun yang berada di halaman rumah itu.

Kening Matahari semakin berkerut saat mendengar suara-suara yang berasal dari dalam rumahnya. Mau membuka pintu tapi ia merasa ragu. Tidak masuk lalu kemana ia akan pergi. Tidak mungkin Matahari kembali lagi ke sekolah bahkan urusannya disekolah rasanya sudah selesai. Tadi pagi ia sudah pergi ke sekolah bersama teman-temannya untuk mengambil ijazah dan setelahnya mereka pergi nongkrong di cafe dekat sekolah mereka.

"Assalamualaikum Bunda," salam Matahari dengan intonasi yang berkurang dari biasanya. Takut akan malu jika didengar tamu sang bunda.

"Waalaikumsalam Sayang, sini Nak duduk samping Bunda," pinta Naura pada anak gadisnya.

"Nanti ya Bun, Ata mau ganti baju dulu rasanya sudah nggak enak banget," jawab Matahari cengengesan.

"Yaudah gih ganti dulu bajunya. Setelah itu langsung ke sini ya jangan sampai nggak pula," peringat Naura pada putrinya itu.

"Ok Bun," Matahari menjawab dengan menyatukan jari jempol sama telunjuknya agar membentuk huruf O.

"GPL(gak pake lama) ya Ta," Naura kembali meneriaki anaknya itu.

"Iya-iya Bun," jawab matahari dengan sedikit kesal pasalnya Bundanya itu terlalu nyinyir.

Matahari berjalan dengan cepat menuju lantai dua dimana letak kamarnya. Disana hanya ada tiga buah kamar. Kamar Matahari berada ditengah sedangkan kanan dan kiri adalah kamar Abangnya dan kamar kedua orang tua Matahari.

Matahari memasuki kamarnya lalu meletakkan tas yang tadi ia bawa ke dalam lemari yang emang disediakan untuk meletakkan tas dan semacamnya. Selanjutnya Matahari mengambil baju di dalam lemari dan menggantinya di kamar tersebut. Tak lupa ia memakai hijab senada dengan baju yang saat ini ia kenakan.

Matahari melangkah menuruni tangga dengan perlahan. Tampak kedua orang tuanya tengah berbincang dengan tamu serta Abangnya yang tengah duduk di samping sang ayah. Naura yang melihat kehadiran sang anak langsung melambaikan tangannya menandakan ia menyuruh Matahari agar segera mendekat.

Matahari duduk di samping sang bunda setelah menyalami tangan tamu kedua orangtuanya karena tadi belum sempat bersalaman dengan mereka.

"Bun ada acara apa? Kenapa di rumah kita ada tamu?" tanya Matahari dengan berbisik pada Bundanya.

"Nanti kamu juga akan tau Sayang," balas Naura juga dengan berbisik. Rasanya agak canggung saat ia berbisik di depan para tamunya, dan tidak mungkin juga ia akan menjawab dengan suara besar pada anaknya itu.

"Sebelum kita mulai acaranya lebih baik kita makan dulu," ajak Panji pada semua tamunya. Tamu yang jumlahnya hanya lima orang.

Mereka semua melangkah menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah tertera di meja makan. Tak ada yang membuka suara disana yang terdengar hanya suara sendok yang bersentuhan dengan piring.

Seorang laki-laki yang berhadapan langsung dengan Matahari terus menatap gadis mungil itu tanpa berhenti. Bintang Bersinar, nama laki-laki yang menatap Matahari. Nama yang terdengar agak aneh tapi mau gimana lagi emang itu pemberian orang tuanya. Bahkan ia tak bisa mengubah karena suatu nama pasti memiliki arti yang bagus. Itu pikirnya. Tapi emang nyatanya begitu, tak mungkin orang tua memberi nama anaknya yang jelek-jelekin.

"Kedatangan kami kesini untuk membahas perjodohan yang tempo hari saya katakan padamu, Panji dan hari ini saya akan langsung melamarnya," Seorang kaki-kaki paruh baya membuka suaranya setelah mereka sudah duduk di ruang tamu.

Perjodohan? Melamar? Siapa yang akan dijodohkan dan siapa yang akan dilamar? apakah Abangnya? Tapi mereka tak ada yang membawa anak perempuan. Lau, lalu siapa? A--apakah dirinya? Tidak! Ia belum mau menikah. Umurnya masih kecil baru 18 tahun. Masih banyak cita-cita yang harus ia gapai. Itulah yang ada dipikirkan Matahari. Pasalnya ia sangat terkejut saat mendengar kata perjodohan dan lamaran yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. Makanya ia langsung berasumsi demikian.

"Iya silahkan Kal mumpung keluarga saya sedang berada disini semuanya," jawab Panji dengan senyum tipis di bibirnya.

"Yah, Bun siapa yang akan menikah?" Matahari menatap Panji dan Naura bergantian karena dia merasa panik saat ini, itu

terlihat jelas dari wajahnya.

"Kamu tenang dulu ya Sayang, dengerin dulu apa kata Pak Haikal," jawab Naura menenangkan putrinya yang terlihat gelisah.

"Lanjut Kal," kata Panji.

"Baiklah kedatangan saya dan keluarga saya kesini untuk meminang putri Bapak Panji untuk dijadikan menantu dan istri untuk anak saya yang bernama Bintang. Harapan kami sekeluarga pinangan kami diterima," Haikal mengakhiri ucapannya lalu menatap seluruh keluarga Panji secara bergantian.

"Yah, Bun i--ini tidak be--benar 'kan? Ta--tadi ata hanya salah dengen 'kan Bun?" Suara Matahari terdengar bergetar. Apa yang ia pikirkan tadi ternyata suatu kenyataan yang tak bisa ia hindari saat ini. Rasanya dada Matahari terasa berdetak dengan kencang. Ia tak bisa menerima ini semua cita-cita yang ia impikan saja belum ia gapai. Bahkan baru tadi pagi ia mengambil ijazah ke sekolah dan sekarang apa yang ia dengar? Ia akan menikah? Menikah? Rasanya ia belum sanggup untuk membina sebuah keluarga. Umurnya masih kecil, bahkan mungkin teman sebayanya sekarang sedang bercengkrama dengan keluarga mereka untuk membahas perihal kampus yang akan mereka masuki saat akan kuliah nantinya.

"Maaf Sayang, kamu tidak salah dengar. Apa yang dikatakan Pak Haikal tadi benar," jawab Naura sambil mengusap lembut bahu putrinya agar sang putri bisa lebih tenang dari sebelumnya.

"A--ayah ini nggak benar 'kan?" Ulangnya dengan menatap manik mata Panji dengan tajam.

"Ini be--"

"Ayah dan Bunda jahat!! Kalian tidak memikirkan perasaan ata, padahal kalian tau jika ata baru saja lulus dan tadi pagi ata ngambil ijazah ke sekolah dan sekarang Ayah dan Bunda sudah membuat ata kecewa. Padahal Ayah dan Bunda tau kalau ata ingin mencapai cita-cita ata sebagai seorang dokter. La--lau kenapa sekarang Ayah tega ngelakuin ini sama ata? Dan Bunda pun tau akan hal itu 'kan? Kenapa? Kenapa Ayah tega sama ata? Apa salah ata hingga Ayah menjodohkan ata dengan laki-laki itu!" Suara Matahari denger semakin lirih. Air mata tiba-tiba jatuh dari pelupuk matanya. Dadanya sangat sakit. Ada rasa marah dalam dirinya pada kedua orang tuanya.

"Tapi itu yang terbaik untuk kamu, Sayang?" Panji mendekat ke arah putrinya lalu memeluknya dengan erat.

"Terbaik apanya Yah? Aku baru tamat sekolah Yah, bahkan ata tak pernah berfikir untuk menikah diumur segini Yah. Jadi ata mohon batalkan perjodohan ini demi ata ya, ata mohon," Matahari memohon sambil mengatupkan kedua tangannya kepada sang ayah.

"Maaf Sayang, perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Karena ini sudah keputusan yang mutlak tanpa bisa diganggu gugat lagi!" tekan Panji dengan suara rendah tapi terdengar sangat menyakitkan bagi Matahari.

"Ayah jahat!!" Matahari melepas pelukan Panji lalu berlari menuju kamarnya di lantai dua dengan linangan air mata yang tidak berhenti mengalir.

"Ata tunggu Nak, dengerin dulu penjelasan Ayah,"

"Sudah Bang, nanti aku coba ngomong sama Ata,"

"Maaf ya Kal, nanti coba aku ngomong sama putriku dulu baru nanti aku kabari lagi sama kamu," Panji berucap dengan tak enak hati pada Haikal.

"Iya nggak apa-apa Ji, aku ngerti kok. Yaudah kami pulang dulu." pamit Haikal beserta keluarganya.

TBC....

02

Setelah kepergian Haikal dan keluarganya. Naura, Panji dan Langit duduk di sofa ruang tamu. Panji memang kecewa dengan jawaban anaknya, tapi tak dipungkiri ia juga salah dalam hal ini. Kenapa ia tidak memberitahukan masalah penting ini kepada sang putri. Ia tak patut menyalahkan putrinya, yang salah dirinya sendiri.

"Lalu bagaiamana perjodohan Ata selanjutnya Bun?" Langit sebagai anak sulung membuka suara, saat kedua orang tuanya berada dalam pikiran masing-masing.

"Nanti coba Bunda temuin Ata ke kamarnya. Kalau sekarang biar Ata menangin pikirannya dulu untuk beberapa saat," jawab Nuara.

Jujur ia juga belum mau berpisah dengan putri satu-satunya itu, tapi mau bagaimana lagi emang itu yang terbaik bagi putrinya. Bukan ia mau egois, tapi itu ia lakukan hanya untuk kebaikan putrinya.

Matahari menagis diatas kasur sambil meremas selimutnya dengan kuat. Menumpahkan air mata dibalik selimut. Ia belum mau menikah, ia masih ingin menikmati masa mudanya. Tapi kenapa Ayah dan Bundanya malah menjodohkannya dengan laki-laki yang bahkan tak ia kenal. Jangan kan kenal, bertemu saja baru tadi. Lalu apa yang akan ia lakukan jika memang ia menikah dengan laki-laki itu. Membayangkan saja sudah membuat kepala Matahari sakit.

Tok...

Tok...

Tok...

Tiga kali ketukan pada pintu kamarnnya membuat Matahari membuka kain selimut itu hingga dadanya.

"Ata boleh bundah masukan, Nak?" Suara paruh baya itu terdengar sangat lembut.

Matahari bergeming mendengar ucapan Bundanya. Kini pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi siang.

"Ata? Kamu di dalam 'kan Nak? Boleh bunda masuk, Sayang?" Naura membuka pintu kamar putrinya saat tak mendengar jawaban dari dalam kamar tersebut.

Naura melangkah masuk lalu duduk diatas ranjang sang putri tepat disamping gadis tersebut. Diambilnya tangan Matahari yang berada diatas perut gadis itu. Digenggamnya dengan sangat erat untuk menyalurkan kekuatan bagi sang anak. Naura bukan tak tau bagaimana hati anak gadisnya saat ini. Bahkan ia sangat tau karena dulu iapun merasakan hal yang sama seperti putrinya

"Kenapa Bunda tega lakuin ini semua buat ata? Kenapa Bun? Hiks... Hiks..," Matahari terisak menatap Bundanya.

"Sayang dengerin penjelasan bunda ya Nak," pintanya semakin mengeratkan genggaman tangannya pada putri tunggalnya itu.

"Bunda, ata mohon sama Bunda batalin perjodohan ini Bun, ata belum mau menikah Bunda. Ata masih mau kuliah, cita-cita ata belum terwujud satu pun Bunda. Ata mohon Bun," Matahari memotong dengan wajah memerah karena menangis terus.

Hati Naura tercubit mendengar ucapan gadis kecilnya. Rasa sakit yang dirasakan Matahari bahkan dapat ia rasakan. Sungguh tak ada seorang ibu pun yang mau anaknya memohon sedemikian rupa padanya. Apa lagi melihat air mata yang tiada henti mengalir dari pelupuk mata sang anak. Menagis? Ya Naurapun ikut menangis mendengar ucapan sang putri.

Sedangkan dibalik pintu kamar Matahari, seorang laki-laki paruh baya meneteskan air matanya. Bahkan jika boleh jujur ia pun belum mau untuk melepas putri tunggalnya itu. Belum cukup baginya untuk bersama putri yang sangat ia cintai. Putri yang mati-matian ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Jangankan untuk menamparnya, memarahi saja tak pernah ia lakukan selama 18 tahun kehidupan putrinya.

'Maafkan ayah, Nak. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa selain menikahkanmu, Sayang. Ayah yakin dia laki-laki yang baik buat kamu, Ayah akan pastikan kamu tidak akan menyesal nantinya, Nak,' batin Panji sambil menghapus air matanya lalu beranjak dari sana menuju ruang kerjanya.

"Ata dengerin bundah dulu--"

"Bunda, ata mohon, hiks hiks," potongnya sambil melepas pegangan sang bunda lalu mengatupkan kedua telapak tangannya tanda memohon.

"Ata dengerin bunda dulu. Ata mau kan dengerin penjelasan bunda?" Naura menghapus air mata putrinya yang terus saja mengalir membasahi pipinya chubbynya.

Anggukan kepala Matahari membuat Naura melanjutkan ucapannya. "Ata dulu Ayah dan Bunda dijodohkan juga Sayang. Bahkan saat itu bunda juga baru tamat sekolah sama persis seperti kamu. Bahkan bunda tau apa yang sedang Ata rasakan sekarang sama seperti yang bunda rasakan beberapa tahun lalu. Bunda pun juga punya cita-cita sama persis seperti Ata. Bahkan untuk menolak pun bunda tidak bisa Nak. Karena tradisi dari keluarga kita anak gadis harus menikah sekurang-kurangnya umur 18 tahun. Jika ia masih menduduki bangku SMA. Jika ia tidak sekolah maka diumur 17 tahun sudah harus menikah Sayang. Jadi bunda minta sama Ata, Ata menerima perjodohan ini ya, Nak"

Matahari termenung mendengar penjelasan sang bunda. Bagaimana bisa keluarganya memiliki tradisi kuno seperti ini. Apakah mereka tidak tau bahwa sekarang sudah zaman moderen. Bahkan tak bisakah mereka berfikir semakin maju tahun maka perubahan itu akan semakin kentara.

Kenapa, kenapa ia harus berada dalam situasi yang tak sama sekali ia inginkan. Tak bisakah ia memilih suaminya sendiri. Laki-laki yang mencintanya begitupun dengan dirinya. Matahari hanya menangis dalam diam. Meratapi nasibnya yang tak lama lagi akan menjadi istri orang.

"Nak, kamu dengar 'kan ucapan bunda?" Naura menyentuh bahu putrinya menyadarkan dari lamunannya.

"Bunda, Ata mohon batalkan perjodohannya Bun," Matahari masih bersikeras untuk menolak.

"Sayang ini sudah tidak bisa diganggu gugat Nak, kamu harus menjalaninya. Bahkan bunda yakin calon suami kamu baik, Nak. Dia pasti akan membahagiakan kamu nantinya, percayalah sama bunda,"

"Ta--tapi ata ma--"

"Nak, kamu percaya kan sama bunda?" Matahari mengangguk mendengar pertanyaan Naura.

"Kamu terima ya perjodohan ini?" pintanya.

"Ata masih mau kuliah Bunda, perjalanan ata masih panjang Bunda bagaiamana bisa ata menikah sekarang?" Matahari masih berusaha menolak meski dengan cara halus.

"Kamu masih bisa kuliah nantinya Sayang, Bahkan masalah itu sudah Bunda dan Ayah bicarakan pada keluarga calon suami kamu, dan mereka semua menyetujui termasuk Bintang yang akan menjadi suami kamu nanti, Sayang," jelas Naura berusaha membujuk anak gadisnya. Dan memang benar apa yang sudah dibilang Naura pada Matahari adalah benar.

"Tap--"

"Sekuat apapun Ata menolaknya tidak akan bisa Nak, keluarga kita sangat kuat akan tradisi Sayang. Jadi Ata mau kan?"

Anggukan kepala Matahari membuat Naura merasa lega. "Nggak usah kamu pikirkan lagi Sayang, sekarang Bunda akan memberitahukan pada Ayah. Yakinlah apapun yang Ayah dan bunda pilihkan pasti itu yang terbaik buat kamu, Sayang. Kami tidak akan menikahkan kamu dengan laki-laki yang tidak baik, Nak. Bahkan Ayah dan bunda tau bagaimana baiknya Bintang dan keluarganya," Naura kembali menjelaskan saat melihat putri tunggalnya meneteskan air mata.

Sungguh ia pun tidak tega melihat putrinya menagis terus. Bahkan jika boleh memilih ia pun tidak mau putrinya menikah secepat ini. Rasanya belum puas menikmati kebersamaannya bersama sang putri. Bahkan mungkin tidak akan pernah puas sebelum ia menutup mata untuk selamanya dan pergi ke tempat yang seharusnya ia berada.

Matahari hanya menganggukan kepalanya lalu menghapus air matanya dan memberikan senyum manis pada sang bunda agar wanita paruh baya itu mereka sedikit lega.

Setelah kepergian Naura, Matahari kembali menumpahkan air matanya. Ia tak sanggup, sungguh ia belum sanggup untuk membina rumah tangga. Bahkan Matahari tidak kuat membayangkan jika nantinya ia memiliki seorang suami.

Karena terlalu lama dalam pikirannya Matahari tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Bahkan dalam tidurpun Matahari tetap mengeluarkan air matanya.

TBC

03

Suami untuk matahari

03

Naura berjalan menuju ruang kerja sang suami setelah tadi dia memeriksa kamar mereka. Nyatanya tak terlihat disana batang hidung suaminya. Dibukanya perlahan pintu bercat coklat itu dan menyembulkan kepalanya sedikit untuk mengetahui apakah suaminya ada di dalam atau tidak.

"Bang, boleh aku masuk?" tanya Naura setelah dia melihat suaminya sibuk dengan laptop di depannya.

Panji mengalihkan penglihatannya saat mendengar suara lembut istrinya. Suara wanita yang membuat ia semakin hari semakin mencintainya. "Masuklah Sayang," ujarnya sambil mempersilahkan sang istri untuk mendekat.

Naura melangkah menuju suaminya. Duduk di samping Panji setelah mengambil salah satu kursi yang ada di sana.

"Bagaiaman keadaan Matahari sekarang, Sayang?" tanya Panji khawatir dengan keadaan putri kesayangannya.

"Tadi setelah aku tinggal Ata baik-baik saja kok Bang," jawab Naura.

"Jadi gimana Sayang? Apa Matahari menerima perjodohan ini?" Ada raut sedih di wajah tegas itu dan dapat di lihat oleh Naura. Bahkan siapapun yang melihatnya pasti akan mengatakan hal yang sama.

Naura menganggukkan kepalanya. "Alhamdulillah diterima sama Ata, Bang." ungkapnya jujur sambil menunduk. "tapi jujur saja Bang, aku belum sanggup untuk pisah sama putri kita. Dia masih kecil untuk menjadi seorang istri Bang, dan membina rumah tangga Bang," ujar Naura sambil terisak di samping suaminya. Tentu saja Naura sedih karena tak lama lagi dia akan berpisah dari putri semata wayangnya.

"Abang pun juga sedih Sayang, tapi apa yang bisa kita lakukan? Memang seperti ini lah tradisi dalam keluarga kita," balasnya memeluk erat tubuh ramping Naura. Meski sudah berumur kecantikan Naura tak luntur sedikitpun. Bahkan di mata Panji tetaplah istrinya yang paling cantik di dunia ini. Bahkan Panji akan cemburu jika Naura berdekatan dengan laki-laki lain. Sifat posesif yang muncul dalam seketika.

"Ya sudah Abang telpon Haikal dulu untuk ngasih tahu keluarganya tentang jawaban Matahari," Panji melepaskan pelukannya pada tubuh Naura.

"Iya Bang," balas Naura sambil menghapus air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

Tak berapa lama sambungan telepon Panji terhubung.

("Hallo, assalamu'alaikum Kak,")

("Wa'alaikumsalam Ji,") terdengar balasan suara tergas dari sebrang sana.

("Aku mau ngabarin jika putriku, Matahari menerima perjodohan itu,") ucapnya.

("Alhamdulillah akhirnya di terima juga Ji. Baiklah besok kami akan datang lagi ke sana untuk kembali melamar putrimu,")

("Baiklah, kami semua menunggu kehadiran keluargamu, Kal. Ya sudah aku akhiri ya, assalamu'alaikum,")

("Wa'alaikumsalam,")

"Bagaimana Bang? Apa kata Pak Haikal?" tanya Naura saat suaminya telah mengakhiri teleponnya.

"Besok mereka akan kembali lagi datang ke ruamah kita Sayang. Mereka akan kembali melamar kutri kita untuk kedua kalinya," jawab Panji dengan senyuman yang dibalas Naura dengan senyuman pula.

****

Kini keluarga Panji tengah menikmati makan malam bersama. Disana ada Panji sebagai kepala keluarga serta sang istri dan kedua anaknya Langit dan Matahari. Mereka makan dalam diam, tak ada seorangpun yang membuka suara. Yang terdengar hanya bunyi sendok yang bersentuhan dengan piring.

Bahkan Matahari yang biasanya selalu membuat gelak tawa keluarga kecil itu saat makan malam kini tak ada lagi. Gadis itu hanya diam sambil menyuap nasi kedalam mulutnya. Wajahnya tampak murung mungkun, karena masih memikirkan masalah perjodohan antara dirinya dan laki-laki pilihan Ayahnya.

Naura yang sebagai Ibu merasa aneh dengan sikap anaknya. Padahal tadi sore dia sudah tersenyum kepada dirinya. Lalu kenapa sekarang putrinya itu diam tak seperti biasanya. Apakah putrinya marah padanya atau suaminya. Sungguh ia tak bisa menebak pikiran putrinya itu.

Sedangkan Panji hanya diam tanpa membuka suara pada putri kesayangannya itu. Panji paham dengan perubahan sikap putrinya saat ini. Mungkin perjodohan itu membuat putrinya kepikiran. Maka dari itu ia membiarkan putrinya diam saat ini. Tapi jika besok ia masih diam maka Panji akan mengajaknya bicara duluan.

*****

Malam harinya Matahari tengah duduk termenung di balkon kamarnya. Menatap langit malam yang di penuhi bintang yang tengah memancarkan cahayanya. Sentuhan pada bahunya membuat Matahari melihat kebelakang.

"Abang," ujarnya parau saat melihat Abang kesayangan telah duduk di kursi samping Matahari.

"Kenapa nangis, hmm?" Langit menghapus air mata adiknya dengan ibu jarinya.

"Kenapa ini semua terjadi sama aku, Bang? Kenapa harus aku Bang? Kenapa?" Matahari memukul pelan dada Langit. Langit hanya diam menerima setiap pukulan dari adiknya. Langit akan membiarkan seberaoa lama adiknya itu mau memukul dirinya.

"Kamu harus sabar ya Dek, segala sesuatu yang sudah di takdirnya untuk kamu, itulah yang terbaik Dek. Bukannya Abang mau memihak siapapun tidak Dek. Abang yakin pilihan Ayah sama Bunda pasti yang tebaik buat kamu. Bahkan Adek sudah tahu bukan jika keluarga kita memiliki tradisi seorang anak perempuan harus menikah setelah genap berumur 17 atau 18 tahun kan?"

Matahari menganggukkan kepalanya. "Iya Bang, tadi Bunda sudah ngomong sama aku," jawabnya sambil sesegukan.

"Jadi intinya sekarang Adek harus tetap sabar dan ikhlas menerima semua ini. Bahkan ini semua sudah takdir Adek juga untuk nikah muda. Nggak perlu Adek pikirkan lagi. Apabila Adek ikhlas dalam menerima segala sesuatu maka semaunya akan di mudahkan sama Allah, Dek," langit memeluk adiknya dengan erat.

"Tapi aku belum mau nikah Bang, bahkan Abang tahu kalau cita-cita aku belum terwujudsatupun kan? Masih banyak yang harus aku wujudkan Bang," ucapnya sambil menatap nertra terang Langit.

"Terkadang apa yang kita impikan itu tidak selalu tercapai saat kita masih sendiri Dek. Bahkan banyak diluaran sana yang cita-citanya terwujud meski setelah berkeluarga. Allah maha tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya dan mana yang tidak." Langit menatap adiknya yang terus saja melihat gelapnya langit malam.

Matahari berfikir jika apa yang dikatakan Abangnya itu memang benar. Bahkan ia juga sempat melihat itu semua. Bahkan ada pula yang terjadi didepan matanya sendiri. Meski dia mengetahui baru lagi tadi dan itu adalah Bundanya. Bunda dan Ayahnya menikah di saat ia berumur 17 tahun dan dapat meraih mimpinya menjadi seorang dokter. kenapa tidak dengan dirinya?

"Semoga saja apa yang Abang katakan benar terjadi sama aku, aamiin. Do'ain aku biar kuat menjalani ini semua ya Bang?" pintanya dengan lembut.

"Itu pasti Dek. Pasti Abang akan selalu mendo'akan kebaikan buat kamu, Dek. Tanpa harus Adek minta pun akan Abang lakukan. Jadi Abang minta Adek jangan sedih lagi. Adek harus seperti dulu lagi yang penuh dengan canda dan tawa. Bahkan tadi saat di ruang makan Abang merindukan kebisingan kamu, Dek," Langit menatap Matahari yang juga saat ini sedang menatapnya.

Matahari menganggukkan kepalanya. "Iya Bang, aku akan seperti dulu lagi yang selalu tersenyum dan selalu berisik, hehehe," jawab Matahari sambil tertawa di akhir ucapannya.

"Nah gitu dong, ini baru Adek, Abang,"

"Berarti tadi aku bukan Adek, Abang?ihhh, Abang jahat!!". Matahari berdiri lalu melangkah ke dalam kamarnya menuju ranjang king sizenya.

"Iss, ya nggak lah Dek, kamu sa--"

"Jelas-jelas Abang tadi bilang sama aku gini 'ini baru Adek, Abang' kan?" rajuknya memonyongkan bibir ke depan.

"Iya Dek iya, Abang minta maaf kalau Abang salah," pintanya.

"Abang emang salah kok," ujarnya ketus.

"Iya Abang salah, Adek mau kan maafin Abang?"

"Dengan satu syarat?"

"Apa?"

"Besok Abang harus beliin aku es Boba, kalau Abang lupa aku nggak akan mau maafin Abang dan aku juga nggak akan nyapa Abang selama satu minggu," ancamnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya pada Langit.

Dengan senang hati Langit menautkan kelingkingnya pada kelingking kecil Matahari. Setelahnya mereka berpelukan sebentar sebelum akhirnya Matahari memilih untuk tidur.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!