Bagiku hidup adalah keindahan dan kenikmatan yang tidak pasti. Indah ketika memiliki apa yang diimpikan dan nikmat dalam menjalani detik demi detik waktu yang berputar. Entah sudah berapa banyak mulut yang mengucapkan seberapa beruntungnya hidupku, namun tetap saja aku hanya manusia biasa yang masih ada kata kurang dalam melangkahi setapak jalan kehidupan ini. Julukan keluarga konglomerat sudah sering banget tersambar di telinga. Namun, apapun itu gelar keluargaku ya itu punya ayah bukan hasil kerjaku.
Laila Safa, begitulah nama lengkapku, yang seringkali disapa Laila. Seorang perempuan muda yang saat ini bekerja di startup company sebagai manajer bisnis. Tidak hanya itu, aku juga diberikan sebuah perusahaan tekstil oleh ayah sebagai hadiah ulang tahun ke-17 beberapa tahun lalu. Meski seribu kali menolak, namun ayah tak gentar memaksa agar aku menerima dan menjalaninya. Keputusanku untuk bekerja juga ditentang olehnya, namun aku masih mampu menanganinya. Sehingga saat ini aku memegang kendali dua perusahaan secara beriringan.
Di awal usia 24 tahun, aku bertemu kembali pada cinta pertama, Renald. Ia merupakan pria pintar seangkatan pada jaman kuliah beberapa tahun lalu. Mungkin karena kepintarannya inilah aku jatuh hati padanya dalam diam. Namun, secara tiba-tiba ia menghilang dari pandanganku ketika aku kembali pasca studi dari luar negeri. Rumornya ia pindah ke kampus yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku kehilangan jejaknya kala itu.
Hingga 1 tahun yang lalu, aku bertemu dengannya dalam sebuah konferensi tekstil di daerah pinggir ibukota.
“Lo, Renald bukan ya?” Tanyaku di depan pintu masuk yang baru saja selesai mengisi buku tamu dan mengambil souvenir acara.
“Bu Laila silahkan duduk di bangku VVIP ya,” ucap asistenku yang mengarahkan kedua tangannya ke depan seolah mempersilahkan untuk segera masuk.
“Oke, sebentar Mbak,” ucapku menjawab Tika, lalu mengalihkan pandanganku lagi ke arah mata Renald.
Ia masih terdiam seolah berpikir siapa wanita yang tiba-tiba menebaknya. Ia melihatku dengan teliti, matanya tak berkedip menatapku, dan tak lama ia tersenyum.
“Laila, mahasiswa manajemen Kampus Merdeka?” Tanyanya dengan kelopak mata yang terbuka lebar dan senyum terukir di bibirnya.
“Hahaha iya, untungnya lo masih ingat gue. Coba kalo tidak, kan gue malu ya,” balasku sembari mengajaknya masuk.
Namun, obrolan pembuka tadi terputus karena mulainya acara. Ya, aku tidak bisa berdampingan dengannya, sebab dalam acara ini terdapat tiga tipe undangan berdasarkan jabatan dan segi kepentingan dalam konferensi. Sehingga sulit bagiku untuk bersebelahan dengannya. Aku mewakili perusahaan selaku CEO sekaligus menjadi pembicara, sehingga jenis undangannya adalah diamond dengan posisi duduk di bagian paling depan berhadapan langsung dengan panggung pembicara. Sementara ia merupakan pengusaha menengah dengan jenis tiket silver yang duduk di area belakang.
Selama acara berlangsung, fokusku berantakan karena memikirkan apakah mungkin bisa bertemu dengannya sekali lagi. Ya, tidak muluk-muluk, inginku cukup untuk saling cerita dan berbagi pengalaman pasca kuliah. Sehingga, beberapa kali aku menolehkan kepala ke arah belakang untuk mencari wajahnya dari sekian banyak peserta yang hadir dalam ballroom. Untungnya mata kami tidak pernah bertatapan selama aku mencari-cari keberadaannya.
Pasca kegiatan, aku menyusuri karpet merah menuju jalan pintu keluar. Mataku tak henti berpaling ke segala arah demi mencari sosok pria dengan jas navy, rambut klinis yang tadi sempat ku temui. Mataku seperti memutar seantero ruangan, namun tidak jua ku temukan dia.
“Setelah lama tak berjumpa, dengan mudahnya ia pergi,” desisku dalam hati.
“Ibu, mobilnya udah di depan ya,” ucap Tika yang sedari tadi sibuk menerima telepon koordinasi terkait kendaraanku. Tika mengarahkanku keluar, namun mataku tetap saja seperti mencari sesuatu dalam ruangan itu sehingga langkah kaki sangat amat pelan.
“Maaf, Bu, ada yang sedang Ibu cari disini?” Ujar Tika.
Tika adalah sosok asisten yang sangat paham denganku meskipun ia baru bekerja 1 tahun terakhir, tapi bagiku, ia sudah seperti saudara, sehingga tak pernah ada batas di antara kami. Ia bahkan bisa tahu apa yang sedang aku mau dan pintar mengambil inisiatif, hingga terkadang aku menyebutnya sebagai agen rahasia untuk menuntaskan segala misi yang aku inginkan, salah satunya menyembunyikan adik tiriku selama berada di luar negeri.
“Oh saya mencari teman kuliah saya. Dia terlihat duduk di bagian sini deh tadi. Mungkin udah pulang ya,” tuturku dengan pandangan mata yang terus mencari Renald.
Tika mengangguk, sepertinya ia bingung juga harus merespon ucapanku. Lalu, aku melanjutkan langkah kaki hingga sampai persis di depan pintu besar yang bertuliskan exit door, Tika jalan mendahuluiku untuk membuka lift yang berada kurang dari 200 meter dari pandangan. Namun, ketika kaki kian mendekati pintu lift, seseorang memanggil namaku dari arah belakang, dan terdengar jelas pula hentakan demi hentakan sepatu pantofel yang makin dekat ke arah ku.
“La, Lailaaaaa tunggu………."
Sontak aku membalikkan badan, dan ternyata Renald, pria yang aku cari-cari sedari tadi akhirnya muncul juga. Aku tidak menyangka masih bisa bertemu dengannya.
“Tika, kamu turun duluan dulu aja. Saya ada obrolan sebentar dengan teman. Nanti saya kabari ya,” ucapku.
Tika menganggukan kepala dan menutup pintu lift agar bisa langsung masuk ke dalam mobil yang telah menunggu kami dari tadi. Sementara aku masih harus menyelesaikan pertemuan singkat dengan waktu terbatas berbincang kepadanya, Renald.
“Gue kira lo udah pulang,” ucapku, sembari berjalan mengarahkannya agar ikut melipir di tepi ballroom.
“Tentu saja tidak, gue nunggu lo. Gue bodoh banget kalau tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertanya dengan pengusaha hebat kaya lo. Apalagi lo adalah teman gue,” ucapnya dengan tersenyum, sembari mempersilahkanku duduk.
“Hahaha apa sih lo, ya gue menjalankan perusahaan bokap. Jadi, bukan gue yang hebat. Kalo lo mau tanya-tanya mending ke bokap gue aja,” balasku.
“Lo setelah kuliah beneran hilang kaya di telan bumi ya,” tambahku lagi, dengan mengarahkan mataku tepat di depan matanya.
“Bukan setelah kuliah La, lo nya aja yang ikutan exchange. Jadi ketika lo pulang, gue udah ga terlihat, kan?”
Ia mencoba berbicara rileks dihadapanku. Hal itu terlihat dari gestur tubuhnya yaitu dengan cara ia memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya.
“Lo kemana? Bahkan gue coba hubungin lo juga ga pernah bisa setelah gue pulang dari London. Gue di London sama sekali gak bisa main ponsel, ya kehidupannya bangun, makan, kuliah, tugas, dan tidur, ya gitu aja siklusnya. Jadinya, gue belum terlalu sadar kalo ternyata teman gue hilang,” celoteh ku.
“Hahaha ya gue ada, gue cuma pindah kampus aja ke tempat yang lebih pedalaman. Ya biasa deh kemauan orang tua. Setelah lulus, gue buka usaha ini. Masih kecil-kecilan gini, La. Jadinya, gue harus banyak belajar dari lo juga.” tambahnya dengan tersenyum.
Di akhir obrolan kecil, ia meminta kontak pribadiku, katanya hanya untuk saling bertukar pikiran berkaitan dengan bisnisnya. Tanpa pikir panjang, langsung ku berikan nomor ponsel pribadi, bukan nomor admin.
“Lo yakin ini nomor pribadi? Bukannya sekelas CEO tidak boleh sembarang kasih kontak ya?” ucapnya sembari tersenyum.
“Ya, memangnya kenapa Re? Apa yang salah?” jawabku dengan santai.
“Gue kan rekan kerja lo ya mitra kerja lah sebutannya. Biasanya posisi sebagai mitra kerja berhubungannya dengan admin bukan CEO,” ucapnya dengan nada bercanda.
“Oh jadi lo gak mau kontekan pribadi dengan gue? Mau banget melalui admin? Hahaha” balasku dengan tertawa.
“Hahaha, gak dong, La, bercanda aja gue. Berarti malam nanti udah bisa gue kontak ya?” Ujarnya dengan tertawa.
Semenjak pertemuan kecil di ballroom, kami seringkali berkabar dan bahkan pergi hangout atau makan malam. Aku merasa nyaman ada di sekitarnya, dan ia tampak antusias dengan semua topik yang aku dongengkan.
Hingga suatu malam, ia berlutut di hadapanku, di tengah resto sederhana dengan piano klasik yang mengiringi sambungan kata per kata darinya. Ia menatap mataku dengan tajam, dan terlihat juga air mata yang tengah menggenang di bawah kelopak matanya. Pelan-pelan ia mengucapkan kalimat yang membuatku tertegun.
“La, maaf kalo ini terkesan aneh dan mungkin setelah ini bisa saja kamu membenciku. Namun, aku tak bisa berbuat apapun, La. Ini sudah menjadi risiko yang harus aku tempuh. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak awal kita bertemu. Lalu seakan takdir berkata kamu adalah yang aku mau, hingga akhirnya kita dipertemukan lagi. Apakah kamu mau menjadi teman hidupku?” Ucapnya sembari mengeluarkan kotak merah, dan membukanya. Aku melihat ada cincin berlian di dalamnya dan sepertinya sangat pas di lingkar jari manisku.
Satu kata yang bisa menggambarkan ekspresiku malam itu “Kaget.” Siapa yang menyangka orang yang aku cintai sejak dulu secara diam ternyata memiliki rasa yang sama padaku. Siapa yang menyangka dia akan kembali setelah lama hilang dan sulit dijumpai. Siapa yang menyangka semua ini bisa terjadi padaku.
Aku hanya menganggukan kepala dan sesekali mengusap pipi sebab tanpa sadar air mataku turun karena terharu mengingat semua nikmat aku bisa mendapatkannya secara instan.
Tak lama, ia memutuskan untuk melamar dan menikahi ku secara resmi di hadapan orang tuaku.
Perjalanan restu yang tak mudah, sebab ayah adalah sosok keras dan tentu saja tak ingin putrinya menikah dengan sembarang orang. Terlebih, ayah sangat memegang kuat istilah kasta. Baginya hanya kasta tinggi yang layak untuk menjadi pendamping dan penerus tahtanya. Renald bukan berasal dari keluarga yang dapat diperhitungkan oleh ayah sehingga dengan mudah ia menolaknya bahkan menghinanya.
***
“Kau lepaskan saja Laila, maka akan aku berikan 1 koper uang ini untukmu,” ucapnya pada Renald ketika meminta izin untuk menikahiku. Ayah melemparkan koper yang hampir saja mengenai tubuh Renald.
“Ayah, ga semua hal bisa dibeli dengan uang!” ucapku dengan nada tinggi.
“Ia hanya cinta dengan hartamu, lantas ayah langsung saja berikan apa yang dia inginkan,” ucapnya angkuh.
“Lagian, sudah ku siapkan calon suami yang tepat untuk hidupmu. Ia memenuhi semua pilihanku, ganteng, kaya, orang terpandang, pendidikan tinggi, turunannya juga jelas. Tidak seperti pria ini!”
Renald terdiam….
Ia berdiri cukup lama di hadapan tubuh ayah, berharap ada setitik keberanian untuknya berbicara.
“Om, saya sudah kenal dengan Laila sejak awal kuliah, dan saya tulus untuk menikahinya. Memang betul, saya bukan dari keluarga yang setara dengan Om, namun saya bisa jamin Laila tidak akan kekurangan,” ucapnya pelan setelah beberapa menit ia hanya membeku.
Ayah tertawa sinis, “Gajimu sebulan saja mungkin hanya untuk lipstiknya. Realistis saja!,” balas ayah.
“Kau kerja apa dan berapa penghasilanmu per bulan?” Tambah ayah dengan nada ketus.
“Saya punya usaha kecil-kecilan di bagian konveksi dan percetakan, omset sebulan kurang lebih 20-30 juta om,” ucapnya dengan suara yang samar-samar bergetar.
“Hahaha, 20 sampai 30 juta katamu? Aku gak yakin hidup anakku akan baik dengan pemasukan mu yang hanya segitu.”
Jujur, ketika itu aku marah dengan keadaan. Aku merasa tidak beruntung menjadi bagian dari keluarga konglomerat ini sebab hidupku seperti diatur seutuhnya dan tak kuasa memilih jalan hidup sendiri, termasuk pernikahan.
Renald terlihat kaget dengan pernyataan itu, ia menolehkan kepalanya ke arahku. Dari pancaran matanya, aku yakin ia hendak menyerah sore itu dan pulang dengan tangan kosong membawa harapan yang telah menjadi luka.
“Oke, kalo Ayah hendak begitu. Aku akan keluar dari rumah ini, dan ku tinggalkan semua apa yang telah Ayah beri. Oh ya satu lagi, akan ku alihkan seluruh aset atas namaku kepada Tania,” ucapku dengan nada tinggi, dan langsung meninggalkan ruang kerja ayah tanpa peduli panggilan namaku olehnya yang terdengar begitu keras.
***
Semenjak pertemuan itu, tujuh hari aku tinggal di apartemen dan hendak melepaskan perusahaan tekstil ke tangan Tania, adik tiriku. Tentu saja ayah tidak akan diam, sebab ia begitu benci dengan perempuan itu. Akhirnya ia luluh dan memberikan restu meskipun dengan sejumlah rangkaian perjanjian bertanda tangan notaris. Perjanjian itu meliputi tidak akan ada hak waris untuk Renald, sebagai gantinya ia diberikan 10% saham dari perusahaan utamanya, PT Cakrawala guna sebagai pendapatan tambahan, dan isi perjanjian yang terakhir yaitu Renald tidak diperkenankan terekspos oleh media bahwa ia bukan dari keluarga konglomerat. Ya, isi perjanjian yang sangat kompleks, terlebih di bagian isi terakhir. Aku diharuskan menyembunyikan identitas asli calon suamiku ini, dan ia dipaksa untuk berpura-pura sebagai keluarga konglomerat.
Setelah perjanjian disetujui, aku dan Renald keluar menuju ayunan di taman belakang rumah. Aku duduk dan mengayunkan badan agar ayunan ini pun ikut bergoyang, ku ajak Renald untuk duduk juga di sampingku.
“Re, mama papamu, bagaimana?” Tanyaku.
“Mereka sepertinya ga bisa datang deh, karena lagi di luar kota juga,” ucapnya.
“Maaf ya La. Jadinya kamu belum ketemu sama orang tuaku, mungkin setelah kita nikah, akan aku kenalkan kamu ke mereka langsung ke kampung halamanku,” tambahnya dengan wajah tertunduk.
Ya aku cukup paham, orang tua Renald tidak bisa kemari, sebab mereka akan menolak pernikahan ini karena ayahku. Aku pun juga khawatir dengan celotehan ayah kepada orang tua Renald. Sehingga menjadi sisi baik untukku dan Renald bertemu mereka setelah kami menikah.
Sementara ibu, ia adalah wanita polos nan baik, aku diberikan kebebasan memilih jalan hidupku, dan tidak pernah mengatur termasuk pernikahan ini. Ia tampak menerima Renald sebagai menantunya. Itulah yang membuatku yakin dan mantap melangsungkan pernikahan ini, sebab ada restu tulus dari ibu. Meski di akhir keputusan ia memberikan wejangan yang sedikit membuat rasa traumaku kembali, namun ibu coba meyakinkan bahwa Renald adalah pria baik.
“La, dalam hidup kita selalu punya masalah. Hadapi bersama jangan sendirian. Ibu senang kamu menikah dengan Renald, ia tampak baik dan mencintaimu dengan tulus. Apabila suatu hari nanti ia berubah menjadi sosok yang tak kamu kenal, kamu jangan menyerah, tapi ingatkan dia tentang momen-momen indah kalian. Jangan takut bertengkar, sebab setelah pertengkaran itu akan ada rasa ikatan yang kuat,” ucap ibu di kamarku. Ibu seperti paham akan kekhawatiranku yang muncul setelah pernikahan, namun dari matanya ia mampu meyakinkanku bahwa aku bisa membawa bahtera rumah tangga hingga sampai akhir hayat.
***
Keesokan harinya, tepat menjelang satu bulan acara pernikahan, aku, ibu, dan Renald bertemu di sebuah kafe kawasan Jalan Merpati. Kami berdiskusi tentang pembagian budget dan konsep. Kami sepakat untuk membagi pengeluaran atau masing-masing menyumbang 50% dari total biaya. Lalu terkait konsep acara, Renald menyerahkan seutuhnya kepadaku dan ibu sebab ia tidak terlalu paham. Ia percayakan semuanya kepadaku, karena ia yakin aku punya selera yang baik untuk pernikahan ini. Setelah pembahasan singkat bersamanya, ia pamit kembali ke kantor. Sementara aku dan ibu menunggu wedding organizer untuk membahas keseluruhan rangkaian acara pernikahan.
“Maaf Mbak, kenapa konsepnya tertutup ya?” Gumam Agnes selaku penanggung jawab acara.
“Kami mau konsep yang intimate saja, hanya keluarga dan orang-orang terdekat yang di undang,” jawabku.
“Wah, artinya Mas Andrew gak di undang Mbak?”
Ibu melirikku dengan pelan.
“Siapa Andrew?” Ujar ibu yang baru saja mendengar nama asing dari mulut Agnes.
Agnes terlihat bingung, ia menggigitkan lidah dan menatap takut ke arahku.
“Bukan siapa-siapa, Bu,” tuturku pelan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia mengikrarkan janji hidupnya bersamaku. Ia datang dengan setelan jas modern cokelat dan tatanan rambut rapi sembari membawa pernak pernik aksesoris hantaran. Tentu saja ia tidak sendiri, ia didampingi oleh rekan-rekannya yang mengenakan kemeja putih dengan pita kupu-kupu dikaitkan ke lehernya. Ia jalan menuju pintu utama, menyusuri keluarga besarku yang tengah duduk menunggu mempelai prianya. Sementara aku telah siap di sisi kanan untuk melihatnya mengucapkan janji suci tersebut. Tak berselang lama, ayah datang menghampiri Renald untuk menjadi wali sahku, namun ia tak langsung duduk berhadapan dengan calon suamiku itu, melainkan sedikit berbisik barangkali 1-2 menit. Lalu ia berpindah duduk di depan Renald dengan didampingi oleh seorang yang sah menikahkan.
Sekitar tiga menit berlalu, Renald telah berhasil mengucapkan ikrar suci itu. Tatapan matanya langsung mengarah padaku seakan kode untuk memintaku segera bersanding dengannya. Aku berjalan perlahan-lahan sebab gaun ini begitu terasa berat. Re berdiri dan berjalan menujuku. Ia menggandengku dengan gagah di tengah tamu keluarga yang tersenyum.
“Thank you ya Re,” bisikku kepadanya.
Ia hanya tersenyum dan menatapku. Langkah kaki ini terus berjalan sampai di meja dengan tingkatan kue diatasnya. Sementara para tamu tampak ikut berdiri untuk menyantap hidangan dan menikmati pesta sederhana ini.
Ku ambil segelas air di hadapanku, dan aku minum perlahan-lahan. Dari balik kaca gelas ini terlihat sangat jelas senyum tamu yang merekah menyelimuti kebahagiaanku hari ini. Aku bersama pria yang ku cintai sejak beberapa tahun lalu!
"Kuenya mau dipotong kapan?" Ucap ibu yang dari belakangku perlahan menghampiri.
Aku bertatapan dengan Re seakan nanya dan minta pendapatnya untuk sekedar memotong kue.
"Gimana La? Jangan cuma tatap aku, tapi jawab dulu pertanyaan ibu," tukas Re tersenyum kepadaku.
Ia berhasil membuatku salah tingkah meski kini sudah resmi menjadi istrinya beberapa menit yang lalu.
"Yaudah, sekarang aja deh Bu. Sepertinya tamu-tamu juga udah pada makan kan," responku.
Aku langsung menatap sekitar untuk mencari keberadaan Tika sebagai asistenku. Namun, ia tidak ku temukan.
"Tika sepertinya tadi keluar deh La, ya sudah Ibu saja yang bilang ke MCnya ya."
Tak lama setelah itu, ibu berbalik dan berjalan melewati para tamu undangan menuju Agnes yang menjadi master of ceremony pernikahanku.
"Oke, baik Bapak Ibu sekalian. Setelah kita usai menyantap hidangan bersama, kini masuk ke acara inti yaitu pemotongan kue oleh pengantin kita," ucapnya menggema sembari mengajak para tamu bertepuk tangan.
Aku mengambil pisau yang telah tersedia di atas meja. Pertama kali bagiku menggenggam pisau stainless steel sepanjang ini. Sempat khawatir ketika ku potong kue ini justru akan runtuh semuanya. Wah, gak terbayang malunya seperti apa.
Tangan Re ikut menggenggam pisau itu tepat di belakang tanganku. Pelan-pelan akhirnya dapat bagian kue yang lumayan besar, dan aku potong lagi menjadi bagian-bagian kecil.
Re mengangkat piring kaca berbalut emas tepat di depan dadanya, lalu ia menaikkan garpu itu di hadapan mulutku. Aku terpaku pada pancaran matanya…
Setelah itu, giliran aku menyuap kue itu ke mulutnya. Tak lama setelahnya, piring ku kembalikan ke atas meja. Namun, ada hal yang tak terduga dari diri Rei, ia dengan cepat mendekati wajahku, lalu menjatuhkan bibirnya tepat di bibirku. Ia mengecup lembut bibir ini, dan tak lama makin buas hingga salivanya masuk ke dalam mulutku. Aku hentikan aksinya itu, ku dorong tubuh Re lalu ku elap mulutku dengan tissue.
“Kenapa di lap? Kamu gak suka?” Tanyanya dengan mata memerah yang sudah jelas bagiku itu adalah tatapan nafsu dari pria.
"Sayang, aku udah ga kuat. Setelah ini acaranya udah kan?" Tambahnya lagi.
Nafsunya menggebu untuk segera menggerayangi tubuhku. Sementara aku masih terkaget-kaget, sebab pria ini bukan seperti Re yang ku kenal dulu.
“Aku adalah istri sahnya, mungkin ini yang dinamakan wajar bagi pria untuk segera melepaskan keperawanan sang wanita”, batinku yang terus mencoba berpikir logis bahwa kondisinya kini berstatus suami istri.
"Iya sayang, sabar. Tenang, sebentar lagi," balasku singkat dengan menatap matanya.
Adegan tadi benar saja menjadi penutup acara kami diiringi dengan sorak dan tepuk tangan para tamu yang hadir. Re menggandeng dan menatap mataku dengan tatapan nafsunya. Kami berjalan, melangkahi setiap anak tangga untuk sampai kamarku. Belum lagi sampai ranjang, ada kericuhan yang tengah terjadi dari lantai bawah.
"Laila, apa kamu yang mengundang perempuan ini hadir di acara ini?" Ayah berteriak hingga seisi rumah berkumpul di ruang tengah.
Aku membalikkan badan, dan betul saja ayah tengah menyeret perempuan di hadapan tangga.
"Tania????" Ucapku teriak dari lantai dua.
"Ini kan acara keluarga, bukankah Tania bagian dari keluarga ini?" Jawabku dengan intonasi tinggi.
Re mencolek tanganku seolah bertanya apa yang terjadi.
"Bentar sayang," ucapku sembari melepas genggaman tangannya dan kembali lagi menuruni satu per satu anak tangga. Rei terlihat mengikutiku seperti ingin tahu apa yang sedang terjadi.
"Yah, duduk dulu aja yuk di halaman belakang. Gak enak di depan sana masih ada tamu," ajakku kepada ayah.
Kami berjalan menuju halaman belakang, begitu juga ibu dan Re yang ikut mengambil peran dalam konflik internal ini.
“Bi, tolong pastikan sudah tidak ada tamu lagi di depan ya,” perintahku kepada Bi Asri.
“Baik Non,” ujarnya yang langsung menuju ke halaman depan.
"Dia sudah memilih bukan menjadi bagian keluarga ini, sejak hamil di luar nikah tahun lalu," ketus ayah, dengan suara yang lantang bak sedang berperang.
Ayah merupakan tipe lelaki yang sangat memegang teguh prinsip harkat, martabat, dan kasta. Baginya Tania adalah aib keluarga semenjak kecelakaan tahun lalu, hamil pada saat kuliah. Hingga ayah mengecapnya sebagai pelacur. Ia dihamili oleh lelaki dengan jarak umur 30 tahun diatasnya, dan ya betul saja ia dicampakkan atas perbuatan lelaki itu. Meski hubunganku dengannya adalah saudara tiri, tapi ia tetaplah adikku, hasil dari kekhilafan ayahku dulu bersama ibunya. Namun kini, ibu Tania telah meninggal. Tidak ada lagi yang bisa Tania harapkan selain ayah kandungnya, meski sang ayah telah membuangnya tahun lalu.
"Yah, bukannya Tania juga hasil hubungan terlarang antara Ayah dan Ibunya?" Ucapku melawan pria yang sedang berada di hadapanku.
“Laila!! Tidak pantas kau berbicara begitu!” Teriak ibu dengan tiba-tiba.
Aku melirik ke arah ibu, ia tampak sangat marah dengan kalimat yang baru saja ku lontarkan. Meski semua itu adalah faktanya, ayah menyakiti ratuku. Namun, semenjak kepergian tante Monica, ibuku dengan lapang dada mengurus Tania. Meski pada akhirnya, kepercayaan dikhianati oleh anak remaja itu dengan berhubungan pada pria beristri.
***
“Kau masih punya masa depan yang panjang, tega sekali berselingkuh dengan suamiku,” teriak wanita paruh baya di depan rumah tiga tahun yang lalu.
“Sekarang dimana suamiku? Telponku tak pernah tersambung kepadanya, anaknya merintih merindukan sosok ayah. Lagian kau begitu muda, apa sudah tidak ada lelaki muda yang mau denganmu?” Tambah wanita paruh baya tersebut.
Aku, ibu, dan Tania tak mampu menepis satu kata pun atas amarahnya wanita tersebut yang membawa tiga orang anaknya.
“Bagaimana tanggung jawab Ibu atas perbuatan anaknya? Apa saya harus bawa kasus ini ke polisi?” Ancam wanita tersebut.
“Maaf Te. Tante bisa masuk dulu untuk kita diskusikan dengan kepala dingin. Agak kurang etis saja apabila Anda berteriak-teriak di depan pagar ini,” ucapku pelan.
“Kurang etis katamu?” Jawabnya ketus.
“Kalian pikir selingkuh dengan suami orang merupakan perbuatan yang etis? Lalu ketika saya melabrak bocah ini, kalian bilang ini gak etis?” Tambahnya dengan nada yang lebih tinggi.
Ibu mencoba menarik tanganku, seolah bermaksud diam sejenak. Sementara Tania hanya menunduk dan meneteskan air matanya. Aku melihat sekeliling rumah sudah cukup banyak tetangga kompleks yang datang melihat perkara di depan pagar ini. Beruntungnya pada saat kejadian langsung, Ayah masih berada di kantor sehingga tidak membuat suasana menjadi begitu panas.
“Sa…. sa…. Saya hamil anaknya Mas Ibnu,” ucap Tania pelan dengan wajah meringis ketakutan.
Sontak saja, tangan wanita paruh baya tadi mendarat di pipi kanannya dan cukup kencang bunyinya. Aku dan Ibu tentu sama kagetnya.
“Kurang ajar kau ******!” ketus wanita itu.
“Sudah cukup!!!!” Ucap Ibu yang tiba-tiba berteriak.
Ibu tarik tangan wanita tersebut ke dalam pagar dan aku menutup pagarnya, sebab kondisi sudah semakin tidak kondusif karena warga kian berbisik satu sama lain.
Wanita tadi sudah berada di puncak emosinya dan ia luapkan dengan menangis, tak lama ia tampak lunglai dan jatuh persis di depan pintu masuk.
“Bu, Kaak, maaf….” ucap Tania yang masih terus meringis ketakutan.
“Maaf kau bilang? Apa kau tidak merasa malu melakukan ini?” Teriakku dan tanpa sadar mengangkat tangan kanan yang hendak menghajarnya.
Ibu menepis tanganku sembari nangis terisak. Lalu ia melanjutkan langkahnya tanpa berkata-kata menuju ruang tamu. Sementara wanita paruh baya diangkat oleh Pak Karyo dan Bi Asih menuju sofa untuk diberikan pertolongan. Ketiga anaknya nangis ketakutan, dan terus memanggil mamanya.
“Kau benar-benar buat malu keluarga. Sudah Ibumu penggoda ayahku, kini kau meneruskan bakatnya untuk jadi pelacur!” Ucapku di posisi puncak amarah.
Aku merogoh saku celanaku, ku buka layarnya, dan mencari kontak Ayah.
“Yah, bisa pulang sekarang? Tania berseteru dengan perempuan yang katanya suaminya digoda oleh anakmu,” ucapku tanpa peduli pada Tania yang tengah merintih ketakutan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!