NovelToon NovelToon

Bukan Pengantin Pengganti

Chapter 01

"Kak, pinjam sepatu ya." Izin Maheera pada Kinara, kakak perempuannya.

"Pakai aja, pilih yang kamu suka." Ucap Kinara yang sangat baik pada adik perempuannya ini.

"Yang putih ini aja kak, nanti sore setelah aku pulang kerja, aku kembalikan. Sepatu ku basah kehujanan tadi malam."

"Iya... iya... kakak ngerti kok!" Jawab Kinara.

"Kamu itu, bisanya cuma nyusahin kakak kamu aja. Kalau mau punya barang bagus, ya beli sendiri. Jangan minjam terus," ucap Diana yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Kinara bahkan ia langsung melepas paksa sepatu yang di kenakan Maheera.

"Mah, kenapa sih? Biarin aja di pakai sama Heera."

"Nara, kamu jangan selalu memanjakan dia. Heera ini kalau di biarkan selalu melonjak." Ucap Diana dengan nada tinggi.

"Kenapa sih mah? Aku ini anak mamah juga, tapi mamah selalu memarahi aku." Sahut Heera yang kesal. Sudah biasa gadis dua puluh empat tahun ini di perlakukan berbeda di rumahnya.

Diana tidak menjawab, wanita yang berusia empat puluh tujuh tahun ini langsung keluar dari kamar anak kesayangannya.

"Kak, gak jadi pinjam sepatunya." Ucap Heera sedih. Gadis ini langsung keluar dari kamar kakaknya bahkan tidak menghiraukan panggilan Kinara.

Heera menarik nafas dalam-dalam, memberi ruang pada dadanya yang terasa sesak. Sudah lelah rasanya ia melakukan protes, mempertanyakan kepada kedua orang tuanya, kenapa Heera selalu di perlakukan berbeda?

Jangankan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, untuk kebutuhan pribadi saja Heera harus bekerja sendiri. Bahkan gadis ini tidak mau menerima uang pemberian dari Kinara karena takut di marahi mamah mereka.

Satu-satunya sepatu basah tadi malam, terpaksa di kenakan Heraa karena tuntutan pekerjaan.

"Udah, pergi sana cepat. Bosan aku lihat kamu di rumah," ucap Diana yang selalu bersikap seperti ini pada Heera.

Heera hanya diam, tak mungkin ia menyahut karena sekarang ada Shaka yang sedang menunggu Kinara. Shaka adalah calon suami Kinara, tiga minggu lagi mereka akan melangsungkan pertunangan.

"Ra.... !!" Panggil Kinara menghentikan langkah Heera.

"Iya kak, ada apa?" Tanya Heera yang sebenarnya masih merasa sesak di dalam dada.

"Pakai sepatu kakak, gak apa-apa kok!"

Heera menggelengkan kepalanya kemudian pergi begitu saja. Shaka hanya diam, pria ini tahu betul bagaimana hubungan Maheera dengan Diana yang tidak pernah akur.

"Mah, jangan seperti itu lah sama Heera, kasihan dia. Heera juga anak mamah," ucap Kinara menasehati mamahnya.

"Udahlah, biar dia mandiri dan gak lembek. Udah, berangkat sana, nanti kalian terlambat!"

Kinara menghela nafas pelan kemudian pamit pergi ke kantor. Jika Kinara mengenyam pendidikan sampai strata satu, Maheera hanya sampai sekolah menengah atas itu saja tidak lulus karena kedua orang tuanya tidak mau membiayai sekolahnya.

Setengah hari mengenakan sepatu basah membuat kedua kaki Maheera kembang bahkan pucat. Gadis ini hanya bisa menahan air mata yang hampir jatuh.

"Sabar ya kaki, gajian nanti kita beli sepatu." Ucap Maheera yang menguatkan diri.

Bekerja sebagai pelayan restoran bahkan masuk ke restoran ini saja harus di bantu oleh Shaka yang merasa kasihan dengan keadaan Maheera.

Siang malam Maheera memilih lembur untuk sekedar menambah uang jajan. Pukul sepuluh malam gadis ini baru pulang.

"Heera... !!" Panggil pak Banu, papah Heera.

"Pah, kok belum tidur. Kenapa?" Tanya Heera.

"Kenapa pulang malam nak?" Tanya Pak Banu.

"Lembur pah," jawab Heera singkat.

"Jangan suka ambil lembur, nanti kamu sakit."

"Heera pengen beli sepatu pah. Sepatu Heera cuma satu yang bagus. Papah tahu sendiri gaji bulan lalu di ambil sama mamah."

Pak Banu menghela nafas pelan, entah kenapa pria berusia empat puluh sembilan tahun ini selalu kalah dan tak berani melawan pada istrinya.

"Besok temui papah di toko sepatu dekat restoran, papah belikan buat kamu."

"Gak usah pah, nanti kalau mamah tahu pasti marah. Heera gak mau papah bertengkar lagi sama mamah," tolak Heera kemudian masuk ke dalam rumah dengan meneteskan air mata.

Terakhir kali sang papah hanya memberinya kado ulang tahun sebuah jam tangan saja membuat kedua orang taunya bertengkar hebat.

Keesokan paginya, Heera yang masih mengantuk di kejutkan dengan gedoran pintu kamarnya. Bergegas Heera membuka pintu kamarnya yang sangat sederhana, berbeda dari kamar Kinara yang cukup mewah.

"Kamu itu di bilangin berapa kali kalau pakaian mu itu di cuci sendiri. Dasar pemalas, tidak berguna!" Ucap Diana sangat kasar.

"Mah, pagi-pagi sudah ribut. Ada apa sih?" Tanya pak Banu.

"Anak kamu nih pah, pemalas. Nyuci pakaian sendiri aja gak mau, kapan mandirinya kalau seperti ini?"

Kemandirian yang seperti apa yang di inginkan sang mamah? Heera sendiri bingung. Di saat sang kakak memiliki pendidikan yang lumayan tinggi dan kehidupan yang nyaris sempurna, Heera berjuang sendiri untuk hidupnya.

"Maaf mah, Heera akan nyuci sendiri." Ucap Heera pelan.

"Mah, hanya dua lembar pakaian. Biarkan saja lah," kata Kinara yang membela.

"Kalian jangan membela Heera terus, dia harus mandiri dan gak boleh manja. Hidup ini keras, biarkan dia belajar mandiri." Ucap Diana.

Diana menarik suaminya untuk pergi dari kamar Heera, wanita ini tidak mau jika pak Banu membela Heera.

"Ra, kamu gak kenapa-kenapa?" Tanya Kinara yang sebenarnya ia paham betul bagaimana sakitnya perasaan Heera.

Heera tak menjawab, gadis ini langsung menutup pintu kamar dan menangis di dalam kamar mandi. Seperti biasa, di bawah guyuran air dingin pagi ini Heera meluapkan air mata kesedihannya sebelum berangkat bekerja.

"Pagi mas Shaka," sapa Heera saat hendak keluar dari rumah. Karena memang hampir setiap hari Shaka menjemput Kinara untuk berangkat bekerja bersama.

"Heh, kamu itu ganjen. Shaka ini calon suami kakak mu, bisa-bisanya menggoda seperti itu." Ucap Diana dengan kasarnya.

"Tante, Heera hanya menyapa biasa saja." Sahut Shaka yang membela Heera.

Sekali lagi, Heera tak menjawab, gadis ini langsung mengambil sepedanya kemudian pergi. Kinara yang sudah biasa dengan kejadian seperti ini sudah lelah menasehati mamahnya. Kinara dan Shaka pun berangkat ke kantor.

"Mamah kamu itu loh, kenapa sih kalau sama Heera kejam banget?" Tanya Shaka untuk kesekian kalinya.

"Aku juga gak tahu, sejak kecil Maheera selalu di perlakukan kasar seperti itu. Alasannya biar mandiri, gak masuk di akal."

Shaka diam, sedikit merasa aneh pada keluarga calon istrinya ini. Tanpa sengaja Shaka melihat Heera yang sedang duduk di bawah pohon sambil menangis, Shaka tidak memberitahu Kinara karena takut jika calon istrinya ini akan khawatir.

Kinara sendiri bekerja di perusahaan milik papahnya sedangkan Shaka bekerja di perusahaan miliknya sendiri. Meskipun begitu, pria ini selalu setia mengantar jemput Kinara, perempuan yang sudah bersamanya selama lima tahun terakhir.

Chapter 02

"Untuk apa kak? " Tanya Maheera saat Kinara memberinya beberapa lembar uang pecahan seratus ribu.

"Ambil aja buat kamu, beli baju dan sepatu baru." Kata Kinara.

"Gak usah kak, nanti kalau mamah tahu pasti dia marah besar." Tolak Heera.

"Jangan dengar apa kata mamah, kakak juga gak paham lagi dengan sikap mamah yang seperti itu."

Terus di desak, mau tidak mau Heera mengambil uang pemberian dari kakaknya. Gadis ini pun kembali bekerja begitu juga dengan Kinara yang kembali ke kantor.

Di rumah, hanya Kinara yang selalu membela Heera dari amukan mamahnya.

Singkat cerita, pulanglah Heera sambil menenteng bungkusan plastik yang berisi dua lembar pakaian baru dan dua pasangan sepatu.

Kebetulan sekali pada saat itu ibu Diana melihat bungkusan yang di bawa Heera.

"Heh, berhenti kamu!" Diana menahan langkah Heraa saat gadis ini hendak menuju kamarnya.

Tanpa menjawab pertanyaan dari Heera, ibu Diana langsung merampas apa yang ada di tangan Heera.

"Punya uang dari mana kamu bisa beli benda seperti ini?" Tanya Diana menyelidik. "Kamu mencuri ya?" Tuduh Diana dengan mata melotot.

"Gak kok mah, aku beli pakai uang sendiri." Jawab Heera membela diri.

"Jangan bohong kamu, kamu itu gajian nanti tanggal tiga puluh. Katakan, uang siapa yang sudah kamu curi?"

Tanpa banyak basa basi, Diana mengambil sapu lalu memukul Heera. Bahkan penjelasan dari Heera pun tidak di dengarnya. Diana terus memukul anaknya dengan membabi buta.

"Mamah hentikan...!!" Pak Banu yang baru saja pulang langsung masuk ke dalam rumah dan memeluk anaknya.

"Anak mu ini sudah menjadi pencuri," ucap Diana geram.

"Heera gak mencuri pah. Kak Nara yang sudah memberikan uang pada Heera buat beli ini semua." Ucap Heera dengan isak tangisnya.

"Mamah.... !!" Kinara yang baru saja pulang juga syok melihat adiknya di pukuli.

"Kak, aku gak mencuri. Kakak sendiri yang memberi aku uang. Tapi, mamah menuduh ku mencuri." Ucap Heera yang masih terisak.

"Mah, tolonglah jangan pukuli Heera. Kasihan dia, tolong mah." Ucap pak Banu memohon.

"Bela aja terus anak sial ini. Lama-lama kepala kalian berdua di injak sama Heera! " Kata bu Diana yang masih keras hatinya.

Diana melempar sapu kemudian berlalu begitu saja. Kinara dan pak Banu membantu Heera berdiri, mengajak gadis itu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

"Kenapa mamah selalu bersikap kasar pada Heera, pah?" Tanya Heera tentu saja membuat pak Banu terdiam. Entah sudah ribuan kali pertanyaan ini keluar dari mulut anaknya tapi pak Banu tidak bisa menjawabnya.

"Sabar ya nak, mamah memang seperti itu." Ucap pak Banu sambil merapikan rambut anaknya.

"Mamah seperti orang sakit jiwa." Kata Kinara yang geram pada mamahnya.

Mereka pun keluar, membiarkan Heera beristirahat bahkan gadis ini pun melewatkan makan malamnya. Seumur hidupnya, Heera tidak pernah makan satu meja bersama dengan keluarganya. Entah kenapa Diana tidak mengizinkan anaknya ikut makan bersama.

Dua minggu telah berlalu, semua orang mulai sibuk mengurus acara pertunangan Shaka dan Kinara yang akan berlangsung dua hari lagi.

Betapa bahagianya Diana karena anak kesayangannya akan melepas masa lajang. Acara lamaran sederhana hanya di adakan di rumah. Heera meminta izin libur tiga hari karena ia harus membantu pekerjaan rumah sekarang.

"Heera, itu taman depan rapikan cepat. Jangan sampai ada rumput apa lagi sampah." Titah Diana.

"Iya mah!" Jawab Heera menurut padahal di rumah mereka memiliki dua orang pembantu rumah tangga.

Dengan telaten Heera membersihkan halaman rumah mereka. Sedangkan Kinara hanya duduk-duduk santai karena mamahnya tidak mengizinkan ia melakukan pekerjaan rumah dalam bentuk apa pun.

Dua hari kemudian, acara pertunangan pun berlangsung. Semua keluarga besar berkumpul sedangkan Heera hanya di tugaskan untuk melayani tamu saja. Merasa sedih, tentu saja. Di saat semua orang berkumpul tertawa dan bercanda, Heera hanya di perbolehkan berada di dapur.

"Seandainya aku menikah, pasti hidup ku akan jauh dari mamah dan aku bisa lepas dari drama rumah." Ucap Heera dalam hati yang saat ini tengah berdiri di pintu dapur melihat keramaian di luar.

Tanpa sengaja Shaka melihat raut sedih calon adik iparnya, terasa aneh memang tapi ia sendiri tidak peduli.

Setelah acara selesai pun, Heera harus membantu membersihkan rumah. Lelah sudah pasti tapi ia tak bisa protes. Melawan mamahnya percuma saja, yang ada hatinya akan sakit.

"Kak,...!"

Heera duduk di tepi ranjang Kinara. Ranjang empuk yang sangat berbeda dengan tempat tidurnya.

"Kalau kakak menikah, kakak ikut sama mas Shaka ya?"

"Iya dong. Mas Shaka suami kakak, jadi kakak harus ikut sama dia."

Heera menghela nafas panjang, rasanya ia tidak ingin di tinggal oleh kakaknya.

"Kalau kakak udah pindah, pasti mamah akan memanjakan kamu. Percaya deh sama kakak," ucap Kinara yang menenangkan adiknya.

Heera hanya diam, semua itu hanyalah sebuah angan. Belum pernah ia merasakan peluk cium hangat dari mamahnya sejak ia kecil. Entah kenapa sang mamah selalu menganggap Heera anak pembawa sial dan tak berguna.

Kembali ke rutinitas seperti biasanya, Heera yang hendak berangkat kerja melewati Shaka tanpa menyapa pria itu. Heera takut jika mamahnya akan marah jika ia menyapa calon kakak iparnya tersebut.

"Aku heran sama kamu Ra, kamu itu anak orang kaya tapi kok bisa bekerja di restoran seperti ini jadi pelayan pula." Ucap Dicky, teman kerja Heera.

"Ya gak apa-apa!" Jawab Heera bingung.

"Papah kamu punya perusahaan, kenapa gak kerja sama papah kamu aja?"

"Enakkan kerja seperti ini. Santai...!" Jawab Heera berbohong. Mana mungkin ia memberitahu tentang dirinya yang begitu menyedihkan.

Untung saja ada pengunjung datang, jadi Heera bisa bebas dari pertanyaan Dicky.

Di tempat lain, saat ini Kinara sedang menangis seorang diri sambil meremas selembar kertas di tangannya. Entah apa yang sedang di sembunyikan wanita dua puluh delapan tahun ini sampai ia terisak.

"Heera, semoga aja suatu saat kamu bisa membuat kakak bahagia." Ucap Kinara sedih.

Di usapnya air mata kemudian wanita ini memutuskan untuk kembali ke kantor.

"Kamu dari mana?" Tanya Shaka yang ternyata menunggu di ruangan Kinara.

"Oh, aku pergi menemui klien." Jawab Kinara berbohong.

"Kamu nangis, kenapa? " Tanya Shaka yang curiga karena kedua mata Kinara sembab.

"Gak Kenapa-kenapa," jawab Kinara yang terlihat aneh.

Shaka mengerutkan dahinya, pria ini curiga pada Kinara.

"Shaka, aku ingin mencari sekolah untuk Maheera, aku dia mengambil paket C. Bagaimana menurut mu?"

"Aku benar-benar bingung memahami keluarga mu. Aneh ku rasa," ucap Shaka seraya menggelengkan kepala.

Chapter 03

Hembusan angin menyapa wajah yang tak pernah tersentuh alat make up. Duduk seorang diri, menikmati angin malam yang begitu menenangkan hati.

Memori masa lalu kembali terngiang dalam benak Maheera. Setetes cairan bening mulai jatuh membasahi pipi.

"Kenapa aku selalu di perlakuan berbeda oleh mamah?" Suara Heera bergetar saat ia bertanya pada angin malam. "Papah juga tidak pernah membela ku. Apa aku ini anak pungut atau anak apa?"

Di tatapnya langit yang begitu gelap di tambah kilatan sinar yang saling bersahutan di atas langit, pertanda akan segera turun hujan.

Malam semakin larut, Maheera bergegas masuk ke dalam rumah untuk beristirahat karena besok ia harus pergi bekerja seperti biasa.

Malam telah berganti pagi, seperti biasa sebelum berangkat kerja, Heera akan pergi ke kamar kakaknya. Masuk tanpa mengetuk pintu sudah menjadi kebiasaan bagi Heera.

"Kak...!!" Panggilnya.

Heera mengerutkan dahinya saat tak melihat Kinara karena biasanya jam segini Kinara sudah duduk di meja riasnya.

"Kak, dimana?"

Heera mencari Nara, di bukanya pintu kamar mandi. Betapa terkejutnya Maheera saat melihat Kinara yang tergeletak di lantai kamar mandi dengan darah muntahan darah hitam kental.

"Kakak....!!" Jerit Maheera.

Maheera langsung keluar kamar untuk memanggil kedua orang tuanya.

"Papah... mamah.... !!" Teriak Heera membuat seisi rumah panik.

"Ada apa Heera?" Tanya pak Banu mendadak panik.

"Kakak pingsan di kamar mandi." Jawab Heera.

"Kinara.... !! " Jerit Diana yang baru saja masuk ke dalam kamar anaknya.

Pak Banu bergegas menggendong Kinara, membawanya ke rumah sakit. Semua orang sangat tegang begitu juga dengan Heera yang saat ini duduk di samping pak Banu yang sedang mengemudi sedangkan Diana memangku Kinara.

Tak berapa lama, mereka sampai di rumah sakit, Kinara langsung mendapatkan penanganan dari Dokter.

"Semua ini pasti gara-gara kamu," ucap Diana menuduh Heera. "Awas aja kalau sampai Kinara kenapa-kenapa!" Imbuhnya.

"Heera gak tahu apa yang sudah terjadi sama kak Nara. Tiba-tiba aja kak Nara sudah pingsan di kamar mandi."

Geram mendengar ucapan Heera, ibu Diana langsung menjambak rambut Heera. Kesakitan mana lagi yang belum di rasakan Heera? Hanya saja gadis ini diam memendam seorang diri.

"Mah, bisa gak diam?" Sergah pak Banu.

Terdiam, Diana hanya bisa diam sambil menunggu anaknya dengan perasaan harap-harap cemas.

Satu dua jam sampai tiga jam barulah Dokter keluar. Pak Banu dan ibu Diana bergegas pergi ke ruang Dokter untuk membicarakan sakit yang di alami Kinara sekarang.

"Maaf Pak, bu. Dengan sangat berat hati saya menyampaikan jika anak bapak dan ibu menderita kanker darah stadium akhir." Ucap Dokter memberitahu.

Bagai di sambar petir di pagi buta, ibu Diana nyaris tak sadarkan diri saat mendapati kenyataan anak yang menderita kanker darah stadium akhir.

"Dokter, semua ini bohong kan?" Diana yang tidak percaya bertanya dengan suara bergetar.

"Dok, apa anak kami bisa sembuh?" Pak Banu bertanya dengan penuh harap.

"Berdoa yang terbaik pak, mengingat kanker darah ini sudah bersarang cukup lama di tubuh Kinara."

"Pah...!!" Diana menangis dalam pelukan suaminya.

Keluar dari ruangan Dokter, Diana tak henti-hentinya menangisi nasib sang anak kesayangan yang begitu menderita.

"Om, tante. Bagaimana keadaan Kinara sekarang?" Tanya Shaka yang khawatir.

Pria ini sangat dingin, mendapati kabar jika sang calon istri masuk rumah sakit, raut wajahnya bertambah dua kali lipat dinginnya.

"Kinara menderita kanker darah stadium akhir," ucap pak Banu bagaimana tamparan keras untuk Shaka.

Shaka terduduk lemas tak percaya jika wanita yang ia cinta harus menderita kesakitan seperti ini.

Tiba-tiba saja, Diana kembali menjambak rambut Heera bahkan menamparnya. Di luapkan rasa sesak didada dengan menghajar Heera.

"Anak pembawa sial, tidak berguna. Lihat sekarang, sebab kamu Kinara harus menderita sekarang." Ucap Diana yang terus memukul Heera dengan sekuat tenaga.

Pak Banu berusaha melepaskan, menarik istrinya agar tidak memukul Heera.

"Sakitnya Kinara tidak ada hubungannya dengan Heera. Kenapa mamah selalu menyalahkan dia?"

"Dia anak pembawa sial, anak terkutuk dan anak jahanam!" Jawab Diana yang terus melontarkan kata-kata Kasar kepada Heera.

Di lantai yang kotor, Heera terduduk lemas dengan isak tangisnya. Shaka hanya diam atas apa yang terjadi dihadapannya saat ini.

"Pergi kamu...!!" Usir Diana.

"Heera, kamu pergi dulu nak." Pak Banu menimpali.

Mau tidak mau Heera pergi dari sana. Duduk di taman rumah sakit, Heera hanya bisa menangis tanpa bersuara.

Semesta begitu sakit mempermainkan hidupnya, tak ada yang sayang pada Heera. Orang tua yang seharusnya menjadi sumber kasih sayang namun kenyataannya sangat membenci dirinya.

"Tuhan, hatiku sakit." Ucap Heera dengan menekan suaranya.

Di sisi lain, saat ini pak Banu, Diana dan Shaka sedang menunggu Kinara sadar. Putaran waktu menit demi menit pada akhirnya Kinara siuman juga.

"Nara, kau sudah sadar sayang." Ucap Shaka senang.

Kinara hanya diam, pucat kelopak matanya membuka tutup seperti mencari kekuatan untuk melihat sekarang.

"Pasti kalian semua sudah tahu ya?" Lirih Kinara.

"Nara sayang, kenapa harus kamu yang sakit seperti ini nak? Kenapa tidak Heera saja?"

"Mamah....!!" Sekali lagi pak Banu membentak istrinya.

"Kenapa mamah bicara seperti itu?" Tanya Nara dengan suara pelan. "Maheera adikku, kenapa mamah selalu membedakan dia?"

Tak bisa menjawab, Diana hanya diam saja.

"Nara, kenapa kau tidak pernah bilang jika kau sakit hem?" Tanya Shaka begitu lembut.

"Aku ingin bicara denganmu!" Pinta Nara.

"Bicaralah, apa yang kau minta sayang?" Ujar Shaka.

Kinara melirik kedua orang taunya.

"Bisakah mamah dan papah keluar dulu?" Pinta Kinara.

Pak Banu menarik tangan istrinya, mengajaknya keluar meskipun Diana yang keras kepala tidak ingin keluar.

"Mamah, tolonglah!" Pinta Kinara yang terlihat memohon dari kedua matanya.

Mau tidak mau Diana ikut keluar bersama suaminya.

"Aku minta tolong, tolong carikan Heera sekarang." Pinta Kinara pada Shaka.

"Kenapa? apa hubungannya dengan dia?" Tanya Shaka heran.

"Aku ingin melihat adikku, jika aku meminta pada mamah sudah pasti dia akan marah."

"Tunggulah sebentar, aku akan mencari adikmu!" Jawab Shaka kemudian pria ini bergegas pergi.

"Shaka, mau kemana kamu?" Tanya Diana penasaran.

"Kinara ingin melihat Heera, aku harus mencarinya sebentar!" Jawab Shaka.

"Sudahlah, jangan di turuti. Anak pembawa sial tidak pantas ada di sekeliling kita." Ucap Diana begitu sombongnya.

"Mah, bisa gak diam?" Sekali lagi pak Banu menyergah istrinya. "Shaka, pergilah!"

Shaka pun pergi, sedangkan Diana hanya bisa membuang nafasnya kasar.

Shaka mencari Heera di taman karena sudah pasti gadis itu ada di sana. Dan benar saja, saat ini Heera sedang duduk di kursi yang paling pojok di taman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!