Huuhh! Galuh mengembuskan napas sembari mengusap peluh yang membasahi kening dan lehernya, duduk berselonjor kaki di lantai kamar beralas keramik yang baru selesai dibersihkan.
Hanya tinggal memasang seprai dan kain korden, ruangan itu siap untuk ditempati. Sementara perutnya mulai demo minta diisi, karena sejak pagi ia hanya sarapan sebungkus roti dan air putih saja.
Jarum jam di dinding menunjuk pada angka 11, ia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaannya karena jam dua siang nanti ia harus pergi bekerja.
Galuh memutuskan untuk pindah dan mencari rumah kontrakan baru yang lebih besar dari rumah kos lamanya agar bisa menampung keluarganya yang akan datang dari kampung esok hari.
Tidak terasa sudah hampir tiga jam ia berada di sana. Dan sudah lebih dari tiga hari ini, Galuh harus mondar-mandir untuk memindahkan barang-barangnya yang masih tersisa ke rumah kontrakan barunya.
Beruntung ia memiliki tetangga sopir toko mebel yang setiap hari membawa pulang mobil dan bersedia membantunya, sehingga dua hari sebelumnya barang-barang berat miliknya sudah selesai dipindahkan semua.
Kini ia bisa bebas tinggal di rumah kontrakannya sendiri, melakukan semua hal sesuka hati tanpa takut ada yang terganggu karenanya.
Tok tok ...
Terdengar suara ketukan di pintu diiringi dengan ucapan salam. Galuh mengangkat bokongnya, beranjak berdiri seraya membalas ucapan salam lalu bergegas membuka pintu.
Di teras rumah tampak seorang remaja putri masih memakai seragam putih biru tersenyum malu-malu padanya dengan tangan membawa nampan berisi makanan.
“Dari ibu di rumah,” ucapnya sembari menyerahkan nampan di tangannya pada Galuh.
“Alhamdulillah, dapat rezeki. Memang ada acara apa kok bagi-bagi berkat?”
“Ada syukuran kecil-kecilan buat abang Revan udah diterima kerja di perusahaan asing.”
“Weh, keren dong. Gak gampang loh bisa keterima kerja di sana,” puji Galuh tulus. “Ayo masuk dulu. Kamu bukannya anak ibu Aci, yang punya rumah kontrakan ini kan?” tanya Galuh memastikan, setelah menaruh nampan di atas meja bulat yang ada di tengah ruangan.
“Iya, Kak. Namaku Wendy,” ujarnya memperkenalkan diri, lalu mengulurkan tangannya.
“Aku Galuh,” balas Galuh menjabat tangan Wendy. “Bentar ya, Aku salin dulu makanannya. Ehm, buru-buru gak nih biar Aku cuci sekalian piringnya?”
“Gak usah dicuci, Kak. Soalnya masih mau keliling kasih buat tetangga yang lain.”
“Ya udah, kalau gitu tunggu sebentar ya.”
Galuh segera memindahkan makanan ke wadah lain, lalu menyerahkan nampan yang sudah kosong kembali ke tangan Wendy. “Coklat buat Kamu, sampaikan juga sama Ibu terima kasih banyak. Moga berkah, lancar rezekinya.”
“Amin, makasih Kak.” Wendy tersenyum lebar seraya mengacungkan coklat batangan pemberian Galuh padanya. “Aku pamit ya, Kak. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Galuh menutup pintu dan berbalik menuju dapur rumah, tersenyum lebar melihat makanan di atas meja lalu kembali mengucap syukur. “Alhamdulillah, rezeki hari pertama pindah rumah! Bismillah.” Galuh membasuh tangan dan mulai menyantap makanannya.
Satu jam kemudian Galuh sudah selesai membereskan rumah barunya, tersenyum puas menatap ruangan yang rapi dan bersih tentunya.
Sekarang waktunya untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat kerja. Masih ada makanan yang tersisa, Galuh menaruhnya dalam kotak makan untuk bekalnya nanti malam.
Tiin tiin ...
Galuh memundurkan tubuhnya dan menepi ke pinggir jalan ketika sebuah mobil berhenti tiba-tiba tepat di depannya. Dari balik kaca jendela mobil yang terbuka dilihatnya Wendy melambaikan tangan ke arahnya. “Kak Galuh! Kakak mau ke mana?” seru Wendy lantang memanggil namanya.
“Wendy!” Galuh berjalan cepat menghampiri.
“Rapi banget, Kakak mau kerja?”
“Iya nih, shif malam. Kalian mau ke mana?”
“Kami mau ambil makanan pesanan ibu buat acara nanti malam di daerah Rapak Indah, Kakak bareng kami aja yuk, sekalian biar dianter bang Revan. Kan ngelewatin tempat kerja Kakak, mau ya Kak?” ajak Wendy.
“Dek, Abang mesti buru-buru mau jemput Mitha juga di rumahnya, nih dari tadi telepon terus orangnya.” Lelaki di samping Wendy menyela ucapannya tanpa melihat pada Galuh yang berdiri setengah menundukkan bahunya di depan mobilnya.
“Mendung, Bang Revan. Coba lihat langit, gelap gitu. Kasihan kan Kak Galuh harus jalan jauh nunggu angkot di depan sana, mending bareng kita. Searah kan!”
“Sstt!” ucap Revan memberi tanda untuk diam pada adiknya itu. “Ya, sayang. Sepuluh menit lagi Aku nyampe rumah Kamu, ini lagi di jalan. Sabar ya,” ucapnya terdengar lembut, lalu tak lama kemudian ia menutup teleponnya dan wajah itu kembali datar menatap ke arah jalanan di depannya.
Galuh hanya diam memperhatikan perdebatan dua orang kakak beradik di depannya itu, ia memutuskan tidak mengikuti ajakan Wendy untuk naik ke dalam mobilnya.
“Ya udah, buruan naik. Keburu hujan nanti!” suara Revan terdengar lagi. Kali ini ia menatap langit yang terlihat menghitam dan membenarkan ucapan adiknya itu, lalu beralih menatap Galuh yang masih berdiri diam di tempatnya. “Ayo, kok bengong?”
“Ayo, Kak. Bareng kami aja.”
Galuh tersenyum tipis, “Terima kasih, tapi lebih baik Aku naik angkot saja. Kebetulan ada teman satu kerjaan lagi nunggu juga di sana, bye!”
Galuh berjalan cepat meninggalkan keduanya, sedikit kesal dengan sikap Revan padanya. “Mau ngajak bareng saja pakai acara debat segala, niat gak sih!” rutuk Galuh dalam hati.
Di dalam mobil, Wendy melancarkan aksi protes pada Revan. “Abang itu gimana sih, Adek kan jadi malu sama kak Galuh. Sudah maksa ikut bareng kita, eh malah gak jadi.”
“Lah, kok jadi nyalahin Abang sih. Dia yang nolak, kok.”
“Emang Abang yang salah! Dah lah, lanjut jalan. Entar si ayang ngambek lagi kelamaan dijemputnya!” cibir Wendy, sebal dengan sikap abangnya yang bucin parah sama pacarnya.
Revan kembali melajukan mobilnya, dari balik spion mobilnya ia melihat Galuh berjalan cepat di sisi jalan raya. Sempat ingin berhenti dan menawarkan tumpangan lagi, tapi terpaksa ditahannya karena melihat wajah masam adiknya yang duduk di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Maaf, lain kali gak bakal gitu lagi. Janji!” rayunya memasang senyum semanis mungkin.
“Telat!” jawab Wendy ketus.
“Astaga!” Revan menggelengkan kepala sambil menarik napas dalam seraya mengusap dada.
Sementara Galuh, berhenti sejenak untuk menunggu angkot lewat. Saat tiba di depannya, angkot itu telah penuh penumpang yang kebanyakan adalah pelajar yang baru pulang sekolah.
“Ayo Neng, masih muat kok. Hei, itu yang duduk di belakang bisa geser dikit biar si Eneng masuk!” perintah sopir angkot.
Galuh celingukan, perutnya tiba-tiba mual. Bau asap rokok dari salah satu penumpang menerpa wajahnya. Galuh langsung mundur selangkah, “Gak jadi, biar Saya naik yang lain aja.”
“Yaah, si Eneng!”
“Ayo jalan, Pir. Penuh gini masih aja dibilang muat, mau ditaruh di mana. Di atap?” protes penumpang lainnya, membuat sang sopir hanya bisa nyengir.
“Oke lanjut!”
Tik tik ...
Galuh menengadah, seketika matanya menyipit saat tetes hujan mengenai wajahnya.
“Yaah, hujan!”
Hanya berselang dua menit, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Galuh berlari kecil menuju halte yang hanya berjarak beberapa meter saja darinya itu untuk berteduh, sembari menutup kepalanya dengan tas ransel yang dibawanya. Rambutnya yang panjang berombak basah kehujanan, dengan gusar disibaknya agar tak menutupi pandangan matanya.
Byurr!
Galuh memalingkan wajahnya cepat, tidak sempat menghindar lagi saat sebuah mobil berwarna hitam melintasi genangan air di dekatnya dan memercik tepat mengenai pakaian yang dikenakannya.
“Asyemm!” umpat Galuh kesal sambil mengepalkan tangan kuat.
Seorang laki-laki memakai jaket hoody dengan kacamata hitam dan masker di wajahnya turun menghampirinya. “Maaf, Aku gak sengaja. Pakaian Kamu jadi basah semua, di mana rumahmu. Biar Aku antar ke sana,” ucap lelaki itu tanpa melepas masker di wajahnya.
“Gak perlu, Aku bisa pulang sendiri. Taksi!” tolak Galuh dan langsung mengangkat tangannya saat melihat sebuah angkot lewat di depannya dan langsung masuk ke dalamnya meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri diam di tempatnya.
“Woi Za, ayo balik. Kayak bocah aja lo pakai acara hujan-hujanan segala!” suara lain memanggilnya dari dalam mobil, lelaki itu tersadar dan berlari menuju mobilnya.
Di dalam angkot, Galuh sudah tidak peduli harus berdesakan dengan penumpang lain. Pikirannya saat ini bagaimana mencari cara agar ia bisa cepat sampai di tempat kerjanya dan terhindar dari kemarahan pak Susilo atasannya. Membayangkannya saja membuat tubuhnya lemas seketika.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Suara-suara berdengung di sekeliling Galuh, tapi telinganya seolah tersumbat. Ia berulang kali menggesekkan kakinya yang terasa beku, sepatunya yang basah sudah sejak tadi dilepasnya. Sementara ujung jarinya turun naik menyusut roknya yang basah.
“Maaf,” ucap Galuh ketika penumpang di sampingnya yang mengenakan masker di wajahnya mengerutkan kening dan menarik kakinya cepat saat terkena tetesan air dari rok basah yang dikenakannya. Ia kemudian bergeser ke samping, merapat pada dinding angkot dan menatap ke luar jendela.
Hujan sudah mulai reda, hanya tersisa gerimis kecil. Diliriknya arloji di tangannya, Galuh mengesah kesal. Ia sudah hampir terlambat mengikuti pengarahan seperti biasa sebelum mulai bekerja. Tak terasa, Galuh bergidik membayangkan wajah sangar pak Susilo atasannya saat memarahi anak buahnya yang datang terlambat.
Kumis tebal lelaki itu menutupi bibir atasnya. Bila bicara yang terlihat hanya bawah bibir yang bergerak, dan menjadi hitam pekat setiap selesai minum kopi. Tanpa sadar Kiara terkikik geli seraya menutup wajahnya setiap kali mengingat tentang yang satu itu.
“Stop depan, Pir!” terdengar suara pria di sampingnya berkata lantang pada sopir angkot di depan mereka.
Angkot yang dinaikinya itu pun menepi. Sebelum turun penumpang lelaki di samping Galuh itu membuka maskernya.
Ting! Sekelebat cahaya menerpa barisan gigi lelaki itu. Galuh hampir tersedak salivanya ketika bertatapan dengannya. Sontak Galuh memalingkan muka cepat, dan tangannya bergerak menutup mulutnya.
“Neng! Jangan menangis, karena hal itu hanya akan membuat wajah cantikmu terlihat menyedihkan. Hapus air matamu, percayalah ini bukan akhir dari segalanya. Jika hari ini gagal, masih ada hari esok. Tetap semangat!”
“Hah!” Galuh menurunkan tangannya, menatap tak mengerti. Apa suaranya terdengar seperti orang sedang menangis tadi? Galuh berdeham seraya menyentuh lehernya. Ia tidak menyadari kalau riasan wajahnya telah luntur.
Lelaki itu turun dari angkot dengan payung mengembang di tangan, sejenak menoleh pada Galuh lalu tersenyum mengepalkan tangannya. “Semangat!” ucapnya tanpa suara, lalu memakai maskernya lagi.
Galuh melengos, lega tak lagi melihat sinar yang keluar dari mulut laki-laki itu saat bicara. Angkot kembali melaju dan berhenti di depan sebuah bangunan besar tingkat dua yang berada persis di samping gerbang masuk mall tempatnya bekerja.
Galuh merapikan pakaiannya dan kembali memakai sepatunya, melihat sejenak riasan wajahnya pada kaca spion yang ada di atas kepala sopir. Astaga!
Galuh berlari cepat masuk melalui pintu samping yang paling dekat dengan tangga eskalator menuju lantai dua tempatnya bekerja. Sesampainya di sana, terburu-buru ia menuju pintu khusus yang hanya diperuntukkan bagi para karyawan mall, bergegas membuka lokernya dan mengambil pakaian kerjanya yang tersimpan di dalam sana.
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” keluh Galuh tersandar lemas di belakang pintu loker, menyadari pakaian dalam yang dikenakannya basah. Pasti tidak nyaman bergerak dengan leluasa kalau seperti ini keadaannya, sementara ia harus selalu berhadapan dengan para pelanggan yang datang berbelanja di konternya.
“Mudah saja, Kamu hanya tinggal menggantinya dengan yang baru, setelah itu memakainya. Beres kan!” Luna sahabatnya tiba-tiba saja muncul dari balik tirai yang tertutup, menyembulkan wajahnya dengan mata menyipit menatap ke arahnya.
“Astaga Lun, kira-kira kalau ngagetin orang. Kalau Aku jantungan terus pingsan di sini, gimana?”
“Mudah saja, tinggal hubungi sekuriti terus bawa ke rumah sakit. Beres kan!”
“Au ah, bicara sama Kamu gak ada menangnya!”
“Gak usah panik, si kumis tebal sedang ada urusan di luar dan tidak datang malam ini. Jadi kita bisa bebas bekerja tanpa perlu berpura-pura bersikap manis di depannya,” bisik Luna di telinga Galuh.
“Syukurlah, Aku buru-buru sampai ke sini. Masa bodoh gak mikirin orang di luar sana pada empet nahan ketawa lihat tampilan Aku kayak gini.”
“Memang pesona mister Susilo bikin wanita jatuh bangun dibuatnya,” lanjut Luna membuat Galuh mencebik seraya memutar bola matanya. “Buktinya sekarang, Kamu harus jatuh bangun sampai ke tempat kerja supaya bisa mendengar lagu cinta dari mister Susilo.”
“Ngomong apaan, sih! Pesona apaan, sangar iya.”
“Hahaha.” Luna tertawa lepas.
“Puas lo ya ketawa!”
Pintu kamar ganti kembali terbuka, mengalihkan perhatian keduanya. Meldy sang primadona mall muncul dengan gaya jalan ala peragawati ternama. “Yaah, tambah satu lagi masalah!” keluh Galuh melihatnya.
Luna menahan senyum mendengarnya ucapan Galuh, ia menarik lengan Meldy agar mendekat padanya. “Mel, apa Kamu melihat sesuatu yang berbeda dari sohib kita yang satu ini?”
Meldy menatap Galuh saksama, dari atas hingga ujung kaki. Setengah mati ia berusaha menahan diri untuk tidak tertawa dan berpura-pura memegang perutnya. “Aduh, keram perutku!”
“Udah, bantuin napa. Jangan pada senyam-senyum gak jelas gitu,” ucap Galuh dengan tatapan memelas.
Seperti yang diperkirakan Galuh, ia akan jadi bahan tertawaan kedua sahabatnya itu kali ini. Sebelah alis Meldy terangkat saat ia melihat Galuh, dan Galuh menyadari sahabatnya itu sedang berusaha keras menahan tawanya.
Ia dapat membayangkan penampilannya saat itu, baju basah kuyup, rambut lepek, maskaranya yang luntur dan menodai pipinya. “Sudahlah, ayo katakan saja. Aku siap mendengar komentar pedas kalian tentang penampilanku kali ini.”
“Aku ikut prihatin melihat penampilanmu hari ini, ternyata hujan bisa membuat seorang Galuh Nanda kacau!” Tawa keduanya pecah seketika, kamar ganti yang biasanya sepi kini ramai dengan gelak tawa. Mau tidak mau Galuh ikutan tertawa, dan Luna dengan sigap membantu membersihkan riasan di wajahnya yang berantakan.
“Kalian tidak tahu saja, Aku bertemu dengan pria menyebalkan di luar sana dan harus berdesakan dengan banyak orang di dalam angkot.” Galuh mengadu pada sahabatnya.
“Cakep gak orangnya, kali aja bisa jadi gebetan baru Aku.” Meldy mengedip-ngedipkan matanya.
“Dih, pacar orang tau!” sahut Galuh cepat.
“Lah, ngapain diceritain ke kita. Kalau itu mah skip aja, gak penting!” balas Meldy.
Galuh meringis, “Dah lah, mumpung masih ada waktu sebelum ganti shif. Otw cari underwear dulu tempat Cika, kali aja ada yang diskonan. Mayan ngirit uang belanja, bye!”
Galuh bergegas keluar, langkahnya terhenti saat mendengar teriakan Luna di belakangnya.
“Hei, rok Kamu basah itu Luh. Ish ngecap gitu, kelihatan banget. Ganti napa?” tegur Luna.
“Luh, pakai punyaku aja. Aku bawa serep, ada dua. Tuh kalau mau di loker,” timpal Wendy.
“Dih, bekas pakai dong. Gak! Mending beli baru,” sahut Galuh.
“Masih orisinil, Luh. Beli dua gratis satu,” timpal Luna yang langsung mendapat pukulan Meldy di lengannya.
“Aduh!”
“Gak usah dijelasin juga, kali!”
Luna nyengir, “Ya kan belinya sama Aku, kenapa Galuh doang yang ditawarin?”
“Memang segitiga lo basah, kehujanan kayak Galuh?” balas Meldy.
Luna mengusap tengkuknya, “Ya, enggak sih.”
“Nah, itu tau. Napa pakai nanya lagi?” Meldy menyentil kening Luna, dan pergi melenggang begitu saja meninggalkan Luna yang manyun sambil memegangi keningnya.
“Ish! Mel, tungguin!”
“Buruan!”
Keduanya lalu menyusul Galuh yang tengah memilih barang di dalam keranjang besar. Setelah mendapatkan barang yang diinginkannya Galuh berteriak memanggil Cika.
Suasana di tempat itu tidak terlalu ramai karena sudah hampir memasuki jam pergantian shif kerja malam. Hanya ada beberapa pelanggan yang sedang memilih beberapa barang yang berada di rak gantung.
“Cik, Aku ambil yang model renda. Pakai nota gak, nih. Atau langsung kasir ... Aow!” Galuh balik badan sambil mengacungkan segitiga di tangannya, dan langsung mengaduh kesakitan saat keningnya menyentuh sesuatu yang liat di depannya.
Benda di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai, dan saat ingin menyelamatkan barang miliknya sebuah tangan telah terlebih dahulu mengambilnya.
“Hem, suka yang model renda rupanya.” Suara bergumam memasuki pendengarannya.
Blush!
Galuh mengangkat wajahnya yang seketika berubah merah padam. Dengan gerakan cepat seraya menahan malu, ia menyambar cepat segitiga renda warna biru tua dari tangan lelaki di depannya. Berjalan ke meja kasir dan segera berlalu dari sana diiringi tawa renyah lelaki di belakangnya.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Bagi Galuh, tak masalah jika pakaiannya basah kuyup karena kehujanan. Toh ia masih punya baju ganti di lokernya. Ia juga mengerti tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri ketika berada di dalam angkot, rambut panjangnya bau asap rokok penumpang lainnya. Ia juga tidak mengeluh ketika kalah cepat dengan calon penumpang lain, meski sama-sama berdiri menunggu.
Tapi semua itu terjadi dalam satu hari ini, Galuh mengesah pelan. Sungguh, tak bisakah semesta memberinya jeda?
Ditambah lagi kejadian barusan, ia harus menahan malu karena benda pribadi pilihannya berada di tangan seorang pria asing.
Galuh merasa lantai yang dipijaknya saat itu ditarik dari bawah tubuhnya, ketika ia menatap wajah lelaki di hadapannya itu. Sorot matanya seperti sedang menertawakan dirinya dan bibir tipis itu tak berhenti tersenyum.
Galuh mencondongkan tubuh ke belakang, dengan sebelah kaki menekuk di lantai. Dengan gerakan cepat ia menyambar benda segitiga miliknya dari tangan laki-laki di hadapannya itu.
“Lancang!” Galuh mendelik marah, bergegas berdiri dan menyembunyikan benda miliknya itu di balik punggungnya.
Dari balik dinding ruangan yang tak terlihat mata Galuh, Luna dan Meldy terus memperhatikan ketegangan yang terjadi di depannya. Luna bahkan tak dapat menahan tawanya, melihat Galuh yang sibuk menyembunyikan segitiga miliknya membuat Meldy bergerak cepat menutup mulut sahabatnya itu dengan tangannya.
“Ssttt, ketawa lo bisa direm gak. Kalau begini caranya, kita bakal ketahuan sama Galuh!”
“Maaf, tapi beneran Aku gak tahan. Sumpah, keram perutku Mel. Bisa-bisanya mereka berdebat soal begituan,” sahut Luna.
“Tapi itu cowok sepertinya Aku kenal?” Meldy menajamkan pandangannya, suara Galuh dan lelaki itu terdengar jelas di telinganya. Sepertinya lelaki itu tidak terima dengan ucapan Galuh padanya.
“Hei, Aku tidak bermaksud mengambilnya darimu. Benda ini jatuh tepat di bawah kakiku,” sanggahnya, lalu tak lama kemudian senyumnya berubah menjadi tawa. “Tapi harus Aku akui, seleramu bagus juga.”
Astaga!
Wajah Galuh merah padam, malu setengah mati. Lelaki di depannya itu bicara tanpa beban padanya. “Kamu ... Haish, menyebalkan!”
Tak ingin menjadi bahan tontonan rekan-rekannya yang sudah berdatangan di tempat itu, Galuh balik badan meninggalkan laki-laki itu dan berjalan cepat menuju meja kasir sambil terus merutuk dalam hati.
Masih sempat didengarnya tawa renyah lelaki di belakangnya. “Ish, bikin malu aja. Ngapain juga pakai acara nabrak itu cowok segala.”
“Kenapa Luh, cemberut gitu mukanya?” tanya Ayu, kasir senior di tempat kerjanya.
“Ada cowok rese barusan, Mbak. Sok tau selera orang!”
Ayu senyum dikulum, dari balik meja kerjanya ia bisa melihat apa yang terjadi pada Galuh di sana. “Pasti rese gara-gara ini kan?”
“Kok Mbak Ayu bisa tau, sih.”
“Mata sama telinga Aku ada radarnya,” jawab Ayu setengah berbisik.
“Dih, Mbak Ayu bisa aja. Dah ah, Aku mau ganti dulu.” Galuh menyambar tas kecil di meja kasir, lalu berjalan memutar menuju pintu khusus karyawan yang berada di sudut ruangan.
“Za, lo ngapain di sini? Dicari dari tadi gak taunya malah anteng di sini.”
Dua lelaki muda datang menghampiri Reza, pria yang baru saja bersitegang dengan Galuh.
“Wah, bahaya teman kita yang satu ini. Kayaknya otak mesum lo lagi on fire sekarang. Lo nyadar gak sih di sekeliling lo benda apaan?” tunjuk Aldy pada manekin yang berada tepat di samping Reza.
Bugh! Satu kepalan kuat tangan Reza mendarat sempurna di lengannya, membuat Aldy meringis sambil memegangi tangannya.
“Gue sadar banget, Al. Lo kalau mau ngomong mending dipikir dulu, deh. Kalau gak tau masalahnya mending mingkem!” sembur Reza.
Danil langsung merangkul bahu Reza, “Tenang, Bro. Lo punya masalah apa sampai harus ke stan ini. Cerita deh sama kita.”
“Sorry Za, Gue canda barusan. Lo serius amat nanggapinnya,” ucap Aldy meminta maaf seraya menepuk bahu Reza.
“Lo kalau minta maaf ya minta maaf aja, gak usah banyak alasan segala!”
“Dih, ngambekan jadi cowok.”
Danil hanya menggelengkan kepala melihat sikap kedua sahabatnya itu, mereka lalu berjalan menuju kafe yang ada di mall.
“Kalian ingat cewek yang basah kecipratan mobil gue pas hujan tadi siang? Gue penasaran, nah barusan ketemu. Ternyata itu cewek kerja di mall ini,” jelas Reza, ketika mereka sudah berada di kafe mall menikmati secangkir kopi.
“Karyawan bokap lo dong, Za.”
Reza mengedikkan bahunya, “Maybe yes, maybe No. Soalnya Gue gak lihat seragam dia, bajunya masih putih hitam.”
“Lo tertarik sama itu cewek? Tumben perhatian. Biasa juga cuek, ini kecipratan dikit langsung turun nyamperin!” Aldy melirik sahabatnya itu yang sedang menatap ke luar, semakin sore semakin banyak pengunjung yang datang ke mall meski hanya sekedar untuk jalan-jalan.
“Entahlah, mungkin hanya rasa penasaran saja.” Reza tersenyum tipis. Melihat Galuh ia seolah melihat seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang begitu berarti baginya dan selalu mengisi hari-harinya, namun hubungan mereka harus berakhir.
Rencana pernikahan gagal, setelah pengakuan Reza tentang dirinya yang tersimpan rapat selama ini membuat kekasihnya itu berpikir ulang tentang hubungan mereka selama ini dan pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan mereka.
Sementara Galuh yang sudah berganti pakaian dan bersiap ke stan pakaian tempatnya bekerja harus menahan diri dari serbuan pertanyaan kedua sahabatnya yang penasaran dengan Reza. Terutama Meldy yang mengetahui kalau Reza adalah pemilik kafe tempat biasa ia nongkrong dengan teman-teman komunitasnya.
“Serius Kamu gak pernah ketemu Reza?” tanya Meldy setengah tak percaya.
“Serius Mel, Aku beneran gak tau siapa dia. Ketemu barusan tadi, itu juga gara-gara insiden renda biru.” Galuh mencebik mengingat kejadian siang tadi.
“Sekarang Kamu sudah tahu siapa dia, berminat gak buat mengenal dia lebih jauh lagi?” Meldy bertanya sambil merapikan letak pakaian di dalam rak.
Galuh menggeleng kuat, “Tujuan Aku ke kota ini buat bekerja, cari duit buat bantu orang tuaku di kampung juga buat bantu biaya adikku yang masih sekolah. Aku belum kepikiran buat dekat sama yang namanya cowok.”
“Yess, Aku setuju. Fokus buat bantu keluarga dulu, itu jauh lebih penting ketimbang sibuk mikir soal asmara. Kalau memang jodoh pasti gak akan ke mana juga,” sambung Luna mengacungkan jempolnya.
“Tumben kali ini omongan Kamu bener, Lun. Biasanya suka ngaco!”
Luna meringis dan Galuh tertawa mendengarnya, bayangan wajah ibunya terpampang jelas di depan mata. Tiba-tiba rasa kangen menguasai hatinya. Sudah hampir tiga bulan ini ia tidak pulang kampung. Dan esok hari ibunya akan datang menjenguknya.
Galuh Nanda
Fahreza Raka Mahendra
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!