Nara tersenyum lebar menatap teman-temannya yang ingin segera pulang dari rumahnya. Mereka sudah bermain seharian penuh hingga waktu pun tak disadari oleh mereka jika sudah menjelang Maghrib. Kebetulan orang tua mereka masing-masing sudah menjemput mereka di rumah Nara.
"Nara kami pulang dahulu. Jangan merindukan kami!" canda teman-temannya yang membuat Nara ikut tertawa pelan bersama mereka.
Ada tatapan tidak ikhlas di mata anak itu saat melihat temannya satu persatu telah dijemput oleh orangtua mereka. Nara merasa jika lagi-lagi rumahnya akan sepi. Ia tak memiliki lagi teman bermain dan Nara hanya diam di dalam kamar bersama bonekanya.
Orangtuanya terus bekerja dan Nara seorang diri tinggal di rumah bersama dengan pembantunya. Nara ingin sekali untuk berkumpul bersama mereka. Tapi dia sadar jika orangtunya tak akan bisa melakukan itu karena mereka selalu disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.
"Nara!" Nara berbalik dan menatap ayah dan ibunya yang pulang bersamaan.
Bagaikan sebuah mimpi saat melihat mereka di sini. Nara dengan cepat menghampiri mereka dan menghambur dalam pelukan orangtuanya.
"Papa! Mama!!" teriak Nara dan mengecup pipi mereka. Ini adalah kejutan terindah untuknya. Ia tak menyangka jika mereka akan pulang.
Mata Nara berkaca-kaca karena saking bahagianya melihat mereka ada di sini. Seakan Tuhan mendengar permohonannya.
"Nara! Kamu baik-baik saja di rumah?" tanya sang ibu sambil mengusap kepala Nara penuh kasih.
Nara menggeleng lemah membuat kerutan di wajah pasangan suami istri itu. Mereka saling pandang dengan tatapan khawatir.
"Katakan ada apa?" tanya ayahnya yang mulai naik pitam karena berpikir jika ada orang yang sudah menyakiti putri kesayangannya.
"Nara tidak baik-baik saja karena Nara selalu merindukan kepulangan kalian. Apakah kalian tidak bisa tinggal di rumah bersama ku?" tanya Nara dengan mata penuh harap.
Pasangan suami istri itu diam tak berkutik saat mendengar permohonan yang keluar dari mulut sang anak. Mereka sangat ingin melakukan apa yang diharapkan Nara, tapi lagi-lagi mereka harus menelan kekecewaan saat banyaknya tugas yang mengantri hingga tak memiliki waktu istirahat dan bermain bersama anak tercinta.
"Nara! Ketika kamu besar kamu akan mengerti dengan kerasnya pahitnya kehidupan. Kita harus bertahan dan terus bekerja agar tetap memiliki kondisi keuangan yang baik dan hidup enak."
Nara kecewa dengan jawaban yang dilontarkan. Air matanya pun tumpah tapi sebisa mungkin ia menahannya. Nara menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipinya.
Anak itu tersenyum getir seolah tak terjadi apapun. "Ma! Pa! Maafkan dengan permintaan ku."
"Anak Papa! Kamu berhak meminta itu. Jangan bersedih kami berdua akan berusaha untuk memberikan waktu luang kami untuk mu."
Nara pun tersenyum lebar dan mengangguk. Ia mengerahkan jari kelingkingnya di depan orangtuanya seolah tengah membuat janji dengan mereka.
"Janji?"
Sang ibu dan ayah pun tertawa dan mereka sama-sama menautkan kelingking mereka di kelingking kecil Nara.
"Anak mama sayang. Mama dan Papa bukan tidak mempedulikan mu. Tapi ini sudah keinginan waktu. Jika kami bisa kami akan meluangkan waktu untuk mu. Apapun demi Nara yang cantik ini pasti kami akan penuhi. Iya kan Pa?"
"Apa yang dikatakan oleh Mama benar sayang."
"Yey!!"
"Sekarang kita makan. Papa bawakan makanan kesukaan Nara."
"Asyik kita makan-makan."
Nara sangat bahagia melihat makanan kesukaannya yang ada di tangan sang ayah.
Meraka pun sama-sama menuju dapur dan duduk dengan semangat di depan meja menunggu makanan tersebut dihidangkan oleh sang ibu.
"Papa apa pekerjaan kalian?" tanya Nara amat serius.
Sang ayah diam beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan anaknya.
"Kamu ingin tahu apa yang ayah kerjakan? Besar lah dulu baru kamu akan mengetahuinya dan mengerti."
Nara mengercutkan bibirnya. Kenapa ayah dan ibunya tak pernah ingin memberitahukan pekerjaan mereka. Nara selalu bertanya-tanya pekerjaan seperti apa yang membuat mereka tak ingin pulang.
"Hm baiklah."
"Makanannya sudah siap!!"
Sang ibu datang membawa makanan tadi ke atas meja.
"Yey!!" Nara bertepuk tangan senang. "Kita makan-makan."
Ayahnya tertawa melihat rekasi senang sang putri. Mereka pun mengusap kepala Nara penuh kasih sayang.
__________
Nara mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia pun perlahan membuka mata kecilnya tersebut lalu menguceknya.
"Mama! Papa! Nara ingin buang air kecil."
Nara pun mengusap kasur di sampingnya yang kosong. Ia langsung duduk dan mencari mereka yang tak ada di kamar.
Mata Nara kembali berair saat tak mendapatkan apapun di dalam kamarnya.
"Mama! Papa! Kalian di mana?" tanya Nara hendak menangis.
Prang!!
Tak!!
Prang!!
Dor
Suara-suara itu membuat Nara ketakutan. Ia memeluk bonekanya yang berada di dekapannya dengan tubuh yang bergetar.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Nara kepada dirinya sendiri. "Apa yang sudah terjadi di luar? Kenapa sangat ribut?"
Nara pun memberanikan diri untuk keluar dari kamar dan berjalan mengendap-endap untuk melihat keadaan di luar yang penuh dengan keributan. Terdengar suara bantingan dan juga ada tembakan.
Air mata sudah tak terhalau lagi. Luruh begitu saja hingga Nara merasakan jika hidungnya tersumbat.
Saat menuruni tangga Nara pun bisa melihat di luar sana terdapat orangtuanya yang ditahan dengan beberapa orang yang berpakaian hitam dan topeng yang mencoba untuk menerobos masuk ke rumah mereka.
Nara terkejut. Ia mundur selangkah ke belakang. Anak itu dengan jelas melihat bagaimana orangtuanya yang penuh darah di depannya. Mereka menahan sakit dan Nara merasa sangat trauma melihat pemandangan yang sama sekali tak pernah dilihatnya seumur hidup anak itu.
Ternyata sang ibu melihat Nara yang berisi di atas tangga.
"Nara!! Pergilah dari sini! Pergi cepat!!"
Nara mengeratkan pelukannya pada boneka yang selalu dibawanya. Anak itu berusaha untuk tetap tenang dan tak akan meninggalkan orangtuanya dalam kondisi seperti itu.
"Nara dengarkan lah Papa! Pergi dari sini."
Deg
Nara menatap orang yang duduk di sofa dengan bibir yang tersenyum miring serta tatapnya yang tajam dan mematikan.
Sementara itu pistol berada di tangannya mengarah tepat pada kedua orangtuanya.
Nara pun melihat tatapan penuh mohon dari orangtuanya hingga ia pun terpaksa lari dan meninggalkan mereka.
Dor
Nara ingin menoleh ke belakang saat mendengar suara tembakan lalu diiringi dengan teriakan orangtuanya. Tapi ada bisikan yang membuat Nara memutuskan tak menoleh ke belakang.
Ia menangis kencang dan berusaha untuk mencari tempat persembunyian. Ia pun masuk ke dalam sebuah lemari dan memejamkan mata sambil memeluk bonekanya dengan kuat.
Suara yang ia baru saja dengar sudah menjelaskan kepada Nara jika mereka sudah tak ada lagi di dunia untuk menemani Nara tumbuh. Nara menahan penderitaan itu dengan mendekap boneka kesayangannya.
"Mama! Papa! Hiks, kalian tidak menepati janji kalian," ucap Nara sambil menahan tangis.
Nara berharap ada pertolongan yang dikirimkan Tuhan untuknya agar ia bisa keluar dari sini.
Krek
Dada Nara pun bergetar dan ia sudah memberikan ancang-ancang untuk memukul orang yang membuka pintu lemari tempatnya bersembunyi.
Nara menatap orang yang tengah tersenyum ke arahnya. Pria itu adalah asisten dan sekaligus bodyguard pribadi ayahnya.
"Paman!"
"Nara! Cepatlah keluar!"
"Kau akan menyelamatkan ku?" tanya Nara dengan senyum mengembang.
"Kau benar. Aku akan menyelamatkan mu. Cepatlah keluar."
Nara mengangguk lalu keluar dari persembunyiannya.
"Paman. Ayah ku."
"Aku tahu, aku akan berusaha untuk menyelamatkan mereka."
Ia menggendong tubuh Nara. Nara bahkan tak peduli lagi dengan tubuh bodyguard sang ayah itu yang penuh dengan bercak darah.
______
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Nara dibawa oleh bodyguard ayahnya tersebut ke suatu rumah yang tak kalah mewah dengan rumahnya sebelumnya. Bisa saja Nara kembali tinggal di rumahnya yang dulu tapi begitu banyak kejadian buruk yang membuatnya tak berani untuk kembali ke tempat itu lagi.
Nara menarik napas pelan dan memandang bodyguard sang ayah dengan tatapan sendu. Biasnya ia melihat pria ini akan bersama ayahnya, akan tetapi kini kondisi mereka berbeda. Tak ada lagi sang ayah di samping pria itu. Hati Nara merasa sakit ketika mengingat wajah sang ayah melintas di wajahnya.
Tak ada lagi ayahnya dan ibunya. Ia pun tak tahu apakah mereka selamat atau tidak, tapi Nara meski sulit tapi ia yakin jika mereka sudah tak ada lagi. Jika pun selamat maka itu adalah hal mustahil.
Nara yakin jika orangtuanya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Rasa rindu menghantui Nara. Ia berharap jika orangtunya mendapatkan tempat yang baik di sisi Tuhan agar mereka bisa melihat pertumbuhan Nara dari atas walau tak bisa melihatnya secara langsung.
"Nara ingin bertemu dengan Papa dan Mama."
"Nara," ucap sang bodyguard dengan siratan makna yang sangat dalam. Ia pun sangat sedih mendengar ungkapan Nara tersebut. Nara sekarang seorang anak yatim piatu.
Nara hanya tersenyum getir mengingat orangtuanya yang masih berusaha untuk tersenyum dan menyakinkan agar dirinya segera kabur pada malam itu.
"Apakah mama dan papa sudah tidak ada, Paman?" tanya Nara dengan tatapan sedih tapi berusaha untuk kuat.
Pria itu pun langsung mensejajarkan tingginya dengan Nara. Ia pun tersenyum tipis dan mengusap kepala Nara.
"Nara! Maafkan Paman sekali lagi yang tidak bisa menjaga mereka. Paman akan menjaga mu sebagai gantinya hingga kamu besar."
Nara mengangguk lemah. Terjawab sudah pertanyaannya. Meski bodyguard itu tak menjawab secara langsung apa yang sudah terjadi pada orangtuanya tapi kini Nara sudah tahu dengan makna kalimat yang dilontarkan sang bodyguard.
"Paman siapa nama mu?" Nara tak pernah tahu nama pembantu dan bodyguard mereka karena ia selalu memanggil mereka dengan sebutan paman atau bibi.
"Nara! Nama ku adalah Jonathan Alden Bakery. Panggil saja Alden atau paman Alden. Kau bebas memanggil ku apa saja."
Nara mengangguk beberapakali lalu tersenyum ke arah sang bodyguard.
"Karena kau sudah mengatakan nama mu maka aku juga akan mengatakan nama ku. Nama ku adalah Nara Randana Alendrik."
"Aku sudah tahu. Bagaimana mungkin aku tak mengetahui siapa anak majikan ku."
Nara tertawa kecil karena merasa konyol dengan jawaban dari sang bodyguard.
"Apakah setelah ini kau akan menjadikan ku majikan mu? Orangtua ku sudah tidak ada lagi. Apakah kasih sayang mu kepada ku masih sama saat aku masih menjadi anak majikan mu?" tanya Nara penuh arti. Ada siratan rasa sedih yang terpancar di matanya.
Alden menggendong tubuh Nara yang masih bergetar. Ia mengusap punggung Nara lalu membawanya pergi ke kamar Nara.
"Nara! Kamu tahu di mana kamar kamu?"
"Kamar Nara?"
"Kamar mu sangat indah dan tak jauh berbeda dengan kamar mu yang dulu. Kamu akan tinggal di sini dan perlakuan ku kepada mu sama. Tapi bukan lagi sebagai seorang bodyguard tapi sebagai paman mu."
Nara tersenyum lebar dan memeluk kepala Alden dengan kencang. Ia bahagia ayahnya memiliki bodyguard yang baik seperti Alden.
"Paman terimakasih kau sudah sangat baik kepada ku. Papa dan mama pasti sangat bangga kepada mu."
"Aku harap juga begitu." Ada senyum yang tak bisa dijelaskan dari wajah Alden.
Nara menatap ke arah kamarnya. Ia ternganga karena melihat kamar tersebut yang sangat indah dan benar apa yang dikatakan Alden jika kamarnya tak kalah indah dengan kamarnya yang dulu.
"Wah Paman apakah ini kamar untuk ku? Ini sangat indah."
Alden menurunkan Nara dari gendongannya. Nara pun berjalan ke arah tempat tidurnya dan mengamati tempat tidur itu dengan penuh makna.
Ia pun berbaring di kasur dan memejamkan matanya.
"Kemarin Nara masih berpelukan papa dan Mama di tempat tidur."
"Nara! Jangan bersedih lagi. Malam ini Paman yang akan tidur memeluk mu."
Alden menghampiri Nara dan tidur di samping anak itu. Ia kemudian mendekap tubuh Nara dan membisikkan kalimat hangat.
"Nara! Tidurlah yang nyenyak. Ingat besok kau harus memulai hidup baru. Jangan bersedih jika kau ingin mereka tenang di sana meninggalkan mu."
___________
Nara membuka mata. Tubuhnya bergetar dan ia sangat frustasi. Ingatan yang mengerikan itu membekas di benak Nara. Masih teringat dengan jelas orangtuanya yang dalam kondisi menggenaskan di malam mengerikan yang telah merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Selain itu ia pun teringat akan tatapan tajam dan mengerikan seperti hendak membunuhnya. Dialah orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Nara di umurnya yang masih sangat kecil sudah memendam dendam yang sangat dalam dan hitam.
"Dia sangat jahat," ucap Nara sembari menangis.
Alden mengerjapkan matanya beberapa kali dan melihat Nara yang tengah menangis. Ia pun duduk dan memeluk tubuh Nara.
"Hey tenanglah. Ada aku di sini."
Nara menatap Alden penuh arti."
"Paman!"
"Hm."
Nara mengeratkan pelukannya seakan tak mau melepaskan pelukan hangat yang diberikan oleh Alden. Alden adalah orang yang saat ini yang Nara punya.
Pria itu adalah satu-satunya orang yang peduli padanya. Memang dari dulu Nara sangat dekat dengan Alden.
"Paman! Terima kasih sudah menerima Nara."
"Nara. Ini adalah bentuk pengabdian ku kepada mu. Kau tak perlu berterima kasih atas hal ini."
Alden pun membawa Nara ke balkon. Ia mengarahkan pandangan Nara ke luar yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit.
"Kota Amerika sangat indah. Kau pasti akan bangga jika kau sudah mengitarinya. Apakah hari ini kau ingin berjalan-jalan bersama ku?"
Nara memandang Alden dengan dalam lalu mengangguk.
"Nara mau."
"Kita harus siap-siap dahulu. Paman akan memanggil Bibi."
Nara mengangguk.
"Paman!"
Alden yang hendak pergi mengurungkan niatnya saat mendengar panggilan dari Nara.
"Ada apa Nara?"
"Paman adalah orang kaya tapi kenapa kau masih bekerja untuk papa dan mama?"
"Semua kekayaan ini ku dapatkan dari orangtua mu. Jika aku berhenti bekerja pada mereka maka aku tak lagi memiliki penghasilan."
Nara pun mengangguk. Padahal Alden bisa berhenti bekerja dengan orangtuanya dan membuka pekerjaan baru.
"Begitu kah."
"Iya Nara."
Nara diam sesaat dan memandang Alden dengan cukup dalam. Alden bingung tapi ia menunggu Nara mengatakannya.
"Paman aku akan membalas dendam dan membunuh dengan kedua tangan ku orang yang telah menghancurkan keluarga ku. Maka dari itu ajarkan Nara untuk bela diri dan membunuh."
Alden terkejut. "Nara! Kau sangat kecil. Cara balas dendam terbaik adalah dengan mencapai kesuksesan mu bukan membunuhnya. Aku tak akan mengajari mu bela diri " Faktanya Alden tak akan pernah membiarkan Nara menjadi orang yang penuh dengan dendam dan kebencian. Ia sendiri yang akan mendidik Nara dan mengubah anak itu menjadi anak yang polos. "Ingatlah kata-kata ku."
Kemudian Alden meninggalkan kamar Nara dan Nara pun diam di kamarnya menunggu bibi yang akan datang.
Nara melihat jika ada orang yang hendak masuk ke dalam kamarnya.
Ia pun langsung tahu jika orang itu adalah bibi yang dimaksud oleh Alden.
"Non Nara. Kita akan mandi."
Nara pun mengangguk dan masuk ke kamar mandi lebih dulu.
________
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
7 TAHUN KEMUDIAN
Rintikan hujan di malam itu membuat seseorang juga ikut meneteskan air matanya. Ia menoleh ke atas langit yang tampak gelap di malam dari malam-malam sebelumnya.
Tidak ada yang menarik bahkan bintang-bintang juga tak muncul di malam ini. Semuanya penuh kehampaan. Nara seorang anak sebatang kara korban dari pembantaian beberapa tahu yang lalu tumbuh menjadi anak yang cantik dan hidupnya selalu bersanding dengan kehidupan kelam.
Ayah dan ibunya sudah 7 tahun belakangan ini tidak menepati janji yang mereka buat sebelum akhirnya berpisah. Perpisahan itu membuat luka yang sangat besar di hati Nara.
Seakan dunianya hancur. Selama ini ia selalu memasang topeng di tempat ramai seolah-olah dirinya baik-baik saja. Padahal kenyataannya ia selalu menangis di malam hari setiap mengingat wajah kedua orangtuanya.
Tapi Nara sangat bangga kepada orang yang selama ini menemaninya. Sosok yang tanpa kenal lelah mendukungnya dan membuat Nara mengerti dengan arti kehidupan. Dan orang yang sedikit demi sedikit membuatnya percaya jika hidup ini banyak hal yang harus dilakukan dan ia tak boleh selalu larut dalam kesedihan.
Ia harus hidup bahagia agar orangtunya di atas bisa bahagia dengan melihat anak mereka yang menjalankan kehidupan dengan ikhlas dan perlahan keluar dari lingkaran hitam yang selalu membelenggunya.
"Nara."
Deg
Nara terkejut mendengar suara tersebut. Ia sangat mengenali suara itu. Pemilik suara tersebut adalah Alden yang selama ini yang terus menjaganya menjadikan orangtuanya yang kedua.
Cepat perempuan itu menghapus jejak air matanya sebelum Alden melihat. Nara melatih senyum lalu berbalik dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Tampak tak ada beban sama sekali di raut wajah wanita itu. Tapi sekuat apapun Nara menyembunyikan kesedihan itu bagi seorang Alden tetap akan mengetahuinya.
Alden menarik napas panjang dan menatap Nara dengan cukup dalam yang membuat Nara tak bisa menerjemahkan tujuan tatapan itu. Ia menundukkan kepala namun tiba-tiba Nara merasakan sebuah pelukan hangat yang diberikan oleh Alden.
"Sudah tujuh tahun aku menjaga mu. Sekarang kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Nara, ku harap kau tak lagi meneteskan air mata mu. Akhiri lah tangisan mu ini. Kau tak pantas menangis tiap malam."
Deg
Nara segera mendongak. Ia menatap Alden tidak percaya. Bagaimana bisa Alden mengetahuinya selama ini ia selalu diam-diam menangis.
"Paman." Nara hendak menjauh tapi Alden malah mendekap Nara semakin kuat.
"Tetaplah seperti ini. Aku tahu kau selama ini membutuhkan sebuah pelukan kasih sayang. Maka aku memberikan pelukan ini untuk mu agar kau bisa menganggap jika aku adalah orang yang tak akan pernah meninggalkan mu."
Nara tak mampu menahan air matanya. Ia merasa terharu setiap mendengar kata-kata Alden yang sangat menginginkannya bahagia. Begitu tulusnya Alden kepadanya.
"Hiks, terima kasih Paman. Kau memang orang yang paling baik."
Alden tersenyum simpul. Ia melepaskan pelukannya dengan Nara. Kemudian Alden menghapus air mata Nara yang tersisa di pipinya.
"Kau adalah anak yang cantik Nara." Alden terdiam setelah itu sambil memperhatikan Nara dengan tatapan penuh arti.
Tak terasa baginya telah mengurus Nara sudah sangat lama. Nara adalah wanita tercantik yang pernah ia lihat. Alden merasa tak sia-sia sudah mengurus Nara.
Tanpa sadar ia menyeringai membuat Nara langsung terkejut saat melihat sosok lain dari tubuh Alden.
"Paman."
Alden tersadar dan segera ia mengerjapkan matanya. Pria itu menghela napas sejenak dan memejamkan mata.
"Tidurlah."
"Aku tidak bisa tidur."
"Aku yang akan menemani mu tidur malam ini."
"Kau serius dengan ucapan mu itu Paman?" Alden mengangguk.
Nara yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan pun menarik tangan Alden dan membawanya ke tempat tidur.
"Paman aku malam ini ingin memeluk mu hingga pagi."
"Kau bebas melakukan apapun."
Nara menganggap hubungannya dengan Alden sebagai seorang paman dan keponakannya. Sementara itu Alden mengaggap Nara sebagai seorang perempuan. Ia bahkan tertegun saat Nara memeluk tubuhnya.
"Aku tidak akan melepaskan mu Nara." Bisikan yang terdengar seperti sebuah obsesi.
"Paman apa yang kau katakan?" tanya Nara dan menatap Alden dengan pandangan sayu.
Alden menghela napas panjang dan menggeleng pelan.
"Aku tak mengatakan apapun."
"Tapi aku tadi mendengarnya."
"Aku mengatakan jika kau harus segera tidur."
"Siap Bos."
Dengan semangat Nara pun kembali memejamkan matanya dan berkelana di dunia mimpi. Sedangkan ia tak menyadari jika tengah ditatap dengan pandangan tajam.
_________
"Paman apa kau tidak akan menjemput ku lagi nanti?"
"Aku banyak urusan dan maafkan aku tidak bisa menjemput mu."
Nara mengercutkan bibirnya dan menatap kecewa ke arah Alden. Anak itu sangat menggemaskan dengan tatapan yang tampak kesal. Alden bahkan tidak menyangka jika wanita yang di depannya adalah anak yang kemarin baru saja berulang tahun ke 10.
"Paman. Padahal aku ingin mengajak mu pergi. Aku sangat ingin jalan-jalan dengan mu sore ini."
"Maafkan aku." Alden mengusap kepala Nara yang membuat anak itu langsung diam seribu bahasa merasakan usapan lembut di kepalanya.
"I..iya."
"Masuklah."
"Baik Paman."
Nara pun pergi. Di depan gerbang ia melihat ada temannya yang memanggil namanya.
"Nara!"
"Iya?"
"Paman mu lagi yang mengantar?"
"Hm."
"CK dia sangat tampan. Andai aku bisa memiliki suami seperti Paman mu itu. Atau aku saja yang bersamanya." Nara tampak tak setuju dengan ucapan temannya tersebut.
"Apa yang kau katakan? Kau sungguh membuat ku jengkel. Aku tak ingin memiliki Tante seperti mu."
Mereka pun terus bertengkar hingga sampai di dalam kelas.
Setelah melihat Nara yang sudah masuk ke dalam sekolahnya membuat Alden pun memutuskan untuk masuk ke dalam mobil.
Ketika ia hendak menjalankan mobil tersebut, Alden melihat ada seorang wanita yang tengah menyantap makanannya di kursi belakang.
Ia hanya menatap datar wanita tersebut. Sementara itu sang wanita hanya menyeringai dan menyilangkan kakinya.
"Kau tahu drama mu selama ini membuat ku takjub. Akting mu sangat bagus, tampaknya kau lebih cocok untuk menjadi aktor. Ah sudahlah. Kau memang aktor terbaik."
Alden diam dan tak mempedulikan wanita tersebut. Ia pun menjalankan mobil itu menuju kantornya.
"Kenapa kau hari ini ikut dengan ku? Apakah si ba.jingan itu tidak bersama mu?"
"Hey siapa yang kau bilang baj.ingan itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di bagian garasi.
"Kau ada di sini rupanya. Kalian berdua hanya memberatkan mobil ku saja."
"Oh No, kau pikir kami ini adalah beban mu?"
"Hm."
"Yang benar saja. Aku tidak terima dengan ucapan mu itu."
"Aku tidak peduli."
"Dasar pria kaku!" umpat Monica dengan pandangan bosan.
___________
TBC
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!